Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SUMBER AJARAN ISLAM (IJTIHAD)

DOSEN PENGAMPU :
AMIR AMRI, L.C, M.H.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
Rahma Diyanti Shahfitri (21004086)
Risa Widia Putri (21004133)
Syahra Zulismi (21004141)

PENDIDIKAN AGAMA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat-Nya dan tidak lupa
bershalawat kepada Nabi besar yakni nya Nabi Muhammad SAW sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah banyak membantu berkonstribusi memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Makalah yang berjudul “Sumber Ajaran Islam yang ketiga(Ijtihad)” ini sangat
berharap semoga dapat menambah pengetahuan khususnya terkait sumber ajaran islam bagi para
pembaca dan bisa membagikan ilmu nya kepada masyarakat pada umumnya. Kami selaku
penyusun makalah ini merasa kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahun dan pengalaman kami. Untuk itu, kami sangat berharap kritik dan saran yang
membangun bagi para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 23 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………i


Daftar isi………………………………………………………………………………...ii
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………1
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………..1

BAB 2 Pembahasan
2.1 Konsep Ijtihad
a. Pengertian ijihad………………………………………………….........................2
b. Fungsi ijtihad……………………………………………………………………..3
c. Contoh ijtihad…………………………………………………………………….4
d. Unsur ijtihad……………………………………………………………………...4
e. Kedudukan ijtihad………………………………………………………………...7
f. Syarat Ijtihad……………………………………………………………………….7
2.2 Urgensi Ijtihad………………………………………………………………………8
2.3 Hukum ijtihad dan pahalanya……………………………………………………….9
2.4 Implementasi ijtihad pada persoalan kontemporer…………………………………10

BAB 3 Penutup
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………11
3.2 Saran………………………………………………………………………………...11

Daftar Pustaka

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah.
Situasi dan kondisi umat islam sekarang ini sangatlah berbeda dengan kondisi zaman nabi,
sahabat, maupun pada masa Imam madzhab terdahulu.Pengembangan intelektual dalam dunia
islam boleh dikatakan sudah malam berhenti. Meskipun ungkapan pintu ijtihad telah tertutup
sudah amat jarang terdengar, tetapi para pemikir umat islam sekarang tampaknya masih tetap
jera untuk berani berfikir. Akibatnya, islam yang dulu ditangan nabi merupakan aja\ran
revolusioner, sekarang ini mewakili aliran yang terbelakang.
Dalam memecahkan masalah ijtihadiyah,umumnya para mujtahid enggan meng-istibath hukum
secara langsung dari Al-Quran dan sunah melalui metode ijtihad yang telah terpakai para imam
pendahulu mereka. Mereka lebih suka mencari pada produk ijtihad para mujtahid sebelumnya,
meskipun hasil ijtihad tersebut disulap.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2. Apa hukum berijtihad dan bagaimana pahalanya?
3. Apa saja syarat- syarat untuk berijtihad?
4. Bagaimana metode dalam berijtihad?

1.3 Tujun penulisan


Untuk mengetahui tentang bagaimana ijtihad dalam islam , menambah wawasan penulis
dan pembaca mengenai ijtihad serta sekaligus untuk memenuhi sebagai nilai tugas mata
kuliah Pendidikan Agama.

1.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep ijtihad


a. Pengertian Ijtihad

Secara umum, ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat Islam dengan mencurahkan
semua pikiran dan tenaganya secara sungguh-sungguh. Jadi, dapat disimpulkan jika ijtihad
adalah penetapan sumber hukum Islam.

Istilah ijtihad sendiri berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang berarti
mengerahkan kemampuan dalam diri dalam menanggung beban. Sedangkan secara
terminologis, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan dalam mencari syariat dengan
memakai metode tertentu. Ijtihad dianggap sebagai sumber hukum Islam selain Alquran dan
hadist shahih. Oleh karena itu, ijtihad memegang peranan penting dalam proses penetapan
hukum islam. Adapun orang yang melakukan ijtihad dengan mujtahid, yakni orang ahli
tentang Al Quran dan hadits.
Ijtihad secara etimologi berasal dari kata yang Artinya : mencurahkan segala kemampuan
dengan optimal,dan mengerahkan segala kemampun dalam menyatakan sesuatu dengan
susah payah.
Sedangkan ijtihad secara terminologi;
 Definisi yang dikemukakan Khasbullah
Artinya ; usaha seorang faqih dengan sungguh-sungguh dalam menggali hokum Syara`
dari dalilnya, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu. Definisi yang
diketengahkan Aly Khasbullah ini menekankan pada seorang faqih untuk menggali hokum
Syara dari dalilnya .
 Definisi yang diketengahkan oleh al-Ghozali
Artinya upaya maksimal seorang mujtahid dalam memperoleh pengetahuan tentang
hukum-hukum Syara`.
2.
Definisi yag diketengahkan oleh al-Ghozali diatas lebih bersifat umum ,dan ditekankan pada
adanya upaya yang maksimal bagi seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum
Syara`.
 Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah
Artinya: upaya seorang faqih yang menggunakan seluruh kemampuanya untuk
menggali hukum yang bersifat `amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah ini lebih menekankan pada subyeknya adalah
seorang faqih dan lebih spesifik dari penjelasan sebelumnya yaitu pada hokum-hukum yang
bersifat `amaliah(praktis).
 Definisi yang diketengahkan oleh Abdul Whab Kholaf
Artinya; mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum Syara` Defini
yang diketengahkan oleh Abdul Wahab Kholaf ini hanya menekankan pada upaya secara
optilal untuk sampai kepada hokum Syara` dari dalil yang terperinci.
 Definisi yang diketengahkan oleh al-Amidi
Artinya; mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum Syara`yang bersifat
dzanni
sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu. Definisi yang
diketengahkan al-Amidi mengdentifikasikan bahwa objek ijtihad adalah masalah-masalah
yang bersifat dzanni, sehingga hasilnyapun tidak mutlak benar.

Dari definisi-definisi yang diketengahkan oleh para ulama ahli Ushul Fiqih diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa ijtihad adalah upaya optimal seorang faqih untuk menyatakan
suatu hukum yang bersifat amaliah/praktis dari dalil-dalil Syara`yang terperinci pada
masalah-masalah yang belum ada nash-nashnya yang dijelaskan secara eksplisit dalam al-
Qur`an dan nash-nash yang bersifat dzanni.

b. Fungsi Ijtihad
Dikutip dari buku Islamologi: Ijtihad karya Maulana Muhammad Ali (2011), fungsi
ijtihad antara lain adalah sebagai sumber hukum Islam dengan tujuan untuk
mendapatkan solusi hukum terhadap suatu persoalan yang perlu ditetapkan hukumnya,
namun hukum tersebut tidak terdapat dalam Alquran maupun hadist.
3.
Oleh sebab itulah, ijtihad mempunyai kedudukan dan legalitas yang tinggi di dalam
islam. Meski begitu, ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang karena harus
memenuhi berbagai syarat khusus.

c. Contoh Ijtihad
Salah satu contoh ijtihad adalah tentang besaran cukai yang dipertanyakan oleh pedagang
muslim pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat itu belum ditetapkan berapa
besaran cukai yang wajib dikenakan oleh pedagang asli yang sedang melakukan
perdagangan di wilayah mereka. Sayangnya jawaban dari pertanyaan tersebut belum ada
dalam Alquran dan hadist sehingga Khalifah Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk
menetapkan bahwa besaran cukai yang dibayarkan oleh pedagang, disamakan dengan tariff
yang juga dikenakan kepada pedangan muslim.

d. Unsur Ijtihad
Dari pengertian ijtihad diatas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Upaya optimal oleh seorang mujtahid/faqih
Ijtihad tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya upaya yang sunggu-sungguh dan
optimal seorang yang akan berijtihad dan dituntut untuk menguasai berbagai disiplin ilmu
yang diperlukan oleh karena itulah imam al-Ghozali dalam definisinya menyebut kata”
al-mujtahid”
2) Objek-objeknya
Dari pengertian diatas objek ijtihad adalah pada hukum-hukum yang bersifat
amaliah/praktis, yaitu dalam bidang fiqih saja, oleh karena itu masalah-masalah selain
fiqih seperti aqidah tidak termasuk objek ijtihad .hal ini menunjukan bahwa ijtihad yang
dilakukan ulama Ushul Fiqih bukan ijtihad yang bersifat holistik.
3) Nilai kebenarannya adalah dzanni
Kebenaran yang dihasilkan ijtihad tidak bersifat mutlak, oleh karena itu tidak
menutup kemungkinan produk yang dihasilkan oleh akal terdapat adanya kesalahan.
Disini dapat di ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW.sebenarnya bukan seorang
4.
mujtahid, sebab apa yang diketengahkan Nabi Muhammad SAW.nilai kebenarannya
adalah mutlak.
Unsur Ijtihad dari segi relevansi dan objek kajiannya
Ijtihad dilihat dari segi objek kajianya dan relevansinya dengan masalah-masalah
kontemporer.
Menurut al-Syathibi (w 770 H/1388 M), Tokoh Ulama Ushul Malikiyah membagi menjadi
dua:
o Ijtihad Istinbathi
Ijtihad istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan mendasarkan pada nash-nash Syara`dalam
meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. Dan hasil ijtihad yang
diperoleh tersebut selanjutnya menjadi tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan
hukum yang dihadapi . Oleh karena ijtihad ini berhadapan langsung dengan nash-nash Syara`
maka seorang mujtahid harus memenuhi persyaratan-persyaratan untuk berijtihad dengan
sempurna, karena sulitnya untuk mencapai persyaratan-persyaratan itu menurut al-Sathibi
mujtahid dalam ijtihad istinbath di zaman modern ini kemungkinan terputus. Khususnya
sekarang ini dengian diperketat dan dipersempitnya spesialisasi ilmu sehingga cenderung
seseorang hanya menguasai satu bidang ilmu saja. Berbeda dengan Ulama-ulama zaman
terdahulu pada umumnya menguasai berbagai bidang ilmu secara integral.
o Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad isthinbati mendasrkan pada nash-nash, maka ijtihad tathbiqi mendasarkan
pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan . Dalam hal ini seorang mujtahid mujtahid
berhadapan langsung dengan objek hukum dimana ide atau subtansi hukum dari produk
ijtihad istinbathi akan diterapkan.
Bagi seorang mujtahid ijtihad ini dituntut untuk memahami Maqashid as-Syar`i
secara mendalam ,hal ini dimaaksudkan apakah ide hukum yang dihasilkan jika diterapkan
pada kaus yang dihadapi dapan mencapai Maqashid as-Syar`i atau tidak. Menurut al-Syathibi
ijtihad inilah yang nantinya takkan terputus sampai kapanpun, sebab hal ini menyangkut
hubungan masalah-masalah kehidupan sepanjang masa.
Ijtihad dari segi relevansinya menurut Yusus Qordlowi (ahli fiqih kontemporer dari Mesir)
bahwa ijtihad yang perlu kita lakukan untuk masa kini ada dua macm:
5.
o Ijtihad Intiqa`i
ialah memilih dari satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat dalam
warisan fiqih islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum. Pendapat-pendapat ahli
Fiqih terdahulu disamping ada yang tidak sesuai juga masih banyak yang sesuai diterapkan di
zaman modern ini, tidak jarang dalam satu permasalahan dapat didapatkan lebih dari saatu
ketetapan hukum.
Oleh karena itu seorang mujtahid dengan upaya yang cermat bisa memilih pendapat yang
lebih kuat dan relevan untuk diterapkan dewasa ini. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak
terikat oleh salah satu pendapat ulama tertentu, akan tetapi ia melihat semua pendapat yang
ada, membandingkan dan meneliti dalil-dalil yang mereka ketengahkan, kemudian secara
obyektif memilih salah satu pendapat yang paling kuat dan lebih cocok untuk diterapkan.
o Ijtihad Insyai
ialah pengambilan kesimpulan hukum baru dari suatu persoalan, yang pernah
dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik persoalan baru atau lama.Jika masalah yang
sedang dikaji itu baru yang sama sekali belum pernah ditemukan kasus ataupun hukumnya
dalam khazanah fiqih islam, maka mujtahid Munsyi berupaya untuk menentukan hukumnya
dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang dihadapi, sehingga dengan
tepat ia akan menentukan hukumnya sesuai yang dikehendaki tujuan Syari`at yang ada .
Jika masalah yang sedang dikaji oleh mujtahid Munsyi itu kasus dan hukumnya pernah
diketengahkan oleh para ulama sebelumnya, maka seorang mujtahid Munsyi dapat
melakukan ijtihad dengan mengeluarkan pendapat baru diluar pendapat yang sudah ada. Pada
zaman modern ini pembahasan dan penelitian harus dilakukan dengan melibatkan berbagai
ahli yang terkait dalam bidang masalah yang dihadapi, hal ini dimaksudkan agar masalah
yang sedang dicari hukumnya dapat dikaji secara detail dari berbagai aspeknya, inilah yang
disebut ijtihad jama`i yang menurut Muhammad Iqbal (w.1357 H/1938 M) tokoh
modernis Islam Pakistan, merupakan cara yang paling tepat untuk menggerakan spirit dalam
sistem hukum islam yang selama telah hilangdari umat Islam.

Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syātibi, terbagi kepada tiga bagian
dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:
6.
o Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash-
nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang
terkandung dalam nash, namun sifatnyazhannī, baik dari segi ketetapannya
maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihād bayāni ini hanya dalam batas
pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa
pemahaman yang berbeda.
o Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak
ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baikqat'i ataupun zhanni- juga
tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk
menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada
hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat hukumnya,
atau biasa disebut qiyās.
o Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan, dan
merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian
yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath'i maupun zhanni-,
dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum
diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah
jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik
dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan madharat.
e. Kedudukan Ijtihad
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram
dan dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.” (Q.S. Al-
Baqarah, 2: 150).
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah
(Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat mencari dan menentukan
arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya
berdasarkan tanda-tanda yang ada.
7.
Hadist yang dijadikan dalil ijtihad ialah hadist riwayat Tirmidzi dan Abu Daud tentang dialog
antara Rasulullah Saw dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal, yang telah disebutkan di muka.

Hadist lainnya, yang juga dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda
Rasulullah yang artinya: “Apabila seorang hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu
ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtihadnya itu salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

2.2 Urgensi Ijtihad


Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan menjadi kajian ramai
para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-
Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul
sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi,
Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum’ah. Bahkan hampir di setiap buku-buku ushul fikih selalu
disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan yang
mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah Firman-
Nya:

َّ ‫ُىل َوأُولِي أاْلَ أم ِر ِم أن ُك أم ۖ فَئ ِ أن تَنَا َز أعتُ أم فِي َش أي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى‬


ِ‫َّللا‬ َ ‫َّللاَ َوأَ ِطيعُىا ال َّرس‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُىا أَ ِطيعُىا‬
‫يل‬ ً ‫اَّللِ َو أاليَىأ ِم أاْل ِخ ِر ۚ َٰ َذلِكَ خَ أي ٌر َوأَحأ َس ُن تَأأ ِو‬
َّ ِ‫ُىل إِ أن ُك أنتُ أم تُ أؤ ِمنُىنَ ب‬
ِ ‫َوال َّرس‬

Artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”.
Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang
harus dilakukan oleh manusia.

8.
Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura” dalam ayat
tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada
setiap permasalahan dengan merujuk pada dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini
tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan
bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus
tahunnya.
Dr. Wahbah Zuhali, ulama kontemporer dari Damaskus Siria berpendapat, bahwa tuntutan
perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa ini mengharuskan kita untuk
menggunakan ijtihad sebagai instrumen pengambilan hukum. Abdurrahman Zaidi dalam risalah
magister-nya yang berkenaan dengan masalah ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan
perbuatan yang terpuji bahkan dharuri, hal itu didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, tidak
diperbolehkannya seorang muslim menggunakan hawa nafsunya dalam memutuskan hukum
pada setia kejadian dan masalah-masalah baru, maka menjadi wajib bagi kita menggunakan
ijtihad. Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama akan kebutuhan berijtihad dalam
menentukan hukum pada setiap permasalahan yang ada.

2.3 Hukum Ijtihad dan Pahalanya

Seseorang telah mencapai tingkatan mujtahid ia wajib berijtihad sendiri atas masalah yang
dihadapinya. Ia dilarang bertaqlid kepada orang lain bila ia telah mencapai hukum peristiwa yang
dicarinya itu berdasar zhannya.Oleh karena sempitnya waktu, seorang mujtahid yang belum
memperoleh apa yang di ijtihadkan dianggap sah bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih
terpercaya, baik mujtahid yang telah tiada maupun yang masih ada.
Seorang mujtahid hendaklah mengamalkan hasil ijtihadnya, baik di dalam memutuskan
perkara maupun di dalam memberikan fatwa.Sebagai imbalan jerih payah seorang mujtahid
dalam berijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala, akan tetapi,
kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan dapat pahala ganda.

a. Syarat-syarat ijtihad

Ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mujtahid sebelum
melakukan ijtihad.Dalam hal ini Sya’ban Muhammad Ismail mengetengahkan syarat-syarat
tersebut sebagai berikut :

9.
1.Mengetahui Bahasa Arab
Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Quran
diturunkan dengan bahasa arab, dan Al Sunnah juga dipaparkan dalam bahasa arab.
2.Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran
Mengetahui Al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya, ini sangat diperlukan bagi
seorang mujtahid. Sebab Al Quran merupakan sumber utama hukum syara’
3.Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah
Pengetahuan tentang Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus dimiliki oleh seorang
mujtahid. Sebab Al Sunnah merupakan sumber utama hukum syara’ disamping Al Quran yang
sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya.
4. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
5. Mengetahui Maqashid al-Syariah
Pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan bagi seorang mujtahid, hal ini
disebabkan bahwa semua keputusan hukum harus selaras dengan tujuan syariat islam yang
secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada alam semesta, khususnya kemaslahatan
manusia.

2.4 Implementasi ijtihad pada persoalan kontemporer

Ijtihad merupakan salah satu asas tegaknya fikih di dalam agama dan kehidupan islam. Ijtihad
dalam islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena tanpa ijtihad akan terjadi
kemandegan perkembangan hukum. Mengenai tertutupnya pintu ijtihad menurut Mawardi,
Joseph Schacht adalah sarjana Barat yang pertama kali berkeyakinan mapannya ketertutupan
pintu ijtihad dalam sejarah perkembangan modern hukum islam, yang meniscayakan lahirnya
periode baru yaitu periode taklid sejak akhir tahun 300 H. Namun demikian, pada dasarnya
selama ini pintu ijtihad tidak tertutup rapat, masih ada kegiatan ijtihad, hanya saja gaunganya
memang tidak sebesar ijtihad terhadap hukum tentang masalah yang terjadisangat mendesak
untuk diterapkan.

Akan tetapi dengan datangnya masa modern (menjelang abad ke-19), para modernis muslim
lebih menyerukan ijtihad dengan urgensi yang lebih besar sejak pembenturan antara masyarakat
muslim dengan kekuatan- kekuatan baru dalam semua bentuknya. Tokoh-tokoh yang paling
gigih dan berjasa dalam membangkitkan kembali gerakan ijtihad ini, antara lain: Jamal al-Din al-
Afghany (1839-1897 M), M. Abduh (1849-1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), al-Thathawy
(1801-1873 M) dan lain-lain di Mesir. Sedangkan di India adalah Syah Waliyullah (1703-1762
M), Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), Sayyid Amir Ali (1849-1928 M) dan lain-lain

10.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak diterapkan pada
“pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah daei
kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau usaha yang keras”.
Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini
pengertian ijtihad : adalah usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-
dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Hukum berijtihad adalah wajib ain dan wajib kifayah. Sebagai imbalan jerih payah seorang
mujtahid dalam berijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala,
akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan dapat pahala ganda. Satu pahala sebagai
imbalan jerih payahnya dan satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya.
Syarat-syarat berijtuhad adalah : Mengetahui bahasa arab, mempunyai pengetahuan yang
mendalam tentang Al Quran, memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah,
mengetahui letak ijma’ dan khilaf, mengetahui Maqashid al-Syariah, memiliki pemahaman dan
penalaran yang benar, memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih, niat dan i’tikad yang benar.

3.2 Saran
Penulis tentu menyarankan agar beberapa hal terkait dengan ijtihad sebagai sumber ajaran islam
untuk dapat dipelajari lebih dalam karena dalam pembuatan makalah ini penulis banyak sekali
kekurangan baik dalam wawasan pengetahuan maupun dalam bahan materi sebagai sumber
rujukan agar dapatberguna di masa mendatang.

11.
DAFTAR PUSTAKA

http://ejornal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/almanahij/article/download/565/2112
https://www.altundo.com/m/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-ijtihad
http://mukhlisuddinlamlo.blogspot.com/2011/10/ijtihat-urgensi-fungsinya.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai