Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

IJTIHAD SEBAGAI SUATU KENISCAYAAN

DOSEN PEMBIMBING : Muhammad Taufan M.Ag

DI SUSUN

OLEH :

KELOMPOK 3

1. SENI
2. NURWATI
3. AKBAR AL-JANAH

KELAS : 1B KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) YAHYA BIMA


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah mata kuliah “ Agama “. Makalah ini di
buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama. Terima kasih kepada bapak
Muhammad Taufan M.Ag selaku dosen mata kuliah sekaligus dosen pembimbing.
Terima kasih kepada anggota kelompok yang telah membantu menulis dan
menyelesaikan makalah ini.Kami dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu penulis akan sangat menghargai
kritikan dan saran untuk membangun makalah ini lebih baik lagi. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bima, 20 September 2023


DARTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………….………….….i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………...........…...iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ………………………………………………………….…1
1.2 Rumusan masalah ………………………………………………….............1
1.3 Tujuan……………………………………………………………...........….1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad…………………………………………………………. 2
B. Hukum berijtihad…………………………………………………………. 2
C. Macam-macam hukum ijtihad……………………………………………. 3
D. Fungsi ijtihad……………………………………………………………... 3
E. syarat-syarat untuk berijtihad……………………………………………...3
F. Metode dalam berijtihad……………………………………………...….. 4
G. Contoh ijtihad……………………………………………………………. 5

BAB III PENUTUP


3.1 kesimpulan…..…………………………………………………………….. 8
3.2 DAFTAR PUSTKA………………………………………………………. 9
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Syariat Islam sebagai sumber hukum Islam merupakan sebuah kaidah tatanan
kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya yang
diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai kaidah langsung dari Allah
tersebut, dalam pelaksanaannya, manusia baik disadari maupun memerlukan
penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain karena syariat Islam sebagai
“hukum Tuhan” akan sulit dicerna oleh manusia yang kemampuannya terbatas,
sehingga untuk dapat mengaplikasikannya maka diperlukan penafsiran-penafsiran
yang tepat dan sesuai.
Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh
umat Islam sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam dinamis,
sesuai dengan tempat dan zaman.
Ijtihad muncul disebabkan karena adanya masalah-masalah yang kontemporer
dimana nash-nash atau dalil tidak membicarakannya secara khusus.
Makalah ini bermaksud membahas terhadap salah satu keilmuan Islam yaitu
metode ijtihad dilihat dari sudut pandang epistemologinya. Yakni tentang strukrtur,
metode, dan cara kerja ilmu fiqih ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
2. Apa hukum berijtihad ?
3. Apa saja hukum ijtihad?
4. Apa saja fungsi ijtihad
5. Apa saja syarat-syarat untuk berijtihad ?
6. Bagaimana metode dalam berijtihad ?
7. Apa saja contoh ijtihad ?

C. TUJUAN
Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang Ijtihad sebagai keniscayaan
dalam Islam dan juga mahasiswa mampu menjelaskan bagaimana hukum, fungsi,
syarat-syarat, dan metode dalam beritjihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad

Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann


untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak
diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata ijtihad berasal
dari bahasa Arab ialah dari kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau usaha yang
keras”. Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”.
Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : adalah usaha maksimal dalam melahirkan
hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang
sungguh-sungguh dan mendalam.

Ijtihad menurut definisi ushul fiqih yaitu pengarahan segenap kesanggupan


oleh seorang ahli fiqih unutk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’
dan hukum syara’ menunjukan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang fiqih, bidang
hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan
nizhariy.

Pengertian-pengertian di atas jelas memberikan pandangan yang mendasar


bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh
individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat
melalui pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al Quran dan
Hadits.

Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan


ini disebut Mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mengerahkan segala daya dan
upayanya untuk hal tersebut.

B. Hukum Ijtihad

Ulama berpendapat bahwa jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa,
atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’ , maka
hukum ijtihad bagi orang tersebut bisa wajib ‘ain, wajib kifayah,sunah, atau
haram, tergantung pula kapasitas orang tersebut.

Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri yang mengalami
peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash, maka hukum ijtihadnya
menjadi wajib ‘ain. Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtihad
yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia
mengkhawatirkan peristiwa itu hilang dan selain dia masih ada mujtahid lainnya,
maka hukum ijtihadnya menjadi wajib kifayah. Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunah
jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak ada atau belum terjadi. Keempat,
hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qathi’ , baik dalam Al-Quran maupun al-Sunah atau ijtihad yang
hukumnya telah ditetapkan secara kesepakatan ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9
dan Muhaimin dkk, 1994:189).

C. Fungsi Ijtihad

Di dalam Ijtihad juga mempunyai beberapa fungsi, yakni sebagai berikut :

1. Sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur'an.


2. Sebagai sarana pemecahan masalah yang baru.
3. Guna menyelesaikan masalah baru agar tidak bertentangan dengan Al-Qur'an
dan sunah.
4. Membuka wacana berpikir dalam mencari jawaban atas permasalahan-
permasalahan kontemporer.

D. Syarat-syarat ijtihad

Para ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad. Dalam hal ini Sya’ban Muhammad
Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut :

1. Mengetahui Bahasa Arab

Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab
Al Quran diturunkan dengan bahasa arab, dan Al Sunnah juga dipaparkan dalam
bahasa arab. Keduanya merupakan sumber utama hukum islam, sehingga tidak
mungkin seseorang bisa mengistinbatkan hukum islam tanpa memahami bahasa arab
dengan baik.

2. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran

Mengetahui Al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya, ini sangat
diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Quran merupakan sumber utama hukum
syara’, sehingga mustahil bagi seseorang yang ingin menggali hukum-hukum syara’
tanpa memeiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Quran.
3. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah

Pengetahuan tentang Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus dimiliki
oleh seorang mujtahid. Sebab Al Sunnah merupakan sumber utama hukum syara’
disamping Al Quran yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya. Pengetahuan yan
terkait dengan Al Sunnah ini yang terpenting antara lain mengenai dirayah dan
riwayah, asbabul wurud dan al-jarh wa ta’dil.

4. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf

Pengetahuan tentang hal-hal yang telah disepakati (ijma’) dan hal-hal yang masih
diperselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Hal ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang bertentangan
dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik sahabat, thabi’in, maupun generasi setelah
itu. Oleh karena itu sebelum membahas suatu permasalahan, seorang mujtahid harus
melihat dulu status persoalan yang akan dibahas, apakah persoalan itu sudah pernah
muncul pada zaman terdahulu atau belum, jika persoalan itu belum pernah muncul
sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah
tersebut.

5. Mengetahui Maqashid al-Syariah

Pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan bagi seorang mujtahid,


hal ini disebabkan bahwa semua keputusan hukum harus selaras dengan tujuan syariat
islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada alam semesta,
khususnya kemaslahatan manusia.

6. Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar

Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus dimilki
oleh seorang mujtahid agar produk-produk ijtihadnya bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.

7. Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih

Penguasaan secara mendalam tentang ushul fiqih merupakan kewajiban bagi setiap
mujtahid. Hal ini disebabkan bahwa kajian ushul fiqih antara lain memuat bahasan
mengenai metode ijtihad yang harus dikuasai oleh siapa saja yang ingin beristinbat
hukum.

8. Niat dan I’tikad yang benar


Seorang mujtahid harus berniat yang ikhlas semata-mata mencari ridho Allah. Hal ini
sangat diperlukan, sebab jika mujtahid mempunyai niat yang tidak ikhlas sekalipun
daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat besar,
sehingga berakibat pada kesalahan produk ijtihadnya.

E. Metode Ijtihad

Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Metode atau cara berijtihad
adalah :

1. Ijma

Ijma, adalah persetujuan atau kessuaian pendapat para ahlu mengenai suatu
masalah pada suatu tempat disuatu masa.Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang
dilakukan para ulama dengan cara berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul
suatu kesepakatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Keputusan bersama
ini tentu saja tidak begitu saja dilakukan, semua harus bersumber pada Al-Quran
dan juga hadits. Hasil dari ijtihad ini sering kita sebut sebagai fatwa, dan fatwa
inilah yang sebaiknya diikuti oleh umat Islam. Kesepatan dari para ulama ini tentu
saja merupakan hasil akhir dari berbagai diskusi yang telah dilakukan, sehingga
semestinya tidak mengandung pertentangan lagi.

2. Qiyas

Salah satu macam ijtihad adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi
permasalahan dengan cara mencari persamaan antara masalah yang sedang
dihadapi dengan yang ada di dalam sumber agama (Al-Quran dan hadits). Bila
masalah yang sedang dihadapi dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab
suci maupun hadits, maka para ulama akan menggunakan hukum yang ada di
dalam sumber agama tersebut untuk menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah
pula mencari kemiripan satu masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang
terjadi pada masa lalu. Di sinilah sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang
melakukan ijtihad diperlukan memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan
masalah-masalah lain yang terkait dengannya.

3. Istihsan

Istihsan adalah salah satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama
untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan
mengeluarkan suatu argumen beserta fakta yang mendukung tentang suatu
permasalahan dan kemudian ia menetapkan hukum dari permasalahan tersebut.
Dalam penetapan hukum ini bisa jadi pada akhirnya akan memunculkan
pertentangan dari yang tidak sepaham.

4. Istishab

Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka


agama dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu
hari nanti ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka
hukum yang semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam
koridor agama Islam yang benar.

5. Maslahah murshalah

Salah satu dari macam ijtihad yang juga dilakukan untuk kepentingan umat
adalah maslahah murshalah. Jenis ijtihad ini dilakukan dengan cara memutuskan
permasalahan melalui berbagai pertimbangan yang menyangkut kepentingan
umat. Hal yang paling penting adalah menghindari hal negatif dan berbuat baik
penuh manfaat.

6. Urf
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang
berhubungan dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat
memang tak bisa dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita. Ijtihad
inilah yang menetapkan apakah adat tersebut boleh dilakukan atau tidak. Apabila
masih dalam koridor agama Islam, maka boleh dilaksanakan. Namun bila tidak
sesuai dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan.

F. Contoh Ijtihad

Menurut riwayat Ibn ‘Abbas, ada sekelompok kambing telah merusak


tanaman pada waktu malam. Pemilik tanaman mengadukan hal ini kepada nabi
Dawud as. Ia memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada
pemilik tanaman sebagai ganti tanaman yang rusak. Tetapi nabi Sulaiman
memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik
tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan pemilik kambing diharuskan mengganti
tanaman itu dengan tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat
diambil hasilnya, pemilik kambing itu boleh mengambil kembali kambingnya .
Keputusan nabi Sulaiman inilah keputusan yang lebih tepat. Kebijakan nabi Sulaiman
ini merupakan ijtihad beliau dalam memutuskan sebuah hukum. Imam al-Syāfi’ī
(150-204 H) dalam al-Risālah mengatakan bahwa landasan dari ijtihad ini adalah Qs.
Al-Baqarah: 150, yang berbunyi, “Dan dari manapun engkau (Muhammad)
keluar,maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja engkau
berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu.” Beliau menjelaskan bahwa ilmu
yang menyatakan bahwa orang yang menghadapkan arahnya ke Masjidil haram dari
orang yang meninggalkan rumahnya, menunjukan kebenaran adanya ijtihad untuk
menghadapkan arah shalat ke Baitullah dengan petunjuk-petunjuknya, karena orang
yang mukallaf waktu itu pada dasarnya tidak tahu apakah ia benar menghadap ke
Masjidil Haram ataukah salah?.

Diantaranya pula yang berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang


diriwayatkan dari Amr ibn al-‘Āsh,

‫د‬MM‫اد عن محم‬MM‫امة بن اله‬MM‫د هللا بن أس‬MM‫ أخبرنا عبد العزيز بن محمد عن يزيد ابن عب‬.‫حدثني يحيى بن يحيى التميمي‬
‫ول هللا‬MM‫مع رس‬MM‫ه س‬MM‫ أن‬:‫اص‬MM‫ عن عمرو بن الع‬,‫بن إبراهيم عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص‬
‫ ثم أخطأ فله أجر‬M‫ إذا حكم الحاكم فاجتهد‬: ‫ إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و‬:‫صلى هللا عليه وسلم قال‬.

“...Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua
pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.”

