PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan
produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan secara
stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke belakang dan pasti
bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan
progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-turats al-islamiy dengan paradigma
konvensional, tentu banyak fenomena kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf
(dipending) karena belum ada nash yang meresponnya. Kalau itu yang terjadi, suara hokum
Islam tidak akan didengar lagi gelombang modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam
konteks ini, sudah saatnya umat Islam mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk
dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam
relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu
diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam
menanggapi berbagai problematika kekinian (Misbahuddin,2014:129).
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu
kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan
secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat
dipertahankan dalam kehidupan praktis(Shuhufi,2012:3).
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar
hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam ijtihad, serta
syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pengertian ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan dan obyek ijtihad ?
3. Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?
4. Bagaimana metode dan pendekatan dalam ijtihad ?
5. Apa saja contoh metode ijtihad ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan obyek ijtihad.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.
4. Untuk mengetahui metode dan pendekatan dalam ijtihad
5. Untuk mengetahui contoh metode ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: ) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan dan
kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola timbangan iftial yang
menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn suatu perbuatan. Dengan
demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan,
tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang
maksimal
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan
untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna
kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan
dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan
pelakunya dinamai mujtahid(Shuhufi,2012:11-12).
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ushul fiqh
yang bermakna usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian untuk memperoleh
ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni. Dengan demikian, setiap terungkap istilah
ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan
para ulama fiqh untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman
terhadap teks lafal Alquran dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan
actual yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni
memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan pada
salahnya(Shuhufi,2012:12).
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai
pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan
sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai
daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis
dari dalil-dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi
ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali
hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya(Misbahuddin,2014:130).
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah rayu (rasionalitas). Istilah rayu
dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap masalah-masalah tertentu
berdasarkan Al-Quran dan hadis atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan
mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio. Karena itu, istilah rayu tidak bisa dipisahkan
dari kata aql. Al-Quran sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan
potensi akal. Dalam kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan
bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang
secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada
umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam
menetapkan hukum(Misbahuddin,2014:131).
Menurut Misbahuddin(2014,131), dengan melakukan analisis dari beberapa definisi
yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang, maka
dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu:
a. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang
mumpuni.
c. Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat
praksis.
d. Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
Dari definisi dan dasar hukum ijma di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-
rukun ijma sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid
itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
Islam.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia
sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara) dari suatu
peristiwa yang terjadi pada masa itu
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Kemungkinan terjadinya ijma`
Macam-macam ijma`
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab
fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma. Diterangkan bahwa ijma itu dapat
ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas,
baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma bayani disebut juga ijma shahih, ijma qauli
atau ijma haqiqi;
Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan
mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma seperti ini disebut juga ijma` `itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma, dapat dibagi kepada:
1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu adalah qathi diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma yang dilakukan pada waktu yang
lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu dhanni, masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan
hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma yang dihubungkan dengan
masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa
ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Obyek ijma`
Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-
Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu`amalat,
bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi
tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits.
CONTOH-CONTOH IJMA :
1. Haramnya pernikahan antara wanita muslimah dengan lki laki non muslim
3. Boleh mengusap bag atas sepatu ( saat wudhu ) ketika dalam perjalanan
4. Wajib memilih khalifah ( pemimpin ) dengan tenggang waktu 3 hari sebelum masa
kepemimpinan sebelumnya habis
5. Sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriyah, tidak secara batiniyah
QIYAS
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu
perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah
sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi
sama. Dalam Islam, ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum
terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, dengan
dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Quran / as-
Sunnah, karena ada sebab yang sama.
Macam-macam qiyas
Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu.
Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama
Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut
memenuhi persyaratan.
Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashl
Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl dengan furu
ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma
Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum
haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
Rukun qiyas
Contoh
Menurut al-Quran surat al-Jumah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan
Jumat. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan
pada saat mendengar adzan Jumat ? Dalam al-Quran maupun al-Hadits tidak dijelaskan.
Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat
mengganggu shalat Jumat dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain,
yang dapat mengganggu shalat Jumat, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra 23;
seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti
dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi.
Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh
dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika Umar bin Khathabb
berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah
mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau
kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul :
Kalau begitu teruskanlah puasamu.
Allah Swt telah mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan,
menghabiskan harta. maka segala minuman yang memabukan dihukum haram juga. Dalam
contoh ini :
ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal
banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah
(Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa
atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama
sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau
kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil
pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan
perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat
digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
ISTIHHAB
Secara etimologi istishab adalah membawa serta bersama-sama atau terus bersama-
sama Menurut ulama ushul fiqih adalah tetap berpegang teguh pada hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Baqoroh:29
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau yang mengecualikan hukum
tersebut.
Contoh
Telah terjadi pernikahan A dengan B, Kemudian mereka berpisah dan berada di
tempat yang berjauhan selama 15 tahun. B ingin menikah dengan si C. Dalam hal ini B belum
dapat nikah dengan si C karena ia masih terikat perkawinan dengan si A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang
dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara si A dan B, adalah
hukum yang ditetapkan oleh istihsan.[5]
Macam-macam istishab
Istishhab al-baraat al-asyiliyyah
Istishhab yang ditunjukan oleh syara
Istishhab hukum
Istishhab washaf
SADDU AL-DZARAI
Saddudz Dzariah terdiri atas dua kata yaitu saddu dan dzariiah. Saddu berarti
penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan dzariiah berarti jalan. Maksunya, adalah
menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan
atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzariiaah yaitu untuk memudahkan tercapainya
kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari
kemungkinan berbuat maksiat.
Misalnya adalah mengerjakan sholat lima waktu. Seseorang baru bisa mengerjakan
sholat lima waktu jika dia sudah belajar, tanpa dia belajar maka tidak akan bisa melakukan
sholat tersebut.
Dasar hukum saddudz dzariiah
a. Firman Allah Q.S.al-Anam:108
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan
AL-URF
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan
bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping
telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang
melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli.
Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah
menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya.
Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli
dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan
dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya
sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya
ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena
itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya
sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang
atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik
pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan
mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku
diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid
telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah
biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
QAULU AL-SHAHABI
Secara bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi artinya
sahabat. Menurut pandangan Imam syafii, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan
oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur
di dalam nash, baik Kitab (Al-Quran) maupun Sunnah
Walaupun pada dasarnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya,
namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan
kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Al-Quran diturunkan dengan bahasa yang benar-
benar mereka kenal dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka banyak mengetahui kasus,
peristiwa atau kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya (asbab an-nuzul) ayat-ayat
tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara
langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini semua
membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Quran dan Sunnah. Selain
itu, dengan berkat pergaulan (shuhbah)-nya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat
tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat
adil
Perkataan sahabat yang tidak mendapat reaksi (tantangan) dari sahabat yang lain adalah
menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa
mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka
yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syariat itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan
mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qathi dari
Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a. perihal bagian beberapa orang nenek
yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam harta peninggalan yang kemudian dibagi rata
antar mereka. Tidak ada sahabat yang membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan
dalam masalah yang sama Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum
yang ditetapkan oleh sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti
oleh kaum muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada
perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.[10]
Dasar hukum
Q.S.at-Taubah:100
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar