Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

SEJARAH KELEMBAGAAN MAJELIS TARJIH DAN TAJDID


MUHAMMADIYAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqih Manhaj Tarjih Muhammadiyah
kelompok 1 kelas B
Dosen Pengampu:
Furqon Hasbi Lc,M.Ag

Oleh:
Muhammad Faiq Al Ghifari G100231124
Masykur Amanu G100231146

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


TAHUN 2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari sosok pendirinya yaitu
Kyai Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis yang berasal dari kota Kauman
Yogyakarta. Awal mula berdirinya Muhammadiyah sebagia organisasi adalah hasil
interksi dari Kyai Ahmad Dahlan dengan kawan kawan dari Boedi Oetomo yaitu R.
Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan berdirinya Muhammadiyah juga merupakan
saran dari salah satu siswanya di Kweekscholl yang menyarankan agar pendidikan yang
dirintis beliau tidak di urus sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat
kesinambungan setelah beliau wafat.
Selajutnya muhammadiyah resmi berdiri sebagia organnisasi pada tanggal 18
November 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330 H, asal usul nama Muhammadiyah yaitu berasal
dari nama Muhammad secara bahasa berarti pengikut nabi muhammad yang dimaksut
untuk menghubungkan dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana sejarah Muhammadiyah


2. Bagaimana sejarah pembentukan majlis tarjih dan tajdid
3. Faktor Faktor yang melatarbelakangi manhaj tarjih dan tajdid

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat diperoleh tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Muhammadiyah
2. Untuk mrngrtahui bagaimana sejarah pembentukan majlis tarjih dan tajdid
Muhammadiyah
3. Untuk mengetahuai faktor faktor yang melatarbelakangi manhaj tarjih dan tajdid
Muhamadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912


M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah
gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau
kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar
muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan
berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota
santri Kauman Yogyakarta. Lahir dengan nama Muhammad Darwis adalah seorang
Ulama Besar bergelar pahlawan nasional Indonesia yang merupakan
pendiri Muhammdiyah. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di masjid besar kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan
adalah putri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”.


Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan
(menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan
nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai
berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw,
yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai
yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya
dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian
ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam
dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan


sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu
memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan
orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi
karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian
hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang
khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi
aspek-aspek tauhid (aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran
Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli
yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.

B. Sejarah Pembentukan Majelis Tarjih dan Tajdid

Majlis Tarjih Muhammadiyah merupakan salah satu majelis yang berada


dalam Organisasi Muhammadiyah. Majelis Tarjih didirikan Muhammadiyah pada
1927 sebagai lembaga satu-satunya di Muhammadiyah yang membidangi
persoalan fiqih dan fatwa. Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan
Kongres ke-16 organisasi ini di Pekalongan pada tahun 1927 pada periode kepengurus-
an K.H. Ibrahim (1923-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah
kedua sesudah K.H. Ahmad Dahlan (1912-1923). Dalam kongres tersebut dibicarakan
usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam persyarikatan itu diadakan Majlis
Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy . Usul yang diajukan Pimpinan Pusat
tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif seseorang tokoh ulama Muhammadiyah
terkemuka, K.H. Mas Mansur (1936-1946) yang waktu itu menjadi Konsul
Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah Surabaya. Ide tersebut sebelumnya telah
berkembang di Surabaya dalam Kongres ke-15 tahun 1926. Dalam kongres
Pekalongan, usul pembentukan ketiga majlis tersebut di atas diterima secara aklamasi
oleh para peserta, dengan mengganti istilah Majlis Tasyri’ menjadi Majlis Tajrih, dan
“sejak itulah berdirinya Majlis Tajrih”.
Kebanyakan penulis-penulis Muhammadiyah berpendapat dan menyatakan
bahwa sejak kongres ke-16 tahun 1927 itulah mulai berdirinya Majlis Tarjih, seperti di
atas tadi sudah dikutip sebagai salah satu contoh. Padahal dari apa yang sudah
dipaparkan terdahulu, jelas bahwa pada tahun 1927 dalam kongres ke-16 itu, harus ada
berupa keputusan pembentukan majlis-majlis; salah satunya Majlis Tarjih dan
pembentukan komisi perumus qaidah dan pembentukan pengurus. Baru pada tahun
1928 di Jogjakarta, dalam kongers ke-17, Pengurus dan Qaidah Majlis Tarjih itu
dibentuk. Jadi atas dasar ini sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara formal, Majlis
Tarjih itu terbentuk pada tahun 1928 di Jogjakarta. Kemudian pada kongres ke-18 di
Solo, yang berlangsung dari tanggal 30 Januari sampai dengan tanggal 5 Februari 1929,
Majlis Tarjih pertama kalinya mengadakan sidang khusus di luar sidang-sidang
Kongres Muhammadiyah, dan berhasil mengambil keputusan tentang “Kitab Iman” dan
“Kitab Shalat”.
sebagaimana dikemukakan M. Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “tajdid”
(bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan” adalah mengenai dua segi, ialah dipandang
dari pada/menurut sasarannya :
Pertama: berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada
keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip
perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua: berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu
sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi, taktik
perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan
dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran
Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti
memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam
ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan
persoalan dunia, tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke
dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan.
Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu
sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan
diri sebagai pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan
oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh. Sekarang ini usaha pembaharuan
Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu :
bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan.