Kemudian hadits yang menjelaskan mengenai pengutusan Muadz ibn Jabal ke


Yaman untuk menjadi hakim oleh Rasulullah SAW.,

‫ل‬MM‫حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أه‬
‫ كيف‬:‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال‬:‫حمص من أصحاب معاذ بن جبل‬
‫لى‬M‫ول هللا ص‬M‫نة رس‬M‫ فبس‬:‫ال‬M‫ فإن لم تجد في كتاب هللا؟ ق‬:‫ قال‬.‫ أقضي بكتاب هللا‬:‫تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال‬
‫رأيي وال‬MM‫د ب‬MM‫ أجته‬:‫ال‬MM‫ فإن لم تجد في سنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وال في كتاب هللا؟ ق‬:‫ قال‬.‫هللا عليه وسلم‬
‫ الحمد هلل الذي وفق رسول هللا لما يرضى رسول هللا‬:‫ فقال‬.‫ فضرب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صدره‬.‫آلو‬.

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “


Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu
perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-
Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam
Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak
menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab:
Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan
apa yang diridhai Rasūlullāh.”

Landasan berijtihad juga dapat ditemukan dalam riwayat yang menceritakan


dua sahabat yang telah berijtihad ketika keduanya mengadakan perjalanan, dimana
ketika itu waktu shalat sudah datang, namun keduanya tidak menemukam air.
Kemudian keduanya shalat (dengan bertayamum), tidak lama kemudian setelah
keduanya selesai melakukan shalat, keduanya menemukan air. Maka salah seorang
mengulangi shalatnya. Sedang yang satu lagi tidak mengulanginya. Ketika hal itu
diadukan kepada Rasulullah, beliau membenarkan keduanya, seraya beliau berkata
kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Engkau sesuai dengan sunnah, dan
shalatmu mendapat pahala.” Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya, ia
berkata: “Bagimu dua pahala.”

Kemudian ada taqrīr (sikap diam tanda setuju) Rasulullah SAW. kepada ‘Amr
ibn ‘Ash ketika ia shalat dalam salah satu sariyyah. beserta sahabatnya. Dikatakan
bahwa ‘Amr junub, tetapi ia tidak mandi, bahkan cuma tayammum saja karena
malam itu sangat dingin. Maka hal itu diadukan kepada Rasulullah SAW., dan ‘Amr
berargumen bahwa ia tidak mandi, tapi hanya tayammum karena ia teringat firman
Allah Ta’ala, “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah
Maha Penyayang atas kalian.”

Cara berijtihad ini diikuti pula oleh para sahabat dan generasi selanjutnya
setelah wafatnya Rasulullah SAW., sebagai ciri khas yang selaras dalam
menyimpulkan suatu hukum syar’i yang ditetapkan di dalam Islam. Mereka
senantiasa menggunakan ijtihad, jika tidak ditemukan suatu kejelasan hukum suatu
masalah di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sudah menjadi ijma’ para sahabat
yang diikuti oleh segenap ‘Ulama Islam dalam berbagai madzhab.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann


untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak
diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata ijtihad
berasal dari bahasa Arab ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau
usaha yang keras”.Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau
memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : adalah usaha
maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui
pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Hukum berijtihad adalah wajib ain dan wajib kifayah. Sebagai imbalan jerih
payah seorang mujtahid dalam berijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan
diberi Tuhan satu pahala, akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan
dapat pahala ganda. Satu pahala sebagai imbalan jerih payahnya dan satu pahala
yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya.
Syarat-syarat berijtuhad adalah : Mengetahui bahasa arab, mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran, memiliki pengetahuan yang
memadai tentang Al Sunnah, mengetahui letak ijma’ dan khilaf, mengetahui
Maqashid al-Syariah, memiliki pemahaman dan penalaran yang benar, memiliki
pengetahuan tentang Ushul Fiqih, niat dan i’tikad yang benar.
Metode dalam ijtihad : ijma, qiyas, istidlal, mashlaha mursalah, istihsan,
istishab, urf. Fungsi ijtihad adalah sebagai sebagai sumber hukum ketiga setelah
Al-Qur'an, sebagai sarana pemecahan masalah yang baru, untuk menyelesaikan
masalah baru agar tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah serta membuka
wacana berpikir dalam mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan
kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa Tim
Media
Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008,

Razak Nasaruddin, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1985

Saiban Kasui, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005

Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996

Yahya, Muktar dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh


IslamBandung: PT Al-Ma’arif, 1983

Anda mungkin juga menyukai