Disusun Oleh:
2021
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, Penyusun panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahmat-Nya yang dilimpahkan kepada
kami sehingga penyusunan makalah yang kami beri judul "Penemuan Hukum Dalam
Rangka Putusan" ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Agung Muhammad saw,
keluarga, sahabat serta para pengikutnya, dan semoga syafa`at-Nya selalu menyertai
kehidupan ini.
Dalam kesempatan ini penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman satu kelompok, Bapak Imron Choeri, S.H.I., M.H. selaku dosen pembimbing mata
kuliah Hukum Acara Perdata dan juga rekan-rekan sekalian yang tidak dapat kami sebutkan
satu persatu.
Setitik harapan dari kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi
wacana yang berguna. Penyusun menyadari keterbatasan yang penyusun miliki. Untuk itu,
penyusun mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dan penyempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
3.2 Saran......................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana prosedur penemuan hukum?
b. Bagaimana aliran-aliran penemuan hukum?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hal memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali hakim
harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar dalam putusannya. Jika dalam hukum
tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka
barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum
lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman
menentukan "bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Ketentuan dalam pasal ini
memberi makna bahwa sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk dapat menemukan
hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan dalam perkara tersebut hukumnya
tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) juga
menjelaskan bahwa "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kata
"menggali" diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tetapi
masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkret, sehingga untuk
menemukan hukumnya harus mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ditemukan hukum dalam penggalian tersebut,
maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam
putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berikut ini
prosedur penemuan hukum sebagai berikut:
3
Didalam persidangan terdapat banyak kegiatan yang terjadi yang dilakukan oleh
hakim perdata dalam memeriksa sebuah perkara. Penggugat dalam gugatannya
mengajukan peristiwa konkret yang dijadikan sebagai dasar gugatannya. Peristiwa
konkret tersebut itu pulalah yang menjadi titik tolak hakim dalam memeriksa dan
mengadili. Untuk tergugat dipersidangan juga mengemukakan peristiwa konkret
sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat. Kemudian dibukalah kesempatan jawab-
menjawab didalam persidangan antara penggugat dan tergugat, tujuan dari adanya
kesempatan jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat ialah agar hakim dapat
memperoleh kepastian tentang peristiwa konkret yang disengketakan oleh kedua belah
pihak. Sehingga dari jawaban-jawaban tersebut hakim akan dapat menyimpulkan
peristiwa konkret apakah yang sekiranya disengketakan oleh kedua belah pihak.
Penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa hukum yang konkret. Hukum tidaklah selalu berupa kaedah berupa tertulis
ataupun tidak tertulis, tetapi dapat berupa sebuah perilaku atau peristiwa, dan didalam
peristiwa itulah hukum ada didalamnya yang harus digali dan ditemukan. Sengan
demikian, istilah penemuan hukum lebih tepat digunakan. Jazim Hamidi mengatakan
bahwa penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas,
karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan,
ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-
lain.1 Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo, profesi yang paling banyak
melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya hakim
dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik yang harus diselesaikan. Penemuan
hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan
hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai
hukum karena hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan.
1
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, (UII Press:
Yogyakarta, 2005), Hlm. 51.
2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Cahaya Atma Pustaka: Yogyakarta, 2013), Hlm.
211.
4
hukumnya. Menemukan hukum tidak hanya sekedar mencari undang-undangnya untuk
dapat diterapkan pada peristiwa yang konkret, tetapi yang dicarikan hukumnya untuk
diterapkan pada suatu peristiwa yang konkret. Kegiatan ini tidaklah mudah, untuk
menemukan hukumnya atau undang-undangnya agar dapat diterapkan pada peristiwa
konkret, peristiwa konkret itu harus diarahkan kepada undang-undangnya.3 Sebaliknya
undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkret. Jika peristiwa
konkret itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan hukum tersebut,
jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus mengadakan interpretasi terhadap
peraturan perundang-undangan tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat
dilakukannya maka ia harus mengadakan konstruksi hukum. Dalam penemuan hukum,
Undang-undang diprioritaskan sebagai sumber utama dari sumber hukum lainnya,
karena undang-undang bersifat otentik dan tertulis sehingga terjamin kepastian
hukumnya.
3
Ibid, Hlm. 211
4
Ibid, Hlm. 217
5
Ajaran Trias Politica (Montesquieu) mengatakan bahwa pemben tukan hukum
semata-mata adalah hak istimewa dari pembentuk undang undang, sedang
kebiasaan bukanlah sumber hukum. Senada dengan pandangan ajaran Trias
Politica adalah pandangan ajaran Kedaulatan Rakyat dari Rousseau, yang
mengatakan bahwa kehendak rakyat bersama (volanté genérale) adalah kekuasaan
tertinggi. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak rakyat adalah satu-satunya
sumber hukum. Hukum kebiasaan tidak mempunyai kekuatan hukum.5
Sedangkan menurut ajaran Kedaulatan Negara, satu-satunya sumber hukum
adalah kehendak negara. Menurut ajaran Kedaulatan Hukum (Krabbe), satu-
satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum. Dan yang disebut hukum
hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak (van Apeldoorn, hal.
93).
2. Begriffsjurisprudenz
Menurut aliran ini, undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai
peranan penting, tetapi hakim mempunyai peranan yang lebih aktif. Di samping
undang-undang masih ada sumber hukum lain, antara lain kebiasaan.
Aliran ini melihat hukum sebagai satu sistem atau kesatuan tertutup yang
menguasai semua tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu sistem asas-
asas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaidah yang sudah pasti
untuk setiap peristiwa konkret. Hakim memang bebas dari ikatan undang-undang,
tetapi harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup .
Menurut aliran ini, pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai
tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian
(Begriffejurisprudenz), suatu permainan pengertian. Begriffsjuriprudeng ini
mengkultuskan rasio dan logika: pekerjaan hukum semata-mata bersifat logis
ilmiah.
Sebagai reaksi terhadap aliran legisme lahirlah pada akhir abad ke-19 dan pada
awal abad ke-20 di mana-mana suatu ajaran baru: ajaran tentang kebebasan hukum
(Freirechtslehre) yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan. Titik
tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber
5
Ibid, hal 218.
6
hukum. Masih ada sumber hukum lain tempat hakim menemukan hukumnya.
Undang-undang, kebiasaan, dan sebagainya hanyalah sarana bagi hakim dalam
menemukan hukumnya. Yang dipentingkan di sini bukanlah kepastian hukum,
melainkan kemanfaatannya bagi masyarakat.
Aliran ini sangatlah berlebih-lebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya
boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi bahkan boleh menyimpang.
Freirechtslehre ini terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran Sosiologis yang
berpendapat bahwa untuk menemukan hukum hakim harus mencarinya dalam
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, dan aliran Hukum Kodrat yang
berpendapat bahwa untuk menemukan hukumnya harus dicari dalam hukum
kodrat.
Bagaimanapun juga aliran bebas tersebut di atas telah menanamkan dasar bagi
pandangan yang sekarang berlaku tentang undang-undang dan fungsi hakim.6
6
Ibid, Hlm 219
7
Achmad Ali,,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Historis. (Cet. I; Jakarta: Chandra Pratama,
1996), h. 150
7
hakim, berkaitan dengan diberikannya hakim fi-eies ermessen. Namunpun
demikian aliran ini tetap mengakuibahwa hakim tidak hanya sekedar "terompet
undang-undang, tetapi hakim hams juga memperhatikan kenyataan-kenyataan
masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum serta kesadaran hukum warga
masyarakat. (Nur)
Hamaker, berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai
dengankesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup di dalam
masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan Sejalan dengan Hamaker, 1H. Hymans
menyatakan bahwa hanya putusan hakim sesuai dengan kesadaran hukum dan
kebutuhan hukum warga masyarakat yang merupakan "hukum- dalam makna
sebenarnya" (hetrechtder werkeltIcheid).8
8
Ibid, hal 151.
9
Sudikno Mertokusumo, Tugas hakim dan pembangunan, ceramah dalam pekan ceramah fakultas Hukum
UGM. 13 Agustus 1975.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penemuan hukum proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas
hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum
yang konkret, dengan prosedur penemuan hukum melalui peristiwa yang diajukan
dalam gugatan penggugat, peristiwa yang diajukan dalam jawaban tergugat,
peristiwa konkret yang harus dibuktikan, peristiwa konkret dikonstatir, peristiwa
konkret (terjadinya proses penemuan hukum berdasarkan UU), peristiwa hukum (
penerapan UU pada peristiwa hukum).
3.2 Saran
Untuk memahami lebih mendalam mengenai penemuan hukum dalam rangka
putusan, tentunya diperlukan banyak sumber bacaan untuk menambah
pengetahuan. Penyusunan menyadari adanya penyusunan makalah ini tentu masih
banyak kekurangan baik dalam perihal refrensi ataupun pemilihan diksi kata yang
kurang sesuai. Penyusunan mengharap kritik dan saran yang membangun dalam
memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini dapat benar-benar bermanfaat bagi
pembaca.
9
DAFTAR PUSTAKA
Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interpretasi Teks, Yogyakarta. UII Press.
Sudikno Mertokusumo, 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta. Cahaya Atma
Pustaka.
Achmad Ali,,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Historis. (Cet. I; Jakarta:
Chandra Pratama, 1996)
Muhammad Sholikhin. (2010.). Ritual dan Tradisi Islam Jawa,. Yogyakarta : Narasi.
10