Anda di halaman 1dari 19

PEMIKIRAN MAZHAB - MAZHAB PENALARAN HUKUM DALAM

KEHIDUPAN BERNEGARA

Shada Nida Safitri

11210454000045

Email : shada.nida21@mhs.uinjkt.ac.id

Mahasiswi Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan


Hukum

Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Pembuatan artikel ini bertujuan untuk membahas mengenai pemahaman pemikiran


mazhab penalaran hukum dalam kehidupan bernegara, tentunya hukum selalu hadir
dan diikuti masyarakat di setiap sisi kehidupan. Membuktikan bahwa masyarakat
dan hukum tidak dapat dipecahkan dengan lain hal. Hukum tidak hanya aturan
dalam menciptakan ketentraman antara individu. Namun, hukum juga landasan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait dengan itu, dalam
hukum ada berbagai mazhab atau aliran dalam hukum untuk menjalankan sistem
hukum dinegara ini.

Kata kunci: Hukum, Aliran, Mazhab, Indonesia, Negara, Masyarakat

ABSTRACT

The purpose of this article is to discuss the understanding of the legal reasoning
schools of thought in the life of the state, of course the law is always present and
followed by the community in every side of life. Proving that society and law cannot
be solved in other ways. Law is not only a rule in creating peace between
individuals. However, law is also the foundation of social, national and state life.
Related to that, in law there are various schools or schools of law to run the legal
system in this country.

Keyword: Law, School, School, Indonesia, Country, Society

1
A. PENDAHULUAN

Penataan hukum digunakan di seluruh lapisan masyarakat dimana dalam


bernegara, penataan hukum ini saling dikaitkan dengan mazhab-mazhab penalaran
hukum, tentunya saling bergantungan dengan sumber utama peraturan perundang-
undangan di suatu Negara dalam memperoleh hasil dari pemikiran mazhab ini.
Cicero sendiri menyatakan bahwa “ubi societas ibi ius”. Artinya bahwa kehadiran
masyarakat akan selalu berdampingan dengan eksistensi hukum lainnya. Hal
tersebut menandakan bahwa masyarakat dan hukum tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (zoon politicum),
hukum meliputi aspek fisik dan eksistensial manusia.1 Seiring perkembangan
zaman pemikiran serta daya pikir semakin beragam, meluas, serta melekat di dalam
diri seseorang yang sedemikian sehingga hukum inilah memiliki peran penting
dalam menjaga kestabilan masyarakat sosial, mengatur setiap tindakan, dan
mengawasi setiap proses yang ada.

Perubahan sosial akan terus mengelilingi setiap perkembangan seseorang,


bahkan mendunia. Pada dasarnya awal dari kehidupan manusia berbaur satu dengan
lainnya yang menjadi pemicu hal yang sensitif, kemudian terbentuklah wadah
komunitas sosial. Sehingga kebeebasan tersebut akan berpengaruh dengan
kebebasan lainnya bahkan dengan makhluk lain sekalipun. Dengan ini terbentuklah
tata aturan, norma, nilai-nilai yang menjadi keadilannya yang menyeluruh dan
harus ditaati.

Hukum pun memberi reaksi yang berbeda-beda dari para aktivis, ahli,
maupun akademis, lalu pemikiran tersebut akan termotivasi oleh masyarakat itu
sendiri. Peradaban manusiapun dimulai yang terus menjujung nilai-nilai
masyarakat, Sehingga hadirlah mazhab-mazhab penalaran hukum guna
mendayagunakan sistem kenegaraan di Indonesia.2

1
H. Muchsin. Ikhtiar Sejarah Hukum, STIH Islam. 2004, hlmn 32

2
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hal.59-72

2
Penafsiran hukum pun terjadi oleh para ahli hukum, seiiring jalannya masa,
berdasarkan zaman perkembangan di dunia dengan mengambil alih setiap prinsip,
dasar, dalam memperoleh pendapat yang efektif pada perbedaan pemikiran-
pemikiran di ranah ilmu hukum ini.3

Allah menciptakan setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda,


yang mengharuskannya bekerja sesuai dengan hikmah Illahi, dan ini menciptakan
keragaman cara berfikir manusia dalam melakukan tindakannya disetiap sisi
kehidupan.Buktinya dalam masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran.
Namun walaupun golongan dan aliran itu beraneka ragam dan masing-masing
mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama mengharuskan
adanya ketertiban dalam kehidupan masyarakat dan bernegara itu.

