Anda di halaman 1dari 9

Khoiri, S.Th.I, M.Pd.

I 085731267380
ISLAM DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH

Sejak kelahirannya Muhammadiyah memposisikan dan memerankan diri sebagai gerakan Islam, yakni
gerakan untuk menyebarluaskan dan memajukan hal-ihwal agama Islam di Indonesia. Kyai Dahlan dengan
Muhammadiyah yang didirikannya bahkan sering dikategorikan sebagai bagian dari matarantai gerakan
Islam pembaruan di dunia Islam seperti dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme Islam abad ke-
20. Maka tak diragukan lagi eksistensi dan esensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, bukan gerakan
sosial-kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah bagian atau fungsi transformasi dari
gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi terlepas dari gerakan Islam.

Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam,
berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang gerakannya melaksanakan dakwah amar
ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjungtinggi Agama Islam sehinga
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi
dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah
tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan
atau membuka pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia.

Sebagai Gerakan Islam sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki
paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada awalnya paham tentang Islam
melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M.
Djindar Tamimy, kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi jiwa,
landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah. Berikut pandangan H.M. Djindar
Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah, mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama
Islam: ”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada
pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama
Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran
Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai
”jihad bil amwal wal anfus”.” (HM Djindar Tamimy, 1978: 3).

Rujukan paham agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan tentang
Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara ideal-teologis, secara institusinoal atau
kelembagaan telah ditetapkan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan
keputusan-keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran
Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja seperti dalam buku ”Tujuh Falsafah Ajaran Kyai
Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas
yang membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu. Pemikiran pendiri Muhammadiyah tersebut
sebenarnya perlu dditelusuri dan diformulasikan ulang, karena merupakan tonggak dari berdiri dan
keberadaan Muhammadiyah generasi awal, yang membedakan dan menjadi ciri khas Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya.

Adapun pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama Islam,
antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau
Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari
KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil al-Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar
Muhammadiyah hasil Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
(PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang
berkaitan dengan masalah-masalah paham agama dalam Muhammadiyah. Prinsip-prinsip pemahaman
agama dalam Muhammadiyah tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-perorang.
Sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup dalam satu kesatuan antara tarjih dan
pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam
Muhammadiyah.

Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu matarantai sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para
Nabi serta Rasul Allah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan
kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi
penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan

1
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan
Islam sebagai ajaran dari Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan
didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat manusia, sehingga
kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-‘alamin. Itulah agama Langit untuk kehidupan
manusia.

Dalam pandangan Muhammadiyah bahwa ”Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara
para Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W.
ialah ”apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan
Akhirat. Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya, berupa perintah-
perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
(Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dîn). Hal yang menraik dari paham agama menurut
Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (aseli) karena berasal dari Allah dan dibawa
oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-
perintah (al-awâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-petunjuk (al-irsyâdat).

Mengenai konsep ”irsyadat”, KH. Ahmad Azhar Basyir, memberi keterangan sebagai berikut: ”Tentang
apa yang dimaksud dengan irsyadat dalam defenisi al-Din tersebut, selain al-awamir dan al-nawahi, dapat
dikaitkan kepada apa yang didialogkan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika Nabi Ibrahim menerima
perintah untuk menyembelih putranya itu, di situ terdapat terdapat irsyadat bagaimana orangtua harus dekat
dengan anak dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang menyangkut pribadi anak. Juga dialog antara
Nabi Musa dengan ”abdu min ibadina” sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, yang umumnya disebut
dialog Musa dengan Hidir, di situ ada irsyadat. Sehingga kecuali al-awamir (perintah-perintah) dan al-
nawahi (larangan-larangan), dalam kisah para Nabi itu terdapat banyak sekali irsyadat. Dalam mengungkap
hukum alam dan nikmat Allah berupa manfaat tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran, juga merupakan irsyadat Jadi banyak sekali dalam berbagai macam kegiatan
hidup itu terdapat irsyadat. ” (KH. Azhar Basyir, dalam Haedar Nashir, ed., 1992: 97).

Pandangan tentang ”irsyadat” sebagaimana disebutkan KH Azhar Basyir tersebut, selain yang tersirat juga
yang tersurat dalam Al-Quran, termasuk dalam kisah para Nabi, yang mengandung arti dimensi-dimensi
ajaran dalam Al-Quran maupun Sunnah Nabi di samping atau selain yang mengandung aspek perintah-
perintah dan larangan-larangan. Al-Quran dinyatakan Allah juga sebagai ”tibyan li-kulli syai” (penjelas
segaka sesuatu), sebagai ”al-dzikr”, ”al-furqan”, ”al-huda”, dan sebagainya, yang menunjukkan keluasan
dimensi ajaran Islam. Dengan demikian tampak sekali Muhammadiyah tidak meletakkan Islam semata-
mata sebagai ”syariat” dalam makna hukum perintah dan larangan belaka, sebagaimana logika ”al-ahkam
al-khamsah” mengenai wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah. Memasukkan dimensi ”irsyarat” tersebut
menjadi sangat penting, karena masuk ke dimensi-dimensi makna dan arah bagi kehidupan, selain perintah
dan larangan, sehingga ajaran Islam itu tidak sempit dan hanya menonjolkan satu aspek saja. Dimensi ilmu
pengetahuan, pemikiran, intelektual, alam semesta, dan berbagai aspek kehidupan memperoleh rujukan dan
petunjuk dalam ajaran Islam, sehingga Islam itu sangatlah luas tidak sekadar syari’at hukum perintah dan
larangan semata. Pandangan Islam yang komprehensif atau menyeluruh tersebut diperkuat oleh Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah mengenai aspek ajaran Islam yang menyangkut aqidah,
ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah.

Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena
Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi
manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan
agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama
yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada
Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk
meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam
kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh
pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri.
Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu, maka terbentuk manusia muslimin
yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti
berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab
Pandangan Islam Tentang Kehidupan).

2
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
Pandangan Islam tentang kehidupan menunjukkan keluasan mengenai aktualisasi ajaran Islam, sekaligus
kesadaran dan tuntutan untuk membumikan ajaran Islam tersebut dalam dunia kehidupan umat manusia
untuk menciptakan rahmatan lil-‘alamin. Dalam konteks inilah Muhammadiyah memandang dunia bukan
saja sebagai ajang untuk membumikan ajaran Islam, sekaligus memberi ruang untuk berijtihad dalam
rangka mengurus urusan dunia berdasarkan pesan ajaran Islam. Dalam kaitan inilah maka Muhammadiyah
pun memiliki pandangan yang mendasar mengenai konsep dunia (ma hiya al-dunyâ). Menurut
Muhammaiyah, bahwa ”Yang dimaksud dengan ”urusan dunia” dalam Sabda Rasulullah saw.: ”Kamu lebih
mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi; yaitu
perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan
manusia (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dunýâ).

Selain pandangan mengenai agama dan dunia, dalam al-Masail al-Khams juga dikemukakan juga mengenai
konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas atau ijtihad, yang menyisyaratkan tentang lima masalah mendasar yang
terkait dengan pandangan Muhammadiyah mengenai hal-hal penting bagi manusia. Muhamadiyah
berpandangan bahwa ”’Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati
segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diidzinkan
Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: a. Yang umum ialah segala ‘amalan yang
diidzinkan Allah. B. Yang khusus ialah apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perinsiannya, tingkah dan
cara-caranya yang tertentu.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah).

Adapun mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan bahwa ”Sabilullah ialah jalan yang
menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan
kalimat-kalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” (Kitab Masalah Lima, Al-
Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan pandangan mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah
selain menunjukkan kesatuan mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga memandang
tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan dan menuju pada jalan Allah. Sabilullah
tidak lepas dari ibadah, bahkan keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat
bagi setiap muslim.

Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) dikatakan bahwa
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan (a) Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad S.A.W.; (b) Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran
yang diberikan oleh Nabi Muhammad S.A.W.; dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran
Islam (MKCH butir ke-3). Pandangan tersebut menunjukkan dua dimensi yang terkait dengan sumber dan
sekaligus cara memahami ajaran Islam dalam Muhammadiyah. Bahwa kembali pada sumber ajaran Islam
yang murni, yakni Al-Quran dan Sunnah yang shakhih, disertai dengan penggunaan akal pikiran yang
sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Di sini Muhammadiyah menggunakan dalil naqli sekaligus aqli sesuai
dengan prinsip-prinsip manhaj Tarjih. Karena itu Muhammadiyah tidak anti akal pikiran, bahkan
menempatkannya secara proporsional.

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) ‘Aqidah;
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan,
bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq;
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran
Al-Quran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah;
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan
dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya
mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama
serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH, butir ke-
4).

Muhammadiyah berpandangan bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai penjelasannya adalah pokok
dasar hukum/ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar, sedangkan akal-pikiran atau al-Ra’yu
adalah alat untuk: a. mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah
Rasul; b. mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Quran dan Sunah Rasul. Bahwa
pintu ijtihad senantiasa terbuka. Bahwa dalam beraama hendaklah berdasarkan pengertian yang benar,
dengan ijtihad atau ‘ittiba’. Bahwa dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan dengan masalah agama,
baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi kehidupan gerakan, adalah dengan dasar-dasar seperti
tersebut di atas, dilakukan dalam musyawarah oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah lazim disebut

3
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
”Tarjih”, ialah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang
mempunyai alasan yang lebih kuat.

Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Bahwa di mana
perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai
hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash
sharih dalam Al-Quran dan Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan
istimbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan
Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).

Dengan dasar dan cara memahami agama yang seperti itu, Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran
Islam merupakan ”kesatuan ajaran” yang tidak boleh dipisah-pisahkan dan meliputi ‘aqidah, akhlak,
‘ibadah, dan mu’amalat.; yang semuanya bertumpu dan untuk mencerminkan kepercayaan ”Tauhid” dalam
hidup dan kehidupan manusia, dalam wujud dan bentuk hidup dan kehidupan yang semata-mata beribadah
kepada Allah dalam arti luas dan penuh (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Keputusan2 PP
Muhammadiyah., hal. 8-10.).

Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan
pembaruan (dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih). Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, dakwah amar
ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (AD Muhammadiyah, 2005). Salah
satu dari enam prioritas program Muhammadiyah periode 2005-2010 ialah pengembangan tajdid di bidang
tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti
tauhid sosial, serta gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar
organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan Muktamar ke-45 di Malang tahun
2005).

Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual semata, juga bukan bersifat
pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat
multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu untuk
memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan
sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan
Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji
Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam.

Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran
Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis
Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat ”radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi
Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok
”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2)
Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah
Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam
pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah,
yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia
bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-
satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan
ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6)
Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Dalam Buku Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup Beragama”
(Penegasan Ketiga), secara substansial terdapapat penjelasan yang luas dan mendalam mengenai paham
agama dalam muhammadiyah sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:

”Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia
dan Akhirat.”

4
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
”Menurut keyakinan seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah lantaran sempit faham,
tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat ISLAM itu sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya
Insan mencari Rahasia ‘alam. Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun Insan hidup didunia.
Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah bertanya-tanya tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak
kemana?”, ”Sebab apa?”. Kesudahan perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat dan
Hakikat, yang di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya sadarlah akan kelemahan-diri di
hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu menyerahlah. Itulah Islam (penyerahan diri).

Bertambah tinggi kecerdasan akal, bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah dekatlah orang kepada
Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak boleh dibekukan, supaya keni’matan ke-Islaman itu jangan
tidak dirasai.

Islam mengajarkan bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan adalah satu, yaitu untuk
membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan kepada Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia
supaya bersatu dalam Kesatuan Hukum.

Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad, adalah Nabi Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at
pertama, adalah Nabi Islam, sebab itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang mula-mula
memakai nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani Israil dari tindakan sewenang-wenang
Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih putra Maryam, Nabi yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam,
adalah Nabiku. Muhammad Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah Nabiku. “Tidak kami
perbedakan di antara seorang juapun daripada pesuruh-pesuruhnya.

Segala Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil Isa, dan Furqan
Muhammad, aku akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita bagi ‘Alam Insani dalam menuju Ridla
Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan Jasmani, Kelepasan dari bahaya Dunia dan Akhirat.

Umat manusia adalah satu, dan aku sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari Pri-Kemanusiaan
itu. Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan diantara Timur dan Barat, ”Bagi Allahlah Timur dan
bagi Allahlah Barat. Kemana juapun engkau menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah itu Maha
esa dan Allah itu Maha Mengetahui.”.

Ummat manusia didalam menuju Agama itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang telah
memperkenankan seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih ditunggu pengakuannya, bahwa
”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah.
Kepada mereka yang belum mengaku, tidak dilakukan paksaan.

Adapun terhadap kepada sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan
melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh dikeluarkan dari golongan
Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi
Kemerdekaan berfikir bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w. ”Ummat-Ku”.

Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah tidaklah mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat
berlain-lain, memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu, yaitu mencari
kebenaran.

Sebab itu pula, maka tiadalah perintah yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh yang
patut diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah, Muhammad s.a.w. Dan tiadalah boleh
mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli, atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa
mempertinggi nilai Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan Agama itu. ”Kalau
benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan
kalau salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa kalau
salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang disengaja.

Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush
Shalihin dalam memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Naka kembang bersinarlah
agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan
berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran
Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali
dan mengorek hikmah agama dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang terdahulu, yang timbul

5
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang sebagai alat-alat dan petunjuk didalam menuju pokok agama
Islam, yaitu sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w.

Yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat,
kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-
satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam.

Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang
komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan
Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian
maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting dalam pandangan dan pengamalan ajaran
Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah merujuk dan menampilkan Islam
yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga
beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang bersifat
bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek
ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama
kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus
dapat menjawab tantangan-tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-
benar menjadi rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat
untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama Langit
yang membumi untuk semesta kehidupan. <>

...Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual semata, juga bukan bersifat
pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat
multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu untuk
memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan
sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan
Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji
Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam.

Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran
Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis
Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat ”radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi
Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok
”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2)
Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah
Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam
pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah,
yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia
bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-
satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan
ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6)
Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Dalam Buku Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup Beragama”
(Penegasan Ketiga), secara substansial terdapapat penjelasan yang luas dan mendalam mengenai paham
agama dalam muhammadiyah sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:

”Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia
dan Akhirat.”

”Menurut keyakinan seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah lantaran sempit faham,
tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat ISLAM itu sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya
Insan mencari Rahasia ‘alam. Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun Insan hidup didunia.
Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah bertanya-tanya tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak
kemana?”, ”Sebab apa?”. Kesudahan perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat dan

6
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
Hakikat, yang di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya sadarlah akan kelemahan-diri di
hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu menyerahlah. Itulah Islam (penyerahan diri).

Bertambah tinggi kecerdasan akal, bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah dekatlah orang kepada
Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak boleh dibekukan, supaya keni’matan ke-Islaman itu jangan
tidak dirasai.

Islam mengajarkan bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan adalah satu, yaitu untuk
membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan kepada Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia
supaya bersatu dalam Kesatuan Hukum.

Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad, adalah Nabi Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at
pertama, adalah Nabi Islam, sebab itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang mula-mula
memakai nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani Israil dari tindakan sewenang-wenang
Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih putra Maryam, Nabi yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam,
adalah Nabiku. Muhammad Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah Nabiku. “Tidak kami
perbedakan di antara seorang juapun daripada pesuruh-pesuruhnya.

Segala Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil Isa, dan Furqan
Muhammad, aku akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita bagi ‘Alam Insani dalam menuju Ridla
Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan Jasmani, Kelepasan dari bahaya Dunia dan Akhirat.

Umat manusia adalah satu, dan aku sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari Pri-Kemanusiaan
itu. Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan diantara Timur dan Barat, ”Bagi Allahlah Timur dan
bagi Allahlah Barat. Kemana juapun engkau menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah itu Maha
esa dan Allah itu Maha Mengetahui.”.

Ummat manusia didalam menuju Agama itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang telah
memperkenankan seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih ditunggu pengakuannya, bahwa
”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah.
Kepada mereka yang belum mengaku, tidak dilakukan paksaan.

