Lembaga
Keuangan
Syariah
RIBA
02
Ekonomi dan Bisnis S1 Akuntansi F041700005 Safira, SE.Ak, M.Si
Abstract Kompetensi
Modul 2 membahas riba meliputi : Memiliki kemampuan memahami riba
1. Pengertian riba, dan perbedaan bunga dengan bagi
2. Jenis – jenis riba, hasil.
3. Larangan riba menurut hukum
syariah,
4. Perbedaan bunga dan bagi hasil.
TRANSAKSI YANG DILARANG
Hukum asal dalam muamalah (termasuk transaksi bisnis dan lain – lain) adalah semuanya
diperbolehkan kecuali ada ketentuan syariah yang melarangnya. Larangan ini dikarenakan
beberapa sebab antara lain dapat membantu berbuat maksiat/melakukan hal yang dilarang
Allah SWT, adanya unsur penipuan, adanya unsur merugikan/mendzalimi pihak yang
bertransaksi dan sebagainya. Dasar hukum yang dipakai dalam melakukan transaksi bisnis
(QS 4:29).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha
Penyayang kepadamu.”
Jadi, setiap transaksi bisnis harus didasarkan kepada prinsip kerelaan antara kedua belah
pihak (an taradhim minkum) dan tidak bathil yaitu tidak ada pihak yang
mendzalimi/merugikan dan didzalimi/dirugikan (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), sehinggga
jika ingin memperoleh hasil harus mau mengeluarkan biaya (hasil usaha muncul bersama
biaya/al kharaj bi al dhaman), dan jika ingin untung harus mau menanggung risiko (untung
muncul bersama risiko – al ghunmi bi al ghurmi).
Hal yang termasuk transaksi yang dilarang antara lain adalah sebagai berikut.
1. Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
2. Riba
3. Penipuan
4. Perjudian (maisir)
5. Transaksi yang tidak mengandung ketidakpastian / spekulasi (Gharar)
6. Penimbunan barang (Ikhtikar)
7. Monopoli
8. Rekayasa permintaan (Bai’an Najsy)
9. Suap (Risywah)
10. Penjualan bersyarat (Taalluq)
11. Bai al inah
12. Talaqqi ar-rukban
Sebagian manusia masih memperdebatkan dan menganggap riba sama dengan jual beli,
tatapi Allah menetapkan dengan jelas dan tegas bahwa riba tidak sama dengan jual beli.
Jual beli diperbolehkan (halal) sementara riba dilarangan (haram).
“… yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah…”
Karena bahaya riba begitu besar, Allah melarangnya dengan tegas dan bagi pelanggarnya
akan diberi hukuman yang keras. Sedemikian besar daya rusak riba, sampai-sampai ada
satu hadist riwayat Al-Hakim dan Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Kita dapat bayangkan berapa besar dosa yang ditimpahkan pada orang yang terlibat
dengan riba, dan hal ini tidak terbatas pada orang yang memakannya saja sebagaimana
bunyi hadist berikut ini :
Jabir berkata : “bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau
bersabda, “Mereka itu sama semuanya.”(HR Muslim)
Berdasakan hadist tersebut, Allah melaknat semua pihak yang turut serta dalam akad riba.
Dia melaknat orang yang mengambil utang dengan riba, orang yang memberi utang dengan
riba, penulis yang mencatatnya, dan saksi-saksinya. Konsekuensi atas orang yang terlibat
dalam praktik riba adalah termasuk melakukan dosa besar.
Begitu pentingnya masalah riba, sehingga Rasulullah dalm khotbah haji terakhirnya
mengingatkan kembali bahwa riba harus dihapuskan.
AKIBAT
AKIBAT JUAL
UTANG
BELI
PIUTANG
Yang di maksud dengan barang ribawi/barang sejenis adalah barang yang secara kasat
mata tidak dapat di bedakan satu dan lainnya. (Nurhayati, Sri dan Wasilah, 2016, 61)
Mazhab Hanafi dan Hambali memperluas konsep benda ribawi pada benda yang dapat
dihitung melalui satuan timbangan atau takaran; Mazhab Syafi’i memperluas pada mata
uang (an-naqd) dan makanan (al-ma’thum). Mazhab Maliki memperluas konsep benda
ribawi pada mata uang dan sifat al-iqtiyat (jenis makanan yang menguatkan badan), dan al-
iddihar (jenis makanan yang dapat disimpan lama).
Pertukaran barang yang sejenis mengandung ketidakjelasan bagi kedua bela pihak yang
bertransaksi atas nilai masing-masing barang yang di pertukarkan. Ketidak jelasan tersebut
dapat merugikan salah satu pihak, sehingga ketentuan syariah mengatur kalaupun akan di
pertukarkan harus dalam jumlah yang sama, jiak ia tidak mau menerima dengan jumlah
yang sama karena menganggap mutuhnya berbeda. Jalan keluarnya adalah barang barang
yang di milikinya terlebih dahulu dijual kemudian dari uang yang dapat di gunakan untuk
membeli barang yang dibutuhkannya. Sedangkan pertukaran barang nonribawi
dimungkinkan dalam jumlah yang berbeda asalkan penyerahannya dari tangan ke tangan
atau tidak ditunda.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak,
gandum ditukar dengan gandum, sya’ir ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan
kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus
sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka
ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang
memberinya sama-sama berada dalam dosa.”(HR. Muslim no. 1584)
Barang ribawi dikelompokkan menjadi dua yaitu:
Berdasarkan perbedaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli diperbolehkan
karena ada i’wad (pengganti/penyeimbang) yang menyebabkan penjual boleh mengambil
tambahan sebagai keuntungan. Iwad tersebut dapat berupa :
1. Usaha yang harus dilakukan dalam rangka menambah nilai dari barang/jasa (al-kharaj),
2. Resiko dalam menjalankan usaha (al-ghurm),
3. Beban harus ditanggung terkait dengan pengadaan barang atau jasa (al-dhaman).
Tanpa adanya iwad tersebut, maka jika ada tambahan yang diterima maka hal tersebut
adalah ilat riba yang termasuk faktor waktu dianggap satu-satunya faktor yang dijadikan
dasar untuk menerima tambahan keuntungan.
Dalam lembaga keuangan syariah, konsep bagi hasil (IBI, 2003:265) adalah sebagai berikut:
(Wiyono, Slamet dan Maulamin, Taufan, 2012:53)
a. Pemilik dana menginvestasikan dananya melalui lembaga keuangan misalnya bank
syariah dimana bank syariah yang bertindak sebagai pengelola dana.
b. Pengelola/bank syariah mengelola dana tersebut di atas dalam sistem pool of fund,
selanjutnya bank akan menginvestasikan dana tersebut ke dalam proyek/usaha yang
layak dan menguntungkan serta memenuhi aspek syariah.
c. Kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup kerja sama, nominal,
nisbah dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya
sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai
perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut :
(Antonio, Muhammad Syafi’I, 2001 ; 61)
BUNGA BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi
dengan asumsi harus selalu untung. hasil dibuat pada waktu akad dengan
Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta.
Soemitro, Andri, 2016, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Edisi Kedua, Kencana,
Jakarta.