Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN

SEJARAH MUHAMMADIYAH DAN PERAN KEBANGSAAN

MUHAMMADIYAH DI INDONESIA

DISUSUN OLEH:

HAIRUNNISA 221110002

MUH. IMAN 221110016

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesehatan sehingga penyusun
dapatmenyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin
kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini kami buat agar pembaca dapat mengetahui lebih detail tentang “Sejarah
Muhammadiyah dan Peran kebangsaan Muhammadiyah di Indonesia”. Makalah ini disusun
oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun
yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah,
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini juga jauh dari kata sempurna oleh karenanya itu, kami mohon atas kritik
dan sarannya dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki kekeliruan dalam penulisan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dengan demikian penyusun mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................

1.3 Tujuan.............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Muhammadiyah...............................................................................................

2.1.1 Profil Kiai Hj. Ahmad Dahlan dan pemikirannya...............................................

2.1.2 Sejarah Berdirinya Muhammadiyah.....................................................................

2.2 Peran Kebangsaan Muhammadiyah di Indonesia......................................................

2.2.1 Dakwah Kultural Kecakapan hidup Berbasis Jasa AUM...................................

2.2.2 Memperluas tradisi Sosioritual dalam Kehidupan Berbangsa............................

2.2.3 Indikator Sukses Persyarikatan.............................................................................

2.2.4 Keunikan Perkembangan Persyarikatan di Daerah.............................................

2.2.5 Belajar Kesuksesan dari Ranting dan Cabang.....................................................

2.2.6 Reposisi Perempuan sebagai Simbol Modernitas.................................................

2.2.7 Duet Kiai Dahlan dan Nyai Walidah.....................................................................

BAB III PENUTUPAN

3.1. Kesimpulan....................................................................................................................

3.2. Saran..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Berdirinya


Muhammadiyah merupakan sebuah respon dari praktek ibadah yang dijalankan oleh umat
Islam pada saat itu. Dimana, praktek ibadah yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam
dipenuhi dengan kegiatan yang mempersekutukan Allah sebagai Tuhan yang patut disembah.

Dalam satu abad kiprahnya, Muhammadiyah telah meletakkan infrastruktur kebangsaan


modern religius madani berkeadaban. Sejak berdiri tahun 1912, gerakan ini terus
mengembangkan aksi penyadaran sosial-kemanusiaan di bidang kesehatan, pendidikan,
solidaritas kolektif berorganisasi (jamaah), kemandirian kolektif (ta’awun), sebagai embrio
kesadaran berbangsa. Jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum perang kemerdekaan, saat
gagasan kebangsaan baru sebatas impian, gerakan ini mempolopori penggunaan bahasa local
(Jawa dan Melayu) menggantikan bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Arab) bagi nama-nama
orang dan kegiatannya. Dari sini, di kemudian hari mulai muncul kesadaran kebangsaan
tentang kesatuan kolektif sebagai bangsa.

Dalam pidato kongres tahun 1922, Kiai Ahmad Dahlan beberapa kali menyebut nilai sebuah
bangsa yang hanya mingkin terbentuk jika didasari kesatuan hati (Mulkhan, 1990). Basis
epistemologi kesatuan kolektif dan aksi sosial kemanusiaan itu ialah apa yang dikenal sebagai
kesadaran ketuhanan, yang lebih kita kenal sebagai iman dalam praktik agama. Karena itu,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa Muhammadiyah lebih dahulu tampil sebagai
gerakan sosial dan kebudayaan, baru kemudian memperkokoh diri dengan basis ketuhanan
(baca: agama) (Dzuhayatin, 2011).

Semula gerakan ini tentang pendidikan, kesehatan, aksi kemanusiaan berbasis agama
(pembagian daging kurban, zakat dan fitrah), tablig di ruang publik, dianggap nyleneh, tidak
jarang dituduh sebagai gerakan “sempalan” atau menyimpang dari Islam, bahkan dianggap
sebagai bagian dari “Kristen alus”. Mengapa? Karena saat itu, gerakan sejenis mudah
diketemukan dalam komunitas kristiani yang banyak dilakukan oleh bangsa-bangsa colonial.
Barulah setelah satu abad kemudian, berbagai kegiatan Muhammadiyah tersebut mulai
memperoleh apresiasi, terutama saat orde baru mulai mamakai bahasa agama dalam
menggerakkan warga bagi proyek-proyek pembangunannya.
Muhammadiyalah yang pertama kali mengagas pendiriam musola di tempat umum (pasar,
terminal, stasiun), pengelolaan perjalanan haji secara professional, termasuk ibadah korban
dan fitrah serta zakat. Demikian pula, gerakan sedekah dan infak bagi kegiatan sosial seperti
pendidikan, bagi santunan terhadap fakir miskin, duafa dan yatim piatu, dipolopori oleh
Muhammadiyah. Sosialisasi penydaran publik tentang pentingnya kesehatan, selain yang
paling fenomenal pengembangan dakwah (pengajian) di ruang publik di luar mesjid dan
posantren yang sekarang lebih dikenal sebagai majelis taklim, pun diprakarsai oleh
Muhammadiyah. Sebelumnya, tidak ada krgiatan keagamaan (termasuk tabligh) kecuali di
dalam mesjid atau posantren.

Di masa lalu, program yang demikian itu (pengajian di ruang publik) bisala disebut dengan
program atau sebagai “guru keliling”. Dari sini, warga masyarakat negeri ini memiliki
pengetahuan tentang Islam jauh lebih massif dan berkualitas dibandingkan dengan publik
umat di negeri-negeri muslim lain yang masih mengandalakan dakwah konvensional di
mesjid dan lembaga formal simbolik. Kini, di abad ke 21 ini, tidak lagi ada orang Islam yang
menolak sekolah modern, yang menolak pengobatan di rumah sakit, dan yang menolak
praktek penyembelihan korban dan pembagian zakat maal atau fitrah bagi kelompok
masyarakat yang tergolong miskin.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana profil Kiai Hj. Ahmad Dahlan dan pemikirannya?


2. Bagaimana sejarah berdirinya Muhammadiyah?
3. Bagaimana dakwah kultural kecakapan hidup berbasis jasa AUM?
4. Bagaimana Memperluas tradisi sosioritual dalam kehidupan berbangsa
5. Bagaimana indikator sukses Persyarikatan?
6. Apa keunikan perkembangan persyarikatan di daerah?
7. Bagaimana belajar dari kesuksesan dari ranting dan cabang?
8. Bagaimana reposisi perempuan sebagai simbol modernitas?
9. Bagaimana Sejarah duet Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan profil Kiai Ahmad Dahlan dan pemikirannya
2. Menjelaskan sejarah berdirinya Muhammadiyah
3. Menjelaskan dakwah kultural kecakapan hidup berbasis jasa AUM
4. Menjelaskan proses memperluas tradisi sosioritual dalam kehidupan berbangsa
5. Menjelaskan indikator sukses Persyarikatan
6. Menjelaskan keunikan dari perkembangan persyarikatan di daerah
7. Menjelaskan bagaimana belajar kesuksesan dari ranting dan cabang
8. Menjelaskan reposisi perempuan sebagai simbol modernitas
9. Menjelaskan sejarah duet Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah
BAB II

Pembahasan

2.1 Sejarah Muhammadiyah

2.1.1 Profil Kiai Hj. Ahmad Dahlan dan pemikirannya

K.H. KH. A. Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dan meninggal pada
tanggal 23 Februari 1923. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu.
Ibu dari K.H. KH. A. Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai
penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. KH. A. Dahlan meninggal dunia di
Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan
Nasional Indonesia.

Nama kecil K.H. KH. A. Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat
dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang
merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (KH. A. Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH.
Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo
bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin
Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin
Maulana Malik Ibrahim.

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode
ini, KH. A. Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi KH. A. Dahlan. Pada
tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa
ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H.
Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai KH. A. Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. KH. A.
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan,
Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. KH. A. Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. KH. A. Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai
Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula
menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau dimakamkan di KarangKajen,
Yogyakarta.

Pemikiran KH Ahmad Dahlan

Secara formal KH. KH. A. Dahlan dapat dikatakan tidak pernah memperoleh pendidikan
namun diperoleh secara otodidak. Ketika menjelang dewasa, belau kemudian belajar berbagai
ilmu agama seperti ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu falaq, dan ilmu hadits[4], dari berbagai ilmu
yang dipelajarinya menjadikan tumbuhnya sifat KH. A. Dahlan yang arif dan tajam
pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan.

Dari berbagai kajian ilmu agama yang dipelajari KH. A. Dahlan membuat pemikiran beliau
bertambah, adapun pokok-pokok pemikiran beliau adalah:

Pertama, dalam bidang aqidah, pandangan beliau sejalan dengan pandangan dan pemikiran
ulama’ salaf. Kedua, menurut beliau bahwa beragama itu adalah beramal; artinya berkarya
dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur’an dan as-
Sunnah. Orang yang beragama ialah oaring menghadapkan jiwanya dan hidupnya kepada
Allah yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkorban baik harta benda
miliknya dan dirinya., serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah. Ketiga, dasar pokok
hukum islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika keduanya tidak ditemukan kaidah hukum
yang eksplisit maka ditentukan berdasarkan kepada penalaran dengan mempergunakan
berpikir logis serta ijma’ dan qiyas.
Keempat, terdapat jalan untuk memahami al-Qur’an yaitu: memahami artinya, memahami
maksudnya, selalu bertanya kepada diri sendiri, apakah larangan dan perintah agama yang
telah diketahui sudah ditinggal dan perintah agamanya telah dikerjakan, serta tidak mencari
ayat lain sebelum isi sebelumnya dikerjakan. Kelima, beliau menyatakan bahwa tindakan
nyata adalah wujud kongkrit dari penterjemahan al-Qur’an yang dilandasi dengan
kemampuan akal pikiran (ilmu logika). Keenam, beliau memiliki pedoman hidup untuk
selalu menanamkan gerak hati untuk selalu maju dengan landasan moral dan keikhlasan
dalam beramal. Ketujuh, selalu melek ilmu pengetahuan yang selalu berkembang sesuai
zamannya.Adapun menurut R.H Hadijid, ada terdapat tujuh kerangka pemikiran KH. A.
Dahlan:

a) Ulama’ adalah orang yang berilmu dan hatinya hidup, serta mengembangkan ilmunya
dengan ikhlas karena keikhlasan dilukiskan sebagai seseorang yang mengerti hakikat hidup.

b) Untuk mencari kebenaran, oerang tidak boleh merasa benar sendiri. Oleh karena itu orang
tersebut harus berani berdialog dan diskusi dengan semua pihak walaupun dengan orang atau
golongan yang bertentangan dan berbeda pendapat.

c) Bersedia merubah pemikiran dengan sikap terbuka. Orang yang bersikap terbuka tidak
akan mengikatkan diri kepada tradisi dan rutinitas.d) Dalam mencapai hidup, manusia harus
bekerjasama dan dengan mempergunakan akal.

e) Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan
segala pendapat, berdiskusi dan membandingkan serta menimbang baru kemudian
memutuskan sesuai akal fikiran.

f) Berani mengorbankan harta benda dan milik untuk membela dan menegakkan kebenaran.

g) Mempelajari teori-teori pengetahuan dan keterampilan melalui proses bertingkat.

2.1.2 Sejarah Berdirinya Muhammadiyah

Muhammadiyah berdiri pada saat dunia Islam mengalami kekuasaan ilmperium Turki
Usmani yang memudar, wahabi mulai berkuasa di semenanjung Arab, kolonialisme
mengcengkram Hindia-Belanda, umat Islam pendidikannya menjadi rendah, miskin, dan dan
penyakitan. Pada saat kondisi seperti itu munculah priyayi jawa dan pedagang kauman yang
menyadari posisi sosial pemeluk Islam sebagai bagian dari Ibadah dan amal shaleh. Di
tengah-tengah kondisi yang tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan
muncul sebagai seorang yang peduli terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat pribumi
secara umum atau masyarakat muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir dari kampung
kauman Yogyakarta tahun 1968 dengan nama kecilnya Muhammad Darwis. Ayahnya K. H.
Abu Bakar, adalah Imam dan Khatib Masjid besar kauman Yogyakarta, sementara

2.2 Peran Kebangsaan Muhammadiyah di Indonesia

2.2.1 Dakwah Kultural Kecakapan hidup Berbasis Jasa AUM

Di abad kedua usia gerakan, MUhammadiyah sudah waktunya mengelola pengguna jasa amal
usaha Muhammadiyah (AUM) baik bidang pendidikan, kesehatan, ataupun lainnya. Kegiatan
Muhammadiyah tidak cukup hanya melibatkan pengikutnya, tetapi perlu mengelola
komunitas pengguna jasa amal usahanya (AUM) yang jumlahnya bisal mencapai 120-an juta
jiwa. Melalui komunitas AUM, disebarkan virus dakwah kecakapan hidup berbangsa dan
bernegara berbasis etika futuris (akhirat).

Tradisi sosio-ritual yang terlembaga dalam ribuan sekolah, tempat ibadah, rumah sakit,
perguruan tinggi, dan lembaga pengajian. Virus AUM adalah akar pengembangan hidup
berbangsa lebih sejahtera, ta’awun (gotong royong), berbasis etika futuris (akhirat) yang lebih
memihak wong cilik sesuai paradigma welas asih pendiri gerakan ini. KIai Ahmad Dahlan,
sebagaimana kesaksian dr. Sutomo saat meresmikan rumah sakit (poliklinik) PKU Surabaya
tahun 1924.

Soalnya, bagaimanatradisi sosi-ritual dakwah kecakapan hidup tersebut bisal menjadi virus
kehidupan kebangsaan secara lebih etis dan bermoral. Matematika komunitas pengguna jasa
amal usaha Muhammadiyah (AUM) bisal menunjukkan angka 100 juta jiwa. Mereka relatif
memiliki ikatan emosional atas rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, perguruan tinggi yang
tersebar di seluruh nusantara. Apakah aktivis dan pimpinan gerakan ini memperhitungkan
modal sosialnya bagi tahap lanjut dakwa kultural kecakapan hidup bagi kepentingan bangsa
dan kemanusiaan universal?

Dakwa kecakapan hidup ialah dakwah yang tidak hanya berpusat pada rana kognisi atau
pengetahuan, melainkan menyasar kemampuan atau kecakapan hidup, dalam beribadah dan
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang menjadi obyek dakwah. Pelaksanaan dakwah
kecakapan hidup itu dilakukan dengan memanfaatkan kecerdasan dan kearifan local, berupa
tata nilai yang tumbuh sebagai tradisi hidup masyarakat setempat. Inilah yang antara lain
disebut sebagai kebudayaan.
Secara normatif bisal merujuk Kitab suci al-Qur’an surat Ibrahim ayat 4 yang menunjuk
fungsi kebudayaan (lisaani kaumih), Surat al-Anfal ayat 24 menunjuk arah penghidupan
(yuhyikum), berikut kutipan kedua surat dan ayat al-Qur’an tersebut.

Surat Ibrahim ayat 4 menyatakan: “ kami tidak mengutus seorwng rasul, kecuali dengan
bahasa kaumnya, agar bisal member penjelasan dengan terang pada mereka. Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki. Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi maha
bijaksanan” . Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, bukan berarti diperuntukan bagi
bangsa Arab saja, tetapi bagi seluruh manusia.

Surat al-Anfal ayat 24 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah
dan Rasul kepada yang memberi kehidupan kepadamu, ketahuilah sungguh Allah membatasi
manusia dan hatinya dan sungguh kepada-Nyalah kamu dikumpulkan” . Maksudnya menyeru
berperang meninggalakn kalimat Allah, bisal membinasakan musuh, menghidupkan Islam
dan Muslimin, menyeru kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya
dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Allah-lah yang menguasai hati manusia.

Karena itu, dakwah, selain dilakukan dengan hikmah dan dialog, juga berbasis budaya orang
atau masyarakat sasaran dakwah. Seluruhnya bertujuan sehingga masyarakat menjadi lebih
hidup, lebih bisal menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang dihadapi. Karenanya,
dakwah cultural ialah dakwah yang tidak terbatas menyasar koginsi publik, melainkan juga
melatih kecakapan hidup sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Setelah satu abad gewrakan ini berkarya, saat tradisi sosial ritual yang dulu dipolopori sudah
diterima publik, dakwa perlu dikemas secara baru sesuai dengan tingkat kehidupan sosial-
ekonmi-budaya warga negeri ini dan warga dunia. Penduduk negeri ini secara kultural adalah
pengikut kultural Muhammadiyah, meskipun secara sosial “anti gerakan ini”. Tidak ada lagi
warga negeri ini yang menolak sekolah dan pengobatan modern. Secara sukarela, mereka
membagi fitrah bagi fakir miskin, juga daging korban.

Kini, publik sudah terbisala membiayai kepentingan sosial dari zakat. Infak dan sodaqah
(ZIS) yang dimasa lalu ditentang. ZIS (baca: filantropi atau kedermawanan sosial)bsudah
merupakan salah satu sunber penting pembiayaan sosial dan ekonomi umat. Soalnya
kemudian ialah bagaimana mengembangkan tradisi sosial-ritual itu bagi pemecahan problem
sosial-ekonomi umat. Karena itu, dakwah harus menyasar kecakapan sosial-ekonomi umat
yang menempatkan filantropi sebagi salah satu sumber pembiayaan.
Kegiatan dakwah tidak lagi terbatas menjadi tanggung jawab lembaga tabligh (majelis dan
bagian), melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh organ gerakan. Dari sini, gagasan
dasar dakwah jamaah dan gerakan jamaah dikembangkan guna memenuhi kebutuhan dakwah
kotemporer tesebut. Dalam perspektif dakwah jamaah dan gerakan jamaah, aktifis gerakan
ditempatkan sebagai inti penggerak dinamika dakwah kecakapan hidup.

Selama ini, aktifis gerakan terbatas dipahami sebagai anggota persyarikatan, terutama
pimpinan, yang setiap lima tahun sekali berganti posisi. Akibatnya, berbagai kegiatan dakwah
perlu disegarkan kembali dalam durasi lima tahunan saat pergantian pimpinan persayrikatan
dengan seluruh majelis dan bagiannya. Sementara itu pengelola amal usaha Muhammadiyah
(AUM) dengan tingkat kontinuitas lebih kurang sepanjang hayat, hingga pensiun, setiap hari
terlibat kegiatan persyarikatan yang terbaras dalam spesifikasi bidang AUM, sekolah,
kesehatan, panti asuhan dan perguruan tinggi, justru lebih banyak ditempatkan sebagsi obyek
dakwah.

Kini sudah waktunya, dakwah kecakapan hidup memempatkan pengelola AUM sebagai inti
gerakan. Sasaran dakwahnya ialah stakeholder yang terdiri dari murid dan mahasiswa
berserta keluarga basarnya, pasien berserta keluarga besarnya, anak asuh panti asuhan
berserta kelurga besarnya.

Bekerjasama dengan Hizbul Wathan, pengelola AUM bisa menyelenggarakan pelatihan


dakwah kecakapan hidup dengan target murid, mahasiswa, mantan pasien dan keluarga
besarnya memiliki kecakapan praktis memenuhi hajat hidup standar (mengelola sumber daya
alam sehinggabernili ekonomi; mengelola cara hidup sehari-hari berdasar syariat (shalat
berjamaah, merawat jenazah, dan lain sebagainya). Karena itu, tujuan dan target utama
dakwah kecakapan hidup ialah bagaimana melakukan kegiatan sosial sehingga sasaran
dakwah bisal hidup mandiri (Mulkhan, 2015).

2.2.2 Memperluas tradisi Sosioritual dalam Kehidupan Berbangsa

Setelah seratus tahun Muhammadiyah berdiri (1912), kini praktek keagamaan Islam
nusantara bisal disebut sebagai kepanajangan (eksemplar) dari apa yang dulu dipolopori
gerakan Muhammadiyah.. Kiai Ahmad Dahlan-lah yang dimasa lalu mempolopori berbagai
tradisi sosio-ritual (kegiatan sosial bernilai ibadah) yang tidak ditemukan padanannya di
belahan dunia lain, di negeri-negeri muslim sekalipun.
Tradisi sosio-ritual ialah suatu kegiatan sosial yang dimaknani atau dipahami sebagai salah
satu bentuk dari ibadah kepada Allah. Kegiatan sosio-ritual itu mencakup pembunaan
kesehatan, pendidikan, santunan sosial, dan kedermawanan sosial (filantropi). Sejak itu,
kegiatan sosial yang diniatkan sebagai ibadah ditempatkan sebagai bagian dari kegiatan
ibadah itu sendiri, sehingga partisipasi publik lebih didasari oleh niat ikhlas, bukan karena
kepentingan.

Muhammadiyah mempelopori partisipasi publik dalam membangun gedung sekolah dengan


memberi infak , sedakoh dan zakat (baca: filantropi). Demikian pula halnya dengan
pembangunan tempat ibadah berupa musalla dan masjid. Gerakan ini pula yang memulai
pembangunan tempat ibadah (musalla) di tempat umum, di pasar, stasiun kereta api, dan
terminal bus; juga pembagian daging korban bagi fakir miskin, seperti pembagian zakat
fitrah.

Melalui penafsiran baru, masyarkat digerakkan untuk memenuhi ajaran Islam sekaligus
memecahkan problem sosial dan ekonomi. Muhammadiyah pula yang mempolopori tata
kelola perjalanan ibada haji. Demikian pula, Muhammadiyah mempolopori penyampaiain
hutbah dalam bahasa daerah (waktu itu Jawa dan Melayu) bersamaan dengan penerjemahan
kitab suci al-Qur’an dalam bahasa Jawa dan Melayu (saat Muhammadiyah berdiri bahasa
Indonesia belum terbentuk), kemudian kedalam Bahasa Indonesia.

Secara cultural, warga muslim negeri ini adalah pemgikut Muhammadiyah, karena sudah
mengikuti apa yang dipolopori gerakan ini. Jika tahun 1970-an, orang masih memendang
sekolah (bukan madrasah) itu haram, kini orang-orang berebut terlibat dalam pendidikan
modern tersebut. Jika dimasa lalu berobat ke rumah sakit itu dianggap meniru penjajah, kini
orang segera pergi ke puskesmas saat merasa sakit. Banyak orang sekarang memaksa diri
“menjadi Muhammaduyah”, mengapa? Karena saat mendirikan lembaga pendidikan,
walaupun belum memenuhi syarat dan rukunnya, meminta yang berwewenang segera
menerbitkan izin operasionl.

Ironinya, dalam suasana budaya yang demikian itu aktivis gerakan ini “merasa disaingi” oleh
pengelola pendidikan dan kesehatan yang tidsk berada di bawah simbol Muhammadiyah.
Aktivis itu kurang menyadari bahwa suasana itu merupakan salah satu indicator keberhasilan
dakwa Muhammadiyah dalam mendorong umat untuk terlihat kemodernan. Muhammadiyah-
lah yang sejak lama mendorong dan memprovokasi agar umat pemeluk Islam negeri ini
memiliki kesadaran kesehatan, mengenyam pendidikan modern, dan mengelola kegiatan
ibadah yang berdimensi sosial dengan tata kelola modern.

Kini, bermunculan organisasi sosial yang mengelola zakat dengan tata kelola modern
professional seperti Dompet Dhuaf. Demikian pula berbagai lembaga pendidikan dan
kesehatan didirikan oleh sekelompok masyarakat yang bahkan menyatakan “anti
muhammadiyah”. Organisasi atau yayasan sosial demikian itu terkadang tampak lebih sukses
dalam mengelola kegiatan sosio-ritual dibandingkan dengan pelopornya.

Di saat Muhammadiayah bisal disebut “berhenti berijtihad” partisipasi kegiatan gerakan ini
seolah berlomba melakuakan kegiatan sosio-ritual yang dulu dipelopori Muhammadiyah.
Galam situasi yang demikian inilah, penting bagi aktivis gerakan ini untuk memahami ulang
gagasan dasr sosio-ritual yang dulu dipolopori KH. Ahmad Dahlan. Melalui pemahaman
kembali itu kita bisal melanjutkan atau melakukan tranformasi atau bahkan melakukan
pembaruan jilid kedua dengan tujuan utama “memecahkan berbagai problem sosial-
kemanusiaan” warga bangsa ini.

Saatnya dipertimbangkan untuk memperluas tradisi sosio-ritual sebagai peraktik


berorganisasi dalam gerakan Muhammadiyah laiknya virus yang menyebar menjadi etika
kehidupan kebangsaan negeri ini. Tanpa harus berpolitik, gerakan ini bisa memanfaatkan
tradisi sosio-ritual berbasis pada komunitas stakeholder AUM bagi peningkatan praktik
kebangsaan yang lebih mrnjajanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dan manusiawi sesuai
cita-cita founding fathers.

2.2.3 Indikator Sukses Persyarikatan

Aktivis persyarikatan kini mulai merasa tersaingi oleh gerakan sejenis atau tradisionalis
bukan karena gagal, tetapi akibat keberhasilannya yang kurang disadari ditempatkan sebagai
strategi dakwah kultural kecakapan hidup tersebut. Disaat yang sama, nilai sukses AUM
dilihat dari banyaknya alumni yang menjadi aktivis persyarikatan.

Saat warga negeri ini “memaksa” meniru apa yang dilakukan Muhammadiyah tetapi tetap
enggan mengaku Muhammadiyah, apakah itu berarti kegagalan gerakan ini atau sebaliknya?
Berapa kali dalam setahun pimpinan AUM/PTM berdialog dengan orang tua murid AUM/
keluarga pasien/ warga sekitar dalam rangka dakwah?
Seperti konversi orang saat bersyahadat yang spesifik, khusus dan unik (lihat Umar dan
sahabat, juga Ibn Utsal), berdirinya PRM/ PCM atau PRA/PCA, juga besifat unik bukan
semata dipantik oleh pertimbangan akal rasional, melainkan lebih banyak tersentuh hati dan
rasa, tersentuh oleh aksi kemanusiaan (baca: diwongke (Jawa). Melalui lembaga pendidikan
(PAUD, TK/ABA, SD, MI, SLTP/A, SMK, PTM, jasa AUM lain seperti rumah sakit),
banyak orang baik yang hadir dan terlibat kegiatan persyarikatan. Bisa saja, orang baik itu
terlibat sebagai pasien rumah sakit karena menderita penyakit, bisa pula karena tertarik pada
lembaga pendidikan, atau oleh pengelola yang dipercaya.

2.2.4 Keunikan Perkembangan Persyarikatan di Daerah

Dalam penjelasan Mukaddimah AD, pokok pikiran keenam gerakan ini membagi masyarakat
ke dalam dua kelompok, yaitu umat dakwah dan umat ijabah. Umat ijabah ialah umat atau
kelompok orang yang sudah menerima Islam sebagai agamanya, sementara itu umat dakwah,
ialah umat atau kelompok orang yang belum sepenuhnya menerima Islam sebagai agamanya.

Kepada kelompok ijabah, dakwah dilakukan untuk meneguhkan iman dan mengfungsikan
ajaran Islam bagi penyelesaian problem kehidupan. Maka, kepada kelompok umat dakwah,
kegiatan dakwah dilakukan untuk menujukkan kebagusan ajaran Islam, sehingga membuat
umat dakwah trsebut tertarik pada ajaran Islam.

Demikian pula halnya, perluasan gerakan ini di suatu daerah selalu bersifat unik dan spesifik
serta bergantung pada tokoh local dan problem umat di daerah yang bersangkutan. Seperti
stiap orang berbeda cara hidup di ruang yang berbeda, berbeda pula cara dan pemicu
seseorang untuk berubah atau berkembang jadi aktivis gerakan ini. Khulafaur rasyidin dan
ashabunal awwalun juga memiliki latar belakang berbeda mengenai pemicu konversinya
menjadi muslim. Setiap cabang atau ranting, daerah, sekolah, rumah sakit, hingga perguruan
tinggi Muhammadiyah, berbeda-beda dalam hal cara bertumbuh dan berkembang, seperti
halnya apa yang menyebabkan berdiri dan berkembang.

Mengigat latar belakang belakang yang berbeda itu pula maka tidak semua yang dituduh
melakukan tradisi TBC akan meninggalkan TBC karena ancaman mereka. Banyak orang
meninggalakan tradisi TBC, akibat sembuh dari penyakit yang semula disangka akibat guna-
guna, teluh, dan hantu desa. Ia sembuh dari penyakitnya setelah berobat ke rumah sakit
Muhammadiyah

2.2.5 Belajar Kesuksesan dari Ranting dan Cabang


Banyak kisah sukses di daerah atau cabang tentang bagaimana Muhammadiyah diterima oleh
publik umat dan berkembang. Hal ini menunjukkan kearifan local, peran tokoh local, dan
kemampuan gerakan ini menelesaikan problem yang dihadapi oleh umat local. Sekedar
contoh, berikut ini dikisahkan apa yang dilakukan penggerak dakwah Muhammadiyah di
Tinalan, pinggiran Kotagede, di Cileungsi Bekasi, dan di Sendang Ayu, Padang Ratu,
Lampung Tengah.

Beberapa tahun berdiri PRM/PRA Tinalan disekitar kawasan perumahan Sendok Indah
daerah Kotagede. Pem-basis-an sosial ranting ini dimulai melalui pengajian tanpa nama
dengan mengakomodasi kebutuhan orang-orang local yang butuh bimbingan baca al-Qur’an.
Pengajianpun diselenggarakan kadang dengan membaca bacaan shalat secara jamaah
(menghindari peserta yang tidak bisal melafal secara benar).

Kegiatan pengajian itu terkadang diisi membaca surat Yasin atau surat Yusuf memenuhi
permintaan jamaah yang kena musibah atau menikahkan anaknya. Semula, peserta
pengajiannya hanya beberapa orang, tetapi 10 sampai 20 tahun kemudian menjadi ratusan.
Lalu, mereka butuh mengorganisasi diri dalam “’Aisyiyah dan NA serta Muhammadiyah,
tapi masih juga terkadang terorganisasi dalam group Yasinan dan Yusufan (apa yang salah)?

Sementara di Sendang Ayu Lampung Tengah, melalui wakaf pohon kelapa dan pisang,
setelah beberapa tahun kemudian berdiri PRM/PCM di lereng timur Bukit Barisan yang
cukup disegani dan berpengaruh di Barat Daya PDM Lampung Tengah, seorang wartawan
senior Amerika Wall Street Journal: Bret Stephens, bahkan pernah hadir di sana, laporannya
berjudul “The Exorcist” kemudian terbit 10 April 2007 halaman A18Wall Street Journal.

Seorang Kiai penganjur dakawah Muhammadiyah di daerah itu bahkan dikenal penduduk
memiliki kekuatan spiritual, sering diminta air putih untuk jampi-jampi, dokenal memiliki
aji-aji sapu angin, karena konon bisal memempuh puluhan kilometer dengan sepeda ontel
hanya dalam beberapa menit. Dari sinilah, petani Jawa transimigrasi itu merasa memperoleh
perlindungan spiritual.

Kita juga bisal belajar dari cabang yang terletak di sisi Timur Jakarta, di Cileungsi. Melalui
asuransi dan jasa pelayanan kematian, PCM di Timur Jakarta berbatasan dengan Bekasi itu
mengembangkan diri. Kini, mereka bersiap mendirikan rumah sakit dan universitas. Hanya
ada satu dua orang aktivis yang terus memikirkan bagaimana menarik perhatian publik yang
umumnya hidup dalam tradisi Jawara masyarakat Banten.
Aktivisnya memiliki kemampuan bela diri Tapak Suci, demikian pula Kuningan yang sukses
mengembangkan PTM dalam tempo 5 tahun mendulang lebih dari 3000 mahasiswa
(melibatkan tidak kurang 1,5 juta anggota keluarga). Padahal, gerakan ini minoritas di daerah
mayoritas bertradisi Jawara yang dikenal hebat dalam kekuatan magis tersebut.

Kita bisal belajar dari ranting dan cabang yang maju di berbagai daerah di Jawa dan luar
Jawa. Di dalamnya, dengan mudah kita temukan beberapa aktifis yang terus bekerja dan
dengan setia memelihara “tradisi” secara lestari. Dan, dengan “tradisi” itu penduduk dan
warga setempat menyatukan diri sebagai bagian dari komunitas spiritual.

2.2.6 Reposisi Perempuan sebagai Simbol Modernitas

Kini, sudah bisalah perempuan tampil di ruang publik, bahkan sebagai pemimpin politik di
daerah. Apa yang dilakukan Muhammadiyah seratus tahun lalu terhadap peran publik
perempuan itu dianggap aneh, bahkan dituduh menyimpang dari ajaran Islam. Sementara kini
publik sudah familiar dengan peran publik perempuan. ‘Aisyiyah, perempuan
Muhammadiyah, cenderung kurang “greget” dan terkesan “ketinggalan zaman”.

Setiap kali menjelang pemilihan presiden dan kepala daerah di negeri ini, selalu
memunculkan debat tentang posisi perempuan di ranah publik, khusunya dalam
kepemimpinan nasional suatu bangsa. Awal tahun 2000an, tidak lama setelah pemilu
presiden, muncul debat serupa berkaitan draf usulan pembaruan Kompilasi hukum Islam
(KHI) oleh tim KHI Gender. Pedebatan itu antara lain dipicuh usulan tentang perempuan
umur 21 tahun bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri, nikah adalah kontrak sosial bukan
ibadah, legitimasi kawin kontrak, penerapan idah bagi pria. Larangan poligami, kesamaan
hak waris perempuan-pria. Perdebatan seperti ini masih akan terus meluas searah dengan
kesetraan gender.

Di tengah perdebatan di atas, berlangsunglah reposisi perempuan dalam peta kepemimpinan


gerakan Islam. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis, mulai menempatkan
perempuan dalam komposisi kepemimpinan pusat gerakan ini. Beberapa aktivisnya sedang
mengkaji ulang posisi perempuan sebagai imam shalat. Namun, itu tidak mudah dipenuhi
ditengah patriarki fiqih dan patriarki dalam teologi Islam.. Soalnya bukan liberal atau
konservatif, tetapi bagaimana menggerakan fungsi ajaran Islam hingga benar-benar berguna
bagi pengembangan kehidupab sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang lebih sehat dan
berkeadaban.

Reposisi perempuan dan kesetaraan gender bisa mati di tengah jalan jika tanpa kearifan
kemanusiaan. Hal ini berkaitan fakta biologis keperempuanan yang perlu dicermati selain
kecenderungan patriarki dalam fikih dan teologi Islam. Daur ulang menstruasi dan
pembuahan di rahim perempuan merupakan bakat bawaan yang tak mungkin diubah.
Perempuan yang mengandung dan menyusui boleh tidak puasa dan yang mentruasi dilarang
berpuasa yang nanti diganti di hari lain. Aura ketubuhan sering menjadi alasan larangan
perempuan sebagai imam shalat yang tak jarang diperluas dengan larangan menjadi
pemimpin. Pada hal, Hadis Nabi yang dijadikan dasar pelarangan itu konon lemah.

Dalam hubungan itulah, usulan kawin kontrak bisa melegitimasi prostitusi yang semakin
memperburuk nasib perempuan. Bersamaan itu, belum membaiknya kehidupan ekonomi
negeri ini membuka peluang bagi segala jenis aktifitas yang bisa menarik minat yang
membuahkan uang yang cukup banyak seperti prostitusi., trafiking atau perbudakan modern,
serta pekerja di bawah umur. Demikian pula, idah (masa tunggu untuk kawin lagi setelah
perceraian) bagi pria sama dengan idah bagi perempuan. Soalnya bukan sekedar keadilan dan
kesamaan hak, tapi kepekaan kemanusiaan juga yang perlu dijadikan pertimbangan.

Kelahiran Isa sebagai nabi dan rasul dari rahim Maryam bisa dimaknai atas kritik hegemoni
patriarki seperti tampilnya ’Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw, sebagai komandan perang
sesudah Nabi wafat. Fakta ini seperti dimentahkan kekalahan Ratu Bilkis atas Nabi Sulaiman.
Dinamika Islam kemudian merupaka sejarah pria yang menghegemoni penafsiran al-Qur’an
dan Hadist dan mendominasi kekuasaan berbasis keagamaan.

Seluruh gerakan Islam mengelompokan anggotanya berbasis gender. Anggota


Muhammadiyah perempuan dikelompokkan dalam ‘Aisyiyah dan perempuan Nahdlatul
Ulama (NU) dalam Muslimat. Pucuk kepemimpinan gerakan Islam terbesar di negeri ini
selalu dijabat pria yang secara hegemoni diberi sebutan seperti nama organisasinya,
sedangkan anggota perempuan disebut ‘Aisyiyah atau Muslimat. Posisi tertinggi perempuan
hanya di lembaga subordinatif dalam sistim oeganisasi Muhammadiyah dan NU.

Posisi perempuan mulai berubah ketika Muhammadiyah menetapkan kebijakan memasukkan


mereka kedalam struktur pimpinan sesudah muktamar 2000 lalu.. Sejak itu peluang
perempuan menjadi ketua (umum) Muhammadiyah semakin terbuka. Namun, peluang itu
tidak mudah diraih ketika sistim keluarga yang menempatkan pria kepala keluarga sebagai
basis kehidupan sosial. Imam shalat selalu dijabat pria, sementara perempuan diberi nilai
stengah dalam kesaksian dan sistim pewrisan dalam hukum fikih. Doktrin muhrim bisa
disebut sebagai legalisasi dominasi pria yang bahkan hamper menutup peluang mobilitas
sosial bagi perempuan.

Dalam situasi budaya berbasis teologi itulah reposisi perempuan dalam kepemimpinan
Muhammadiyah menarik dicermati. Peserta siding Tanwir di Mataram pada Desember 2004
sekitar 25 persennya adalah perempuan, seperti peserta Muktamar ke 45 di Malang awal Juli
tahun 2005. Posisi itu memang belum signifikan, namun, cikup penting bagi pelahiran
keputusan strategis bersuasan kesetaraan gender dan penguatan reposisi perempuan dalam
pentas politik nasional. Sayangnya, Muktamar 2005 itu mengamandir reposisi perempuan
hasil keputusan Tanwir Mataram tahun 2004.

Soalnya ialah bagaimana reposisi perempuan tersebut lebih menjamin kehidupan sosial yang
lebih sehat, bukan sekedar liberalisasi doktrin fikih dan teologi. Persoalan ini masih akan
terus mengundang perdebatan dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara
langsung. Tanpa tafsir baru, peran perempuan dalam kehidupan sosial-politik yang lebih luas
masih akan menghadapi hambatan teologis.

Sejak 1990-an dalam setiap seleksi pencalonan pimpinan Muhammadiyah sudah muncul
beberapa nama perempuan. Namun, hingga muktamar 2000 belum seorang perempuan pun
terpilih sebagai anggota pleno pimpinan pusat yang berjumlah 13 orang, seperti penambahan
anggota pleno yang bisalanya berjumlah 4 atau 6 orang oleh ke-13 anggota pleno pilihan
Muktamar. ”kegagalan” perempuan menempati posisi 13 besar atau anggota tambahan itu
lebih Karen mayoritas peserta Muktamar adalh pria.

Selama ini, perempuan Muhammadiyah lebih terkonsentrasi di organisasi otonom yang


bertugas khusus membimbing kehidupan sosial-keagamaan perempuan, yaitu: ‘aisyiyah
untuk anggota dewasa, dan Nasiy’atul ‘Aisyiyah (NA) untuk anggota lebih muda. Pimpinan
lembaga ini seluruhnya perempuan untuk kaum perempuan. Sementara itu, kepemimpinan di
berbagai majelis dan lembaga lain yang membidangi pendidikan, kesehatan, dakwah, dan
santunan sosial, hanya sedikit melibatkan perempuan.

Karena itu, Muhammadiyah menetapkan kebijakan advokatif memasukkan perempuan dalam


tiap jenjang kepemimpinan, melalui dua tahap. Pertama, caranya melalui pemilihan langsung
dalam Muktamar dan permusyawaratan wilayah (propinsi), daerah (kabupaten/kota), cabang
(kecamatan), dan ranting (desa). Tahap kedua, melalui penunjukkan anggota pleno tambaha
oleh anggota pleno terpilih dengan mepertimbangkan hasil pemilihan langsung tersebut.

Kebijakan advokatif di atas diharapakan menyeimbangkan peserta perempuan dan pria dalam
Muktamar 2010 atau 2015. Peluang perempuan menjadi ketua (umum) Muhammadiyah
Lebih terbuka ketika memperoleh suara terbanyak dalam Muktamar atau musyawara di
tingkat lebih rendah, tidak bagi posisi pria dalam ‘Aisyiyah atau NA. Lebih strategis jika
reposisi perempuan diberlakukan di semua unit gerakan ini juga diikuti dengan peleburan
Pemuda muhammadiyah dan NA dalam satu wadah, dan peleburan ‘Aisyiyah ke dalam
Muhammadiyah.

Kesetaraan perempuan dalam wilayah publik di atas bukanlah barang baru dalam
Muhammadiyah. Jauh sebelum kesetraraan gender atau feminisme menjadi wacana publik di
Tanah Air atau di dunia, pendiri gerakan ini, Kiai Ahmad Dahlan, sudah menempatkan
perempuan setara pria dengan tugas berbeda. Perkumpulan khusus perempuan dengan nama
Sopotrisno didirikan tahun 1914 setelah mendirikan lembaga pembinaan perempuan bagi
tugas-tugas non domestic yang diberi nama Wal Asri. Dua lembaga ini adalah cikal bakal
kelahiran ‘Aisyiyah pada tahun 1922 dan NA untuk perempuan muda beberapa tahun
kemudian.

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menggerakan partisipasi perempuan di berbagai


wilayah publik, selain dalam pendidikan, kesehatan, penyantunan sosial, dan tablig atau
dakwah. Secara khusus, didirikanlah sekolah perempuan yang dikenal dengan Madrasah
Muallimat. Banyak perempuan mulai bertugas sebagai guru, juru dakwah, begelar insnyur,
menjadi dokter, dan memegang berbagai jabatan publik lainnya. Kini, mudah ditemukan
perempuan bergelat Doktor, Guru Besar di berbagai bidang ilmu, bekerja diberbagai lembaga
ekonomi dan birokrasi pemerintahan.

Di masa itu, membiarkan perempuan keluar rumah untnuk urusan publik merupakan aib
keluarga yang tak gampang disembuhkan. Lebih-lebih ketika perempuan itu pergi jauh dari
rumah dan kampungnya dan bertemu kaum pria diberbagai tempat umum. Namun, dalam
suasana seperti itu, istri Kiai Ahmad Dahlan, Siti Walidah pergi jauh ke berbagai daerah
menyampaikan ceramah agama dan bertemu beragam kelompok masyarakat yang bukan
hanya perempuan.

Perlakuan Kiai Dahlan terhadap perempuan tersebut merupakan praktik dari pemahaman
keagamaan yang bukan sekedar liberal, tapi dipandang menyimpang dari tatanan tradisi dan
ajaran Islam pada masa itu. Wajar jika Kiai Dahlan di tuduh sebagai kafir, membuat agama
baru, dan tuduhan buruk lainnya. Di saat yang sama, Kiai Dahlan mentradisikan pemakainan
kerudung bagi perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab.
Dibangun pula tempat ibadah khusus bagi perempuan yang kemudian dikenal sebagai
musolla.

Tindakan Kiai Dahlan di atas didasri pertimbangan praktis dan pragmatis peran perempuan
bagi pertumbuhan kehidupan sosial yang lebih sehat. Ide futuristic yang jauh melampaui
kesdaran zamannya itu merupakan strategi sejarah dan kebudayaan yang hasilnya baru
terlihat hamper satu abad kemudian, akini, perempuan menuntut kuota 30 persen dalam
lembaga legislative (DPR, DPD dan DPRD). Tak ada lagi orang tua yang melarang anak
perempuannya pergi ke sekolah atau atau bekerja di berbagai bidang jauh dari kampung
halaman, bahkan luar negeri.

Reposisi perempuan dalam gerakan Islam dan jabatan publik bisa mebawanya ke tengah
pusaran peadaban modern dan golobal dengan segala dampak budaya yang tak seleuruhnya
sesuai doktrin Islam dalam tafsir-tafsir klasik. Penolakan atas praktik-prakrik tak bermoral
dan pelanggaran ajaran Islam dalam kebudayaan kotemporer, tidaklah memadai kecuali
diikuti strategi peradaban futuristic sebagai pemandu umat untuk menyiasati peradaban
golobal yang terbuka, dan hedonis, yang mungkin cenderung barbar. Suatu agenda baru yang
tak mudah dipahami umat di zaman ini seperti reaksi masyarakat atas kebijakan Kiai Dahlan
dan istrinya, Siti Walidah, hamper satu abad lalu.

Gerakan atau organisasi Muhammadiyah lahir saat perang dunia I berkobar. Eropah bergolak
ditengah berlangsungnya konflik berat dalam dunia Islam, terutama diantara gerakan Wahabi
di satu pihak dan kerajaan Turki sebelum kesultanan terakhir Islam ini roboh di pihak lain. Di
saat yang sama, kawasan Nusantara berada dalam perangkap dan cengkraman kekuasaan
kolonial di tengah konflik antarkerajaan Islam Nusantara. Perang Diponegoro berkobar,
kemiskinan meluas dalam suasana rasa keputusasaan umat dan publik warga Nusantara.
Seluruhnya beriringan dengan tumbuhnya kesadaran atas kebangsaan dan kesadaran pada
pentingnya gerakan nasionalisme yang meluas.

Dalam suasana kekacauan sosial-budaya-politik dan religi seperti tersebut di atas. KH.
Ahmad Dahlan membangun tredisi besar gerakan sosial islam dan amal saleh. Sautu model
ritual mendekatkan diri kepada Tuhan yang bukan sekedar ditempuh melalui ritual formal
seperti salat, puasa, haji, dan zakat melainkan jugan melalui pemberdayaan warga bangsa
yang menderita dan tertindas. Dari sini dikembagkanlah zakat maal dsn zakat fitrah bagi anak
yatim dan fakir miskin, dibagikan daging korban bagi mereka yang menderita, dibangun panti
asuhan, rumah sakit dan sekolah secara gratis yang dibiayai dari gerakan kedermawanan atau
filantropi. Tidak ketinggalan digerakan kaum perempuan ke ruang publik bagi pencerdasan
dan kedermawanan. Gerakan ini kemudin menempatkan diri atau ditempatkan sebagai
gerakan agama dengan aksi sipil pertama dan terbesar di dunia (Islam).
Kiai Ahmad Dahlan, yang priyayi (abdi dalem keraton) itu, mendakwahkan den meneladani
bagaiamana mengumpulkan dan membagikan harta (fitrah, zakat, korban) bagi kepentingan
umum. Sekolah dan rumah sakit, panti anak yatim dibangun dan dikelola dengan manajemen
modern. Dengan tujuan agar seluruh lapisan umat memahmi secara langsung ajaran
agamanya. Kitab al-Qur’an kemudian dterjemahkan, khutbah, pengajian aau ceramah agama
diselenggarakan di tempat-tempat umum, di kampong, di pasar dan dipinggir jalan. Dibangun
Musalla atau tempat beribadah di tempat umum; stasiun kereta api, dan terminal bus,
perempuan dihalau ke luar rumah untuk mencari ilmu dan melakukan berbagai aksi sosial
dan gerakan sipil.

‘Aisyiyah (organisai anggota Muhammadiyah perempun) secara resmi didirikan padatanggal


5 Januari 1922 (meski secara embrional sudah adasejak 1917), meski nama itu sebagi
perkumpulan sudah cukup lama dipakai sebagai sebutan perkumpulan perempuan yang
kurang terorganisasi dengan baik. Kelompok yang kemudian bernama Ngaisyiyah (model
dialek orang Jokyakarta dalam mengucapkan ‘Aisyiyah) itu menggerakkan kaum perempuan
untuk melakukan aksi non-domestik. Saat feminisme masih diperdebatkan di Eropah. Kiai
Dahlan sudah mengusung perempuan ke ranah publik (Kartini belum muncul sebagi tokoh
perempuan di kawasan Nusantara, Poulo Freire masih belum lulus TK karena baru lahir)
Nyai Dahlan Siti Walidah berada pada posisi setara dengan Kiai Ahmad Dahlan, sering
diundang ke lauar kota , bekan bersama dan atas nama Kiai Dahalan. Dalam sidang ulama di
Solo yang mengambil tempat di serambi Mesjid Besar Keraton Surakarta, Nyai Dahlan di
undang dan datang sendiri tanpa disertai Kiai Dahlan.

Bersamaan itu di saat warga kawasan pinggiran Negeri Ngayogyakarto dan sekitar daerah ini
bermigrasi mencari pekerjaan ke kota Yokyakarta, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah
mengumpulkan mereka untuk diberi ilmu keagamaan dan keterampilan kerja. Saat itu, kota
Yogyakarta menjadi maknit daerah-daerah sekitar, karena relative lebih aman dan lebih
menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera (menyediakan lapangan kerja lebih baik dari
daerah-daerah sekitar). Dari sini kemudian muncul antara lain pengajian Wal-Asri dan
Kulliyatul Muballighin ini tumbuh berkembang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
Muhammadiyah, sererunya sekolah ini adalah merupakan cikal bakal UMY (Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta).

Sayangnya, kemudian berkembangan model pembagian kerja bebasis seksual seperti


tercermin dalam struktur gerakan Muhammadiyah; ‘Aisyiyah (untuk perempuan dewasa) dan
NA (Nasiyatul ‘Aisyiyah; untuk pemudi), ada Pemuda Muhammadiyah dan Muhammadiyah.
Tahun 1980-an muncul kritik Kuntowijoyo tentang gejala demikian dan kritik
Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan. Dalam praktik gerakan
persyarikatan itu kemudian muncul tarik-menarik antara ‘Aisyiyah dalam amal dengan
Muhammadiyah, terutama dalam kaitan pengelolaan amal usaha.

Tahun 2003, problem di atas dipecahkan dengan reposisi ‘Aisyiyah yang disyahkan Tanwir
Mataram 2004. Kebijakan Pimpinan Pusat itu di tolak Multamar Malang tahun 2005;
argument yang menguasai peserta Muktamar saat itu ialah agar ‘Aisyiyah tidak usah repot-
repot ngurusi wilayah publik. Argumen demikian bertentangan dengan fakta sosial tentang
banyaknya perempuan aktif di sector publik, menjadi kepala sekolah, bupati, gubernur,
rector, metri dan pejabat tinggi lainnya. Soalnya ialah bagaimana Muhammadiyah dan
‘Aisyiyah menyikapi pemikiran dan fakta sosial tersebut?

Jika diamati perjalanan Muhammadiyah selama satu abad, bisa dilihat bagaimana gerakan ini
menjadi model tradisi keberIslaman di Indonesia, dari pendirian Musalla di tempat umum,
pengajian kampong dan perjalanan haji, merupakan buah gagasan yang semula muncul dari
Muhammadiyah. Melalui gagasan dan amal tersebut, publik umat merasa terbantu dalam
memenuhi kebutuhan hidup antara lain di bidang: keshatan, pendidikan, praktik keagamaan,
hingga pemenuhan harga diri karena merasa setara dengan orang-orang colonial dan kristiani,
umat merasa memperoleh perlindungan, memenuhi kebutuhan mobilitas sosial dan religi
serta rasa aman.

Namun, dalam perkembangannya, jarak budaya antara persyarikatan dan publik umat
semakin lebar. Pada saat yang sama, fungsi sipil gerakan ini telah banyak diambil alih oleh
LSM, lembaga professional (pengacara), lembaga adat, partai, sementara fungsi religi
mungkin mulai juga diambil oleh kelompok salafi, tarbiyah, Islam terpadu. Demikian pula,
fungsi-fungsi yang mungkin harus disebut sebagai fungsi sekuler (pendidikan, kesehatan)
tampaknya juga mulai diambil oleh kelompok-kelompok tradisional seperti posantren ketika
lembaga ini juga mulai membuka diri untuk mengembangkan peran-peran sosial dan sipil.

Di sisi lain, ketika Muhammadiyah bersentuhan dalam masyarakat yang lebih luas dengan
status sosial beragam warga gerakan ini berpirau. Terjadi suatu pertemuan budaya atau tradisi
ketika banyak warga memanfaatkan jasa kegiatan Muhammadiyah di bidang pendidikan dan
kesehatan. Dari kegiatan demikian , masuklah warga bangsa dengan latar belakang sosial
keagamaan yang beragam ke sekolah Muhammadiyah dari SD hingga perguruan tinggi yang
tumbuh pesat setelah kemerdekaan. Demikian pula dengan rumah sakit, masuklah dokter-
dokter muda dengan latar belakang ssosial kegamaan yang juga beragam. Mereka kemudian
“terpaksa” meperoleh pengakuan dalam tubuh gerakan ini dengan mebawa serta “tradisi”
yang selama ini menghidupi mereka, sehingga membagi warga Muhammadiyah ke dalam
empat tipe: Al-ikhlas; Kiai Dahlan; Munu; Marmud.

Pemirauan (kategirisasi) warga Muhammadiyah tersebut dijelaskan dalam laporan penelitian


penulis di sisi Selatan kota Jember Jawa Timur., Kecamatan Wuluhan (Mulkhan, 2000,
2013), Keempat tipe anggota gerakan Muhammadiyah tersebut dapat digambarkan secara
ringkas sebagaimana uraian berikut: Al-Ikhlas adalah tipe anggota Muhammadiyah yang pola
pikir dan tradisi hidupnya pola ideal Muhammadiyah seperti fatwa tarjih. Kiai Dahlan
merupakan tipe Al-Ikhlas yang lebih toleran karena mencoba membangun hubungan dengan
warga masyarakat yang lebih luas. Munu (Muhammadiyah NU) adalah warga
Muhammadiyah yang pola pikir dan organisasinya Muhammadiyah tetapi tradisi
kehidupannya NU karena memang berasal dari keluarga NU yang sekolah di lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Marmud (marhaenis Muhammadiyah) adalah anggota
Muhammadiyah yang pola pikir dan organisasinya Muhammadiyah tetapi hidup
kesehariannya dalam tradisi abangan.

Kini, setelah gerakan Muhammadiyah itu berusia 100 tahun, banyak warga bangsa ini yang
memperoleh manfaat dari jasa sosial yang dikembangkan Muhammadiyah lewat lembaga
pendidikan atau rumah sakit. Ironinya, banyak warga gerakan ini yang masih bersikap
sektoral dalam arti kehendak agar mereka yang memanfaatkan jasa sosial gerakan ini
berprilaku berdasar fatwa tarjih dan menjadi anggota Muhammadiyah. Namun, ketika mereka
kemudian memiliki peluang menduduki jabatan strategis dalam struktur organisasi gerakan
ini, sentiment sektoral itu dimunculkan seperti model darah biru gerakan. Demikian pula,
ketika warga bangsa kaum perempuan yang dulu nunuk kamukten (memanfaatkan jasa) amal
sosial dan kesetraan gender seperti pendidikan, kini lebih lantang menyuarakan identitasnya,
sementara Muhammadiyah dan ’Aisyiyah terlalu puritan, jaga emej enggan tampil ke publik
secara lugas dan penuh percaya diri dalam mebawakan ide-ide pembaruannya.
Muncul kesan kuat bahwa sementara warga Muhammadiyah berdarah biru persyarikatan
lebih menikmati ke-”darah-biru-”an sebagai gerakan modern dan tajdid, tetapi warga ini lupa
melakukan pembaruan tajdid dan ijtihad. Pada saat yang sama, banyak anggota
Muhammadiyah yang ber”darah biru” sudah merasa puas dengan apa yang selama ini
dicapkan kepadanya sebagai organisasi Islam yang mdern dan pembaru. Muncul kemudian
rasa tersaingi oleh “pengikut” gerakan kemodernan Muhammadiyah ketika warga baru ini
melakuakan aksi-aksi yang lebih kritis dan ijtihadi ketika mereka juga memiliki legalitas
sebagai warga modern dengan gelar dan simbol-simbol modern.

Dulu, basis pengetahuan(terutama kitab kuning) nyai-nyai Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah


dengan nyai-nyai posantren (NU belum lahir) relative setara atau sama. Hingga 1980-an
‘Aisyiyah berada pada posisi di atas angin dibanding nyai-nyai dan perempuan tradisional.
Kini posisi itu tampak timpang ketika mulai manyak lulusan luar negeri dari kalangan
tradisional, berkemampuan bahasa Arab dan inggris bagus, disertai pencarian identitas sosial
agresif, walau kadang sekedar cari proyek, sementara’Aisyiyah terlalu jaga imej (jaim)
mriyayeni terlalu nyufi (keren-nya), penuh aturan dan protokoler.

Banyak doktor dan professor perempuan tradisional yang membuat Muhammadiyah/


’Aisyiyah seringkali cemas. Semestinya sikap demikian tidak perlu, karena realitas sosial
pemeluk Islam Indonesia, diantarnya munculnya perempuan-perempuan dari kalangan
tradisionalis itu adalah sebuah bukti lain dari keberhasilan Muhammadiyah dalam
menyebarkan ide pembaruan. Soalnya bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kini ialah apa
yang baru dan menarik publik dari yang kini dilakukan dan dikembangkan Muhammadiyah
dan ‘Aisyiyah? Apa semua fakta sosial tersebut kita sadari secara jernih, atau bahkan dilihat
sebagai ancaman? Berdasarkan kesadaran tersebut apakah dikembangkan suatu strategi baru
gerakan sehingga memenuhi hajat publik kotemporer seperti saat-saat awal kelahiran gerakan
ini?

2.2.7 Duet Kiai Dahlan dan Nyai Walidah

Jauh sebelum isu kesetaraan gender atau feminism berkembang di tanah air ataupun di dunia,
Kiai Ahmad Dahlan sudah bekerja untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi setara
dengan pria dengan tugas berbeda. Perkumpulan khusus bagi kaum wanita dengan nama
Sopotresno telah didirikan tahun 1914 selain pengajian Wal Asri beberapa tahun sebelumnya,
‘Aisyiyah secara resmi baru berdiri tahun 1922, 8 tahun sesudah Sopotreno.
Kini posisi ‘Aisyiyah jauh lebih strategis ketika tokoh ortom ini berpeluang menjadi ketua PP
Muhammadiyah, tetapi tidak sebaliknya bagi tokoh Muhammadiyah. Soalnya kemudian ialah
bagaimana kita menangkap pesan etika sejarah dari berbagai kegiatan yang dahulu
dikembangkan KH. Ahmad Dahlan. Demikian pula, bagaimana kita memahami basis
epistemology yang mendasari pemahaman Kiai Ahmad Dahlan tehadap ayat-ayat al-Qur;an
dan Sunnah Rasul, sehingga bisa menafsirkan surat al-Maun menjadi lembaga yatim piatu,
suratal-Imran ayat 104 menjadi sebuah tata nilai dan sistim organisasi, dan yang mebuatnya
bersedia “meniru” berbagai praktek sosial kaum kristiani dan kaum kolonialis, yang selama
ini dituduh kafir, terutama dalam pendidikan, kesehatan dan kepanduan.

Di awal abad ke-20 dalam kultur dan sistim sosial negeri ini, mebiarkan wanita keluar rumah
untuk urusan non domestic merupakan sesuatu yang menyebabkan keluarga dan suatu
komunitas menerima aib yang tak gampang disembuhkan. Lebih-lebih ketika wanita itu pergi
jauh dari rumah dan kampong tempat tinggal seperti yang dilakukan Siti Walidah (istri Kiai
Dahlan) bertemu dengan beragam manusia di berbagai polosok Jawa.

Perlakuan Kiai Dahlan terhadap kaum wanita ketika itu merupakan praktik dari pemikiran
dan pemahaman keagamaan yang bukan sekedar radikal, tetapi revolusioner dan
menyimpang dari tatanan umum serta melanggar norma keagamaan yang dipahami dan
dipegang teguh oleh umumnya masyarakat muslim di zaman itu. Eajar jika apa yang
dilakukan Kiai Dahlan pada waktu itu dituduh sebagai prilaku kafir, agama baru, dan
berbagai sebutan lain.

Posisi kaum perempuan dalam Muhammadiyah bisa dibaca dari antara lain daftar muballigh.
Nama Siti Walidah (bukan dengan nama Nyai Dahlan) sering kali muncul dalam posisi
sejajar dengan Kiai Dahlan. Siti Walidah menempati posisi pertama dalam daftar muballigh
di awal-awal perkembangan Muhammadiyah, seperti halnya posisi Kiai Ahmad Dahlan.
Demikian pula halnya dalam berbagai kegiatan sosial, seperti yatim piatu, rumah sakit, panti
jompo, santunan pada anak jalanan, dan korban perang.
Prubahan radikal tatanan nilai tentang wanita yang dilakuan Kiai Dahlan menjadi lebih
institusional ketika kaum wanita dimobilisasi memasuki dunia pendidikan modern. Dari sini
mulai bermunculan mubaligh perempuan (muballighah). Namun, disaat yang sama, Kiai
Dahlan pulalah yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum wanita yang belakangan
merebak dalam tradisi atau model jilbab. Pertimbangan utama yang mendasari berbagai
pemberontakan terhadap tradisi antara lain ialah kepentingan praktis dan pragmatis tentang
peran kaum wanita bagi pertumbuhan kehidupan social yang sehat.

Tindakan Kiai Dahlan waktu itu didasri oleh strategi sejarah dan kebudayaan futuristik yang
jauh melampaui kesadaran zamannya. Hampir satu abad kemudian, masyarakat muslim di
negeri ini menyadari peran strategis kaum perempuan. Hal ini antara lain bisa dilihat dari
kuota 30% bagi perempuan di lembaga legislative. Muhammadiyah khususnya Kiai Dahlan,
mengembangkan berbagai kegiatan social seperti bagi kaum wanita bukan semata-mata bagi
warga Muhammadiyah, tetapi juga bagi kaum perempuan muslim dan perempuan lainnya.
Dunia harus mengakui jasa Muhammadiyah menggerakan kesadaran masyarakat sehingga
mereka yang anti Muhammadiyah pun kini merasa penting memasukkan anak-anak
perempuan mereka keberbagai lembaga pendidikan modern.

Sayangnya, pesan etika perubahan tersebut kurang ditangkap oleh Muhammadiyah dan
‘Aisyiyah itu sendiri, sehingga belakangan organisasi ini kurang responsive melibatkan diri
dalam pemecahan berbagai persoalan kontemporer. Hal itu disebkan Muhammadiyah
menghadapi apa yang sering saya sebut ideologisasi tradisi yang berkembang dalam gerakan
ini. Persoalan ini memang tidak mudah ketika Islam mutlak benar dan sempurna itu dipahami
dari tafsir-tafsir Islam yang cenderung patrialkhal. Kaum perempuan menerima tafsir-tafsir
“anti wanita” tersebut sebagai hal yang sudah semestinya (Mulkhan, 2014).

Kini, kaum wanita telah berada di tengah pusaran peradaban modern dan global dengan
segala dampak kebudayaan yang hamper-hampir tak terbendung. Kita tidak bisa hanya
menolak praktik-praktik tak bermoral dan pelanggaran doktrin ajaran Islam, namun yang
lebih diperlukan ialah bagaimana Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah merancang sebuah
peradaban futuristik yang bisa menjadi pemandu umat dalam menghadapi perubaha global
yang terbuka, hedonis, dan yang mungkin cenderung bar-bar. Perlu penafsiran baru yang
mungkin bisa disebut liberal seperti yang pernah dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan
istrinya., Siti Walidah, namun untuk itu Muhammadiyah dan’Aisyiyah harus bersedia
menerima cemoohan seperti dulu dialami oleh duet Kiai Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.

BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

1. Muhammadiyah merupakan organisasi islam yang bergerak dalam banyak bidang


dengan tujuan untuk berdakwah.
2. Muhammadiyah memiliki sebuah khittah dalam perjuangan Muhammadiyah
berdakwah
3. Muhammadiayah juga ikut berperan dalam berdirinya NKRI bersamah dengan
tokohnya yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir, dan Mr. kasman
singodimedjo.
4. Muhaammadiyah juga mempunyai tanggung jawab kepada NKRI dalam banyak
bidang, terutama dalam bidang pendididikan.
5. Muhammadiyah selalu menggunakan prinsip amar ma’ruf nahimungkar dalam
berdakwah.

3.2 Saran

Sebagai mahluk social yang beragama islam, sudah sepantasnya para anggota persyarikatan
mengenal dan memahami organisasi Muhammadiyah dengan lebih mendalam, karna
muhammdiayah syari’at islam yang murni menghilangkan segala bentuk penyimpangan
agama.
DAFTAR PUSTAKA

AIK III; Kemuhammadiyahan; Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan


Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2016.

Jurdi, Syarifuddin, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

_____, 1 Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan, Jakarta: Kompas,


2010.

https://an-nur.ac.id/riwayat-hidup-kh-ahmad-dahlan-dan-pemikirannya/

Anda mungkin juga menyukai