Adapun terhadap kepada sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan
melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh dikeluarkan dari golongan
Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi
Kemerdekaan berfikir bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w. ”Ummat-Ku”.

Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah tidaklah mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat
berlain-lain, memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu, yaitu mencari
kebenaran.

Sebab itu pula, maka tiadalah perintah yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh yang
patut diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah, Muhammad s.a.w. Dan tiadalah boleh
mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli, atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa
mempertinggi nilai Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan Agama itu. ”Kalau
benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan
kalau salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa kalau
salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang disengaja.

Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush
Shalihin dalam memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Naka kembang bersinarlah
agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan
berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan kebesaran
Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali
dan mengorek hikmah agama dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang terdahulu, yang timbul
dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang sebagai alat-alat dan petunjuk didalam menuju pokok agama
Islam, yaitu sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w.

7
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
Yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat,
kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-
satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam.

Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang
komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan
Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian
maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting dalam pandangan dan pengamalan ajaran
Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah merujuk dan menampilkan Islam
yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga
beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang bersifat
bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek
ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama
kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus
dapat menjawab tantangan-tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-
benar menjadi rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat
untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama Langit
yang membumi untuk semesta kehidupan.
...

Muhammadiyah sejak berdirinya menggelorakan ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” (ruju‘ ila al-
Quran wa al-Sunnah). Upaya untuk mendalami dan mengamalkan Islam dengan benar seperti melalui
”tujuh falsafah ajaran” dan ”17 kelompok ayat Al-Quran” yang diajarkannya kepada para muridnya
merupakan bukti kuat dari semangat kembali pada ajaran Islam yang autentik. Kyai Dahlan meluruskan
arah kiblat, mengajarkan Al-Maun, dan berbagai pemikirannya tentang tajdid bukti kuat pula bahwa paham
Islam yang diajarkan Kyai Dahlan bukan hanya semata pemurnian, tetapi juga pembaruan. Menurut
Nurcholish Madjid, Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati yang mampu menangkap pesan Al-
Quran (melalui tafsir Al-Manar) dalam konteks zaman.

Menurut Kyai Hadjid (ibid: 35), ajaran atau falsafah/pemikiran Kyai Dahlan berangkat dari semangat dasar
untuk menjalankan/mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Karena itu, sejak awal,
Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Hai Ahmad Dahlan konsisten untuk mengajak dan
mempraktikkan ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah”. Di belakang hari, karakter gerakan Islam seperti
inilah yang sering disebut sebagai gerakan tajdid fil-Islam atau gerakan revivalisme Islam, modernisme
Islam, dan reformisme Islam. Itulah format dari Islam yang murni dan berorientasi pada berkemajuan. Di
satu pihak esensi ajaran Islam yang ditampilkan Muhammadiyah aseli dan jelas sumber serta kebenarannya,
di pihak lain dapat menjadi ”way of life” bagi kehidupan manusia sepanjang masa. Karena itu gerakannya
untuk kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah selain autentik juga dinamis.

Gerakan untuk ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” merupakan karakter dari gerakan-gerakan tajdid
yang bersifat pemurnian (purrifikasi) seperti dipelopori Ibn Tamiyiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab,
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Jamalauddin al-Afghani, dan para pelopor gerakan
pembaruan lain di dunia Islam. Idiom ”raja’a” (kembali) memiliki konotasi pada ”marja‘” (tempat
kembali), yang secara esensial berarti merujuk ke tempat asal. Dalam kenyataannya juga tidak terlepas dari
kesadaran untuk kembali pada ajaran Islam yang murni setelah mengalami ”pencemaran” atau
penyimpangan tertentu, yang menjauhkan Islam dari ”tempat asalnya”, yakni sumber ajaran yang aseli
yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah yang shahih.

Gerakan pemurnian tersebut memiliki konteks kesejarahan yang khas, yakni ketika Islam memang tercemar
dari berbagai unsur luar yang bersifat ”TBC” (tahayul, bid’ah, dan khurafat” atau secara khusus mengalami
pencemaran aqidah sehingga memerlukan pemurnian (tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah). Hal itu terjadi
pada rentang para pembaru itu hidup, yakni era Islam abad pertengahan ketika mengalami kemunduran
pasca kejatuhan Baghdad 1258 M, setelah kehadiran bangsa Mongol dan masuknya pengaruh Persia ke
dalam kehidupan kaum muslimin. Jadi ada suasana pencemaran yang memerlukan pemurnian kembali.
Dalam periode ini ada semangat untuk membangun kembali dunia Islam yang ideal sebagaimana cita-cita
utama Islam untuk membangun kehidupan ”baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu cita ideal
masyarakat Islam yang diidam-idamkan.

Kenapa Muhammadiyah mengusung gerakan ”kembali pada Al-Quran dan Sunnah Rasul” ? K.H. Ahmad
Azhar Basyir (1987: 11) memberikan keterangan sebagai berikut: ”Karena Muhammadiyah yakin seyakin-

8
Khoiri, S.Th.I, M.Pd.I 085731267380
yakinnya bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul itulah sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Al-Quran
menyajikan ajaran-ajaran tentang ”kebenaran mutlak” yang bersifat terbuka. Al-Quran memberikan
kesempatan kepada siapapun juga sepanjang masa, untuk menguji kebenarannya sebagai firman Allah,
bukan karangan Muhammad, sebagaimana dituduhkan....Al-Quran mengecam sikap hidup apriori, baik
apriori menerima tanpa kesadaran maupun apriori menolak tanpa pertimbangan akal-fikiran yang
matang....Al-Quran datang dari Allah. Allah sendiri yang berjanji untuk selalu memeliharanya. Al-Quran
sejak diturunkan sampai akhir zaman nanti akan tetap terpelihara keaseliannya, sesuai dengan janji Allah
sendiri.”.

Dalam butir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) butir ketiga dijelaskan secara
gamblang bahwa ”Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan a. Al-Quran: Kitab Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran
Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa
ajaran Islam.”. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksanannya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang
aqidah, akhlak, ibadah, dan mu’amalat dunyawiyah. Dengan esensi ajaran dan sumber ajaran Islam yang
demikian maka Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai agama Allah yang mengandung hidayah dan
rahmat-Nya untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup umat manusia di dunia dan di
akhirat.

Menurut K.H. Azhar Basyir (1993: 276-277.), Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam dilakukan
secara menyeluruh. Aspek-aspek ajaran Islam, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiah atau
kemasyarakatan, kendati dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya (al-Islâm kullun
lâ yatajazzâ’). Dalam memahami Islam, akal dipergunakan sejauh yang dapat dijangkau. Hal-hal yang
dirasa di luar jangkauan akal, diambil tawaqquf dan tafwidh. Memaksakan takwil terhadap hal-hal yang
dirasakan di luar jangkauan akal dipandang sebagai menundukkan nash terhadap akal. Aspek akidah yang
lebih banyak didasarkan atas nash, dipergunakan takwil sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang
dapat diterima. Aspek akhlak mutlak berdasarkan nash, akhlak situasional tidak dapat diterima. ‘Ibadah
mahdhah berdasarkan atas pedoman nash. Sedangkan aspek mu‘amalat jika diperoleh dalil-dalil yang
qath‘iy dilaksanakan sesuai dengan ajaran nash, tetapi jika diperoleh dari nash-nash zhanniy maka
dilakukan penafsiran. Asas maslahah dapat menjadi landasan penafsiran. Sikap hati-hati diambil terhadap
hal-hal yang masih belum diperoleh kejelasan guna menjaga keselamatan beragama.

Dengan perspektif Islam dalam pandangan Muhammadiyah dan cara memahami Islam yang luas
sebagaimana diuraikan dalam rangkaian tulisan ini maka segenap wara Muhammadiyah, lebih-lebih
pimpinannya dituntut untuk memahami Islam secara komprehensif, mendalam, dan luas baik yang
berdimensi ‘aqidah, ibadah, akhlak, dan mu‘amalat dunyawiah maupun yang bersifat pemurnian dan
pembaruan; sehingga melahirkan cakrawala Islam yang serba melintasi untuk mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya sekaligus menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamin.

Anda mungkin juga menyukai