Anda di halaman 1dari 12

Teks Editorial

Kelompok 7:
1. Fitria DWI Y. (13)
2. Friska Meilinda R. (14)
3. Kiki Wulandari M.(17)
4. Madika Ihsanuttruna (19)
Korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)
yang dalam hitungan KPK diperkirakan merugikan negara Rp
2,3 triliun merupakan bukti nyata kejahatan penyelenggara
negara yang sangat serius. Betapa tidak. Jika merujuk isi surat
dakwaan jaksa KPK tersebut, bisa dikatakan telah terjadi
perampokan uang negara yang dilakukan secara terencana.
Selain itu, ada kolaborasi eksekutif dan legislatif yang
ditopang jaringan pebisnis sebagai klien para oknum politisi
dan pejabat pemerintah.

TESIS Dakwaan jaksa terhadap terdakwa Irman (mantan Dirjen


Dukcapil Kemendagri) dan Sugiharto (mantan direktur
pengelola informasi administrasi kependudukan Ditjen
Dukcapil) –yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Tipikor
Jakarta Kamis pekan lalu (9/3)– menggambarkan juga bahwa
kejahatan tersebut dimulai dari kesepakatan elitis yang hanya
melibatkan segelintir pejabat parpol, boleh disebut sebagai
mastermind kejahatan. Yang kemudian didiktekan atau
dikoordinasikan dengan pihak pengambil kebijakan terkait di
Kemendagri untuk selanjutnya dijadikan agenda bersama
antara pemerintah dan DPR.
Argumentasi
Pertanyaannya, mengapa begitu mulusnya meloloskan rencana kejahatan perampasan uang negara
itu? Terhadap pertanyaan tersebut, tentu tak terlalu sulit menjelaskannya.

Pertama, parlemen sangat mudah dilakukan karena koordinasinya cukup melibatkan pimpinan
fraksi, pimpinan badan anggaran (banggar), dan pimpinan komisi (II). Jika sudah pimpinan fraksi
yang menginstruksikan suatu rencana proyek berikut anggarannya, bisa dipastikan tak akan ada
pembangkangan dari para anggota DPR lainnya. Sebab, pimpinan fraksi adalah perpanjangan
tangan parpol asal para anggota DPR, pemegang otoritas tertinggi yang mengendalikan setiap
langkah kebijakan yang akan diambil di parlemen. Dan akan selalu terancam posisi seorang anggota
DPR jika mencoba tidak setuju atau berlawanan dengan arahan pimpinan parpol (fraksi).

Kedua, pihak pemerintah, yakni pejabat yang terkait (pejabat Kemendagri yang terdakwa) tentu
tidak bisa mengelak kalau suatu proyek sudah ditopang kekuatan besar di parlemen. Apalagi yang
mengomando adalah parpol dari pihak pemerintah (yang sedang berkuasa), bagian tak terpisahkan
dari pimpinan tertinggi eksekutif. Itu belum termasuk jika pimpinan langsung para pejabat itu, yakni
menteri, turut memerintahkan untuk manut saja pada proyek yang digagaskan para politikus dan
petinggi parpol tersebut. Tugas para pejabat seperti Irman dan Sugiharto itu hanyalah bagaimana
mengoordinasikan teknis proyek berikut anggarannya. Termasuk di dalamnya mengalkulasi atau
menskenariokan agar semua yang diinginkan politisi dan atau pimpinan mereka bisa direalisasikan.
Ketiga, para anggota parlemen yang diarahkan untuk
menyukseskan rencana proyek untuk membungkus
atau melegitimasi kejahatan, termasuk di dalamnya
para pejabat di jajaran eksekutif yang secara teknis
mengoperasikan administrasinya, tentu akan sangat
bergairah karena ada iming-iming memperoleh materi.
Bagi para politikus di Senayan, justru agenda seperti itu
yang boleh jadi sangat diharapkan.

Dalam konteks itulah, jika mengacu hasil penyelidikan


dan penyidikan JPU KPK, dapat dipahami jika
menempatkan tiga figur penting (Setya Novanto, Anas
Urbaningrum, dan M. Nazaruddin) dari dua parpol
(Golkar dan Demokrat) yang lebih diposisikan sebagai
mastermind termasuk terkait dengan rencana
penggunaan anggaran proyek e-KTP itu. Dapat
dibayangkan begitu akan kuatnya pengaruh dari
berpadunya elite dari dua parpol besar yang sedang
berkuasa pada saat itu.
Namun, apa yang luput dipikirkan, baik oleh para politikus
maupun pejabat eksekutif itu, adalah agenda kejahatan
dalam sebuah proyek besar yang melibatkan banyak orang
(korupsi berjamaah) berpeluang besar untuk selalu bocor atau
terungkap keluar. Sebab, kecuali akan ada saja pihak yang
kecewa dan lalu membocorkan dokumen rencana serta
transaksi yang semua dirahasiakan, mata publik juga niscaya
akan selalu memelototinya. Jika pihak kepolisian dan
kejaksaan (sebagai bagian dari instrumen pemerintah untuk
pemberantasan korupsi) bisa ”diamankan”, berbeda halnya
dengan KPK yang secara relatif terus konsisten menjalankan
tugasnya.

M. Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat)


yang sudah jadi terpidana dan atau klien KPK –KPK pun
tampaknya menjadikan dia justice collaborator dalam
beberapa kasus korupsi yang ditangani– tampaknya merasa
tidak adil jika hanya dirinya dan beberapa politikus serta
pejabat eksekutif yang menjadi penghuni hotel predeo. Ini
tentu terkait dengan dimensi keadilan dalam pemberantasan
korupsi berjamaah di Indonesia.
Pertanyaan yang masih mengganjal sekarang, mengapa kasus-kasus
korupsi yang dirancang sejak awal melalui peran parlemen di Senayan
terus saja berulang? Pertanyaan itu sejatinya menjadi bagian dari yang
mestinya dijadikan dasar untuk mengevaluasi sistem dan kebijakan
penetapan APBN/APBD.

Pertama, para politikus di DPR tampaknya tidak memainkan fungsi


kontrol dalam proses-proses penyusunan anggaran negara.
Sebaliknya, barangkali, lebih memanfaatkan proses-proses
penganggaran itu sebagai kesempatan untuk memperoleh bagian,
baik demi kepentingan memperkaya diri maupun bagi sumbangsih
materinya ke parpol asalnya. Lebih parah lagi, desain parlemen kita
tidak memberikan ruang bagi kekuatan oposisi yang bisa secara
efektif melakukan pengawasan melekat.

Kedua, setiap pembahasan dan penetapan (apalagi lobi-lobi


anggaran) antara pemerintah dan pihak DPR tidak pernah melibatkan
pihak ketiga sebagai pengawas eksternal, utamanya dari kalangan
LSM. Kecenderungan seperti itu barangkali bagian dari by design dari
kedua pihak penyusun dan penentu anggaran tersebut agar tidak
direcoki dalam membuat berbagai kesepakatan, termasuk
permufakatan jahat seperti yang terjadi dalam megaskandal proyek e-
KTP itu.
Tentu saja yang dimaksud di sini bukan sekadar
pelibatan masyarakat sebagai performa, tapi lebih
pada substansinya. Yakni menjadikan masyarakat
terlibat dalam mengkritisi dan sekaligus memberikan
masukan terhadap setiap program atau proyek
Penegasan berikut anggarannya. Serta juga melakukan
pemantauan langsung terhadap kemungkinan
Ulang perilaku korup para pihak yang terlibat dalam proses-
proses pembahasan itu. Dan, ini yang harus dicatat,
keterlibatan publik sebenarnya merupakan bagian
dari prinsip demokrasi dan transparansi dalam
proses-proses penganggaran.
Korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-
KTP) yang dalam hitungan KPK diperkirakan merugikan
negara Rp 2,3 triliun merupakan bukti nyata kejahatan
penyelenggara negara yang sangat serius. Betapa tidak.
Jika merujuk isi surat dakwaan jaksa KPK tersebut, bisa
dikatakan telah terjadi perampokan uang negara yang
dilakukan secara terencana. Selain itu, ada kolaborasi
eksekutif dan legislatif yang ditopang jaringan pebisnis
sebagai klien para oknum politisi dan pejabat
Pandangan pemerintah.
Pengarang Kejahatan tersebut dimulai dari kesepakatan elitis yang
hanya melibatkan segelintir pejabat parpol, boleh
disebut sebagai mastermind kejahatan. Yang kemudian
didiktekan atau dikoordinasikan dengan pihak
pengambil kebijakan terkait di Kemendagri untuk
selanjutnya dijadikan agenda bersama antara
pemerintah dan DPR. Sering terjadinya korupsi poltik
salah satunya disebabakan oleh kurangnya pemantauan
langsung terhadap kemungkinan perilaku korup.
Korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik
(e-KTP) yang dalam hitungan KPK diperkirakan
merugikan negara Rp 2,3 triliun .
Dakwaan jaksa terhadap terdakwa Irman (mantan
Dirjen Dukcapil Kemendagri) dan Sugiharto
Kalimat (mantan direktur pengelola informasi administrasi
kependudukan Ditjen Dukcapil) –yang dibacakan
Fakta pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Kamis
pekan lalu (9/3)
Tugas para pejabat seperti Irman dan Sugiharto itu
hanyalah bagaimana mengoordinasikan teknis
proyek berikut anggarannya.
Kedua, pihak pemerintah, yakni pejabat yang
terkait (pejabat Kemendagri yang terdakwa)
tentu tidak bisa mengelak kalau suatu proyek
sudah ditopang kekuatan besar di parlemen.

Agenda kejahatan dalam sebuah proyek besar


yang melibatkan banyak orang (korupsi
Kalimat berjamaah) berpeluang besar untuk selalu bocor
Opini atau terungkap keluar.

Kecenderungan seperti itu barangkali bagian


dari by design dari kedua pihak penyusun dan
penentu anggaran tersebut agar tidak direcoki
dalam membuat berbagai kesepakatan,
termasuk permufakatan jahat seperti yang
terjadi dalam megaskandal proyek e-KTP itu.
Pertama, parlemen sangat mudah dilakukan
karena koordinasinya cukup melibatkan
pimpinan fraksi, pimpinan badan anggaran
(banggar), dan pimpinan komisi (II).

Jika sudah pimpinan fraksi yang


Konjugsi menginstruksikan suatu rencana proyek berikut
anggarannya, bisa dipastikan tak akan ada
Kausalitas pembangkangan dari para anggota DPR lainnya.
Sebab, pimpinan fraksi adalah perpanjangan
tangan parpol asal para anggota DPR,
pemegang otoritas tertinggi yang
mengendalikan setiap langkah kebijakan yang
akan diambil di parlemen.
 Apa mungkin korupsi politik terjadi dalam proyek
E-KTP?
 Bisahkah korupsi politik dalam proyek E-KTP
Kalimat dihentikan?
Retoris  Siapakah yang bertanggung jawab dalam kasus
korupsi itu?
 Apa yang menyebabkan mereka melakukan tindak
korupsi tersebut?

Anda mungkin juga menyukai