C. Dasar Hukum
Lajnah Tarjih sebagai suatu bagian dari persyarikatan yang bertugas mengurusi
keagamaan, diatur dalam suatu Qaidah yang disebut Qaidah Lajnah Tarjih yang disebut
Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Qaidah ini dibuat oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, dan ditelorkan dalam bentuk SK (Surat Keputusan). Adapun sekarang
ini Qaidah yang terbaru adalah Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971 yang
ditetapkan dengan SK PP Muhammadiyah No. : 5/ PP/ 1971 tanggal 9 Rabi’ul Awwal
1391 H / 4 Mei 1971. Aturan lain yang mengatur Lajnah Tarjih ini ialah SK. PP
Muhammadiyah No. : 5/PP/1974 tanggal 3 Rajab 1394 / 22 Juli 1974, tentang Majlis
dan Bagian serta pokok tugas, hak dan wewenang serta kewajibannya. Sebelum diganti
dengan Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, dalam sejarah lembaga
ketarjihan Muhammadiyah sebelumnya telah berlaku beberapa Qaidah Tarjih, antara
lain Qaidah Tarjih tahun 1952 dan Qaidah Tarjih tahun 1961.

D. Faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Majlis Tarjih


1. Faktor Internal
Yang dimaksud dengan faktor intern ialah keadaan yang berkembang dalam
tubuh Muhammadiyah sendiri, yaitu hal-hal yang timbul sebagai akibat dari perluasan
dan kemajuan yang dicapai oleh persyarikatan ini.
2. Faktor Eksternal
Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah perkembangan-perkembangan
yang terjadi pada umat Islam umumnya di luar Muhammadiyah, yang dalam hal ini
adalah perselisihan paham mengenai masalah-masalah furu’ fiqhiyah, yang
biasanya dinamai masalah khilafiyah. Di samping itu juga masalah ajaran
Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada akhir perempat pertama
abad 20. Perselisihan dan pertentangan-pertentangan itu mengancam keutuhan
Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majlis Tarjih yang ditugasi
antara lain untuk menyelidiki berbagai macam pendapat itu, untuk diambil yang
paling kuat dalilnya, guna menjadi pegangan anggota-anggota Muhammadiyah, dan
dengan demikian perselisihan-perselisihan karena masalah khilafiyah yang telah
memecah-belah umat Islam dalam sejarah itu, dapat dihindarkan dalam
Muhammadiyah.

E. Tingkatan-tingkatan Lajnah Tarjih.


Menurut pasal 3 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971,
Lajnah Tarjih dibentuk di tiga tingkat, yaitu di tingkat Pusat disebut Lajnah Tarjih
Pusat, di tingkat Wilayah disebut Lajnah Tarjih Wilayah dan ditingkat Daerah disebut
Lajnah Tarjih Daerah. Untuk tingkat Cabang dan Ranting tidak dibentuk Lajnah Tarjih,
dan untuk ke-Tarjihan di tingkat Cabang dan Ranting ini diurus oleh Lajnah Tarjih
Daerah (pasal 3 ayat 2).
Seperti telah disebutkan bahwa Lajnah Tarjih itu dipimpin oleh Majlis Tarjih
maka dengan demikian (sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) Qaidah Lajnah
Tarjih), ada :
➢ Majlis Tarjih Pusat memimpin Lajnah Tarjih Pusat yang terdiri dari
sekurang-kurangnya 9 orang.
➢ Majlis Tarjih Wilayah memimpin Lajnah Tarjih Wilayah, terdiri sekurang-
kurangnya 7 orang, dan
➢ Majlis Tarjih Daerah yang memimpin Lajnah Tarjih Daerah, terdiri dari
sekurang-kurangnya 5 orang.

Lajnah Tarjih di masing-masing tingkat sama-sama berhak mengadakan


musyawarah. Untuk ini pasal 6 dari Qaidah Lajnah Tarjih, mengatur lebih lanjut
sebagai berikut :
1. Mu’tamar : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih di tingkat Pusat, yang
diselenggarakan paling tidak dalam waktu tiga tahun sekali.
2. Musyawarah Wilayah : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih tingkat Wilayah,
diselenggarakan sekurang-kurangnya setahun sekali; dan
3. Musyawarah Daerah : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih di tingkat Daerah,
yang diselenggarakan sekurang-kurangnya setahun dua kali.
Jadi apabila Lajnah Tarjih Pusat mengadakan permusyawaratan ini dinamakan
“Muktamar”, sedang apabila Lajnah Tarjih tingkat Wilayah dan Daerah mengadakan
Permusyawaratan, masing-masing disebut “Musyawarah Wilayah” (Musywil) dan
“Musyawarah Daerah”(Musyda). Untuk mengadakan permusyawaratan itu haruslah
terlebih dahulu mendapat persetujuan Pimpinan Persyarikatan tingkat yang
bersangkutan.

F. Diantara usaha pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :


1. Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari
kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.

2. Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan


puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas
agama.

3. Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam,


Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah
jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4. Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas,
oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan
sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai
atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).

5. Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian


khutbah dalam bahasa Arab.

6. Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan,


perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat
politheistis darinya.

7. Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.

8. Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).

9. Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh
para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.

10. Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan
dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai