Anda di halaman 1dari 3

1. Sejarah dan latar belakang berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia. Ia merupakan pelopor gerakan
pembaharuan Islam terdepan. Dalam aktivitasnya, Muhammadiyah bergerak dalam berbagai bidang,
kecuali dalam bidang politik praktis (Rosyadi, 2012: 1). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah,
selanjutnya ditulis Majelis Tarjih, adalah salah satu majelis yang dibentuk oleh Muhammadiyah untuk
memayungi masalah-masalah keagamaan bagi warga Muhammadiyah, dan kaum Muslim Indonesia
pada umumnya. Keberadaan Majelis tersebut merupakan hasil keputusan kongres Muhammadiyah ke-
16 di Pekalongan pada tahun 1927, yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan kelahiran
Muhammadiyah (Rosyadi, 2010: 165). Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi
sosial keagamaan (Karim,1986: 5) yang berorientasi pada tajdid(1)(Zuhri, 1999: 53-54).

Pengertian Tajdid dari segi bahasa yaitu pembaharuan, dan dari segi istilah memiliki dua arti, yaitu:

1. Pemurnian.

2. Peningkatan, pengembangan, modernisasi atau yang semakna dengannya. Praktek dalam


melaksanakan tajdid pada kedua pengertian istilah tersebut diperlukan akal budi yang bersih yang
dijiwai oleh ajaran Islam serta aktualisasi akal pikiran yang cerdas. Karena menurut mereka, tajdid
merupakan watak dari ajaran Islam (Djamil, 1995; 57-58). Oleh karena itu, ada sesuatu yang perlu di
perbaharui karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pada dasarnya tajdid itu ada 2
target yang hendak dicapai, yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan pada keaslian atau
kemurniannya. Target yang kedua, yaitu pembaharuan dalam arti modernisasi. Dengan demikian,
sasaran dari arti yang kedua ini meliputi pembaharuan terhadap metode, sistem, tehnik, strategi, taktik
perjuangan dan lain-lain yang sifatnya selalu berubah serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi
(Zuhri, 1999: 54). Syafi‟i Ma‟arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005) mengartikan
tajdid itu adalah usaha dan upaya intelektual Islam untuk menyegarkan, memperbaharui pengertian dan
penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat (Djamil, 1995: 11-15).

Adapun kerja tajdid adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan ajaran-ajaran Islam
dalam konteks ruang dan waktu. Tajdid berarti pembaruan dalam hidup keagamaan, baik berbentuk
pemikiran ataupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal
maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat (Djamil, 1997; 42).

Dalam menetapkan masalah ijtihad, lebih khususnya adalah masalah ijtihadiyah, dapat menggunakan
sistem ijtihad jama‟iy. Dengan demikian, pendapat perseorangan dari majelis tidak dipandang kuat. Hal
ini, selain agar apa yang dipedomani sebagai hasil ijtihad itu sebagai hasil yang konprehensif, juga
persyaratan memenuhi hasil kriteria pelaku ijtihad, atau mujtahid, sangatlah berat (Asjmuni, 2012; 196-
197). Hal senada juga dikuatkan oleh Tolchah Hasan, bahwa dengan menggunakan ijtihad jama‟iy lebih
menjamin kualitas dan kevaliditasannya, karena melibatkan ahli-ahli ilmu yang menjadi objek kajian
(Zuhri, 1999; 58).
Sejalan dengan isu tajdid yang berkembang, Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu sudah tentu
melepaskan diri dari fanatisme mazhab tertentu, karena kefanatikan disamping membelenggu
perkembangan pemikiran sekaligus berlawanan dengan identitasnya sebagai gerakan tajdid yang
berupaya mengaktualisasikan pemahaman dan penetapan hukum yang relevan dengan perkembangan
zaman (Syakirman, 1994: 100). Dengan banyaknya fanatisme mazhab yang muncul dan persoalan
khilafiyah yang semakin meruncing dikalangan ulama dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an saat itu,
maka langkahyang harus dilakukan adalah membentuk suatu wadah khusus yang menanganinya.

Pembentukan Majlis tarjih juga didasarkan atas kekhawatiran bahwa pertikaian yang dijumpai dalam
masyarakat Islam pada umumnya mungkin sekali masuk ke dalam organisasi Muhammadiyah sendiri
dengan kemungkinan menghambat kemajuan organisasi (Noer, 1973: 93). Maka pada Muktamar XVI
pada tahun 1927 di Pekalongan Jawa Tengah, K.H. Mas Mansur, (Asjmuni,1985; 29),2 mengusulkan agar
Muhammadiyah memiliki sebuah lembaga khusus yang mengkaji persoalan-persoalan hukum Islam yang
akan dibuat pedoman oleh warga Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat Islam Indonesia
pada umumnya (Ensklopedi Hukum Islam, 1997: 1064). Adapun alasan yang melatar belakangi Mas
Mansur mengemukakan usul tersebut adalah adanya anggapan bahwa keberadaan ulama sangat
diperlukan dalam tubuh Muhammadiyah untuk mengawasi gerak langkah perjuangannya agar tidak
menyimpang apalagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan al-Sunnah3(Basyir, 1997: 270). Lain halnya
dengan penelitian Syakirman yang mengatakan bahwa alasan mengenai ide lembaga khusus itu berkait
erat dengan kondisi umat waktu itu, yaitu kebekuan berfikir dan fanatisme mazhab (Syakirman, 1994;
101). Terlepas dari alasan-alasan yang melatarbelakanginya, ide Mas Mansur mengenai pendirian
lembaga khusus tersebut diterima dan disetujui adanya pendirian lembaga dengan nama Majelis Tarjih
(1997; 1064). Keputusan ini

kemudian disahkan pada Muktamar Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 di Yogyakarta, sekaligus
menunjuk KH Mas Mansur sebagai ketua oleh panitia perumus.

Adapun susunan pengurus Majelis Tarjih periode awal ini adalah sebagai berikut (Nasir, 1997; 56):

a. KH Mas Mansur (sebagai ketua)

b. KH. R.Hadjid (sebagai wakil ketua)

c. H. M. Aslam Zainudin (sebagai sekretaris)

d. H. Jazari Hasyim (sebagai wakil sekretaris)

e. KH. Baidawi, KH. Hanad, KH. Wasil, KH. Falil dll (sebagai anggota)

Meskipun Majelis Tarjih secara resmi disahkan pada muktamar XVII, namun pada dasarnya dalam
muktamar XVI di Pekalongan sudah terdapat keputusan pembentukan majelis dan belum disahkan. Dan
adapun faktor utama yang melatarbelakangi lahirnya Majelis Tarjih ini menurut hasil penelitian Asmuni
dkk dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu (Asjmuni, 1985; 37):

a. Faktor Internal
Faktor internal adalah keadaan yang berkembang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri yaitu hal-hal
yang timbul sebagai akibat dari perluasan dan kemajuan yang dicapai oleh persyarikatan ini. Misalnya
dalam waktu yang relatif singkat, kurang lebih tujuh tahun sejak berdirinya, organisasi ini telah

menyebar keseluruh pulau Jawa. Hal ini menjadikan lemahnya kontrol pimpinan terhadap sinkronisasi
terhadap penyelenggaraan amal usaha dengan asas yang melandasi perjuangan Muhammadiyah. Oleh
karena itu keadaan tersebut menuntut adanya pembidangan penanganan masalah yang ada, sehingga
dibentuklah Majelis Tarjih.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat Islam pada umumnya
diluar Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah perselisihan faham mengenai masalah-masalah
khilafiyah. Pertentangan dan perselisihan itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga
mendorong pembentukan Majelis Tarjih. Pada awal berdirinya, lembaga ini lebih banyak mencurahkan
perhatian pada persoalan-persoalan khilafiyah dalam masalah ibadah. Sampai tahun 1953 Majelis Tarjih
baru membahas dan mengkaji persoalan-persoalan khilafiyah dan beberapa masalah praktis yang
berhubungan dengan warga Muhammadiyah. Pada tahun 1954-1955 pokok bahasanya mulai
berkembang, yaitu mengkaji sumber ajaran Islam secara global, yang sebenarnya telah dirintis sejak
tahun 1935 (Ensklopedi Hukum Islam, 1997;1064). Sejak tahun 1960 dalam muktamar Muhammadiyah
di Pekalongan, sesuai perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, Majelis Tarjih mulai
membahas berbagai persoalan hukum kontemporer baik yang telah dibahas oleh ulama fikih klasik
maupun yang sama sekali belum terjadi dan belum dibahas di zaman klasik. Misalnya masalah
pembatasan kelahiran, perburuhan dan hak milik. Sejak tahun 1968-1989 pembahasan Majelis Tarjih
Muhammadiyah mulai terpusat pada berbagai persoalan kontemporer, khususnya yang berkaitan
denganpersoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik, aborsi, KB, bayi
tabung dan lain lain (Ensklopedi Hukum Islam, 1997; 1064).

Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu dan teknologi, sejak muktamar di Banda Aceh tahun
1995, Majelis Tarjih disempurnakan dengan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Dalam perkembangannya, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tersebut, pada tahun 2000
banyak menghasilkan keputusan-keputusan musyawarah nasional tarjih XXIV yang menyangkut tentang
kaidah-kaidah pokok Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, seperti tuntutan manasik haji,
taharah, tuntunan Ramadhan, zakat fitrah dan zakat mal, tuntutan keluarga sakinah dan masalah
keagamaan kontemporer, seperti penanggulangan HIV, penyalahgunaan narkoba, HAM dan
perdagangan saham atau valas), tafsir al- Qur'an tematik tentang hubungan sosial antar umat beragama,
serta strategi gerakan tajdid dan pengembangan pemikiran Islam (Berita Resmi Muhammadiyah, 2002;
126-148). Pembahasan tentang pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih di atas menunjukkan
keseriusan Majelis Tarjih di dalam melahirkan pengembangan pemikiran Islam dari suatu lembaga di
dalam naungan organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah yang selalu komitmen terhadap
pembaharuan pemikiran dan penghayatan agama atau yang sering kita kenal sebagai gerakan tajdid.

Anda mungkin juga menyukai