Mazhab-mazhab hukum pasti terlahir dan terbentuklah berbagai macam


aliran. Adapun mazhab yang tidak biasa yaitu mzhab hukum alam dan mazhab
hukum positivism, kedua teori berpihak pada tema keadilan dalam teorinya
Sedangkan, mazhab positivisme hukum dengan teorinya mengakui hukum hanya
sebagai perintah yang berdaulat, sehingga akan tercipta kepastian hukum.
Aristoteles menyatakan bahwa tujuan bermasyarakat adalah untuk mencapai hidup
yang lebih baik (keadilan), dan untuk mencapai keadilan tersebut maka dibutuhkan
hukum sebagai instrumen.4

Adapun hukum Indonesia adalah hukum atau peraturan perundang-


undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara,
yaitu Pancasila dan Undang-Undang. Sehubungan dengan itu, hukum Indonesia
sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya
bangsa yang sudah

3
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hal.44.

4
Andi Maysarah, Perubahan dan perkembangan system hukum di Indonesia, (April, 2017),hlmn 4

3
lama ada dan berkembang. Dengan kata lain, hukum Indonesia merupakan sistem
hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan
Nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batasbatas
nasional negara Indonesia (Syaukani, Imam, 2004 : 63). Nyatanya hukum di
Indoensia inti sebab lahirnya perkembangan sistem hukum dengan sumbangan
pemikiran filsafat hukum yaitu aliran dari mazhab positivism (hukum positif).

Dalam hal ini, positivisme sama lamanya dengan filsafat. Tetapi sebagai
gerakan yang tetap dalam filsafat umum, sosiologi dan ilmu hukum pada
hakikatnya adalah sesuatu yang modern. Yang di satu pihak menyertai pentingnya
ilmu pengetahuan, dan sisi yang lain menjelaskan tentang filsafat politik dan teori
tentang ilmu hukum (Friedmann. 1960:143). Dari uraian tersebut, terlihat
perbedaan pendapat mengenai usaha mengikat hukum dalam masyarakat. Selain
itu Indonesia juga menjalankan sistem hukum yang sesuai dengan pemikiran. Para
filsuf pun berpendapat bahwa dengan aliran/ mazhab Positivisme serta
Aliran/mazhab Sociological Jurisprudence mengutamakan bahwasanya
sistem hukum positif akan berjalan efektif apabila sesuai kaidah dan norma yang
hidup di masyarakat dengan bertumpu pada peraturan perundang-undangan.

Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan


bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah
berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia (Ilhami
Bisri, 2004 : 125).

Dalam berhadapan suatu kejadian yang cukup memaknai seperti hukum,


teoti ini menempati tingkatan yang seimbang, yang berisikan teori yang
subyektifitas. Oleh karena itulah muncul beberapa aliran atau madzhab dalam ilmu
hukum sesuai pandangan yang digunakan pada kebiasaan masyarakat terdahulu
dan akan berpengaruh pada kebiasaan masyarakat saat ini. 5

5
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991) Hlmn 23

4
B. METODE

Penelitian ini menggunakan metode observasi di tiap pemikiran.


Pembahasan masalah didasarkan pada pendapat-pendapat ahli dan tinjauan ilmu
hukum yang berlaku di Indonesia.

C. PEMBAHASAN

Sesuatu yang sangat komplek tentu membutuhkan daya pikir yang positif
dengan bergam jenisnya aliran, mazhab penalaran hukum, tentu beragam nya
perolehan pendapat pemikiran itu. Adanya perkembanganyang terus semakin pesat
tentu pemikiran-pemikiran para ahli hukum akan mempadukan zamannya disetiap
era terutama di zaman modern seperti saat ini. Tak lupa juga pemikiran yang
terdahulu teap menjadi buah hasil yang istimewa, dan akan mempersatukan
pemikiran pada saat ini maupun yang terdahulu, dengan demikinan pemikiran akan
bersifat kompleks dan menyeluruh disemua pihak. Prioritasnya undang-undang lah
yang akan mengalir disetiap dasar kekuatan hukum yang memuat jalan pikirin yang
berbuah hasil menjadi mazhab-mazhab hukum.6

Dalam ilmu hukum dipaparkan bahwa ada beberapa madzhab yang


berusaha memahami hukum itu dengan spesifik serta jelas. Adapun dengan
adanya madzhab ini berarti mensyaratkan adanya pola pemikiran yang sama
di antara para ahli hukum ataupun pelopor dalam memahami fenomena hukum
atau paling tidak, di setiap lapisan hukum masyarakat serta unsur filasaf tentang
hukum mereka mempunyai perspektif yang sama. Maupun berbeda pemikiran,
tetap setiap pemikirian memiliki ciri khas sendiri dan tetap berfokus pada suatu
peraturan perundang-undangan.

Mazhab-mazhab atau aliran-aliran hukum meliputi: Aliran Hukum Alam,


Positivisme Hukum, Utilitarianisme, Mazhab Sejarah, Sociological Jurisprudence,
Realisme Hukum, dan Freirechtslehre.7
6
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

7
Dewa Gede Sudika Mangku, 2020, Pengantar Ilmu Hukum, Klaten: Lakeisha.

5
1) Aliran Hukum Alam
Menurut Aristoteles, hukum alam ialah hukum yang oleh orang-orang
berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam dan adapun
Thomas Van Aquino (1225-1274) berpendapat bahwa segala kejadian di alam
dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu undang-undang abadi (lex
eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya.
Sebagai mazhab tertua yaitu aliran hukum alam, tentunya mazhab terbagi
menjadi beberapa irasional dan rasional, Bersumber langsung dari Tuhan
dengan berbagai macam aliran dan tetap berfokus pada eksponennya yaitu
seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinus ini merupakan landasan dari aliran
irasional. Lalu hukum yang terbentuk dari ahli Immanual Kant, dan lainnya
dan beralih pada akal pikiran dimana rasio itupun berlangsung seperti pada ahli
Immanual Kant, Grotius, dan lainnya hal ini juga landasan dari aliran rasional
dari mazhab hukum alam. Hukum harus diidentifikasi dengan terpaku pada
adab, etika, moral dalam mencapai suatu tujuan yakni keadilan, mazhab hukum
alam pun berbicara pada hakikatnya semua yang ada dimuka bumi ini hanya
takdir ilahi.

Aliran Hukum Alam berpendapat bahwa selain hukum positif yang


merupakan buatan manusia, terdapat juga hukum yang lain, dimana hukum itu
sendiri berasal dari Tuhan. Hukum yang berasal dari Tuhan itulah yang dikenal
sebagai Hukum Alam. Adanya Hukum positif yang berlaku di masyarakat tidak
boleh bertentangan dengan Hukum Alam, karena hukum yang berasal dari
Tuhan dianggap lebih tinggi dari hukum yang dibentuk oleh manusia dan
mutlak bagi setiap kehidupan umat manusia.

Lex Eterna ini merupakan kehendak dan pikiran Tuhan yang melahirkan
dunia ini.8 Autentiknya manusia dikarunai Tuhan dengan kemampuan berfikir
dan keahlian dalam membedakan baik dan buruk serta mampu mengenal
berbagai
8
John Gillisen Emeretius, Sejarah Hukum, Saduran Rafika Aditama,2004

6
peraturan perundangan yang datang langsung berasal dari undang-undang
abadi itu sendiri. Adapun pendapat Thomas van Aquino menamakan 'hukum
alam (lex naturalis). Hukum alam hanya memuat asas-asas umum yang
mengalir di setiap kehidupan seperti misalnya:

a. Berbuatlah baik dan hindarilah kejahatan


b. Bertindaklah menurut pikiran yang sehat
c. Cintailah sesamamu seperti halnya mencintai diri sendiri dengan apa
adanya.

Prinsip Hukum Alam bersifat universal dan abadi, sehingga Hukum Alam
tersebut berlaku sepanjang masa serta berlaku bagi semua bangsa. Dapat
disimpulkan bahwa Aliran hukum alam berlaku di zaman apa saja dan dimana-
mana yang selalu terhubung dengan sifat keasliannya yaitu kodrat alam
(mutlak) dan terbagi menjadi dua yakni Aliran Hukum Alam Irasional
memiliki pendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu
bersumber langsung dari Tuhan, sedangkan para penganut Aliran Hukum Alam
Rasional berpendapat bahwa hukum yang universal dan abadi itu bersumber
dari rasio manusia itu sendiri. 9

