Anda di halaman 1dari 12

Ijtihad Jama’i & Beberapa Prinsipnya Dalam Muhammadiyah

Disusun oleh :

NAMA : Abdullah Azzam Muttaqin (201510020311011)


: Firdaus (201510020311012)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan zaman akan muncul berbagai problematika sebagai akibat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap zaman itu memiliki problematika sendiri, konteks
realitas dan berbagai kebutuhan yang senantiasa muncul, persoalan-persoalan baru ini belum
dikenal oleh orang-orang terdahulu, sehingga permasalahan ini belum terselesaikan.
Lebih dari itu, ada sebagian peristiwa atau persoalan lama yang terjadi dalam kondisi
dan sifat yang dapat mengubah tabi’at, bentuk dan pengaruhnya. Sehingga hukum atau fatwa
yang ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu tidak relevan lagi. Hal yang demikian itu,
memotivasi mereka (mujtahid) untuk merevisi fatwa lantaran berubahnya masa, tempat, adat-
istiadat dan kondisi.
Dengan demikian, kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat
kontinyu, dimana realita kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun kondisi masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Dan selama syariat islam itu tetap relevan
bagi setiap tempat dan zaman, serta selama syariat islam itu menjadi “kata pemutus” atas setiap
persoalan ummat manusia.
Maka dalam permasalahan ini, kami akan membahas mengenai salah satu bentuk
Ijtihad yang dipakai oleh muhammadiyah, yang dirasa cukup relevan untuk menghadapi
masalah – masalah yang muncul di era modern ini, lebih spesifiknya mengenai Ijtihad jama’iy/
ijtihad kolektif serta beberapa prinsip yang dianut dalam Muhammadiyah. Pembahasan ini
diambil dari Ruang lingkup pemahaman muhammadiyah, bukan dalam pengertian global.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana pengertian dan mekanisme dalam ijtihad Jama’iy?


b. Apa yang dimaksud dengan prinsip tidak terikat kepada suatu mazhab dalam
Muhammadiyah?
c. Apa yang dimaksud dengan prinsip terbuka, toleran dan dinamis dalam Muhammadiyah ?
d. Apa yang dimaksud dengan memudahkan dalam amalan agama (taysir) dalam
Muhammadiyah?
1.3 Tujuan

a. Untuk memahami pengertian dan mekanisme ijtihad jama’iy, serta prinsip-prinsip dalam
berijtihad yang diterapkan dalam Muhammadiyah.
b. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Manhaj Tarjih.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ijtihad Jama’iy (pengertian dan mekanismenya)

Sejak awal didirikannya pada th.1912 Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi
yang senantiasa melakukan kegiatan ijtihad untuk menyelesaikan berbagai masalah. Memang
disadari, bahwa berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengetahui ilmu-ilmu
keislaman dan ilmu-ilmu lainnya akan semakin mudah, tapi disisi lain justru semakin ketatnya
spesialisasi dalam berbagai disiplin ilmu. Hal ini akan berpengaruh terhadap penguasaan
seseorang tentang aneka macam ilmu pengetahuan termasuk Islam. Karena itu dapat dikatakan
bahwa persyaratan ijtihad akan sulit terwujud pada seseorang. Jalan keluarnya, maka sekarang
ijtihad tidak lagi mengambil ijtihad perorangan, melainkan dalam bentuk kolektif yang terdiri
dari para ahli dibidang masing-masing. Kelompok ini terdiri dari berbagai ahli dibidang agama
islam, dengan segala pembidangannya dan ahli dalam ilmu lain yang erat kaitannya, baik
langsung ataupun tidak langsung dengan masalah yang dibahas. Itulah yang disebut
dengan Ijtihad Jama’i. karena, hampir dapat dipastikan bahwa ijtihad perorangan (ijtihad
fardi) sulit untuk dilakukan lagi pada masa sekarang.
Dalam menetapkan masalah ijtihadiyah Muhammadiyah menggunakan sistem ijtihad
jama’iy. Segala persyaratan ijtihad, yang dirumuskan oleh para ahli ushul fiqh, telah dipenuhi
Muhammadiyah secara kolektif(jama’iy) tidak individual. Dengan demikian pendapat
perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang sebagai pendapat majelis.
Semula Muhammadiyah melakukan ijtihad intiqa’i atau disebut juga ijtihad tarjihi, yang
lebih bersifat ijtihad fardi/individual, hal ini karena masalah yang dipecahkan masih dalam
kisaran ibadah mahdah. Namun dalam perkembanganya sejak tahun 1968, kegiatan ijtihad
dalam Muhammadiyah sudah mengarah kepada ijtihad insya’i atau ijtihad ibtida’i, yang
dalam hal ini bersifat ijtihad jama’iy/kolektif, Ijtihad dalam bentuknya yang terakhir itu
dilakukan oleh muhammadiyah terhadap masalah-masalah baru yang muncul, sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun pengertian dan mekanisme ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i adalah sebagai
berikut:

1. Ijtihad Intiqa’i atau Ijtihad Tarjihi

Ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjihi adalah ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-
masalah tertentu sebagaimana tertulis dalam berbagai kitab fiqih, kemudian menyeleksi mana
yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang ini, hal ini karena
kemungkinan besar pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah yang sedang
dipecahkan berbeda-beda.
Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahlu al-tarjih pada masa kebangkitan kembali ilmu fiqih
berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran ilmu tersebut. Pada masa yang disebut
terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat
para ahli fiqih di lingkungan mazhab tertentu. Artinya ruang lingkup tarjih hanya berlaku
dikalangan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyyah, dan lain-lain. Sedangkan
tarjih pada masa kebangkitan kembali ilmu fiqih ruang lingkupnya jauh lebih luas dari tarjih
sebelumnya. Tarjih pada periode ini berarti menyeleksi berbagai pendapat, dari madzhab apa
pun ia berasal, kemudian diambil satu pendapat yang rajih, yang paling kuat berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria bahwa dinyatakan rajih adalah bahwa pendapat tersebut
disertai dalil yang kuat serta harus dilihat apakah pendapat itu cocok dengan zaman sekarang,
dan terlebih lagi harus dilihat kesesuaian pendapat itu sesuai dengan tujuan disyari’atkannya
hukum dalam islam (maqasid al-syari’at). Dalam pelaksanaan ijtihad intiqa’i ini diperlukan
analisis yang cermat terhadap masalah yang sedang dikaji. Analisis tidak terbatas pada dalil-
dalil dan argumentasi yang dikemukakan para ahli fiqih terdahulu, melainkan juga harus dilihat
relevansinya dengan masa sekarang.
Sebagai ilustrasi, berikut ini akan dilihat masalah yang berhubungan dengan talak atau
perceraian. Menurut mayoritas ulama ahli fiqih, termasuk madzhab yang empat, talak
dinyatakan jatuh apabila diucapkan oleh suami kepada isterinya dalam keadaan sadar dan atas
kehendaknya sendiri, tanpa harus tergantung pada adanya saksi. Akan tetapi menurut ahli fiqih
dari golongan syi’ah, talak baru dianggap terjadi kalau disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil. Agaknya untuk masa sekarang pendapat syi’ah itu dengan segala modifikasinya lebih
dapat diterima.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, talak baru
dianggap terjadi kalau dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama. Al-Qur’an baik secara
langsung atau tidak, menyatakan bahwa talak merupakan “jalan terakhir” untuk menyelesaikan
persoalan suami isteri. Hadis Nabi juga menguatkan pernyataan diatas. Nabi pernah
menyatakan, bahwa talak itu merupakan perbuatan yang halal tetapi dibenci oleh Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Islam tidak mengiginkan terjadinya
perceraian, namun dalam keadaan tertentu hal itu dibenarkan. Apabila dalam pelaksanaan talak
disyaratkan dengan adanya saksi, seperti pendapat ahli fiqih syi’ah, maka suami akan berpikir
dengan sebaik-baiknya sebelum menjatuhkan talaknya. Tetapi jika tidak demikian,
kemungkinan suami akan menggunakan haknya untuk menjatuhkan talak dengan semaunya
sendiri akan semakin besar.

2. Ijtihad Insya’i

Ijtihad insya’i adalah usaha untuk mengambil kesimpulan hukum mengenai peristiwa-
peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqih terdahulu. Dalam ijtihad ini
diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan
hukumnya. Tanpa mengetahui secara baik apa dan bagaiamana kasus yang baru itu maka akan
sulit bagi mujtahid untuk dapat menetapkan hukumnya dengan baik dan benar. Jadi untuk
menghadapi permasalahan yang baru muncul diperlukan pengetahuan mengenai permasalahan
yang akan dibahas.
Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia.
Guna menetapkan hukumnya maka perlu didengar terlebih dahulu pendapat ahli dalam bidang
kedokteran, khususnya ahli bedah. Dari sini akan diperoleh informasi mengenai cara dan
mekanisme pencangkokan organ tubuh itu. Setelah diketahui secara jelas perihal
pencangkokan organ tubuh itu, barulah dibahas dari berbagai disiplin ilmu agama islam, untuk
kemudian diambil kesimpulan hukumnya.
Dalam ijtihad insya’i juga diperlukan pemahaman yang baik mengenai metode penetapan
hukum. Ada beberapa metode yang telah dikemukakan oleh para ahli dibidang ilmu ushul fiqih
terdahulu. Diantara metode itu adalah qiyas, istihsan, maslahat mursalat, dan saddu al- zari’at.
Serta perlu diperhatikan pula tentang tujuan disyari’atkannya hukum (maqasid al-
syari’at), sebab pada dasarnya semua metode penetapan hukum dalam islam bermuara pada
hal tersebut.

2.2 Prinsip Tidak Terikat Kepada Suatu Madzhab

Dalam ijtihadnya, Muhammadiyah tidak mengikatkan dirinya kepada imam madzhab


tertentu. Namun kemandiriannya dalam berijtihad tidak berarti melepaskan sama sekali dari
cara berpikir atau manhaj yang telah dipergunakan oleh para ahli fiqih terdahulu. Kitab-kitab
tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis beserta penjelasannya, baik klasik maupun
kontemporer, dijadikan rujukan utamanya. Pendapat ahli fiqih terdahulu dijadikan pembanding
atau penunjang dalam menetapkan hukum mengenai kasus-kasus tertentu.
Majelis Tarjih Muhammadiyah menerima prinsip penggunaan ijma’ dan qiyas sebagaimana
dengan Hanabilah. Kemudian Muhammadiyah juga menerima konsep istihsan yang
dikembangkan oleh Abu Hanifah, dan memakai konsep saddu al-zaria’at dan konsep lain yang
dikembangkan oleh imam Syafi’i. Dengan demikian tidak terlihat adanya keterikatan
Muhammadiyah terhadap madzhab tertentu, melainkan ia berusaha menerima dan
mengembangkan manhaj istinbath yang telah dikemukakan oleh ahli fiqih terdahulu, dari
madzhab manapun pendapat atau atau teori itu berasal. Selain itu kesesuaiannya dengan jiwa
Al-Qur’an dan Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat merupakan hal yang sangat
diperhatikan. Dilihat dari segi pengembangan ilmu ushul fiqih, khususnya dalam
menghubungkan prinsip maqasid al-syari’at dengan beberapa metode ijtihad, maka
Muhammadiyah dapat dianggap sebagai ‘mujtahid mu’ashir’ (mujtahid kontemporer) yang
telah berusaha mengembangkan teori ijtihad maqashidi dalam ilmu ushul fiqih.

2.3 Prinsip Terbuka, Toleran, dan Dinamis

Muhammadiyah dalam berijtihad memiliki prinsip terbuka dan toleran, artinya tidak
menganggap bahwa hanya keputusan Majelis Tarjihlah yang paling benar. Keputusan diambil
atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapat ketika putusan diambil.
Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil yang lebih kuat.
Dengan demikian Majelis Tarjih dimungkinkan merubah keputusan yang pernah ditetapkan.
Kehidupan yang terjadi dalam masyarakat terus mengalami perubahan. Perubahan ini
terkait dengan pola pikir, tata nilai, serta ilmu pangetahuan dan teknologi. Perubahan yang
terjadi ini dapat menimbulkan masalah, terutama apabila kegiatan itu dihubungkan dengan
norma-norma agama. Akibatnya pemecahan atas masalah-masalah tersebut sangatlah
dibutuhkan, sehingga syari’at Islam dapat dibuktikan tidak bertentangan dengan kamajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu dapat diyakini bahwa syari’at islam sesuai
untuk setiap masyarakat, sebagaimana Al-Qur’an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan
ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah untuk seluruh umat manusia,
dimanapun dan kapanpun mereka berada. Inilah bukti bahwa islam senantiasa dinamis dalam
menghadapi permasalahan hukum untuk menjawab kebutuhan umatnya. Ini pula yang menjadi
salah satu prinsip Muhammadiyah yang sejalan pula dengan indentitas Muhammadiyah yang
dikenal sebagai gerakan tajdid. Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya, telah berusaha
untuk mengikuti perkembangan pemikiran keislaman dan sekaligus memberikan
tanggapannya, dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah al-Shahihah yang menjadi sumber serta
rujukan. Artinya segala persoalan yang muncul pada saat ini harus dikembalikan kepada dua
sumber tersebut. Disinilah kemudian Muhammadiyah memandang bahwa ijtihad sangatlah
diperlukan, karena memiliki peranan yang sangat strategis dalam menyelesaikan berbagai
masalah hukum islam kontemporer.
Ijtihad dalam Muhammadiyah bukan saja boleh, melainkan harus dilakukan, terutama
dalam menghadapi berbagai masalah yang baru sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tanpa melakukan ijtihad menurut Muhammadiyah, umat islam akan sulit
menyelesaikan berbagai macam masalah kontemporer. Namun demikian bagi Muhammadiyah
ijtihad hanyalah sekedar hasil pemikiran manusia dalam memahami wahyu Allah. Karena itu
hasil ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang bersifat relatif, tidak mutlak
benar, sebagaimana mutlaknya kebenaran wahyu. Ijtihad tidak lebih dari sekedar metode untuk
menggali serta menetapkan hukum. Dalam metode ijtihadnya Muhammadiyah menerima
qiyas, istihsan, Al-Maslahat Al-Mursalat, dan Saddu Al-Zari’at, yang kesemuanya bermuara
pada maqasid al-syari’at.
Wujud nyata Muhammadiyah dalam menanggapi permasalahan ummat sekarang ini
terlihat dari beberapa putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah terkait dengan berbagai masalah
fiqih kontemporer, diantaranya yaitu: KB, Sterilisasi (proses pemandulan bagi laki-laki atau
wanita), Bayi Tabung, Pencangkokan Jaringan Atau Organ Tubuh, Bunga Bank, Perkawinan
Antar Pemeluk Agama, dsb.

2.4 Prinsip Memudahkan Dalam Amalan Agama (taysir)

Yang dimaksud dengan prinsip al-taysir adalah pemahaman dan pelaksanaan ajaran
agama dengan makna yg luas dan tidak sempit, sehingga mudah mengamalkannya tanpa
diberat-beratkan. Mudah mengamalkan ajaran agama maknanya mengamalkan agama itu
sesuai yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak menambah-nambah yg akan
diberikan. Memberatkan pelaksanaan agama tersebut adalah takalluf. Yang
disebut takalluf adalah melaksanakan agama dengan menambah-nambah perbuatan yang
diperintahkan yang akan membuat pelaksaannya lebih berat.

1. Dasar prinsip memudahkan (taysir)

a. Al-Baqarah/2 ayat 286 :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat


pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami
lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri
ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka
tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”
b. Al-A’raf/7 ayat 32 :

“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
disediakan untuk hamba-hambaNya dan rezeki yang baik-baik?’ Katakanlah, ‘Semua itu untuk
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari
kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.”
c. Al-Baqarah/2 : 185.
d. As Sunnah/al-Hadis riwayat Bukhari-Muslim dari Anas:
“Mudahkanlah jangan kamu mempersulit/mempersusahkan dan gembirakanlah dan jangan
kamu membuat orang lain lari”. (Bukhari-Muslim)
Juga Hadis Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, menyebutkan:
“Sesungguhnya agama itu ringan. Dan tiada seseorang yang memberat-mberatkan agama
melainkan ia dikalahkan agama. Maka hendaklah kamu sekalian menjalankan agam itu
dengan lurus. Berdekat-dekatlah dan mbergembiralah dan memohonlah pertolongan diwaktu
pagi, sore dan sebagian diwaktu malam” (HR. Bukhari).
Dari Hadis yang pertama dapat kita pahami bahwa dalam melaksanakan agama
hendaknya kita menempuh jalan yang mengembirakan, tidak mempersulit. Dengan demikian
kita akan melaksanakan agama itu dengan gembira dan penuh kesadaran. Sedang pada hadis
yang kedua, kita dapati makna yang menganjurkan kita dalam pengamalan agama itu tidak
mempersukar, yg akan membawa seseorang menjadi jenuh. Mengamalkan ajaran agama
sebagaimana adanya dan tidak menambah-nambahi yg akan memberatkan, yg disebut takalluf.

2. Muhammadiyah dan Prinsip Taysir

Sejak awal berdirinya Muhammadiyah prinsip ini telah dipegangi dalam arti seseorang
yang akan melaksanakan ajaran islam itu tidak dibebani pelaksanaan yang dicampuri
keyakinan yang tidak benar, adat istiadat yang bukan agama, yang dikenal dengan TBC. Hal
ini akan memberatkan dalam pelaksanaan agama islam yang sebetulnya mudah dan ringan.
Karenanya awal berdirinya Muhammadiyah sebagai organisasi, memberikan ajakan agar umat
islam daerah istimewa yogyakarta dan warga Muslim Indonesia, mereka bergembira
menjalankan agama islam karena mudah dan sederhana.
Contoh, yang diajarkan dalam melaksanakan agama yang tidak dicampuri hal-hal yg
memberatkan, seperti dalam melaksanakan upacara-upacara kehidupan sehari-hari misalnya,
menjelang kelahiran seorang anak. Menurut adat seseorang yg mengandung 7 bulan misalnya
keluarga itu mempunyai rasa kewajiban untuk melakukan upacara dengan mengeluarkan biaya
yg cukup besar yang disebut “mitoni”. Padahal itu secara eksplisit tidak dianjurkan dalam
islam, yg dianjurkan secara umum adalah syukuran. Itupun tidak ditentukan hanya bulan
ketujuh. Sehingga Muhammadiyah memberikan penjelasan agar tidak perlu dibesar-besarkan,
akan lebih baik kalau dilakukan doa dengan tiada henti-hentinya agar bayi yang ada dalam
kandungan nanti lahir dengan selamat dan sehat. Disamping itu Muhammadiyah menganjurkan
agar keluarga itu memperhatikan bayi yang lahir nanti baik jasmaniyah maupun rohaniyahnya,
sesuai dengan tuntutan ilmu kesehatan.
Prinsip al-taysir ini pernah dikemukakan oleh KH. Mas Mansur yg tersebut dlm langkah
ke dua dari 12 langkah yg telah dibentangkan olehnya pada pengajian malam selasa th 1938-
1940. Kemudian ditegaskan oleh pimpinan pusat Majelis Tarjih dalam siarannya kepada
Majelis Tarjih wilayah untuk dijadikan acuan yang berjudul “Pokok-pokok Manhaj Tarjih”
sekitar tahun 1986. dengan memahami prinsip ini tidak perlu berlebih-lebihan (takalluf) dalam
pengamalan agama, setelah ibadah setelah kita mendapatkan nash-nash baru dalam hadis.
Contohnya adanya pelaksanaan shalat berjamaah yang mendasarkan pada anjuran Nabi Saw
untuk merapatkan badan dan kaki pada waktu melakukan shalat berjama’ah oleh sebagian
warga Muhammadiyah yang belum atau yang kurang memahami prinsip ini pada waktu
seseorang peserta shalat jama’ah pada raka’at kedua atau berikutnya tidak mendapatkan
kerapatan kaki dengan jama’ah lain, ia berusaha melangkahkan kakinya untuk mengejar
kerapatan kakinya itu dengan kaki jama’ah yang lainnya, sehingga shalatnya menjadi tidak
khusyu’.
Prinsip taysir dan pemahaman agama Islam lebih luas bisa kita amalkan dalam
melakukan pelaksanaan shalat tarawih yg sebelas rakaat itu dapat dilakukan dengan empat,
empat, tiga/dua, dua, dua, dua, dan tiga sesuai dengan keputusan Muktamar tarjih di pencongan
Pekalongan tahun 1972. Tuntutan demikian didasarkan pada hadis-hadis shahih yang ada.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Ijtihad Jama’iy adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang ahli dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan (ahli dibidang agama Islam, dengan segala pembidangannya dan ahli dalam
ilmu lain yang erat kaitannya, baik langsung ataupun tidak langsung dengan masalah yang
dibahas).
2. Tidak mengikatkan dirinya kepada imam madzhab tertentu, namun kemandiriannya dalam
berijtihad tidak berarti melepaskan sama sekali dari cara berpikir atau manhaj yang telah
dipergunakan oleh para ahli fiqih terdahulu. Kitab-kitab tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis
beserta penjelasannya, baik klasik maupun kontemporer, dijadikan rujukan utamanya.
Pendapat ahli fiqih terdahulu dijadikan pembanding atau penunjang dalam menetapkan hukum
mengenai kasus-kasus tertentu.
3. Prinsip terbuka, toleran dan dinamis artinya tidak menganggap bahwa hanya keputusan
Majelis Tarjihlah yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang
dipandang paling kuat yang didapat ketika putusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan
diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil yang lebih kuat.
4. Prinsip al-taysir adalah pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama dengan makna yg luas dan
tidak sempit, sehingga mudah mengamalkannya tanpa diberat-beratkan. Mudah mengamalkan
ajaran agama maknanya mengamalkan agama itu sesuai yang diperintahkan dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunnah tidak menambah-nambah yg akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos, Jakarta, 1995.
Abdurrahman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Anda mungkin juga menyukai