Anda di halaman 1dari 24

METODE PEMAHAMAN ISLAM MENURUT

MUHAMMADIYAH

ANGGOTA KELOMPOK VI

1. ATIQOH
2. ENY
3. INDRA IRAWAT (20200910170020)
4. PARAMITHA ANDINI (20200917100102)
5. RANIA PUSPITASARI (20200910170105)
6. TITIK SUPRAPTI (20200910170060)
7. ZULIA DIAS WARDANI (20200910070118)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM S1 TRANSFER
SEMESTER GENAP 2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat Menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai Metode Pemahaman Islam menurut
Muhammadiyah

Makalah ini dibuat dengan berdasarkan literatur atau studi keperpustakaan. Kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pad amakalah ini. Oleh karena itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan saranserta kritik yang dapat membangun kami. Kritik
konstruktif dari pembaca sangatkami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 15 Oktober 2020

Penyusun (Kelompok VI)


-1-
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
Daftar Isi...............................................................................................................................................2
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang..........................................................................................................................3
B. Tujuan Penulisan.......................................................................................................................5
BAB II
PEMBAHASAN......................................................................................................................................6

Mengajarkan Sumber ajaran Islam..........................................................................................................6

1. Al-qur'an dan Al-hadits.........................................................................................................6


2. Manhaj Tarjih........................................................................................................................8
BAB IV
KESIMPULAN...................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................18
-2-

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Sejak kelahirannya muhammadiyah memposisikan dan memerankan diri


sebagai gerakan islam, yakni gerakan untuk menyebarluaskan dan memajukan hal-
ihwal agama Islam di Indonesia. Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang
didirikannya bahkan sering dikategorikan sebagai bagian dari mata rantai gerakan
Islam pembaruan di dunia Islam seperti dipelopori oleh Ibnu Taimiyah,
Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme Islam abad ke-20. Maka tak diragukan
lagi eksistensi dan esensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan
sosial kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatan hanyalah bagian atau
fungsi transformasi dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi
terlepas dari gerakan Islam

Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah


merupakan gerakan Islam, berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi, yang gerakannya melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan
tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan
formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang
bersifat
-3-

pemurnian dan pembaruan dibawah tema utama kembali pada Al-Qur’an dan
Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka
pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia.

Sebagai gerakan Islam sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah


berdasarkan pada paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi
gerakannya. Pada awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai
Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan enurut H.M. Djindar
Tamimy, kelahiran Muhammadiyah justru karena paham agama (Islam), yang
menjadi jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah.
Menurut pandangan H.M.Djindar Tamimy; tokoh dan ideolog Muhammadiyah,
mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam:
“BerMuhammadiyah itu harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar
pada pengertian/faham dan kekayaan agama, yang meliputi : memahami sungguh-
sungguh bahwa ajaran agama islam dengan tepat, menyadari sungguh-sungguh
bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran agama Islam dalam arti yang
sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa “ber-Organisasi” dengan disertai “jihad
bil amwal wal anfus” (HM. Djindar Tamimy, 1978:3).

Rujukan paham agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan


pahm Kyai Dahlan tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya
Muhammadiyah secara ideal-teologis, secara institusional atau kelembagaan telah
ditetepakan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih
dan keputusan-keputusan Muktamar ataus lainnya sepanjang perjalanan
Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis secara tertulis
berupa pokok-pokok saja seperti dalam buku “Tujuh Falsafah Ajaran Kyai
Dahlan”

-4-

dan “Tujuh Belas Ayat Al-Qur’an” yang ditulis K.H.R Hadjid, selain dari gagasan-
gagasan lepas yang membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu.

Adapun pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah yang berkaitan


dengan agama Islam antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis
Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran
yang telah baku seperti “Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari KH. Mas
Mnasur, Kitab Masalah Lima (al-Masail al-Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir
Anggaran Dasar Muhammdaiyah hasil Tanwir thun 1951 di Yogyakarta, Matan
Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun
1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHMI) hasil Muktamar ke-
44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang
berkaitan dengan masalah-masalah paham agama dalam Muhammadiyah. Prinisp-
prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah tersistemasi dalam Mnhaj
Tarjih, bukan pemahaman orang-perorangan.

B. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui Metode Pemahaman Islam Menurut Muhamadiyah
-5-

BAB II

PEMBAHASAN

MENGAJARKAN SUMBER AJARAN ISLAM (Al-Qur’an dan ASsunah)

Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan


satu matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW, yang
keseluruhannya berdasarkan wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi dan Rasul
Allah. Dari pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai
ajaran dari Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan
didakhwahkan oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat
manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-
alamin. Itulah agama langit untuk kehidupan manusia.

Dalam pandangan Muhammadiyah bahwa “Agama adalah apa yang


disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi Nya,berupa perintah-perintah
dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia didunia
dan diakhirat”. Adapun agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W
ialah “apa yang diturunkan Allah di dalam A-lQur’an dan yang tersebut dalam
Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah (al-amawir) dan larangan-larangan
(al-nawahi) serta petunjuk-petunjuk (al-irsyadat) untuk kebaikan manusia di dunia
dan diakhirat.
Mengenai konsep “irsyadat (petunjuk)”,dapat dikaitkan dari apa yang
didalogkan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika Nabi Ibrahim menerima

-6-

perintah untuk menyembelih putranya itu, distu terdapat petunjuk bagaimana


orang tua harus dekat dengan anak dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang
menyangnkut pribadi anak. Dalam kisah para nabi-nabi banyak sekali petunjuk.
Dalam mengungkap hukum alam dan nikmat Allah berupa manfaat tumbuh-
tumbuhan dan binatang ternak sebagaimana di sebutkan dalam Al-Qur’an, juga
merupakan petunjuk. (KH. Azhar Basyir, dalam Haedar Nashir,ed., 1992:97)

Pandangan tentang “irsyadat/petunjuk” sebagaimana di sebutkan KH.Azhar


Basyir tersebtu, selain yang tersirat juga yang tersurat dalam Al-Qur’an, termasuk
dalam kisah para Nabi, yang mengandung arti dimensi-dimensi ajaran dalam Al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi, disamping atau selain yang mengandung aspeok
perintah-perintah dan larangan-larangan. Al-Qur’an dinyatakan Allah juga sebagai
“tibyan li-kulli sya’i” ( penjelas segala seusatu), sebagai “al-dzikr”, “al-furqan”,
“al-huda” dan sebagainya, yang menunjukkan keluasaan dimensi ajaran Islam.
Dengan demikian tampak sekali Muhammadiyah tidak meletakkan Islam semata-
mata sebagai “syariat” dalam makna hukum perintah dan larangan belaka, namun
ke arah bagi kehidupan dari segala aspek, baik dari ilmu pengetahuan, pemikiran,
intelektual, alam semesta, dan berbagai aspek kehidpan memperoleh rujukan dan
petunjuk dalam ajaran Islam. Sehingga Islam itu sangatlah luas tidak sekedar
syari’at hukum perintah dan larangan semata. Pandangan Islam yang komprehensif
atau menyeluruh tersebut diperkuat oleh Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah mengenai aspek ajaran Islam yang menyangkut aqidah, ibadah,
akhlak dan mu’amalat-dunyawiyah”.

-7-

MANHAJ TARJIH

Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Istilah tarjih
sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikir tarjih
berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak
bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga dapat diartikan
sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu
masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat dengan semangat Al-Qur’an
dan as-Sunnah dan lebih maslahat untuk diterima.

Muhammadiyah memiliki Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) yang bertugas


melakukan pengkajian, penafsiran dan penerapan ajaran dalam agama Islam.
Dalam memegang prinsip dan metode tertentu yang tertuang dalam Manhaj Tarjih.
Ketua MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar, MA
mengatakan bahwa dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah
mengalami pergeseran makna dari makna asli dalam disiplin usul fikih. Dalam
Muhammadiyah dengan tarjih tidak hanya diartikam kegiatan sekedar kuat-
menguatkan seuatu pendapat yang sudah ada, melainkan jauh lebih luas sehingga
identik atau paling tidak hampir identik dengan ijtihad itu sendiri. Dalam
lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai “setiap aktifitas intelektual
untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam,
khususnya dari sudut pandang norma-norma syari’ah”. Oleh karena itu bertarjih
artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah
dilihat dari perspektif agama Islam.

-8-

Berdasarskan definisi manhaj tarjih tersebut memuat unsur-unsur :

1. Wawasan (semangat/perspektif)
2. Sumber ajaran
3. Pendekatan
4. Metode (prosedur teknis)
A. Wawasan ( Semangat / Perspektif) Tarjih

Semangat tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai


persoalan dari sudut pandang agama islam tidak sekedar bertumpu pada
prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh wawasan pemahaman agama
yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Agama adalah
apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-nabi Nya, berupa perintah
dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan diakhirat.
Ini merupakan pengertian agama secara umum. Semangat pemahaman agama
yang menjadi karakteristik pemikian Islam Muhammadiyah meliputi :

1) Semangat Tajdid
2) Toleransi
3) Keterbukaan
4) Tidak berafiliasi mahzab tertentu
-9-
I. Semangat Tajdid

Tajdid mempunyai dua arti yaitu dalam bidang akidah/ibadah


bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah
kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi Saw. Sedangkan
dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid yaitu mendinamisasikan
kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntunan zaman/

Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa


dari Sunnah Nabi Saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau
mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah
Nabi saw tidak mengurangi arti aanya tanawwu’ dalam kaifat ibadah itu
sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam Sunnah.
Misalnya adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam shalat, yang
menunjukkan bahwa nabi sendiri melakukannya bervariasi.Varian
ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut tarjih tidak dapat
dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan.

Tajdid dibidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah


khusus) misalnya dizaman lampau untuk menentukan masuknya bulan
kamariah baru, khususan ramadhan, syawal dan zulhijah, digunakan
rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw
memerintahkan melakukan rukyat. Namun zaman sekarang tidak lagi
digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam
Muhammadiyah. Contoh lain, dimasa lalu perempuan tidak dibolehkan
menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya,
-10-

maka dizaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum dimana


perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam
Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah Fil-Islam.

II. Toleransi

Toleran artinya bahwa putusan tarjih tidak menganggap dirinya


saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan
tentang Hal Tarjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan,
“keputusan tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan
tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala
yang tidak dipilih oelh tarjih itu”.

III. Keterbukaan
Keterbukaan artinya segala yang diputuskan oleh tarjih dapat
dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, ketika apabila ditemukan
dalil dan argumen yang lebih kuat, maka majelis tarjih akan
membahasnya dengan megoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang
tepat.
IV. Tidak Berafiliasi Mazhab Tertentu

Artinya tidak mengikuti mazhab tertentu melainkan dalam


berijtihad bersumber kepada Al-qu’an dan as-Sunnah dan metode-
metode ijtihad yang ada. Namun Muhammadiyah juga tidak sama sekali
menafikan berbagai pendapat fuhaka yang ada.

-11-
Pendapat-pendapat mereka itu dijadikan bahan pertimbangan
untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan
semangat dimana kita hidup.

B. SUMBER AJARAN

Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian sumber-sumber


pengambilan diktum ajaran agama. Sumber ajaran agama Islam adalah Al-
Qur’an dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi
Muhammadiyah

1. Pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip diatas
yang menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, Dakwah
Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid” bersumber pada al-Qur’an dan as-
Sunnah
2. Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran
Islam adalah Al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah”. Putusan tarjih ini
merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-
putusan terdahulu.
C. PENDEKATAN

Dalam putusan Tarjih tahun 2000 di Jakarta dijelaskan bahwa pendekatan


dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani dan
irfani. Pendekatan bayani menggunakan nas-nas syariah. Pendekatan burhani
menggunakan ilmu pengetahuan yang berkembanng, seperti dalam ijtihad
mengenai hisab. Pendekatan irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan
kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin, sehingga suatu keputusan tidak

-12-
hanya didasarkan kepada kecanggihan otak belaka, tetapi juga didasarkan atas
adanya kepekaan nurani untuk menginsafi berbagai masalah dan keputusan
yang diambil mengenainya.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan dinamika kepada


pemikiran tarjih (pemikiran keislaman) Muhammadiyah, khususnya diluar
bidang ibadah mahdah (ibadah khusus).

D. METODE (PROSEDUR TEKHNIS)


1. Metode Ijtihad
Metode ini menemukan suatu norma syariah menggunakan ijtihad dan
dalam praktik Muhammadiyah biasanya digunakan ijtihad kolektif.
Misalnya dalam fatwa Tarjih tentang penjatuhan talak di rumah secara
sepihak oleh suami dinyatakan tidak berlaku. Talak dalam fatwa itu harus
dijatuhkan di depan sidang pengadilan agama. Landasannya antara lain
prinsip maslahat.
2. Operasionalisme Sumber dan Metode Pemahamannya
Dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya
dilakukan berdasarkan istiqr, ma’naw artinya ijtihad tidak dilakukan
berdasarkan satu atau dua hadis, melainkan untuk menemukan hukum
datu masalah harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber syariah
yang ada. Dengan kata lain, ijtihad tidak dilakukan dengan berdasarkan
kepada satu atau dua hadis saja, melainkan seluruh nas dan metode ijtihad
terkait dihadirkan secara serentak. Contoh putusan tarjih dalam kaitan ini
adalah putusan tentang seni patung (putusan aceh 1995).

-13-

3. Ta’rud al-Adillah
Jika terjadi ta’rud diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut :
 Al-Jamu’a wa at-taufiq yakni sikap menerima semua dalil yang
walaupun zahirnya ta’arud. Sedangkan pada dataran pelaksanaan
diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyir)/
 Al-tarjih, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan
meninggalkan dalil yang lemah.
 An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
 At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang
dipakai dengan cara mencari dalil baru.

Kitab Al-Masail al-Khams Kerangka metodologis pemikiran Islam dicoba oleh


tokoh pendiri Majelis Tarjih, yaitu K.H. Mas Mansur,4 dengan menyampaikan
lima masalah penting dalam pemahaman agama Islam, yaitu: (1) apakah agama itu,
(2) apakah dunia itu, (3) apakah ibadah itu, (4) apakah sabilillah, dan (5) apakah
qiyas itu.5 Pidato Mas Mansur pada tahun 1942, pada masa-masa akhir
kepemimpinannya di PP Muhammadiyah, tentang lima masalah tersebut kemudian
dirumuskan sebagai Putusan Majelis Tarjih yang kemudian dikenal dengan sebutan
Kitab Masalah Lima (al-Mas É ‘il alKhams). Lima masalah ini disempurnakan dan
diputuskan pada Sidang Khususi Tarjih pada tanggal 29 Desember 1954 sampai
dengan 3 Januari 1955 di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah,6 dengan
rumusan sebagai berikut.

-14-

a. Konsep Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
ialah apa-apa yang diturunkan Allah di dalam AlQur-an dan yang tersebut
dalam sunnah sahihah, 7 berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan
petunjuk-petunjuk bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.”
“Agama ialah apa yang di syariatkan Allah dalam perantaraan nabi-nabiNya,
berupa perintah-perintah dan laranganlarangan serta petunjuk-petunjuk
untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.”
b. Konsep Urusan Dunia (‫“ )األمور الدنيوية‬Yang di maksud “urusan dunia” dalam
sabda Rasulullah saw., “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala
perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-
perkara/pekerjaanpekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya
kepada kebijaksanaan manusia).”
c. Konsep Ibadah. “Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,
dengan jalan mentaati segala perintah-perintahNya, menjauhi larangan-
laranganNya dan mengamalkan segala yang diidzinkan Allah. Ibadah ada
yang umum dan yang khusus. Ibadah umum adalah segala amal yang
diidzinkan Allah, dan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah
akan rincian-rinciannya, tingkah dan cara-caranya tertentu.
d. Konsep Sabililah. “Sabilillah ialah jalan yang menyampaikan kepada
keridaan Allah, berupa segala amalan yang diidzinkan Allah untuk
memuliakan kalimat- (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.”
e. Konsep Qiyas. Bahwa dasar mutlaq untuk berhukum dalam agama Islam
adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi
soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya,
mengenai

-15-

hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdah, padahal untuk


alasan atasnya tiada terdapat dalam al-Qur`an atau al-Sunnah al-Sahihah,
maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbat daripada
nash-nash yang ada melalui persamaan ‘illah, sebagaimana telah dilakukan
oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.

Kitab Masalah Lima di atas cukup lama menjadi pijakan Muhammadiyah


dalam merumuskan pandangan keagamaannya, meskipun dalam
perkembangannya kekayaan pemikiran para tokoh Muhammadiyah telah
melengkapi kerangka metodologi pemikiran Islam dalam Muhammadiyah.
Yusron Asrofi, seorang aktivis dan pimpinan Muhammadiyah, mengatakan
bahwa rumusan resmi tentang hakikat Muhammadiyah dan paham
keagamaannya memang selalu disusun secara sederhana, dan terasa tidak
lengkap. Namun, nyatanya rumusan-rumusan semacam itu begitu sangat
berguna bagi perjalanan Muhammadiyah. Katakanlah, dalam konteks pemikiran
keislaman, di samping Masalah Lima, terdapat rumusan penting lainnya, seperti
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian, serta Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), yang semuanya disusun dalam bentuk
yang singkat dan sederhana, tetapi sangat padat ini, sehingga dalam perjalanan
Muhammadiyah sangatlah bermanfaat.
Metode Hisab

Konsep Hisab Muhamamdiyah Kata hisab, menurut Susiknan Azhari, berasal dari bahasa Arab
yang berarti hitungan. Dalam al-Qur’an, hisab bukan saja bermakna hitungan, tetapi juga
bermakna ‘batas,’ ‘hari kiamat,’ dan ‘tanggung jawab.’ “Dari akar kata h-s-b (ha-sa-ba), sebagai
kata benda, kata ini disebut sebanyak 25 kali dalam al-Qur’an. Dalam diskursus mengenai
kalender Hijriyah, konsep hisab mengarah kepada metodologi untuk mengetahui hilal. Dalam
kaitannya dengan kalender Hijriyah, Susiknan Azhari kemudian membagi ilmu hisab menjadi
dua cabang, hisab urfi dan hisab hakiki. Ia lalu menjelaskan tentang hisab urfi. “Hisab urfi adalah
sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi
dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh Khalifah
Umar bin Khathab (w. 17 H) sebagai acuan untuk menyusun Kalender Islam Abadi. Pendapat
lain mengatakan bahwa sistem kalender ini dimulai pada tahun 16 H atau 18 H. Akan tetapi yang
lebih masyhur tahun 17. Sistem hisab ini tidak ubahnya seperti kalender Miladiyah (Syamsiyah),
bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun
tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari, sehingga sistem hisab ini tidak dapat dipergunakan
dalam menentukan awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan ibadah (seperti Syawal dan akhir
Ramadhan) karena menurut sistem ini umur bulan Syakban dan Ramadhan adalah tetap, yaitu 29
hari untuk Syakban dan 30 hari untuk Ramadhan” (Azhari, 2007).

Muhammadiyah memandang bahwa sistem hisab ‘urfi memiliki berapa kelemahan. Di antara
kelemahan itu, yang paling mencolok, adalah Hisab urfi dapat mengakibatkan bulan baru dimulai
sebelum Bulan di langit lahir, atau sebaliknya, bisa terjadi belum masuk bulan baru pada hal
Bulan di langit sudah terlihat jelas. Hal ini karena awal dan akhir bulan urfi tidak selalu sejalan
dengan gerak faktual Bulan di langit. Sedangkan sistem hisab hakiki dalam menetapkan awal
bulan Qamariyah, sebagaimana dikatakan Susiknan, terpecah ke dalam beberapa cabang aliran.
Pertama, ijtimak sebelum fajar (al-ijtimā’ qabla al-fajr). Menurut teori ini, hari dimulai sejak
fajar, bukan sejak matahari terbenam. Apabila di suatu negeri ijtimak terjadi sebelum fajar, maka
saat sejak fajar itu adalah awal bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah fajar, maka hari itu
adalah hari ke-30 bulan berjalan dan awal bulan baru bagi negeri tersebut adalah sejak fajar
berikutnya. Teori ini dianut oleh masyarakat Muslim Libya. Penganut hisab ini menjadikan teori
di atas sebagai kriteria kalender internasional dengan rumusan apabila ijtimak terjadi sebelum
fajar pada titik K (=Kiribati: bagian bumi paling timur), maka seluruh dunia memasuki bulan
baru. Apabila pada titik K itu ijtimak terjadi sesudah fajar, maka hari itu merupakan hari ke-30
bulan berjalan dan awal bulan baru adalah esok harinya. Di Muhammadiyah, metode ini dianut
oleh Ustaz M. Djindar Tamimy. Kedua, ijtimak sebelum gurub (al-ijtimā’ qabla al-gurub).
Kriteria ini menganut teori bahwa bila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam
itu dan esok harinya dihitung bulan baru. Tapi bila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam,
maka malam itu dan esok harinya masih dihitung bulan berjalan, dan bulan baru dimulai esok
lusa. Menurut teori ini, hari baru dimulai sejak matahari terbenam. Teori ini tidak
mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah
ufuk. 13Ibid, Ketiga, Bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (moonset after sunset) di
suatu negeri. Menurut teori ini, apabila tanggal ke-29 bulan berjalan matahari terbenam pada
suatu negeri lebih dahulu daripada bulan (bulan baru belakangan), maka malam itu dan esok
harinya dipandang sebagai awal bulan baru bagi negeri tersebut. Sementara bila matahari baru
terbenam belakangan (bulan lebih dahulu terbenam), maka malam itu dan esok harinya adalah
hari-30 bulan berjalan, sementara bulan baru dimulai esok lusa. Teori ini tidak
mempertimbangkan apakah ijtimak sudah terjadi atau belum. Kriteria ini diusung Ahmad
Muhammad Syakir (1892- 1951) pada tahun 1939 dalam upaya untuk menyatukan penanggalan
Hijriah sedunia dengan menjadikan Mekah sebagai patokannya. Kemudian dipakai oleh kalender
Ummul Qura (kalender resmi pemerintah Arab Saudi) antara tahun 1998 s/d 2003. Namun
kemudian kriteria ini direvisi karena kasus bulan Rajab 1424 H di mana pada hari ke-29 Jumadal
Akhir, yaitu hari Rabu tanggal 27- 08- 2003, matahari terbenam (pada pukul 18:45 waktu
Mekah) lebih dahulu dari terbenamnya Bulan (pukul 18:53), padahal saat itu belum terjadi
ijtimak (yang berarti bulan belum cukup umur) sebab ijtimak baru terjadi pukul 20:26 waktu
Mekah. Jadi ternyata, apabila Bulan tenggelam sesudah matahari, tidak selalu ijtimak terjadi
sebelum matahari tenggelam. Bisa terjadi ijtimak belum terjadi meskipun bulan tenggelam
sesudah matahari tenggelam. Revisi itu dilakukan dengan menambahkan syarat ijtimak harus
terjadi sebelum matahari terbenam. Inilah yang berlaku sekarang. Dengan revisi ini, kriteria
kalender ini menjadi sama dengan kriteria ke-5 di bawah nanti, hanya saja dalam kalender
Ummul Qura ukuran tenggelam bulan adalah piringan bawahnya. Keempat, Imkan rukyat
(visibilitas hilal). Menurut kriteria ini, sebuah hari dihitung sebagai bulan baru apabila pada sore
hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam, Bulan berada di atas ufuk dengan
ketinggian tertentu sehingga memungkinkan untuk dilihat. Menurut Muhammadiyah, para ahli
tidak memiliki kesepakatan yang bulat dalam menentukan berapa ketinggian Bulan di atas ufuk
yang dapat dilihat itu. Bagi mereka, ini merupakan kelemahan teori imkan rukyat. Aliran inilah
yang diikuti pemerintah dan NU dengan menetapkan criteria Bulan minimal 2 derajat di atas
ufuk. Kelima, hisab hakiki kriteria wujudul hilal. Menurut teori ini, bulan Qamariah baru dimulai
apabila tanggal 29 bulan Qamariah berjalan, matahari telah terbenam dan memenuhi tiga syarat
berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari
terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam, Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.
Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga
puluh hari dan bulan baru dimulai lusa. Kriteria ini juga digunakan oleh kalender Ummul Qura
sekarang, hanya saja kalender terakhir memakai patokan kota Mekah. Aliran yang dipakai
Muhammadiyah adalah Wujudul Hilal. Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah No. 24 Th. 1999
menyatakan: “Dalam Muhammadiyah digunakan hisab h}akiki wujūdul hilal. Arti hisab hakiki
adalah bahwa penanggalan didasarkan kepada gerak sebenarnya (hakiki/sesungguhnya) dari
Bulan. Hisab hakiki berbeda dengan hisab urfi, yang tidak mendasarkan pada gerak sebenarnya
dari Bulan, sehingga antara hisab urfi dan gerak Bulan tidak selalu sejalan, terkadang hisab urfi
mendahului dan terkadang terlambat. Wujul hilal artinya keberadaan Bulan di atas ufuk saat
matahari terbenam setelah terjadinya konjungsi. Jadi hisab hakiki wujudul hilal itu menetapkan
bulan baru dengan tiga kriteria, yaitu: (a) telah terjadi ijtimak [konjungsi], yaitu tercapainya satu
putaran sinodis Bulan mengelilingi bumi; (b) ijtimak terjadi sebelum terbenamnya matahari; dan
(c) pada saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.” 14 Perlu dicatat bahwa pilihan
Muhammadiyah ini tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi ada proses panjangnya. Awalnya
Muhammadiyah menganut aliran hisab hakiki imkanur rukyah, lalu beralih pada aliran ijtimak
qabla al-gurub. Teori ini digunakan hingga tahun 1937 M/1256 H. Lalu pada tahun 1938 M/1357
H Muhammadiyah beralih menggunakan teori Wujudul Hilal, yang menurut mereka merupakan
“jalan tengah” antara aliran hisab ijtimak qabla al-gurub dan aliran imkanur rukyah, atau jalan
tengah antara aliran hisab murni dan aliran rukyat murni. Perbedaan teori wujudul hilal ini
dengan teori ijtimak qabla al-ghurub ialah bahwa metodologi yang dipakai dalam menetapkan
awal bulan Qamariyah tidak hanya melihat proses terjadinya ijtmak, tetapi juga
mempertimbangkan posisi hilal saat matahari terbenam: sudah di atas ufuk atau belum. Setelah
bertahun-tahun memegangi teori ini, Muhammadiyah melakukan kajian ulang beberapa kali
dengan tujuan agar teori mereka sesuai dengan ajaran al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw., tuntutan
zaman. Hal ini dilakukan dalam berbagai seminar dan munas yang mereka selenggarakan, seperti
seminar Falak Hisab Muhammadiyah 1970 M/1390 di Yogyakarta, Munas Tarjih ke 25 pada
2000 M/1421 H di Jakarta, workshop nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah
Model Muhammadiyah 2002 M/1423 H di Yogyakarta, serta Munas Tarjih ke-26 2003 M/1424
H di Padang. Semua hasilnya sama: memutuskan bahwa teori Wujūdul Hilal masih relevan untuk
digunakan. (Azhari, 2008).

Menurut mereka, teori Wujudul Hilal ini dalah “jalan tengah” antara aliran hisab ijtimak qabla
al-gurub dan aliran imkanur rukyah, atau jalan tengah antara aliran hisab murni dan aliran rukyat
murni. Fatwa Majlis Tarjih No. 10 Th. 2007 menyebutkan:16 “Pada tahun 1938/1357
Muhammadiyah mulai menggunakan teori wujudul hilal. Langkah ini ditempuh sebagai “jalan
tengah” antara sistem hisab ijtimak (qabla al-gurub) dan sistem imkanur rukyah atau jalan tengah
antara hisab murni dan rukyah murni. Karenanya bagi sistem wujudul hilal metodologi yang
dibangun dalam memulai tanggal baru pada Kalender Hijriyah tidak semata-mata proses
terjadinya ijtimak, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat terbenam matahari. Sistem
wujudul hilal sampai kini masih tetap dipertahankan dan dikukuhkan kembali dalam Munas
Tarjih ke-26 di Padang tahun 2003/1424.” Kuatnya Muhammadiyah dalam memegang metode
hisab adalah karena alasan keserhanaan prosedur, biaya murah, dan kemampuan memberikan
kepastian jadwal tanggal di masa depan. Dalam sistem kalender, penentuan tanggal merupakan
hasil dari logika kalender itu sendiri tanpa campur tangan PP Muhammadiyah. PP
Muhammadiyah hanya mengumumkan hasil dari sistem kalender itu sendiri, karena itu dapat
dilakukan jauh hari sebelumnya. Memang, kalender Muhammadiyah itu belum bersifat global
dan ini tentu menjadi tantangan para ahli falak Muhammadiyah untuk melakukan kajian guna
menyempurnakan sistemnya hingga dapat menjadi suatu kalender pemersatu yang baik.

-16-

BAB IV

KESIMPULAN

Hasil rumusan Manhaj pengembangan pemikiran Islam Muhammadiyah ini


bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak
menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah
sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik
konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya asal
argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih
akurat.
-17-

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/01/memahami-islam-dalam-
muhammadiyah.html

“Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah di Jakarta Tahun


2000,” (Yogyakarta: Sekretariat Majelis Tarjih dan Tajdid, 2012), h. 6 (Bab II
angka 1).
Himpunan Putusan Tarjih, cet. ke-3 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
t.t.), h. 278.

Susiknan Azhari, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007 Enssiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008

-18-

Anda mungkin juga menyukai