2) Positivisme Hukum
Menurut John Austin menyatakan bahwa hukum adalah hukum positif yang
diciptakan oleh kekuasaan yang lebih tinggi kepada kekuasaan yang lebih
rendah. John Austin pun mendasarkan pendapatnya pada “command” sebagai
objek yang fundamental dari hukum. John Austin dalam hal ini menyatakan
bahwa “Laws or rules, properly so called, are a species of commands” Hukum
atau aturan, disebut dengan benar, adalah spesies perintah. Substansial nya
hukum (positif) disebut hukum karena tumbuh dari “command” tersebut
Tanpa ada “command”, bukanlah dikatakan hukum. Selanjutnya, John Austin
menyatakan bahwa “Laws proper, or properly so called, are commands; laws

9
Imam Syaukani, dkk. Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2004, hlmn 25

7
which are not commands, are laws improper or improperly so called” Hukum
yang tepat, atau disebut dengan benar, adalah perintah; hukum yang bukan
perintah, apakah hukum itu tidak pantas atau tidak pantas disebut demikian”
Signifikannya hukum sangat bergantung adanya perintah dimana perintah
inilah terbentuk kehidupan bernegara, bermasyarakat maupun bernegara.
Tentunya dalam setiap tindakan ataupun perintah memerlukan landasan
tersendiri untuk meraihnya.10

Mazhab positivisme hukum memandang mazhab hukum alam dengan


perspektif yang berbeda. Jika mazhab hukum alam memandang hukum sebagai
instrumen keadilan yang tidak dapat lepas dari moral dan etika, maka mazhab
positivisme hukum memandang hukum sebagai gagasan dimana kepastian
hukum itu nyata dan terbukti, maka harus dikhususkan dari hal yang baik
sekalipun itu buruk, serta nilai adil maupun tidak adil. Sehingga secara alamiah
pun dapat diterima. Seperti contoh di masyarakat dalam nilai-nilai yang
mengutamakan kepentingan bersama yaitu dengan saling tolong menolong hal
ini pun mengambil sebuah keputusan bahwasanya nilai ini dianggap baik yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Bagi mazhab positivisme hukum, hukum hanya dianggap sebagai


perintah-perintah yang berdaulat. Di samping hukum itu merupakan perintah
yang berdaulat, Jeremy Bentham juga menerangkan bahwa hukum pada
hakikatnya dilahirkan untuk mendatangkan kebahagian bagi sebagian besar
orang (the greatest happiness for the greatest number). Jeremy Bentham
menerangkan bahwa ; “hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan
untuk menyokong "raja suka" dan serentak mengekang si "raja duka‟. Dengan
kata lain, hukum harus berlandaskan manfaat bagi kebahagian manusia.
Dimana hukum itu benar-benar beralaskan fungsional menunjang kebahagian
dalam diri seseorang.
10
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Cambridge: Cambridge University
Press, 1995, hal.10

8
Tentunya dalam melahirkan kebebasan minimum secara individu inilah
dapat mengejar apa menjadi baik untuk dirinya. Adapun cara yang paling
efektif untuk itu dengan menciptakan situasi yang terkendali dengan kebebasan
dan keamanan yang cukup terjamin, si individu dapat memaksimalkan meraih
kesenangan”

Mazhab ini memandang perlunya pemecahan yang tegas antara hukum dan
moral, dimana perbandingan tersebut di antara hukum yang berlaku dengan
hukum yang sebenarnya (antara das sein dan das sollen). Aliran Hukum Positif
memperlihatkan bahwa semua persoalan di masyarakat harus diatur dalam
hukum tertulis. Pada intinya pemegang aliran ini tidak dapat mengalihkan
norma hukum selain hukum positif yang berlaku.

Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) dan Aliran


Hukum Murni (Reine Rechtslehre) inilah pembagian mazhab positivisme
dengan rincinya Aliran Hukum Positif Analitis dipelopori oleh Austin. Aliran
ini memandang hukum sebagai perintah dari penguasa yang mewajibkan
seseorang atau beberapa orang. Hukum berjalan dari atasan (superior) dan
mengikat atau mewajibkan bawahan (inferior). Hukum adalah perintah yang
bersifat memaksa yang dapat saja dikatakan bijaksana ataupun sebaliknya.
Sedangkan aliran hukum murni menurut pendapat hans Kelsen menerangkan
bahwa hukum perlu dihindarkan dari beberapa analisis yuridis seperti historis,
politis, sosiologis, dan etis itu sendiri, dimana hukum tidak berbaur satu dengan
lain hal. 11

Pemikiran Austin dan Kelsen mendorong hukum yang berbuah hasil pada
nyatanya yaitu sebagai ilmu hukum yang diakui oleh komunitas ilmiah,
akibatnya metode yang ditujukan menjadi ilmu dogmatika hukum yang
memprioritaskan pendekatan ilmu yang sungguh-sungguh sesuai dengan pilar

11
Shidarta, hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta Publising, 2013). Hlm
197-204

9
positivisme hukum dan sering dikatakan sebagai ius contitutum, serta hal ini
menjadi salah satu faktor kelemahan positivesme hukum yang hakikatnya tidak
menempuh aspek penegakan hukum yang mengutamakan segi pembentukan
hukum sehingga tidak terjun langsung pada lapangan dunia hukum, seperti
pemikiran Austin.12

3) Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang wadahnya manfaat hukum
sebagai tujuan utama hukum, dalam hal ini yang dimaksud dengan
kemanfaatan adalah kebahagiaan (happiness). Pandangan Adil atau tidaknya
suatu hukum dinyatakan dari bagaimana hukum itu ahli sebagaimana
kebahagian itu hadir dan diraih oleh sedemikian banyak individu dilingkungan
masyarakat maupun kehidupan bernegara yaitu dapat kita kenal dengan
sebutan ”the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan terbesar
jatuh pada jumlah terbesar nya orang tersebut).

Beberapa tokoh pemikiran dari Aliran Utilitarianisme sebagai berikut


Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Undang-Undang
Hak Cipta, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dilihat dari
teori Utilitarianisme khas Jeremy Bentham, yakni berusaha memberikan
pandangan hukum yang dapat berguna di kehidupan dan orang banyak, teori
ini pun memandang dasar pemikiran di Indonesia, bahwasanya wujud dari
hukum itu meneruskan kemanfaat bagi orang sekitar diantaranya kemanfaatan
hukum tersebut memberikan keamanan bagi setiap individu memberikan
perlindungan secara hakikatnya atas buah hasil karyanya. Menurut pendapat
Bentham, Jika prinsip utilitas ini diterapkan dalam pemerintahan, baik
pelaksanaan kebijakan Negara maupun masyarakat yang menerima kebijakan
Negara pada umumnya kebijakan ini mendatangkan keuntungan, ataupun
mendatangkan lebih banyak rasa senang dari pilihan yang lain.13
12
Jhonny Ibrahim, Teori Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia, 2013). Hlmn 90

13
Bentham, J. (2005). An Introduction to The Principle of Morals and Legislation. Oxford:
Clarendon Press

11
Bagi Bentham, seluruh kontroversi moral yang terjadi berkaitan dengan
ketidaksetujuan pada penerapan utilitarian dan bukan pada prinsip itu sendiri.
(Sandel, 2009). Tentunya pemikiran ini berkesinambungan dengan kehidupan
bernegara, serta Negara mengacu pada kepentingan warga negara dan menjaga
kestabilan serta ketertiban hukum sehingga menciptakan situasi yang melekat
dan menyesuaikan kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki
masyarakat.14

4) Mazhab Sejarah
Aliran ini termasuk yang paling terkenal terutama di negara-negara
penganut sistem common law. Adapun Tokoh-tokoh penting aliran/mazhab
sejarah, yaitu; Friedrich Karl von savigny (1770-1861), Puchta (1798-1846),
dan Henry Summer Maine (1822-1888). Timbulnya hukum tidak hanya hadir
dari si penguasa saja, namun muncul dari hati nurani seseorang dari segi
keadilan yang menjiwai jiwa raga bangsa di kehidupan bernegara ini. Hal ini
merupakan pendapat ahli dari seseorang Von Savigny. Adapun Puchta nyaris
sama pandangannya dengan Savigny. Dimana jiwa dan hukum itu saling
menyatu pada prinsip sendirinya. Sedangkan Maine menyatakan dalam
memperkuat teori Von Savigny, mempercayai bahwa wadah dari perubahan di
setiap pembagaian masyarakat itu memilki pengaruh tersendiri sehingga
sejarah pun dapat serupa dengan yang lainnya. 15

Mazhab Sejarah atau Historische Rechtsschule sendiri dipeloporkan oleh


Friedrich Karl von Savigny. Aliran ini muncul sebagai tanggapan terhadap
aliran Hukum Alam yang hanya menyandarkan jalan pikiran deduktif yang
tertuju langsung dengan kategori umum dan tidak memperhatikan fakta
sejarah, kekhususan dan pembatasan nasional sehingga tidak menyeluruh
disetiap lapisan kehidupan, tentunya Mazhab Sejarah sendiri memandang
setiap perubahan.
14
Bertens, K. (1993). Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm 5
15
Ahmad Syauqi, Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum Dan Yang Relevan Dengan Suasana
Kebangsaan Indonesia, hlmn 8

11
sesuai dengan keadaan masyarakat dari waktu ke waktu, sehingga tidak ada
kemungkinan hukum itu bisa berlaku bagi semua bangsa. Adapun pendapat
lain mengungkapkan bahwa hukum terlahir karena perasaan keadilan yang
terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum bukan berasal dari perintah
penguasa,jabatan, ataupun derajat seseorang namun tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat serta mengalir di setiap tindakan kehidupan bernegara.

5) Sociological Jurisprudence
Roscoe Pound, Eugen Erlich, Benyamin Cordozo, Gurvitch, dan lainnya
pelopor tersebut termasuk para ahli hukum dari aliran Sociological
Jurisprudence yang mengungkapkan bahwa dalam menjalani kehidupan
masyarakat didalamnya terdapat hukum yang baik pula, pemikiran dari aliran
ini menyebar hingga ke Indonesia dan Amerika Serikat.16

Eugen Erlich mengungkapkan bahwa hukum positif yang mencakup selaras


nya aturan yang hidup diantara masyarakat (living law) di sisi yang tepat itu
baru bisa dikatakan hukum yang sejalan dengan kenyataan hukum ini. (Rasjidi,
1988:5) terpaparkan jelas bahwa ini bertolak belakang dengan penganut
positivisme hukum. Eugen Erlich pun ingin membuktikan kebenaran filosofi
hukumnya, dengan memperhatikan perkembangan titik pusat hukum yang
tidak terletak pada undang-undang, ataupun putusan hakim, tetapi tertuju pada
masyarakat. Sebagaimana diutarakan oleh Friedman (1990: 104) dalam karya
nya bahwa sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan.

Selanjutnya Roscoe Pound beranalogi kedudukan kenyataan hukum yang


lebih mengacu pada dorongan perhatiannya.17 Tentunya Berpihak pada
faktanya hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat
kenyataannya.
16
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm 61

17
Friedmann. 1960. Teori dan Filsafat Hukum, telaah kritis atas teori-teori hukum, Jakarta : Rajawali
Pers. Hlmn 10

12
Masyarakat kenyataan hukum pada hakikatnya adalah kemauan publik, jadi
tidak hanya sekedar hukum saja yang dalam pengertianya law in books (hukum
tertulis). Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang sepadan
antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya
kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai nilai penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan
orientasi hukum (Lili Rasjidi, 2007 : 45).18

Aliran Sociological Jurisprudence dalam kaidahnya berlandaskan pada


perbandingan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law),
atau dengan perkataan lain suatu perbandingan antar pokok-pokok hukumnya
dengan pokok-pokok sosial lainnya. Hukum positif hakikatnya pun hanya akan
lebih terarah apabila sebanding dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan
tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri (Soerjono Soekanto, 2007
: 42).

Pemikiran dari Sociological Jurisprudence memanfaatkan pembentukan


yang tegas dengan perbandingan hukum positif dengan hukum yang berada
ditengah masyarakat. Dengan tumbuh dan berkembang ditenagh masyarakat
memicu adanya proses bernalar yang kompleks sebagai bentuk bahwa
pemikiran ini berhubungan dengan perintah penguasa, Bersama dengan
masyarakat tentunya menjadikannya sejarah tersendiri sehingga interaksi
diantara keduanya melahirkan suatu pemikiran yang tepat. Dimana dalam
bernegara tentunya inti pokok dari suatu gagasan, perkembangan, pemikiran
diperlukan, hal ini dapat kita upayakan dengan mendayagunakan aliran ini
melalui mempadukan antara si masyarakat dengan si hukum wujudnya (hakikat
nyata) sesuai kaidah-kaidah yang tercantum pada undang-undang. 19
18
Rasjidi, Lili., Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya, 2007, hlm 3

19
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis Terhadap Hukum. (Jakarta:Raja grafindo
Persada, 2012) hlm 195

13
6) Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan salah satu sub aliran dari positivisme
hukum yang dipelopori oleh John Chipman, Gray, Oliver Wendel Holmes, Karl
Liwellyn, Jerome Frank, William James dan lain-lain. Menurut Liwellyn,
realisme hukum bukanlah merupakan aliran di dalam filsafat hukum, melaikan
sebuah gerakan dalam cara berpikir tentang hukum.

Aliran ini menyamakan dengan Pragmatic Legal Realism yang berkembang


di Amerika Serikat. Antusiasme sosial dan alat kontrol sosial menjadikan
pandangan dari aliran realisme ini yang yang merupakan the real hukum.
Realisme hukum dapat dikatakan sebagai aliran filsafat hukum yang
memberikan kebebasan bagi hakim untuk membuat putusan yang baik
sehingga landasan ini menjadi pengacu legitimasi hakim dalam
menemukan hukum dan melahirkan hukum. Hukum dibentuk dari kepribadian
manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan
yang sedang berlaku dan emosi-emosi yang umum. Dunia ini mempunyai
hakikat realitas terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani.

Aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai


faktor hukum dan nonhukum, yaitu faktor perkembangan dalam filsafat dan
ilmu pengetahuan dan faktor perkembangan sosial dan politik. Dalam penganut
Realisme, hukum merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan kontrol
sosial. Adapun ciri utama realisme diantaranya:20
a. Tidak ada mazhab realis dimana gerakan dari pemikiran dan cara kerja
hukum,
b. Filosofi hukum yang beralih serta alat untuk tujuan sosial, sehingga sisi
bagian ini harus tertuju pada tujuannya,
c. Meanggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan sesuai
dengan tujuan yang ada.

20
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm 61.

14
d. Tidak percaya dengan adanya pilihan dan konsepsi hukum, selama pilihan
dan konsepsi hukum tersebut menggambarkan apa yang kenyataannya
terbukti di masyarakat.
e. Lebih mengutamakan kemajuan tiap tahap hukum dengan mengingatkan
hasilnya.

Pelopor kedua ini yaitu John Chipman Gray dan Oliver Wendell Holmes
berpendapat bahwa pemikiran mazhab realisme ini lengkap dengan apa yang
dipikirkan alirannya sebagi celah petunjuk jalan dari kedudukan-kedudukan
pangkat gerakan realism ini.

Dalam menempatkan hukum, pengguna aliran realisme ini tidak menempatkan


undang-undang sebagai kaidah utama hukum di Indonesia. Tetapi pengguna
aliran ini berkedudukan hakim dimana hakim berpegang kedudukan besar
dalam setaip keputusan yang berakibatkan hal ini akan ada feedback dari
tanggapan pusat pemikiran yang ada di dalam kehidupan bernegara ini. 21

Berangkat dari realitas sosial, posisi tetap menjadi hak nya bagi setiap hukum
dan tentunya aliran realism ini, bahwa hukum tidak hanya ke satu spektif saja
yaitu ilmu hukum, namun menyeluruh di setiap aliran diri seseorang yaitu
kepribadian diri manusia, lingkungan masyarakat, perekonomian, serta dunia
perbisnian (Sukarno Aburaera,dkk,2013: 129). Sehingga membuat pemikiran
ini tidak berkeyakinan pada landasan hukum dogmatif, terkecuali pandangan
hukum yang ruang lingkup nya dikekelingi oleh lembaga pengadilan dan
orang-orang yang menyatu di pengadilan ini (Amran, 2018:72).

Sebagaimana telah dinyatakan diatas bahwa realism hukum adalah mengkaji


hukum dalam konteks realitas (nyata), maka hal ini tidak bisa terlepas dari dari
pokok praktik hukum sebagai penegakkan hukum (law enforcement) dan
perilaku manusia dalam kehidupan empiris.

21
Sukarno Aburaera. Filsafat Hukum, Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana, 2013.hlmn 22

15
7) Freirechtslehre
Freirechtslehre atau Ajaran Hukum yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich,
Stampe, Herman Isay, dan Ernst Fusch. Dimana berpendapat bahwa aliran
freirechtslehre berlandaskan bahwa hakim mempunyai tugas dalam
menghadirkan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya tidaklah
menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat
untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat
dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.

Aliran ini berpandangan bahwa terbentuknya hukum bukan di meja-meja


lembaga legislatif, tetapi hukum itu terbentuk di dalam lingkungan peradilan.
Tentu saja bila hukum terbentuk dalam ruang peradilan maka peran hakim
sangat dominan, hakim berperan sebagai pembentuk hukum (judge made law).
Aliran ini bertolak belakang dengan Positivisme Hukum yang mana ajaran ini
dalam penyelesaian masalah bukan hanya terletak pada undang-undang saja
akan tetapi lebih berfokus pada penyelesaian yang tepat dan konkret karena
peristiwa-peristiwa itu diselesaikan dengan norma-norma ataupun aturan-
aturan yang dihadirkan oleh hakim.22

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah


peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang
bukan merupakan pemegang peranan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk
memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus
sama dengan penyelesaian undang-undang. Aliran hukum bebas berpendapat
bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang
bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa yang konkret, sehingga persitiwa-
peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan
oleh hakim.

22
Antoniu Cahyadi, Pengantar Filsafat Hukum, Prenada, Edisi Pertama Cetakan Ke 3, Jakarta, 2010

16
D. KESIMPULAN
Pemikiran dalam mazhab ini berkembang dalam bentuk berbagai mazhab
yang mempunyai kaidahnya dan saling berkesinambungan dalam memecahkan
masalah hukum yang dihadapi dalam kehidupan bernegara. Terutama dalam
setiap penegakan, pembentukan, serta penerapan hukum di Indoensia. Terdapat
enam macam aliran dalam mazhab penalaran hukum, meliputi; mazhab hukum
alam, mazhab positivisme hukum, mazhab sejarah, mazhab sociological
jurisprudence, realisme hukum, dan Freirechtslehre.

Indonesia adalah Negara hukum dengan mengikuti aliran hukum yang


sesuai dengan kebiasaan masyarakat yaitu mazhab Positivisme, atau disebut
mazhab hukum positif yang mengacu pada hukum itu tersendiri sehingga
dimensi kehidupan akan ikut serta meramaikan pemikiran ini. Kebutuhan
mendasar yang diinginkan tentunya bermanfaat bagi setiap makna kehidupan,
sebagai alat penyeimbang aturan lain maupun sebagai alat penegas dimana
setiap peraturan butuh kesaksian kehidupan.

Dalam pemaduan konsep hukum perbedaan itupun terjadi, baik variasinya,


daya pikirnya, tujuannya, pada ruang lingkup itu dalam merumuskan aliran dan
tetap hasilnya akan berjatuh pada satu pemahaman saja dan tetap terpaku
kepada peraturan hukum yang ada di Indonesia ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Muchsin, H. 2004. Ikhtiar Sejarah Hukum. STIH Islam

Marzuki, Peter, Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum Jakarta: Kencana. 2009

L, Bernard, dkk. 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing

Maysarah, Andi. 2017. Perubahan dan perkembangan system hukum di

Indonesia.

Raharjo, Satjipto. 1991 Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti

Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mangku, Dewa Gede Sudika. 2020. Pengantar Ilmu Hukum, Klaten: Lakeisha.

Emeretius, John, Gillisen. 2004. Sejarah Hukum. Saduran Rafika Aditama

Syaukani, Imam, dkk. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : Rajawali Pers

Austin, John. 1995. The Province of Jurisprudence Determined, Cambridge:

Cambridge University Press

Shidarta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. (Yogyakarta: Genta

Publising

Ibrahim, Jhonny. 2013. Teori Hukum Normatif. Malang:Bayumedia

J., Bentham. 2005. An Introduction to The Principle of Morals and Legislation.

Oxford: Clarendon Press

K., Bertens. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

18
Syauqi, Ahmad. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum Dan Yang Relevan Dengan

Suasana Kebangsaan Indonesia

Ali, Zainuddin. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Friedmann. 1960. Teori dan Filsafat Hukum, telaah kritis atas teori-teori hukum.

Jakarta : Rajawali Pers

Rasjidi, Lili. 2007. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung : PT. Citra

Aditya

Erwin, Muhammad. 2012. Filsafat Hukum:Refleksi Kritis Terhadap

Hukum.Jakarta:Raja grafindo Persada

Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Aburaera, Sukarno. 2013. Filsafat Hukum, Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana

Cahyadi, Antoniu. 2010. Pengantar Filsafat Hukum. Prenada Edisi Pertama

Cetakan Ke 3 Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai