Anda di halaman 1dari 10

Fastabiq: Jurnal Studi Islam

ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022
Halaman: 94 - 103

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

DOI: https://doi.org/10.47281/fas.v3i1.105

Yudistia Teguh Ali Fikri1*, Ida Abdul Gopar2, Esty Faatinisa3, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan4
1,3,4Universitas Muhammadiyah Bandung, Indonesia
2Universitas Pelita Bangsa Bekasi, Indonesia
*E-mail: yudistiateguh@umbandung.ac.id

Abstract
This article introduces the legal istinbath method of the tarjih muhammadiyah council. The tarjih council
was born in the decision of the Pekalongan congress in 1927 the function to consider and resolve all
problems that arise is debated by Muhammadiyah people to know the opinion chosen because it is
bold and its postulates based on the Qur'an and As-Sunnah. This article aims to find out how the
istinbath method used by Muhammadiyah in establishing law, using a qualitative approach, by adding
data from secondary data sources, previous research, or existing data in organizations or agencies.
The istinbath tarjih muhammadiyah method is based on the Al-Quran and As-Sunnah, The ijtihad
method with Bayani, Burhani, and Irfani Muhammadiyah approaches solves problems that occur in
society.

Keywords: Istinbath, Islamic Law, Tarjih Council, Muhammadiyah

Abstrak
Artikel ini mengenalkan metode istinbath hukum majelis tarjih muhammadiyah. Majelis tarjih lahir
dalam keputusan Muktamar Pekalongan tahun 1927. Majelis tarjih berfungsi untuk
mempertimbangkan dan menyelesaikan semua masalah yang muncul diperdebatkan oleh orang-
orang Muhammadiyah untuk diketahui pendapat dipilih karena berani dan postulat yang bedasarkan
pada Al-Qur'an dan al-Sunnah. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana metode istinbath
yang gunakan oleh Muhammadiyah dalam menetapkan suatu hukum, dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, dengan menambahkan data dari sumber data sekunder, penelitian terdahulu
ataupun data yang ada dalam organisasi ataupun instansi. Metode istinbath tarjih muhammadiyah
melandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah, metode ijtihad dengan pendekatan bayani, burhani, dan
irfani muhammadiyah menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.

Kata Kunci : Istinbath, Hukum Islam, Majelis tarjih, Muhammadiyah


Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

PENDAHULUAN
Indonesia menjadi sejarah lahirnya salah satu organisasi masyarakat islam terbesar di dunia.
Muhammadiyah lahir dari buah pemikiran KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 8 dzulhijjah 1330 H
atau 18 November 1918 M. Ahmad dahlan saat itu berpikir bahwa umat islam di Indonesia sudah
dirasuki dengan amal-amalan yang berbau mistik, karna fenomena tersebutlah Ahmad dahlan
mempunyai keinginan yang sangat kuat agar umat islam kembali kepada ajaran islam yang
seharusnya yang berdasarkan pada Al-Quran dan Hadist.
Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia adalah Indonesia. Dengan jumlah
umat muslim yang besar itulah menjadi moadal utama muhammadiyah lahir di Indonesia. Tidak hanya
muhammadiyah saja organisasi masyarakat islam yang ada di Indonesia ada pula nahdlatul ulama
yang didirikan oleh KH, Hasyim Ashari, persatuan Islam, dan banyak lagi ormas islam. dari berbagai
ormas islam itulah berbagai fatwa lahir karna bagi sebagian umat muslim yang menjadi anggota dari
salah satu ormas maka mereka akan mengikuti apa yang menjadi fatwa yang dikeluarkan oleh ulama-
ulama ormas tersebut. Kasus yang sering kita jumpai seperti dalam penetapan 1 ramadhan dan 1
syawal, ini sering sekali terjadi perbedaan antara ormas islam dan keputusan itu selalu di ikuti oleh
anggota-anggota ormas tersebut.
Hukum Islam merupakan penghalang bagi manusia dalam interaksi sosial, hukum Islam dapat
berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat dan sebagai bentuk masyarakat.[1] Setiap ormas
islam memiliki metode yang berbeda-beda dalam menetapkan suatu hukum. Muhammadiyah dalam
perjalanannya menetapkan hukum bedasarkan hasil majelis tarjih muhammadiyah, nahdlatul ulama
menetapkan hukum bedasarkan hasil Batshul masail, persatuan islam bedasarkan hasil dewan hisbah
dan lain-lain.
Majelis tarjih dan tajdid yang dibentuk Muhammadiyah merupakan wadah ijtihad bagi
masyarakat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang sering dihadapi umat Islam di Indonesia.
Baik berupa pemikiran hukum Islam yang sudah ada dan kemudian dibangun kembali, atau
memberlakukan undang-undang pada masalah baru.[2] Muhammadiyah harus bisa membuka mata
atas ijtihad sebagai suatu perbuatan yang harus dilakukan dengan serius dan sistematis yang akan
berdampak jangka panjang di masa modern seperti sekarang ini ujar Syafi’i Maarif.[3]
Dari uraian diatas, metode istinbath hukum majelis tarjih muhammadiyah menjadi suatu
menarik untuk di analisis lebih mendalam, karena muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat
islam di Indonesia tentunya akan mengeluarkan fatwa dalam menyelesaikan permasalahan hukum
islam yang sering terjadi di masyarakat.

METODE PENELITIAN
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana metode istinbath yang gunakan oleh
Muhammadiyah dalam menetapkan suatu hukum. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif,
dengan menambahkan data dari sumber data sekunder, penelitian terdahulu ataupun data yang ada
dalam organisasi ataupun instansi. Metode pengumpulan data dalam tulisan ini penulis menggunakan
metode kepustakaan (Library research). Metode kepustakaan adalah metode yang menggunakan
MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

95
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

data-data yang bersumber dari buku, jurnal, laporan publikasi, majalah dan karangan lainnya yang
berhubungann dengan data yang akan diteliti. Dengan metode ini penulis tidak perlu melakukan
penelitian lapangan cukup dengan mengumpulkan data-data dan dokumen dari referensi yang sesuai
dengan penelitian penulis.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Awal Mula Lahirnya Majelis Tarjih
Majelis Tarjih lahir dari keputusan Muktamar Pekalongan pada tahun 1927. Munculnya Majelis
Tarjih dilatarbelakangi oleh tantangan yang dihadapi oleh banyak organisasi pada saat masalah
aqidah dan fikih seperti dalam kasus perjanjian Ahmadiyah tahun 1920. Isa al-mau' basah dan Mahdi
Mujaddid. Pemahaman keagamaan sesat sawad al-a'zam yang dibawa oleh Ahmadiyah mendorong
lahirnya perkumpulan Musywarat al Ulama yang berafiliasi dengan organisasi Muhammadiyah yang
pada gilirannya menjadi cikal bakal terbentuknya Majelis Tarjih Muahammadiyah.[4]

Majelis Tarjih Telah menyelesaikan persoalan hukum yang terus diperdebatkan dan hasilnya
menjadi pedoman yang digunakan bagi seluruh insan Muhammadiyah untuk mengamalkan ajaran
Islam agar masyarakat Muhammadiyah tidak terpecah belah karena persoalan iktilafiyah.[5]
Faktor fiqh yaitu faktor yang tampak dari dalam berupa orientasi terhadap konsolidasi dalam
organisasi Muhammadiyah. Dengan terbentuknya majelis tarjih harus mampu menuntaskan
permasalahan dan konflik yang terjadi di masyarakat, terkhusus bagi seluruh masyarakat
muhammadiyah. Kasus ikhtilafiyah yang di putuskan oleh majelis tarjih menjadi referensi bagi anggota
muhammadiyah. Dalam aspek sosiologis dewan tarjih akan sangat berperan dalam membentuk
kerangka ideologis alternatif. Masalah agama yang mucul bagi para kaum muslimin terdapat
ikhilafiyat.[6] Pada awal periode, pembentukan Majelis Tarjih lebih berorientasi pada pembinaan
ibadah kepada seluruh masyarakat Muhammadiyah dan pemulihan kesadaran beragama sesuai
dengan Syariat Islam.[6]

2. Fungsi dari Majelis Tarjih Muhammadiyah


Dewan Tarjih, berada dalam naungan Nabi Muhammad yang asli mempunyai fungsi untuk
mempertimbangkan dan menyelesaikan semua masalah yang muncul diperdebatkan oleh orang-
orang Muhammadiyah untuk diketahui pendapat dipilih karena berani dan postulat yang bedasarkan
pada Al-Qur'an dan al-Sunnah. Majelis tarjih dengan dinamika yang dihadapi mengalami
perkembangan yang sesuai dengan kebutuhan. Dari majelis inilah lahir manhaj tarjih dalam organisasi
Muhammadiyah sebagaimana dalam periode awal pembentukannya tentang lima isu yang mencakup:
Definisi Agama, Definisi Dunia, Definisi Ibadah, Definisi Sabilillah, Definisi Qiyas.[7]
Paradigma muhammadiyah dalam pengembangan keagamaan, dakwah, pemikiran
keagamaan dan metodologinya yang masuk sebagai mabadi khamsah. Dalam rumusan masalah lima,
setiap masalah didefinisikan dan dijelaskan sambil mejadikan batasan dalam agama yang tidak dapat
diubah dan area perkara yang dapat diubah.[7] Penampilan termasuk kasus-kasus yang termasuk
dalam metode ijtihad yang tercakup dalam edisi kelima diwakili oleh qiyas dan umur dunyawiyah. Dari
masalah ini lima, maka terus melakukan perbaikan pada periode berikutnya dalam merumuskan
manhaj bertarjih karena persyaratan dan tantangan yang mereka hadapi maka dalam kurun waktu
1985-1990 ia berhasil merumuskan 16 pokok manhaj tarjih.[7]
Langkah strategis yang diambil majelis tarji muhamediyah adalah pertempuran yang sangat
penting melawan tarji manj. Pada tahun 1971, dalam keputusan MUNAS XXVI, fungsi dan wewenang
Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Fungsi tarjih lajnah adalah:[8] Legislasi bidang agama; Masalah
keagamaan memerlukan pengkajian, penelitian dan pengembangan; Lahirnya fatwa dalam bidang
keagamaan; Berkontribusi dalam menyikapi perbedaan atau faham keagamaan.
MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

96
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

Kewenangan Lajnah Tarjih pada Munas ke-26 tahun 1993 diadakan di Padang. Dijelaskan
sebagai berikut: Berkontribusi membuat sebuah keputusan dalam bidang Agama; Mengeluarkan
Fatwa dan nasihat; Berkontribusi menjelaskan atas terjadinya multitafsir terhadap keputusan yang
dikeluarkan lajnah; Mengkomunikasikan keputusan lajnah;Berkontribusi dalam menyikapi perbedaan
atau faham keagamaan.

3. Istinbath Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah


Dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia dalam sejarahnya setidaknya menunjukkan
fenomena yang transformatif dan berkembang, namun masih terdapat rasa paralelisme yang kuat di
dalamnya. Berdasarkan alam kontinuitas dan perubahan, telah mengalami perkembangan pemikiran,
tidak hanya tambal sulam, tapi seperti musim salju, kadang datang dan pergi untuk menciptakan
sebuah karakter yang baru. Dengan demikian, wajar jika taksonomi dan tipologi yang ada menjadi
modernis dan tradisional.[9] Saat ini sudah tidak lagi relevan dalam menggabarkan harakah pemikiran
tersebut.Muhammadiyah lebih di kenal oleh masyarakat Indonesia sebagai organisasi islam yang
memiliki pemikiran islam modern.[10] dengan penilaian masyarakat tersebut, tidak mutlak saat ini
Muhammadiyah seperti organisasi sosial keagamaan yang sering dikenal dengan gerakan Islam,
gerakan Tajdid dan Dakwah.[11]
Muhammadiyah sudah memiliki keinginan untuk merumuskan kembali tajdid. Ini yang terjadi
pada tahun 1968.Ada dua makna dalam perkataan tajdid, adalah dilihat dari sasarannya.
Pertama, pembaruan yang signifikan untuk kembali ke aslinya adalah jika taddid adalah target
masalah, memiliki dukungan, pangkalan, fondasi, dan arcade yang tidak dapat diubah. Kedua,
Pembaharuan rata-rata, yang berarti modernisasi, adalah ketika sasarannya adalah masalah yang
tidak memiliki dukungan, dasar, seperti metode, sistem, teknik, strategi, taktik, dll. sekaligus harus
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.[12, hlm. 2]
Akal menjadi sangat berperan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah bagi pandangan
Muhammadiyah. Hanya saja Muhammadiyah tetap berpandangan bahwa peran akal cukup terbatas
bila dikaitkan dengan memecahkan permaslahan yang terjadi saat ini, akal pula sangat terbatas dalam
memahami Al-Quran. Oleh karena itu, peran akal menjadi tidak dominan bagi muhammadiyah dalam
memecahkan permasalahan hukum islam. Tidak diragukan lagi itu Muhammadiyah menekankan
relativitas akal dalam pengertian al-Qur'an dan hadits. Namun, relativitas akal hanya terbatas pada
makna urusan peribadatan yang ketentuannya diatur dalam nash.
Bila ada dalil dan bukti yang lebih kuat keputusan majelis tarjih bisa dikoreksi, hanya saja tentu
ada mekanisme organisasi yang harus di tempuh dan bedasarkan keputusan majelis tarjih dari hasil
musyawarah. Hal ini majelis tarjih menunjukkan bahwa keputusannya tidak mutak, tetapi ketika
ditempatkan itu terlihat paling dekat dengan kebenaran di antara argumen yang diambil pada saat itu.
Keputusan majelis tarjih memiliki konsekuensi logis dimana berpeluang mengubah apakah
kedepannya ada argumentasi atau dasar yang dianggap lebih kuat. Kasus ini itu terjadi beberapa kali.
Misalnya, pernah diputuskan bahwa pemasangan dilarang Foto KH Ahmad Dahlan Khawatir Umat
Muhammadiyah Melakukannya kultus individualitas. Sosok KH. Ahmad Dahlan perlu
mempertimbangkan untuk memperkenalkan diri kepada generasi penerus dimasa yang akan datang,
lalu larangan kemudian dicabut dan foto itu dibiarkan ditempatkan di situs-situs pendidikan
Muhammadiyah. Hanya saja, dalam aspek ibadah pribadi tetap menjadi perhatian yang selalu di kritisi
di muhammadiyah.[13] Agama dan dunia menjadi aspek yang harus dibedakan oleh muhammadiyah,
selain itu, pengetahuan sains digunakan dalam pendekatan ilmiah dalam menyelesaikan masalah
ibadah duniawi.
Pendekatan bayani, burhani dan irfani merupakan metodelogi islam yang digunakan majelis
tarjih muhammadiyah. Dalam memahami islam secara intergratif muhammadiyah memerlukan
kelengkapan yang cukup, diantaranya: (1) konteks intelektual, dalam memahami fenomena
keagamaan secara utuh sangat diperlukannya informasi yang memadai. (2) seseorang memerlukan
pengendalian emosi yang matang dalam memahami islam secara utuh. (3) Seseorang harus memiliki

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

97
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

motivasi yang kuat dalam memahami islam. (4) memiliki pengalaman ketika seseorang memiliki
kontak positif dengan berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan ajaran Islam.[14]
Dari uraian di atas, dalam perfektif Muhammad Ma’aruf al-Dawalibi menerangkan bahwa majelis tarjih
muhammadiyah menggunakan metode nalar, dengan cara memperlajari semantik (model bayani),
pengertian ‘illat’ (model ‘ta’lili) dan mamfaat dari nash umum (model istislahi).[15] Selain itu, Majelis
Tarjih Muhammadiyah melakukan ijtihad dengan ijtihad jama'i (ijtihad dilakukan secara kolektif oleh
masyarakat Muhammadiyah yang berwenang mengeluarkan fatwa).
Dengan demikian, Dewan majelis tarjih muhammadiyah memiliki naluri hukum dengan
menggunakan beberapa metode (manhaj) yang berhubungan nash tentang permaslahan hukun yang
dihadapi, antara lain:
a. Tidak harus adanya perdebatan apabila permasalahan sudah memiliki nash yang qath’i.[16]
b. Masalah yang memiliki nash tetapi masih kontroversial atau timbal balik berlawanan satu nash
dengan nash lain atau nilai teks berbeda, maka Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Tawaqquf, yaitu Dikeluarkannya bukan bedasarkan hasil keputusan, dikarenakan adanya
pendapat yang berlawanan yang tidak dapat di kompromikan dan tidak bisa memberikan
solusi lain dengan adanya dalil yang lebih kuat, seperti halnya qunut dalam shalat witir.[17]
2) Tarjih, yaitu karena adanya pertentangan dalam sebuah nash maka di ambilah dalil yang
paling kuat. Ada beberapa metode yang bisa digunakan, yakni:
a) Menurut syara’ Membiarkan prioritas jarh (teguran) dapri dalam ta'dil diperbolehkan jika
ada informasi yang jelas.
b) tadlis sering terjadi dalam periwayatan itu dapat diterima apabila sanadnya bersambung
dari apa yang diriwayatkannya, dan tadlisnya itu tidak sampai tercela.
c) kata musytarak dimata sahabat salah satunya harus diterima.
d) Kata-kata yang diungkapkan dengan apa yang dimaksud dengan interpretasi teman,
yang harus diamalkan dan diprioritaskan adalah makna kata tertulis.[17]
3) Jam’u, yaitu Dalam penghimpunan beberapa pendapat yang dalam penyelesaiannya terdapat
pertentangan. Misalkan, apabila ditemukan kasus sebuah hadist shahih, hanya saja hadist
tersebut bertentangan dengan ajaran islam itu sendiri, maka lahirnya hadist tersebut karena
adanya sugesti yang tidak dianjurkan tidak mengikat secara hukum.[18]
c. Fenomena di masyarakat memerlukan ketentuan hukum, hanya permasalahan yang terjadi di
masyarakat tidak ada nash yang bisa menyelesaikannya, maka peran majelis tarjih
muhammadiyah melakukan ijtihad dengan mengisbatkan hukum kepada prinsip ajaran islam,
semisal dengan prinsip kemamfaatan atau dengan alasan darurat yang dapat membuat kerusakan
Dari uraian diatas, majelis tarjih muhammdiyah dalam melakukan ishtibat hukum menjadikan
sumber yang mutlak yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan metode ijtihad bisa dilakukan apabila
terdapat persoalan tidak disebutkan secara tersurat dalam Al-Quran dan Hadist.

4. Memahami Pendekatan bayani, burhani dan irfani dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah
Islam sebagai Agama yang komprehensif dalam terminologi kontemporer merupakan
Pendekatan multidisiplin dan interdisipliner ini dimaknai oleh pendekatan bayani, burhani dan irfani.
Realitas ini dapat ditemukan dalam konsep laba-laba Amin Abdullah bahwa untuk memahami Islam
MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

98
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

diterapkan pendekatan “integrative-interconnected” yang menghubungkan ilmu agama dan ilmu


umum.[19] Bedasarkan konsep laba-laba dari M. Amin Abdullah, Sebagai organisasi yang modern
dalam aspek pemikirannya muhammadiyah tentunya tidak akan mengacu dengan model pendekatan
parsial, melainkan dengan pendekatan yang komprehensif dan universal. Di era kontemporer
muhammadiyah tidak hanya memiliki pemikiran yang besifat konseptual a sich tetapi justru mengacu
pada prinsip islam sebagai agama rahmatan lil alamin demi mewujudkan falsafah kehidupan dengan
semboyan baldatun taoyyibatun warabbun ghofur.[20]
a. Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani ini merujuk pada nash syariat islam (Al-Quran dan As-Sunnah).[21]
Muhammadiyah dalam menetapkan hukum berdasarkan sumber utama umat Islam atau
pandangan hidup umat Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pendekatan Bayani adalah metode pendekatan untuk dapat menganalisis teks untuk
mendapatkan makna yang terkandung dengan menggunakan empat jenis bayan:
1) Bayan al-i’tibar, yaitu memberikan pandangan yang berkaitan dengan al-qiyas al-bayani dan al-
khabar yang bresifat yaqin atau tashdiq.
2) Bayan al-i’tiqad, yaitu memberikan pandangan yang berkaitan dengan makna haqq,
mutasyabbih, dan bathil.
3) Bayan al-‘ibarot, memberikan pandangan yang berkaitan dengan bayan zhahir dan bayan
bathin.
4) Bayan al-kitab, yaitu alat untuk mendalami argument, yaitu kitab.[22]
Bayani merupakan penjelasan (explanation), berkomunikasi dengan menjelaskan suatu
pembicaraan dengan kalimat yang baik. menurut ulama ushul fiqh bayan merupakan sebuah
prosen dalam memahami suatu argumen pembicaraan (kalam) dan mukallaf harus bisa betul-betul
memahami dengan rinci dari sebuah argumen pembiacaraan.[23]
Al-Syafii menjelaskan hirarki bayan terhadap Al-Quran memiliki lima tingkatan (1) dimana
bayan tidak memerlukan adanya penjelasan; (2) dimana bayan diantaranya membutuhkan adanya
penjelasan sunnah; (3) dimana keseluruhan bayan bersifat umum makan diperlukannya
penjelasan As-Sunnah; (4) dimana bayan berada dalam nash As-Sunnah namun tidak terdapat
dalam nash Al-Quran. (5) dimana bayan tidak terkandung dalam nash Al-Quran juga dalam nash
As-Sunnah, sehingga lahirlah qiyas sebagai metode dalam ijtihad.[24]
Mashadir al hukm al islamy al muttafaq alaih adalah Al-Quran, As-Sunnah, Ijma, dan qiyas,
ini merupakan pendekatan bayani yang disepakati oleh para ulama.[25] Dalam konteks penetapan
waktu shalat subuh sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra Ayat 78.
‫ق ٱلَّ ۡي ِل َوقُ ۡر َءانَ ۡٱلف َۡج ِۖ ِر إِنَّ قُ ۡر َءانَ ۡٱلف َۡج ِر كَانَ َم ۡش ُهودٗا‬
ِ ‫س‬ َ ‫شمۡ ِس إِلَ ٰى‬
َ ‫غ‬ َّ ‫أَق ِِم ٱل‬
َّ ‫صلَ ٰوةَ ِلدُلُوكِ ٱل‬
“Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan
pula salat) Subuh. Sungguh, salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra Ayat 78)
Dalam ayat tersebut menjelaskan waktu shalat dalam lima waktu, tergelincirnya matahari
menandakan waktu shalat dzuhur dan ashar, langit mulai gelap menandakan waktu shalat magrib,

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

99
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

isya, dan subuh.[26] Dengan demikian ini menunjukkan waktu shalat bagi umat muslim terdapat
lima waktu.
“Dari Basyir ibn Abi Mas’ud, bahwa Rasulullah saw salat Subuh sesekali di waktu masih
gelap dan di lain waktu Nabi melaksanakan salat Subuh di waktu terang, kemudian setelah itu
beliau melasanakan salat di waktu gelap hingga beliau wafat. (HR. Abu Dawud).”
Memperhatikan ayat dan hadis di maka waktu dalam melaksakan shalat subuh di tunjukan
dengan adanya fenomena alam. kondisi dimana langit masih dalam keadaan gelap. Awal waktu
shalat subuh ṭulū‘ al-fajr ilā ṭulū‘ al-syams yaitu terbit fajar hingga terbit matahari.
b. Pendekatan Burhani
Pendekatan burhani merupakan pendekatan ilmu pengetahuan yang di gunakan oleh
muhammadiyah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.[21] argumentasi yang jelas (al-
bayyinah) untuk dapat membedakan (disstinc/al-fashl); demonstrasi (bahasa Inggris), yang dalam
bahasa latin berarti demonstrasi (penjelasan, uraian, watak dan tanda tangan). Jika dikaitkan
dengan logika (mantiq), burhani merupakan pola fikir yang membenarkan suatu premis dengan
mencari kesimpulan (al-istintaj), menyatukan premis dengan premis yang lain yang dapat
ditemukan nalarnya. Secara umum, burhani merupakan menemukan kebenaran suatu premis oleh
akal.[23]
Pendekatan ini merupakan sebuah model dari penalaran burhani diawali dengan pemikiran
yang abstrak yang bersifat ‘ta’aqqul agar dalam implementasi muncuk sebuah konsepsi, yang
dimana konsepsi ini perlu direkonstruksi agar lebih dapat dipahami, maka disinilah permainan kata
berlaku, permainan kata merupakan alat dalam komunikasi, cara berpikir, dan simbol dari
konseptual.[27]
Dalam kasus serupa dalam penetapan waktu shalat subuh. Secara ilmiah, fajar adalah titik
temu antara malam dan siang. Bahkan secara syar'i, fajar merupakan pertemuan antara malam
dan siang, antara lain terdapat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 187 dan Q.S. al-Ṭūr (52): 49.[25] Dengan
demikian, cara mendeteksi keberadaannya dapat dilakukan secara manual, dengan melihat
langsung ke pantai ufuk timur beberapa saat sebelum matahari terbit. Cara ini digunakan oleh para
sahabat pada zaman Nabi, meskipun tidak selalu dilakukan di pantai, karena cahaya fajar justru
terlihat menyebar dari balik perbukitan.
Tidak ada cara lain, kehadiran fajar harus direkam secara otomatis menggunakan sensor
modern yang mampu mendeteksi keberadaan fajar. Dengan merekam menggunakan sensor
modern, kita dapat membandingkan dan menganalisis rekaman untuk memastikan bahwa waktu
yang sebenarnya muncul adalah fajar. Dengan demikian, subjektivitas akan hilang, pendaftaran
dan proses dapat diotomatisasi, standar kualitas akan lebih terjamin untuk mencapai hasil yang
cepat dan akurat. Keputusan dapat dibuat atas dasar analisis yang komprehensif dari data yang
direkam.
c. Pendekatan Irfani
Pendekatan irfani merupakan pendekatan yang digunakan oleh Muhammadiyah bedasarkan
nuarani dan intuisi batin melalui pembersihan jiwa, maka ini menunjukkan sebuah kamjuan ilmu

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

100
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

pengetahuan dan teknoligi tidak menjadi dasar utama dalam menetapkan sebuah keputusan
melainkan juga harus didasarkan pada kepekaan nurani atas semua petunjuk dari Tuhan yang
maha tinggi.[21] Pendekatan irfani adalah metode dalam memahaami suatu pengalaman yang
berhubungan dengan bathin, al-zawq, qalb, wijdan, bashirot, dan intuisi.[22]
Pendekatan ini merupakan bentuk dasar (mashdar) dalam kata arafa yang termasuk dalam
kategori ma'rifah. Istilah al-irfan berbeda dari kata al-ilm karena menunjukkan bagaimana orang
memperoleh objek pengetahuan (al-ma'lumat) melalui transformasi (naql) atau rasional ('aql),
pengetahuan dan pengalaman langsung dari suatu objek. ilmu yang disebut dengan 'irfan atau
ma'rifah.[23]
Dalam kasus serupa dalam penetapan waktu shalat subuh. Karena sesuai dengan teks Al-
Qur'an dan hadits yang dekat dengan suasana zaman Nabi, maka jalan tengahnya tidak terlalu
ekstrim maupun terlalu dini, masing-masing -18 derajat. Ini adalah koreksi ketinggian (Dip) yang
menggunakan -20 derajat

SIMPULAN
Metode istinbath tarjih muhammadiyah didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pemahaman Muhammad tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah mencakup peran akal, akal saja yang
cukup terbatas dalam memecahkan masalah yang muncul saat ini, dan juga dalam konteks Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Muhammadiyah menempatkan fungsi akal tidak dominan dalam menetapkan
masalah hukum islam. Tidak diragukan lagi itu Muhammadiyah menekankan relativitas akal dalam
pengertian al-Qur'an dan hadits. Namun, relativitas akal hanya terbatas pada makna urusan
peribadatan yang ketentuannya diatur dalam nash.
Metode ijtihad dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani muhammadiyah menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendekatan bayani ini merujuk pada nash syariat islam
(Al-Quran dan As-Sunnah), pendekatan burhani merupakan pendekatan ilmu pengetahuan yang di
gunakan oleh muhammadiyah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, Pendekatan irfani
merupakan pendekatan yang digunakan oleh Muhammadiyah bedasarkan nuarani dan intuisi batin
melalui pembersihan jiwa, maka ini menunjukkan sebuah kamjuan ilmu pengetahuan dan teknoligi
tidak menjadi dasar utama dalam menetapkan sebuah keputusan melainkan juga harus didasarkan
pada kepekaan nurani atas semua petunjuk dari Tuhan yang maha tinggi.

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

101
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

ENDNOTES

[1] A. Syarifuddin, Meretas kebekuan ijtihad: isu-isu penting hukum Islam kontemporer di
Indonesia. Ciputat Press, 2002.
[2] N. Khoiri, “Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,” Asy-Syirah J. Ilmu Syariah Dan
Huk., vol. 47, no. 1, hlm. 169–218, 2013.
[3] D. Berkah, “Perkembangan Pemikiran Hukum dalam Muhammadiyah,” J. Huk. Islam, 2012.
[4] M. Djasman, Sejarah Berdirinya Muhammadiyah. Almanak Muhammadiyah, 1988.
[5] M. Tarjih, “Buku Agenda Musyawarah Nasional ke 27 Tarjih Muhammadiyah,” Yogyak. Tp,
2010.
[6] A. Jainuri dan A. N. Fuad, Ideologi kaum reformis: Melacak pandangan keagamaan
muhammadiyah periode awal. Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002.
[7] P. P. Muhammadiyah dan A. M. Mulkhan, “Haedar Nashir, Manhaj Gerakan
Muhammadiyah…, h. xxi”.
[8] M. T. P. Muhammadiyah, “Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah,” Pimpinan Pus.
Muhammadiyah Majl. Tarjih, 1971.
[9] M. Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris. PT LKiS
Pelangi Aksara, 2005.
[10] D. Noer, “Gerakan Islam Modern di Indonesia 1990-1942,” Jkt. LP3ES, 1982.
[11] M. K. Kamal, C. Yusuf, dan A. R. Sholeh, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Persatuan, 1988.
[12] A. Wijaya, “Manhāj Majelis Tarjih Muhammadiyah Dalam Transformasi Hukum Islam
(Fatwa),” Al-Risal., vol. 19, no. 1, hlm. 66–76, 2019.
[13] D. Fathurrahman, “Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,” Jkt. Logos, 1995.
[14] A. M. Ali, Ilmu perbandingan agama di Indonesia. IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
[15] M. M. ad-Dawalibi ruf, al-Madkhal ila „Ilm Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Kutub al-jadidah,
1965.
[16] M. N. Bakry, Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah Dalam Pembinaan Hukum Islam di
Indonesia. Karya Indah, 1985.
[17] P. P. Muhammadiyah, “Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,” Pikiran Pembaca
Muhammadiyah Yogyak., 1971.
[18] M. T. Muhammadiyah, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat,” Suara
Muhammadiyah Nomor, vol. 1, hlm. 15, 1965.
[19] M. Musliadi, “Epistemologi Keilmuan dalam Islam: Kajian terhadap Pemikiran M. Amin
Abdullah,” J. Ilm. Islam Futura, vol. 13, no. 2, hlm. 160–183, 2014.
[20] B. A. Setiawan, “Manhaj Tarjih Dan Tajdid: Asas Pengembangan Pemikiran dalam
Muhammadiyah,” Tarlim J. Pendidik. Agama Islam, vol. 2, no. 1, hlm. 35–42, 2019.
[21] M. Tarjih, “Pedoman Hisab Muhammadiyah,” Yogyak. Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan
Pus. Muhammadiyah, 2009.
[22] Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Modul Praktikum A Bidang Kefatwaan. IAIN
Antasari Press.
[23] A. F. Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayâni, Burhânî, dan ‘Irfânî dalam Ijtihad
Muhammadiyah,” AHKAM J. Ilmu Syariah, vol. 12, no. 1, 2012.
[24] M. A. al-jabiri, Bunya al-‘Aql al-‘Arabî, Cet, VI. Bayrût: Muhammad abid al-Jâbirî, Bunya al-
‘Aql al-‘Arabî, cet, VI (Bayrût,: Bayrût: al-Markaz al-Tsaqâfî al- ‘Arabî, 1993.
[25] T. Kurniawan dan F. Riyadi, “Pendekatan Bayani, Burhani, Dan Irfani Dalam Menentukan
Awal Waktu Subuh Di Indonesia,” YUDISIA J. Pemikir. Huk. Dan Huk. Islam, vol. 12, 2021.
[26] A. Mughits, “Problematika Jadwal Waktu Salat Subuh di Indonesia,” Asy-Syirah J. Ilmu
Syariah Dan Huk., vol. 48, no. 2, hlm. 467–487, 2014.
[27] M. A. al-Jâbirî, Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî cet VIII, Cet, VIII. Bayrût: al-Markaz al-Tsaqâfî al-
‘Arabî.

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

102
Fastabiq: Jurnal Studi Islam
ISSN 2723-0228
Vol. 3 No. 2 Bulan Nopember Tahun 2022

REFERENSI
Abbas, Afifi Fauzi. “Integrasi Pendekatan Bayâni, Burhânî, dan ‘Irfânî dalam Ijtihad Muhammadiyah.”
AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah 12, no. 1 (2012).
Abîd al-Jâbirî, Muhammad. Taqwîn al-‘Aql al-‘Arabî,. Cet. VIII. Bayrût,: al-Markaz al-Tsaqâfî al- ‘Arabî,
1991.
Ali, A. Mukti. Ilmu perbandingan agama di Indonesia. IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Bakry, M. Natsir. Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah Dalam Pembinaan Hukum Islam di Indonesia.
Karya Indah, 1985.
Berkah, Dian. “PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DALAM MUHAMMADIYAH.” JURNAL
HUKUM ISLAM, 25 Februari 2016. http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/575.
Fathurrahman, Djamil. “Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah.” Jakarta: Logos Publising
House, 1995.
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris. PT LKiS
Pelangi Aksara, 2005.
Jâbirî, Muhammad abid al-. Bunya al-‘Aql al-‘Arabî. Cet, VI. Bayrût,: Bayrût: al-Markaz al-Tsaqâfî al-
‘Arabî, 1993.
Jainuri, Achmad, dan Ahmad Nur Fuad. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah Periode Awal. Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002.
Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum. Modul Praktikum A Bidang Kefatwaan. IAIN Antasari.,
t.t.
Kamal, Musthafa Kamal, Chusnan Yusuf, dan A. Rosyad Sholeh. Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam. Persatuan, 1988.
Khoiri, Nispul. “Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah.” Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum 47, no. 1 (1 Januari 2013). https://doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2013.%x.
Kurniawan, Taufiqurrahman, dan Fuad Riyadi. “Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Menentukan Awal Waktu Subuh di Indonesia.” YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam 12, no. 1 (2021): 17–34.
Ma, Muhammad. ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila „Ilm Ushul al-Fiqh. Damaskus, Dar al-Kutub al-
Jadidah, 1965.
Mughits, Abdul. “Problematika Jadwal Waktu Salat Subuh di Indonesia.” Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum 48, no. 2 (2014): 467–87.
Muhammadiyah, Majlis Tarjih. “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat.” Suara Muhammadiyah,
Nomor 1 (1965): 15.
Muhammadiyah, P. P. Manhaj Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta, 2009.
Muhammadiyah, Pimpinan Pusat. “Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah.” Pikiran
Pembaca Muhammadiyah, Yogyakarta, 1971.
———. “Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah.” Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majlis Tarjih, 1971.
Musliadi, Musliadi. “Epistemologi Keilmuan dalam Islam: Kajian terhadap Pemikiran M. Amin
Abdullah.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 160–83.
Noer, Deliar. “Gerakan Islam Modern di Indonesia 1990-1942.” Jakarta: LP3ES, 1982.
Setiawan, Bahar Agus. “Manhaj Tarjih Dan Tajdid: Asas Pengembangan Pemikiran dalam
Muhammadiyah.” Tarlim: Jurnal Pendidikan Agama Islam 2, no. 1 (2019): 35–42.
Syarifuddin, Amir. Meretas kebekuan ijtihad: isu-isu penting hukum Islam kontemporer di Indonesia.
Ciputat Press, 2002.
Tarjih, Majelis. “Buku Agenda Musyawarah Nasional ke 27 Tarjih Muhammadiyah.” Yogyakarta: tp,
2010.
Tarjih, Tim Majelis, dan P. P. Tajdid. “Muhammadiyah.” Pedoman Hisab Muhammadiyah, 2009.
Wijaya, Abdi. “MANHĀJ MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DALAM TRANSFORMASI HUKUM
ISLAM ( FATWA ).” Diakses 9 Juni 2021. https://core.ac.uk/reader/234744330.

MENGENAL METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


Yudistia Teguh Ali Fikri, Ida Abdul Gopar, Esty Faatinisa, Mochamad Faizal Almaududi Azis Dachlan

103

Anda mungkin juga menyukai