Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan
produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan secara
stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke belakang dan pasti
bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan
progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-turats al-islamiy dengan paradigma
konvensional, tentu banyak fenomena kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf
(dipending) karena belum ada nash yang meresponnya. Kalau itu yang terjadi, suara hokum
Islam tidak akan didengar lagi gelombang modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam
konteks ini, sudah saatnya umat Islam mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk
dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam
relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu
diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam
menanggapi berbagai problematika kekinian (Misbahuddin,2014:129).
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu
kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan
secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat
dipertahankan dalam kehidupan praktis(Shuhufi,2012:3).
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar
hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam ijtihad, serta
syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.

B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pengertian ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan dan obyek ijtihad ?
3. Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?
4. Bagaimana metode dan pendekatan dalam ijtihad ?
5. Apa saja contoh metode ijtihad ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan obyek ijtihad.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.
4. Untuk mengetahui metode dan pendekatan dalam ijtihad
5. Untuk mengetahui contoh metode ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: ) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan dan
kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola timbangan iftial yang
menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn suatu perbuatan. Dengan
demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan,
tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang
maksimal
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan
untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna
kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan
dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan
pelakunya dinamai mujtahid(Shuhufi,2012:11-12).
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ushul fiqh
yang bermakna usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian untuk memperoleh
ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni. Dengan demikian, setiap terungkap istilah
ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan
para ulama fiqh untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman
terhadap teks lafal Alquran dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan
actual yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni
memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan pada
salahnya(Shuhufi,2012:12).
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai
pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan
sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai
daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis
dari dalil-dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi
ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali
hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya(Misbahuddin,2014:130).
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah rayu (rasionalitas). Istilah rayu
dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap masalah-masalah tertentu
berdasarkan Al-Quran dan hadis atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan
mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio. Karena itu, istilah rayu tidak bisa dipisahkan
dari kata aql. Al-Quran sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan
potensi akal. Dalam kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan
bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang
secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada
umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam
menetapkan hukum(Misbahuddin,2014:131).
Menurut Misbahuddin(2014,131), dengan melakukan analisis dari beberapa definisi
yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang, maka
dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu:
a. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang
mumpuni.
c. Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat
praksis.
d. Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.

B. Kedudukan dan Obyek Ijtihad


Kedudukan ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang
bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-quran maupun
Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qatiy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya seperti
wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad padanya(Djalil,2010 :186).
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad itu
benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya tepat. Apabila tidak
tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap
mujtahid adalah benar dan tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
Menurut Djalil (2010:186), tentang kedudukan hasl ijtihad dalam masalah fiqh,
terdapat dua golongan, yaitu :
a. Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena dalam masalah
tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib
mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah adalah
karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b. Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok
jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka
dikategorikan salah. Golngan ini beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum
tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat
menjangkaunya, sedang terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk
AsysyafiI, berdalil dengan hadis, yang artinya : Siapa yang berijtihad dan ternyata benar,
maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu
pahala(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam Syafiira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-
Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran menegaskan: Maka tidak terjadi
suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat
petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Quran
yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh
karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya
menimba hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji
ketatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan Imam SyafiI diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan
ijtihad disamping AL-Quran dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji
kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad,
atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti
dengan qiyas, istihsan, dan mashalah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu
pengembangan prinsip-prinsiphukum dalam Al-Quran dan Sunnah adalah penting, karena
dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya (Effendi, 2005: 250).

Objek Kajian Ijtihad


Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah yang sudah
tidak diragukan lagi kepastiannya (qathi) datang dari Allah atau Rasul-Nya, seperti al-
Quran dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak
mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapanga ijtihad dari segi periwatannya. Al-
Quran yang beredar dikalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti (gqthi) keasliannya
dating dari Allah dan begitu juga Hadis Mutawatir adalah pasti (qthi) datang dari Rasulullah.
Kepastian itu dapat diketahui karena baik al-Quran atau Hadis Mutawatir sampai kepada kita
dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan (Effendi,
2005: 250).
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut penulis, ijtihad
juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah setiap peristiwa, baik yang
sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni, maupun belum ada nashnya sama sekali.
Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan
memahami nash dan meneliti apakah nash bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau
bersifat umum, apakah dibatas keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak
ada nashnya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau
istihsan atau pemakain urf atau dalil-dalil hukum lainnya (Shuhufi,2012:16).
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi
diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti (qathi).
Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah
ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam al-Quran da Synnah. Misalnya kewajiban
melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh
dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam al-Quran dan Sunnah
(Effendi, 2005: 250).
Menurut Effendi (2005,250-251), hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti
dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni)
baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dapat
dikategorikan menjadi tiga macam :
1. Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang
tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad dari segi kepastian datangnya dari
Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup
kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini seorang mujtahid perlu
melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.
2. Lafal-lafal atau redaksi al-Quran atau hadis yang menunjukkan pengertiannya secara
tidak tegas (zhanni), sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat
ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak
tegas pengertiannya ini menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi
ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks.
Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan
hukum.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks atau hadis dan tidak pula ada ijma yang
menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting
dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-Quran dan
sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat
tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, istishab, dan sad al-
zariah. Disini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.

C. Syarat-Syarat Mujtahid dan Tingkatannya


Syarat Mujtahid
Menurut Effendi (2005,251), Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yaitu :
a. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-
Quran baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal di luar
kepala dan tidak perlu menghafal seluruh al-Quran. Seorag mujtahid cukup mengetahui
tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan
waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar
500 ayat. Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti dikemukakan al-Ghazali itu oleh
sebagian ulama tidak disepakati . Al-Syaukani (w.1255H) umpamanya menyebutkan bahwa
ayat-ayat hukum dalam al-Quran bisa jadi berlipat ganda dari jumlah yang disebutka al-
Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan mungkin meng-istinbatkan
hukum dari ayat-ayat dalam bentuk kisah umat-umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat
yang dikemukakan al-Ghazali itu, demikian komentar al-Syaukani, bisa dianggap benar
bilamana yang dimaksud adalah ayat-ayat yang dengan langsung menunjukkan hukum,
dalam arti belum termasuk ke dalamnya ayat-ayat yang tidak langsung.
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-makna mufrad
(tunggal) dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu redaksi. Pengetahuan seperti itu
mungkin didapatkannya karena bakat atau karena tumbuh dikalangan masyarakat yang
menguasai seluk-beluk bahasa Arab. Adapun pengetahuan tentang makna-makna ayat secara
syara ialah dengan mengetahui berbagai segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti
melalui mantuq (makna tersurat), lewat mafhum muwafaqah (makna tersirat), atau mafhum
mukhalafah (makna kebalikan dari makna tersurat), serta mengetahui pembagian lafal dari
segi cakupannya, seperti lafal umum dan lafal khusus, dan mengerti pula dengan tingkatan
kejelasan dan ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap maknanya. Disamping itu,
juga mengetahui tentang illat atau alasan logis mengapa sesuatu diperintah dan mengapa
sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.
b. Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian
syara, seperti telah diuraikan pada syarat pertam. Seperti halnya al-Quran, maka dalam
masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yag berhubungan dengan hukum, tetapi
cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat di jangkau bilamana
diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu al-Arabi (w.543H), ahli tafsir dari
kalangan Malikiyah, seperti dinukil Wahbah az-Zuhaili, jumlah hadis-hadis hukumsekitar
3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa hadis-hadis hukum
sekitar 1200 hadis. Namun, Wahbah az-Zuhaili tidak sependapat dengan dengan pembatasan
jumlah hadis hukum itu. Menurutnya yang penting bagi seorang mujtahid mengerti dengan
seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis besar yang sudah diakui,
seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan lain-lain. Hadis-hadis hukum harus diketahui,
disamping pengertiannya secara bahasa dan secara syara, juga mengetahui kesahihannya.
c. Mengethui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau
sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak
mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
d. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma tentang
hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang
mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
e. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya,
tentang illat hukum dan cara menemukan illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui
kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syariat
Islam.
f. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Quran dan Suunnah adalah berbahasa Arab.
Seseorang tidak akan bisa meng-istinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa
mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum
dan mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq dan muqayyad,
dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya. Penguasaan bahasa Arab tidak perlu
menjadi ahli, tetapi cukup sekadarmampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan
dalam bahasa Arab dan kebiasaan orag Arab dalam pemakaiannya.
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang
sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan
hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini
diperlukan karena Ushul Fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan
ijtihad.
h. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini
dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai
peristiwa, ketepatannya sangat bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini
disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan,
dan pengetahuan tentang maqasid al-Syariah memberi petunjuk untuk memilih
pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Di samping itu, dan yang
terpenting, denga penguasaan bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al-Quran dan sunnah
Rasulullah dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah.

Tingkatan Tingkatan Mujtahid


Menurut As-Suyuthi Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran
bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lad\gi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid
muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para
ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq,
mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda(Syafei,2010 :108).
Menurut SyafeI (2010,108-109), tingkatan mujtahid menurut para ulama, diantaranya
menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan, yaitu :
a. Mujtahid Mustaqi, adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah
yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada.
Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
b. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqi namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi mengikuti metode
salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil,
tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya melainkan
mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Diantaraya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari
Hanafiyah.
c. Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab
imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya
berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan
Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafii.
d. Mujtahid tarjih, adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij,
tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu, mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-
kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga
mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau
dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya,
ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam
madzhab Hanafi.
e. Mujtahid fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia
masih lemah dalam menetapka suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, Tingkatan ini dalam fatwanya sangat
bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai
cabang yang ada dalam madzhab tersebut.

D. Metode dan Pendekatan Dalam Ijtihad


Secara etimologi, Istinbath bersal dari kata nabatha, yanbuthu, yang berarti air yang
mula-mula keluar dari sumur yang digali. Kemudian kata kerja tesebut dijadikan bentuk
tsulasimazid (transitif), sehingga menjadi anbatha dan istinbatha, yang berarti mengeluarkan
air dari sumur. Dengan demikian, kata istinbath pada asalnya berarti usaha mengeluarkan
air dari sumbernya.
Berdasarkan etimologi di atas, maka istinbath dalam ilmu ushul fiqih berarti usaha
seorang ahli fiqih dalam mengeluarkan hukum Islam dari sumber-sumbernya. Usaha ahli
fiqih tersebut tidak akn berhasil apabila tidak didukung oleh cara-cara pendekatan istinbath
yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh pengetahuannya yang memadai tentang
sumber-sumber hukum Islam.
Berikut ini akan penulis uraikan secara ringkas bentuk-bentuk pendekatan istinbath
hukum Islam seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Salam Madkur.
1. Ijtihad Bayani (Pendekatan Melalui Kaidah-Kaidah Kebahasaan)
Ijtihad bayani merupakan metode ijtihad yang lebih menitikberatkan kepada kajian
kebahasaan. Ijtihad bayani adalah pengetahuan kemampuan untuk sampai kepada hukum
yang dimaksud oleh nash dan zhanni tsubut atau dalalahnya, atau zhanni kedua-duanya.
Inilah yang menjadi ruang lingkup ijtihad, yaitu batas-batas yang diberi toleransi untuk
memahami nash dan mentarjih atau mengutamakan beberapa maksudnya, atau mengetahui
sasaran nash dan jalurnya. Pengistilahan ijtihad bayani, karena berkaitan dengan penjelasan
terhadap nash, yaitu pembatasan terhadap ruang lingkup nash, hal-hal apa saja yang menjadi
ruang lingkup tersebut menurut pembuat syara. Ijtihad model ini disepakati oleh seluruh
ulama.
2. Ijtihad Qiyasi ( Pendekatan melalui Qiyas)
Menurut Muhammad Salam Madkur, ijtihad qiyasi adalah sebuah ijtihad dimana seorang ahli
fiqih mengerahkan kemampuannya untuk sampai kepada hukum yang tidak dijelaskan oleh
nash qathi maupun zhanni, juga tidak diperkuat ijma. Ahli fiqih tersebut akan sampai
kepada hukum dengan memperhatikan indikator-indikator (imarah-imarah) dan jalan-jalan
(wasilah-waslah) hukum yang telah
3. Ijtihad Istishlahi (Pendekatan Melalui Metode Mashlahah Mursalah)
Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk
sampai kepada hokum syara (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum
(kulliyah), taitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah
umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma terhadap masalah itu.
Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap
masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf al-
mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara.

E. Contoh Metode Ihtihad


IJMA

Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah.


Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya
sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Quran dan as-Sunnah, maka Rasulullah
mengatakan : Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu
sebagai bahan musyawarah . Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang
kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu
besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
Rukun-rukun ijma`

Dari definisi dan dasar hukum ijma di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-
rukun ijma sebagai berikut:

1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid
itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
Islam.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia
sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara) dari suatu
peristiwa yang terjadi pada masa itu
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Kemungkinan terjadinya ijma`

Macam-macam ijma`

Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab
fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma. Diterangkan bahwa ijma itu dapat
ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma terdiri atas:

ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas,
baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma bayani disebut juga ijma shahih, ijma qauli
atau ijma haqiqi;
Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan
mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma seperti ini disebut juga ijma` `itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma, dapat dibagi kepada:

1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu adalah qathi diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma yang dilakukan pada waktu yang
lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu dhanni, masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan
hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma yang dihubungkan dengan
masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:

1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa
ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Obyek ijma`

Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-
Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu`amalat,
bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi
tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits.

CONTOH-CONTOH IJMA :

1. Haramnya pernikahan antara wanita muslimah dengan lki laki non muslim

2. Ijma bahwa shalat fardhu itu hukumnya fardhu ain

3. Boleh mengusap bag atas sepatu ( saat wudhu ) ketika dalam perjalanan

4. Wajib memilih khalifah ( pemimpin ) dengan tenggang waktu 3 hari sebelum masa
kepemimpinan sebelumnya habis

5. Sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriyah, tidak secara batiniyah

QIYAS

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu
perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah
sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi
sama. Dalam Islam, ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.

Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum
terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, dengan
dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Quran / as-
Sunnah, karena ada sebab yang sama.

Macam-macam qiyas

1 Dari segi kekuatan illat

Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu.
Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama
Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut
memenuhi persyaratan.

2. Dari segi kejelasan illatnya

Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashl
Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.

3 Dari segi keserasian illat dengan hukum

Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl dengan furu
ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma
Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum
haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.

4 Dari segi dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu


Qiyas mana, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas
namun antara ashl dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-
olah ashl itu sendiri
Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashl.
Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum
itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi illat yang memberi petunjuk akan
adanya illat.

Rukun qiyas

1 Ashal (pangkal), yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (musyabbah bih =


tempat menyerupakan).

2 Farun (cabang), yang diukur (musyabbah = yang diserupakan).

3 Illat sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.

4 Hukum, yang ditetapkan pada fari sesudah tetap pada ashal.

Contoh

Menurut al-Quran surat al-Jumah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan
Jumat. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan
pada saat mendengar adzan Jumat ? Dalam al-Quran maupun al-Hadits tidak dijelaskan.
Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat
mengganggu shalat Jumat dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain,
yang dapat mengganggu shalat Jumat, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra 23;
seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti
dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi.
Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh
dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika Umar bin Khathabb
berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah
mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau
kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul :
Kalau begitu teruskanlah puasamu.

Allah Swt telah mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan,
menghabiskan harta. maka segala minuman yang memabukan dihukum haram juga. Dalam
contoh ini :

1 Segala minuman yang memabukan ialah farun/cabang, artinya yang diqiyaskan.


b. Arak ialah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/mengqiyaskan hukum,
artinya ashal/pokok.

2 Mabuk, merusak akal, ialah Illat penghubung/sebab.

3 Hukum, segala minuman yang memabukan hukumnya haram.

ISTIHSAN

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal
banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah
(Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa
atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama
sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau
kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil
pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan
perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat
digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

ISTIHHAB
Secara etimologi istishab adalah membawa serta bersama-sama atau terus bersama-
sama Menurut ulama ushul fiqih adalah tetap berpegang teguh pada hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Baqoroh:29
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau yang mengecualikan hukum
tersebut.
Contoh
Telah terjadi pernikahan A dengan B, Kemudian mereka berpisah dan berada di
tempat yang berjauhan selama 15 tahun. B ingin menikah dengan si C. Dalam hal ini B belum
dapat nikah dengan si C karena ia masih terikat perkawinan dengan si A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang
dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara si A dan B, adalah
hukum yang ditetapkan oleh istihsan.[5]
Macam-macam istishab
Istishhab al-baraat al-asyiliyyah
Istishhab yang ditunjukan oleh syara
Istishhab hukum
Istishhab washaf

SADDU AL-DZARAI
Saddudz Dzariah terdiri atas dua kata yaitu saddu dan dzariiah. Saddu berarti
penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan dzariiah berarti jalan. Maksunya, adalah
menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan
atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzariiaah yaitu untuk memudahkan tercapainya
kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari
kemungkinan berbuat maksiat.
Misalnya adalah mengerjakan sholat lima waktu. Seseorang baru bisa mengerjakan
sholat lima waktu jika dia sudah belajar, tanpa dia belajar maka tidak akan bisa melakukan
sholat tersebut.
Dasar hukum saddudz dzariiah
a. Firman Allah Q.S.al-Anam:108
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan

AL-URF
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan
bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping
telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang
melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli.
Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah
menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya.
Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli
dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan
dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya
sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya
ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena
itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya
sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang
atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik
pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan
mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku
diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid
telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah
biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

QAULU AL-SHAHABI
Secara bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi artinya
sahabat. Menurut pandangan Imam syafii, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan
oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur
di dalam nash, baik Kitab (Al-Quran) maupun Sunnah
Walaupun pada dasarnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya,
namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan
kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Al-Quran diturunkan dengan bahasa yang benar-
benar mereka kenal dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka banyak mengetahui kasus,
peristiwa atau kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya (asbab an-nuzul) ayat-ayat
tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara
langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini semua
membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Quran dan Sunnah. Selain
itu, dengan berkat pergaulan (shuhbah)-nya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat
tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat
adil
Perkataan sahabat yang tidak mendapat reaksi (tantangan) dari sahabat yang lain adalah
menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa
mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka
yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syariat itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan
mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qathi dari
Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a. perihal bagian beberapa orang nenek
yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam harta peninggalan yang kemudian dibagi rata
antar mereka. Tidak ada sahabat yang membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan
dalam masalah yang sama Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum
yang ditetapkan oleh sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti
oleh kaum muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada
perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.[10]
Dasar hukum
Q.S.at-Taubah:100
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar

SYARU MAN QABLANA


Syarun Man Qablana secara etimologis berarti:
Hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT bagi orang-orang (umat-umat) sebelum kita.
Yang dimaksud Syarun Man Qablana oleh para ahli usul ialah syariat yang diturunkan oleh
Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw.[11]
Pembagian syarun manqoblana
1) Hukum Syara yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nash-nash al-
Quran, seperti tersebut pada surat al-Baqarah (2) ayat 183
2) Hukum Syara yang hanya berlaku bagi umat dahulu saja, karena sudah di-naskh oleh al-
Quran, seperti tersebut pada surat al-Anam (6) ayat 146.
3) Hukum Syara yang disebutkan oleh nash al-Quran maupun al-Sunnah, seperti firman
Allah swt. dalam surat al-Maidah (5) ayat 45
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1 Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad
dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang
mumpuni.Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang
hukum syara yang bersifat praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara
istinbath.
2 Objek ijtihad adalah setiap peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang
bersifat zanni, maupun belum ada nashnya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang
sudah ada ketentuan nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan
meneliti apakah nash bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum,
apakah dibatas keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada
nashnya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau
istihsan atau pemakain urf atau dalil-dalil hukum lainnya
3 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yaitu :
a. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-
Quran baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat
b. Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian
syara, seperti telah diuraikan pada syarat pertam.
c. Mengethui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-
nasakh atau sebagai penggantinya.
d. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma tentang
hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.
e. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas
f. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqh,
h. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
4 Tingkatan Tingkatan Mujtahid
a. Mujtahid Mustaqi
b. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil
c. Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij
d. Mujtahid tarjih
e. Mujtahid fatwa
5 Contoh metode ijtihad
a. Ijma
b. Qiyas
c. Istihsan
d. Istishab
e. Saddu al-dzarai
f. Al-urf
g. Qaulu al-shahabi
h. Syaru man qablana
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.


Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung:
Mizan.
Kasuwi Saiban. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih
Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
http://immtarbiyahpwt.blogspot.com/2012/03/jihad-dan-ijtihad.html
http://lutvhiazamaher.blogspot.co.id/2014/03/metode-ijtihad-istihsan-istishab.html
http://adhiel-qori.blogspot.co.id/2010/10/ijtihad-bayani-filsafat-islamiain-syekh.html
http://muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.co.id/2013/03/makalah-ushul-fikih-metode-
ijtihad_1233.html

Anda mungkin juga menyukai