0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
15 tayangan29 halaman
Muhammadiyah hanya menempatkan Al Quran dan Sunah sebagai sumber rujukan utama dalam berijtihad, berbeda dengan ulama Syafi'iyyah yang juga menempatkan ijmak dan qiyas. Ijtihad Muhammadiyah dilakukan secara kolektif oleh Majelis Tarjih dengan melibatkan berbagai ahli dan tidak terikat pada satu madzhab tertentu.
Muhammadiyah hanya menempatkan Al Quran dan Sunah sebagai sumber rujukan utama dalam berijtihad, berbeda dengan ulama Syafi'iyyah yang juga menempatkan ijmak dan qiyas. Ijtihad Muhammadiyah dilakukan secara kolektif oleh Majelis Tarjih dengan melibatkan berbagai ahli dan tidak terikat pada satu madzhab tertentu.
Muhammadiyah hanya menempatkan Al Quran dan Sunah sebagai sumber rujukan utama dalam berijtihad, berbeda dengan ulama Syafi'iyyah yang juga menempatkan ijmak dan qiyas. Ijtihad Muhammadiyah dilakukan secara kolektif oleh Majelis Tarjih dengan melibatkan berbagai ahli dan tidak terikat pada satu madzhab tertentu.
MUHAMMADIYAH Pandangan Muhammadiyah Tentang Ijtihad Ijtihad adalah mencurahkan segenap
kemampuan berpikir dalam menggali dan
merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu yang lain berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu. Ijtihad secara harfiah diderivasi dari kata jahada yang berarti menanggung beban (hamlu al-juhdi), dan mengerahkan kemampuan. Ijtihad merupakan bentuk masdar wazan “ ifta’ala”
yaitu “” yang bermakna pengerahan segala
kemampuan secara optimal. Atas dasar ini tidak tepat apabila kata ijtihad
dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah
atau ringan seperti analogi mengangkat biji-bijian. Istilah Ijtihad Ijtihad secara istilah berarti segala upaya yang
dilakukan oleh mujtahid dalam berbagai bidang
ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat dan tasawuf. Bagi kalangan ini, ijtihad tidak terbatas hanya dalam bidang fikih. Di sisi lain para ahli usul fikih berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas dalam bidang hukum saja. Namun pada intinya, objek ijtihad adalah setiap peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nash-nya yang bersifat zanni (sesuatu yang bersifat dugaan, relatif, sangkaan dan tidak pasti), maupun belum ada nash-nya sama sekali. Ijtihad Muhammadiyah Artinya Ulama Syafi’iyyah menempatkan al-Quran, sunah, ijmak, dan qiyas (Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula) ke dalam sumber rujukan dalam berijtihad.
Pandangan ini berbeda dengan Muhammadiyah yang hanya menempatkan Al
Quran dan Sunah sebagai sumber rujukan. Bagi Muhammadiyah, qiyas, istihsan, istislah, ‘urf, qaul sahabat, dan lain-lain tidak sebagai sumber rujukan melainkan metode ijtihad. Sebab Muhammadiyah memandang unsur-unsur tersebut lebih sebagai proses. Ijtihad dalam Fatwa Tarjih Muhammadiyah Misalnya, dalam fatwa Tarjih tentang penjatuhan talak di rumah secara sepihak oleh suami dinyatakan tidak berlaku. Talak dalam fatwa itu harus dijatuhklan di depan sidang Pengadilan Agama. Landasannya antara lain adalah prinsip maslahat. Contoh lainnya ialah kebolehan membuka aurat saat tubuh pasien hendak menjalani operasi oleh dokter. Kebolehan ini absah secara istihsan. Dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya dilakukan berdasarkan istiqra’ ma‘nawi. Artinya ijtihad tidak dilakukan berdasarkan satu atau dua hadis, melainkan untuk menemukan hukum satu masalah harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber syariah yang ada. Dengan kata lain, ijtihad menggunakan seluruh nas dan metode ijtihad terkait secara serentak. Contoh putusan tarjih dalam kaitan ini adalah putusan tentang seni patung. Ijtihad Bayani, Burhani dan Irfani Sementara itu, pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani menggunakan nas-nas syariah. Penggunaan burhani menggunakan ilmu pengetahuan yang berkembang, seperti dalam ijtihad menggenai hisab. Pendekatan irfani berdasarkan kepada kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin. Ijtihad dan Realitas Sosial Ijtihad merupakan pendayagunaan aspek kognitif untuk menemukan rumusan hukum Islam. Jadi, ijtihad bukan wahyu dari langit (non-divine law). Ijtihad adalah upaya mencari suatu keputusan hukum yang bersumber pada ajaran Islam. Ijtihad yang dikeluarkan para ulama memang dipahat untuk merespon tantangan zamannya dan cerminan dari dinamika pergulatan realitas sosio-historis pada era tertentu. Sehingga tidak bisa diimpor begitu saja ke ruang dan waktu yang berlainan. Oleh sebab itu, Muhammadiyah menyadari bahwa aspek ijtihadi merupakan kreasi nalar manusia, ekspresi keragaman yang partikular, dan refleksi terhadap realitas. Karenanya produk ijtihad yang dihasilkan Muhammadiyah sangat terbuka untuk diuji kembali dan sangat toleran terhadap produk ijtihad yang ada. Ijtihad dalam Muhammadiyah
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan akal-pikiran sesuai jiwa ajaran Islam. Keduanya adalah dasar mutlak untuk berhukum. Dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkan, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdhah. Padahal tidak terdapat dalam nash yang shahih di dalam Al-Qur’an dan Sunnah shahihah (maqbulah), Muhammadiyah melakukankan ijtihad dan istinbath atas nash-nash yang ada melalui kesamaan ‘illat. jtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni sampai mujtahid tidak lagi mampu melebihi usahanya. Hasil ijtihad dari seorang mujtahid bersifat relatif, tidak mutlak benar. Atau dalam istilah ushul fiqih bersifat zhanni. Hasil ijtihad sesama mujtahid selain bisa sama bisa pula berbeda antara satu dengan lainnya. Terhadap hasil ijtihad yang berbeda, menurut etika, mereka harus berlapang dada tidak boleh saling menyalahkan. Sebab, tiap orang mempunyai keterbatasan. Siapa yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, kalau seorang. Namun, kalau banyak disebut mujtahidun atau mujtahidin. Nah, ijtihad ada dua macam, yaitu : ijtihad fardi (ijtihad individual) dan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy). Ijtihad kolektif dalam Muhammadiyah dilakukan oleh Majelis Tarjih dengan melibatkan banyak orang yang mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Hasil ijtihad kolektif dalam Munas Tarjih setelah dilaporkan Majelis Tarjih dan ditanfidz PP Muhammadiyah resmi dinyatakan berlaku dalam seluruh jajaran Muhammadiyah. Majelis Tarjih semula hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan dengan cara mengambil pendapat yang dianggap paling kuat dalilnya. Namun, sejak tahun 1960-an, Majelis Tarjih mulai membahas dan memutuskan masalah-masalah kontemporer, misal, Keluarga Berencana, Bank, bayi tabung, aborsi, perkawinan antar agama, Tuntunan Seni Budaya Islam, Pedoman Hisab Muhammadiyah, dan Fikih Tata Kelola (di dalamnya ada Bab Pemberantasan Korupsi). Pada Munas Tarjih ke-28 di Palembang telah dibahas masalah penting Fikih Air. Muhammadiyah Pelopor Ijtihad
Muhammadiyah, yang memelopori ijtihad,
telah memberikan sumbangan yang cukup besar. Bagi kehidupan umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Banyak amalan-amalan agama Islam yang semula digerakkan oleh Muhammadiyah kini telah menjadi amalan umat Islam. Banyak contoh di antaranya pengaturan shaf-shaf shalat dan pendirian masjid baru mengarah ke kiblat. Khutbah Jum’at yang materinya disampaikan dengan bahasa yang dapat dipahami jamaah, kecuali pada bagian tertentu (hamdalah, syahadatain, dan shalawat). Shalat tarawih 11 rakaat, shalat ‘Idain (Idul Fithri dan Idul Adha) di tanah lapang. Pengorganisasian zakat fithrah, zakat mal, termasuk zakat profesi, dan penggerakan kurban pada Idul Adha. Penyantunan anak-anak yatim dan fuqara’ masakin dengan mendirikan Panti Asuhan Anak Yatim dan Panti Jompo. Pemberdayaan kaum dhu’afa’ dengan pemberian bantuan untuk modal usaha. Belum lagi dalam bidang pendidikan dan kesehatan serta lainnya. Majelis Tarjih memiliki Manhaj. Di antaranya menerima ijtihad termasuk qiyas sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. Dalam menetapkan masalah ijtihadiyah digunakan sistem ijtihad jama’iy. Tidak mengikatkan diri kepada sesuatu madzhab. Berprinsip terbuka dan toleran. Tidak beranggapan hanya keputusan Majelis Tarjih yang paling benar. Koreksi keputusan dari siapa pun akan diterima asal disertai dalil-dalil yang lebih kuat. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umuru ad-Dunyawiyah, yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi untuk tercapainya kemaslahatan umat. Muhammadiyah terus melakukan dan mendorong ijtihad. Ijthad tidak boleh mandeg. Sebab masyarakat terus berkembang. Namun, ijtihad yang dilakukan tetap terukur. Tidak kebablasan. Prinsip akidah tauhid tetap dipegang teguh dan misi Islam membawa rahmatan lil ‘alamin terus dibuktikan dengan berbagai amalan nyata. Ijtihad Muhammadiyah Artinya Ulama Syafi'iyyah menempatkan al-Quran,
sunah, ijmak, dan qiyas ke dalam sumber
rujukan dalam berijtihad. Pandangan ini berbeda dengan Muhammadiyah yang hanya menempatkan Al Quran dan Sunah sebagai sumber rujukan Metodologi Ijtihad & Istinbath Muhammadiyah
Berikut beberapa pokok metode ijtihad dan istinbath
Muhammadiyah : Di dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah al-
Qur`an dan al-Sunnah al-Shahîhah. Ijtihad dan
istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakuakan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad , digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majelis, tidak dapat dipandang kuat. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab,
tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur`an dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapa pun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. Di dalam masalah aqidah (tawhîd), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. Tidak menolak ijma’ sahabat, sebagai dasar sesuatu keputusan. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudh, digunakan cara: al-jam’u wa al-tawfiq. Dan kalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih. Menggunakan asas “saddu al-dzara’i” untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur`an dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah. Adapun qaidah “al-Hukmu yadûru ma’a illatihi wujûdan wa ‘adaman” dalam hal-hal tertentu, dapat berlaku. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah. Dalil-dalil umum al-Qur`an dapat di-takhsis dengan hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah. Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip “al- taysir”. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur`an dan al-Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umûru al-Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemashlahatan umat. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima. Dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang Aqidah. Dan ta’wil sahabat dalam hal itu, tidak harus diterima. Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan jika makna tersebut sesuai dengan Alquran dan sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat Alquran. Istilah-istilah Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. istihsan ialah: “Perbuatan adil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang
hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan”. Urf atau 'Urf (bahasa Arab: )ا لع رفmerupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Istishlah yang berarti mencari yang maslahat,
lawannya istifad yang berarti sesuatu yang
mengakibatkan kebaikan atau keuntungan. Suatu pekerjaan yang mendatangkan manfaat untuk diri dan kelompoknya yang dilakukan oleh seseorang. kognitif merupakan semua kegiatan mental yang membuat suatu individu mampu menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu peristiwa, sebagai akibatnya individu tersebut menerima pengetahuan setelahnya. FATWA (Ar.: al-fatwa= petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa). Dalam ilmu usul fikih, berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Illat adalah Perkara- perkara yang sudah jelas yang dapat dijadikan dasar pembinaan hukum itu, oleh para Ahli Ushul, Tarjih berarti melakukan penilaian terhadap
suatu dalil syar'i yang secara zahir tampak
bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Tanfidz dipakai sebagai dukungan
(persetujuan) tertulis bagi pelaksanaan segala
kebijaksanaan dan keputusan ... "mutawatir" secara bahasa memiliki arti 'mutatabi' yang bermakna beruntun atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak. al-Jam`u wat Taufiq; adalah menggabungkan dan mengkompromikan dua hadits yang tampak saling bertentangan dan kedua hadits tersebut harus sama-sama shahih. ta'arudh yaitu pertentangan dua dalil, antara satu dalil bertentangan dengan dalil yang lainnya. Saddu al-Dzari'ah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Kaidah usul fiqih mengatakan: “al hukmu yaduru ma'a illatihi wujudan wa adaman” artinya dalam mewijudkan atau meniadakan hukum tergantung kepada illatnya. Takhsis ( ) adalah bentuk masdar dari Khossoso ( ) yang bermakna Khos ( ) yang secara etimologi adalah menentukan atau mengkhususkan. Dan secara terminology adalah memperpendek makna atau hukumnya lafaz\ „aam pada sebagian satuanya. takhsis adalah menentukan makna lafaz\ „aam ditetapkan menjadi hukum. Secara etimologi, taysîr berasal dari kata “yasara” yang berarti lembut, lentur, mudah, fleksibel, tertib, dan dapat digerakan, atau anonim dari kata 'usr yaitu kesulitan. 5 Para ulama ushul fikih berpendapat bahwa taysîr adalah menjadikan segala sesuatu itu mudah dan dapat dikerjakan serta tidak menyulitkan. musytarak adalah peristiwa bahasa yang terjadi bukan hampa makna dan kosong dari hal-hal yang menyebabkannya menjadi demikian Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan penggunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih . Seperti lafadh quruu' yang memiliki arti berdeda, ada yang mengartikan sucian, dan haidh-an. Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan jika makna tersebut sesuai dengan Alquran dan sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat Alquran.