Anda di halaman 1dari 37

Tugas Makalah

IBADAH, AKHLAK DAN MUAMALAH/AIK III

Oleh :

Wulan Oktavia (031901132)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

BUTON

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Karena telah memberikan


rahmat dan hidayahnya yang turut serta merta dalam memperlancar
pembuatan dan penyusunan makalah ini dalam mata kuliah “Ibadah,
Akhlak dan Muamalah/AIK III”.Yang mana penyusunan makalah ini
telah diteliti secara seksama berdasarkan skema dan data informasi tertentu
dengan pembuatan yang begitu sederhana berdasarkan tingkatan yang
dianut.

Dalam kesempatan ini sangat menghaturkan rasa terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada pihak yang telah banyak membantu selama
proses penyusunan makalah.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Terakhir penulis menyadari bahwa “tak ada gading yang tak retak”
begitu juga dengan makalah ini yang tak luput dari kekurangan. Demikian,
semoga makalah ini bermanfaat untuk semuanya.

Baubau, 27 januari 2020

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah .................................................... 3
B. Matan Keyakinan dan Cita-cita Muhammadiyah ................................ 26
C. Kepribadian Muhammadiyah ............................................................... 27
D. Mukamadimah AD/Art Muhammadiyah ............................................. 29

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................... 32
B. Saran.................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan Kyai Haji
Ahmad Dahlan tahun 1330 H atau bertepatan dengan 1912 M1. Gerakan
ini lahir di Kauman Yogyakarta, sebuah kampung di samping Kraton
Yogyakarta. Sesuai namanya Kauman adalah kampung yang banyak
berisi kaum atau para ahli agama. Dengan demikian Muhammadiyah
lahir di tengah masyarakat yang taat menjalankan Islam.
Namun demikian Islam yang berjalan di masyarakat muslim pada
umumnya, termasuk kauman di dalamnya, adalah Islam yang dalam
pandangan Kyai Dahlan tidak saja telah berakulturasi dengan budaya
Jawa, lebih dari itu, yaitu Islam yang telah terkungkung oleh hegemoni
budaya Jawa. Kehadiran Muhammadiyah adalah sebuah bentuk
perlawanan terhadap praktek Islam yang dianggap keliru itu. Paling tidak
ada dua hal yang dapat menjelaskan kehidupan umat Islam masa itu,
pertama, Islam dipahami sebagai agama ritual yang akan memberikan
keselamatan dunia akhirat. Tetapi ajaran-ajaran Islam diamalkan oleh
umat tidak menyentuh persoalan- persoalan sosial kemasyarakatan yang
berkembang.
Di tengah masyarakat seperti itulah Muhammadiyah berdiri. Ia
hadir untuk sebuah tujuan terwujudnya Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah ingin menjadikan nilai-nilai ajaran Islam yang
menyeluruh dan ideal itu mewujud dalam kehidupan nyata dalam bentuk
masyarakat yang adil, makmur dan diridhoi Allah SWT. Muhammadiyah
ingin menjadikan kehidupan Islam tidak hanya sekedar pada masalah
fiqih ibadah, nahwu shorof, dan berbagai ilmu alat lain, tetapi juga masuk

1
ke dalam persoalan keduniaan yang lebih luas untuk menciptakan
kehidupan umat yang lebih berdaya dan maju. Umat Islam tidak boleh
hanya menerima keadaan menjadi golongan kelas bawah, miskin dan
bodoh, selalu diatur dan diperdaya, ditindas dan dijajah, selalu anti
dengan segala yang datang dari selain orang muslim (kafir) dan selalu
sangat percaya diri dengan ke-tradisionalannya. Impian Muhammadiyah
adalah umat Islam yang cerdas, berfikir maju, dan memiliki tanggung
jawab memimpin peradaban ini, menjadikannya umat yang bertauhid dan
menjadikan kehidupan yang adil makmur serta penuh kebaikan dan
mendapat ridho dari Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya Muhammadiyah?
2. Bagaimana matan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah?
3. Bagaimana kepribadian Muhammadiyah?
4. Bagaimana mukadimah AD/Art Muhammadiyah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Muhammadiyah
2. Untuk mengetahui matan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah
3. Untuk mengetahui kepribadian Muhammadiyah
4. Untuk mengetahui mukadimah AD/Art Muhammadiyah

2
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah


Kelahiran Muhammadiyah secara umum dapat dikaitkan dalam
rangka merespon kondisi sosio-politik umat Islam sebagai akibat
kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hinda Belanda
mengembangkan kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Setelah berhasil melakukan penaklukan, Belanda
melakukan proses kolonialisme yang dikemas dengan kebijakan
pemerintahan yang liberal. Kondisi belenggu kolonialisme inilah yang
kemudian menyebabkan sejumlah kalangan Islam terdidik membentuk
organisasi, pergerakan dan perkumpulan yang bersifat sosial maupun
politik sebagai pencarian kerangka ideologi alternatif. Sebagai respon atas
politik Belanda dan kolonialisme itupula, pada awal abad 20 gerakan-
gerakan kebangsaan mulai tumbuh. Gerakan-gerakan itu antara lain
Sarekat Dadang Islam (SDI) tahun 1905, Budi Utomo tahun 1908, Sarekat
Islam pada awal tahun 1912, Muhammadiyah pada akhir tahun 1912 serta
Persis pada tahun 1923 dan Nahdatul Ulama pada tahun 1926.
Kelahiran Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan KH.
Ahmad Dahlan Sebagai pendirinya. KH. Ahmad Dahlan yang bernama asli
Muhammad Darwisj, lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada 1868.
Darwisj berasal dari latar belakang keluarga golongan elite Islam yang
menanamkan nilai-nilai agama kepada dirinya. Selain belajar agama dari
AL-Quran, ia juga banyak belajar agama dari banyak guru baik itu ilmu
fiqh, ilmu hadist maupun ilmu falaq. Setelah menunaikan ibadah haji,
kemampuan intelektual Ahmad Dahlan berkembang. Ahmad Dahlan

3
banyak berkomunikasi dengan ulama yang berasal dari Indonesia di Arab
Saudi. Ia sering melakukan tukar pikiran menyangkut hal-hal sosial dan
keagamaan. Ahmad Dahlan beranggapan kondisi umat Islam ang merosot
ruhul Islamiyahnya, pengalaman Islam yang bercampur dengan bid’ah,
khirafat, dan syirik membawa Islam dalam krisis kemurnian ajaran.
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi
sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk
mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi
mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial
kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini
menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang
diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang
kafir. Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan
kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial
ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh
agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa
kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata
masyarakat umum. Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan
politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat
secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang
Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut
tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin
diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara
tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa.
Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati
posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa,
kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan
India. Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap

4
dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi
sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi
terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad
XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai
akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial. Kota-kota baru
yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya
muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi
mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu
wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan
perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi
di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota
tersebut. Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah
terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi,
perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal
swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu
menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup
sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat
penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman
ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka
masih sangat labil terhadap perubahan pasar. Sementara itu perluasan
aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga
para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang
lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang
pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus
mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam
perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi
hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang

5
menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam
bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang
tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat
pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap
berlangsung. Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis
yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang
dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti
pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui
pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk
pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih
sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara
keseluruhan. Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit
penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk
pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa
sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan
pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok
Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap
pendidikan Barat itu sendiri. Secara umum mereka lebih suka
mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke
lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar
agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang
pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari
pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal
maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor
penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas
beragama Islam. Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada

6
penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok
intelektual dan profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan
maupun memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap
terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu
pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi,
akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun
feodalisme dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam
masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan
“organisasi modern” merupakan salah satu realisasi yang penting dari
upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut. Pada tahun 1908 organisasi
Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta.
Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu
organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas,
keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh
terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang
diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian
didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang
dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah
perkotaan. Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro
perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX
ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar
negara yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi,
maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah
kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad
sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk
mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah,
maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan
oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab

7
lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri. Dalam kehidupan
beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam
yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran
Islam bercampur dengan bid’ah, khurafat, dan syi’ah. Di samping itu,
pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid
kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam
pengajaran agama Islam, secara umum Qur’an yang menjadi sumber
ajaran hanyadiajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan
tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu,
pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu’iyah sering
muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan
pertentangan yang bersifat laten. Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak
pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran
politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-
tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani
banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide
persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan
tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat. Sementara itu, Muhammad
Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan,
syirik, bid’ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan
umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan
ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian
dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini.
Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang
kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam.
Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung
Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah

8
mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga gerakan
yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang
menjadi besar dan kuat. Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara
umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis
kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan
pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di
Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada
satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi
secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari
ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini
sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses
sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten,
kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada
laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad XIX, yang
menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam
dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang
saja. Selain itu, K.H. Ahmad Rifa’i, salah seorang ulama di Jawa yang
sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX
menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak
menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi
reguler antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia
Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan
memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan
kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama
di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan
kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh
sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti

9
pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid
terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad
XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat
untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan
dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang
terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai “kaum tua”
berhadapan dengan “kaum muda” atau antara kelompok “pembaharuan”
berhadapan dengan “antipembaharuan”. Sementara itu, krisis yang terjadi
di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal juga
tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan
terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun peran
langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat
dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal
abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh, dan
protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang
sangat kental. Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam
sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap
aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap
sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan
konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad
XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan
tetapi Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan
berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan yang ketat.
Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini
membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran,
maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi

10
dalam masyarakat secara umum. Hal ini semakin diperburuk oleh
munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar
umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah kolonial juga
berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang
berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara
kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan.
Selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik
maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah
beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial.
Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan,
dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung
utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana
yang besar dari pemerintah. Ahmad Dahlan dan Pembentukan
Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang
digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang
perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi secara
umum maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di
Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama
Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib
Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah
anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu
silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di
Pulau Jawa. Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar,
Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang
saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada
waktu itu yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak
kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung

11
sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan
agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan
tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut cerita, sejak
kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam
penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-
temannya yang sebaya. Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-
barang kerajinan dan mainan. Seperti anak laki-laki yang lain,
Muhammad Darwis juga sangat senang bermain layang-layang dan gasing.
Seiring dengan perkembangan usia yang semakin bertambah, Muhammad
Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama Islam tingkat
lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H.
Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari
dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis
belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di
Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur. Muhammad Darwis yang sudah
dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-
guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang
menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai
Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh
Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan
Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi
racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual
Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah
haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya
dengan Siti Walidah pada tahun 1889. Proses sosialisasi dengan berbagai
ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas,
Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai
Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun para

12
ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di
Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam
diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan
bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum
menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-
kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii
dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf. Sesudah pulang
dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab
lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca
Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia
membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia
pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya
diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan
untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad
Dahlan. Dalam upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan
ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama
hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar
ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah haji
pertama maupun dari guru-guru yang lain. Ia belajar fiqh pada Syekh
Saleh Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’ id Babusyel. Ahmad
Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi’i, sementara itu ilmu falaq
dipelajari pada Kyai Asy’ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad
Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim
di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan
dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah
yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama
bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari

13
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang. Berdasarkan koleksi
buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah
buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang
sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan
Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz
AL-Ulum, Dairah Al Ma’arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid’ah
karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn
Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar
al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al
Sa’adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-
Aththasiyvah karangan Abd al Aththas. Pengalaman Ahmad Dahlan
mengajar agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari
menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu
ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja. Dia
mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib
sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti
ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila
ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan
pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan
terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan
pelajaran agama Islam. Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat
dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman
berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta
pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga
sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain
yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas
piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin

14
memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke
masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih
mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi,
ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di
serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan
suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan
waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya
terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di
sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad
Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta
untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik
keluarganya di Kauman. Diskusi antara para ulama yang telah
mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai
waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang
yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari
kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman
masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan
para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng KyaiPenghulu
H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda
tersebut dan mencari orang yang melakukan itu. Sebagai realisasi dari ide
pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau
milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah
kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan
arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk
kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng
Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak.
Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga.

15
Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali
surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil
dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai
dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid. Setelah pulang
dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad
Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin
berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang
ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti:
ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari
wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa
Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian
kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama
berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya
Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan
sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru
dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at. Pembentukan
ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan
dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan
alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang
berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang
sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai
tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan,
Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang,
Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-
tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum
cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau
bukan. Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah
agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat,

16
terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan,
kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah-
tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan,
budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya
interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi
seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan
formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi
Utomo. Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo
melalui pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota
Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr.
Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal
di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad
Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan
sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan
oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi
anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan
tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan
kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan
kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun
1909. Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya
menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan
salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang
Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga
menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak
dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang
Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi
pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara
berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern. Sementara itu,

17
walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair,
selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga
mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang
berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan
model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan
sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan
pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun
pembentukan satuorganisasi. Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas
Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan
langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum
pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk
menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia
kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai.
Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang
agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik
perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar
terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi
yang menarik di antara mereka tentang agama Islam. Di antara pengurus
dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah
R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai
guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad
Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa
Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan
izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu
diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap
hari Sabtu sore. Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara
umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode
pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu

18
menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian
siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu
belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka
yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di
Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih
lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama
Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di
Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa
Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat
umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan
merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk
pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis
pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama
Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan
menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode
pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada
berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman
maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka
bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide
pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan
tradisi dalam agama Islam. Akibatnya, para santri yang selama ini belajar
kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat
dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan
untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah
yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum.
Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu
rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak
sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad

19
Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara
itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad
Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu
suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih
setia, serta anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat
sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang
pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan dengan
lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para
siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah.
Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke
rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di
samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah
siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu
sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20
orang. Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan
pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis,
Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung
itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R.
Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu
Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal. R. Budiharjo
yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo
Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah
sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di
Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk
meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah
teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah

20
itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari
luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke
rumahnya pada setiap hari Ahad. Sebagai realisasi dari dukungan Budi
Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk
mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang
didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam
satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam
pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak,
jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus
memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi
rumahnya. Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur,
sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1
Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan
kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di
sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah
yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar
dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad
Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu
hal yang sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu
organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di samping kondisi makro
pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu
organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para pendukung,
termasuk dari para murid Kweekschool Jetis. Salah seorang siswa
kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad,
misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh
Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya
sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi

21
terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide pembentukan
organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang
yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah
di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru
dan murid Kweekschool Jetis. Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan
dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi,
Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi
kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis
Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut
tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah
difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus
organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan
yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara
langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi. Pertama, perlu
didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa
Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka
tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya
larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil
dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu
pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912
persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan
lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit
membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan
perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang
berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Walaupun secara praktis
organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang
telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan
yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu

22
berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama
Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar
organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru
bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis. Organisasi yang akan dibentuk itu
diberi nama “Muhammadiyah”, nama yang berhubungan dengan nama
nabi terakhir Muhammad SAW.”‘ Berdasarkan nama itu diharapkan
bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad
SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu,
Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman,
yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M.
Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat
dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari
Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan
Muhammadiyah. Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan
kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya
pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H
persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga
ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akanmembantu
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar
pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan
hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah
kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta
maupun Kadipaten Pakualaman. Pada saat yang sama, Muhammadiyah
yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan

23
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui Muhammadiyah
sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan
kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan
organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta
memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat
9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat
sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani,
Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota
hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.
Setelah kembali dari ibadah hajinya, kegiatan sosial Ahmad Dahlan
makin meningkat. Ia membuka kelas belajar kelas belajar dengan
membangun pondok guna menampung murit yang hendak belajar ilmu
umum seperti ilmu falaqI, ilmu tauhid, dan tafsir. Selain itu ia juga
intensif melakuna komunikasi dengan berbagai kalangan ulama,
intelektual dan kalangan pergerakan seperti Budi Utomo dan Jamiat Khair.
Pada tahun 1909, Ahmad Dahlan bergabung dalam dengan Budi
Utomo sebagai penasehat masalah-masalah agama, posisinya ini
memungkinkan dirinya mengaktualisasikan ilmu yang dikuasasinya dan
belajar mengenai organiasasi modern. Selain Budi Utomo Ahmad Dahlan
juga menjadi anggota Jamiatul Khair, organisasi Islam yang bergerak di
bidang pendidikan. Keterlibatan dalam dua organisasi menambah
pemahaman Ahmad Dahlan dalam mengatur organisasi secara modern di
kalangan orang Islam. Bekal pengalaman yang diperoleh dari Budi Utomo
dan Jamiat Khair mendorong Dahlan untuk membentuk organisasi dan
menyelenggarakan pendidikan. Dahlan yang sebelumnya membuat
sekolah sebagai tempat kegiatan belajar mendapat dukungan dari murid-
muridnya untuk membentuk organisasi.

24
Dalam perkembangannya, Dahlan menawarkan nama perkumpulan
yang akan dibentuk itu dengan nama Muhammadiyah, nama yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad. Nama ini diberi dengan maksud
setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat dapat menyesuaikan dengan pribadi Nabi Muhammad
SAW. Dengan menisbahkan diri pada keteladanan Nabi Muhammad
SAW, Muhammadiyah berusaha menghidupkan ajaran islam yang murni
dan otentik dengan tujuan memahami dan melaksanakan ajaran Islam
yang telah dicontohkan Nabi.
Budi Utomo mengambil peran dalam proses permohonan pendirian
Muhammadiyah kepada pemerintah. Setelah melalui berbagai pertemuan,
pematangan rencana dan berbagai persiapan membentuk organisasi,
akhirnya pada 18 November 1912 berdiri gerakan Islam bernama
Muhammadiyah. Setelah menerima permohonan dari Budi Utomo
mengenai berdirinya Muhammadiyah, Gubernur Jenderal meminta
pertimbangan dan saran empat penguasa lembaga terkait, yaitu residen
Yogyakarta Sri Sultan Hameng Kubowo VII; Pepeatih Dalem Sri Sultan
Sri Hameng Kubowo VII; dan ketua penghulu Haji Muhammad Kholil
Kamaludinigrat.
Hasil rapat tersebut memberikan izin pendirian organisasi
Muhammadiyah dengan keluarnya izin tersebut., maka Muhammadiyah
secara resmi berdiri. Organisasi ini berdiri dengan tujuan awal
menyebarkan ajaran Agama Islam kepada seperti apa yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera di dalam residensi
Yogyakarta dan memajukan hal Islam Kepada anggota-anggotanya.
Tujuan ini dari waktu ke waktu mengalami perbaikan setelah mengalami
perkembangan dengan berdirinya cabang-cabang di Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan daerah lainnya.

25
B. Matan Keyeakinan dan Cita-cita Muhammadiyah
Matan keyakinan dan Cita-cita Muhammadiyah:
1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat
utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan
fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka
bumi.
2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang
diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad
SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan
spritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-
Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang
meliputi bidang-bidang:
a. ‘Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
b. Akhlak

26
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia
dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah
rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
c. Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan
oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia.
d. Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalat
duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan
dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang
telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik
Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang
adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
“BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR”

C. Kepribadian Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan
Islam. Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma'ruf nahi
Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat .
Dakwah dan Amar Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi
kepada dua golongan: Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan
(tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni;

27
dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan
untuk memeluk agama Islam.
Adapun da'wah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar bidang kedua,
ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta
peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan
mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan dakwah
Islam dan amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang
sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya,
ialah "Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya".
Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana
kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas- merata, Muhammadiyah
mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip- prinsip yang
tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:
1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.
2. Hidup manusia bermasyarakat.
3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa
ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban
bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat
adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada
kemanusiaan.
5. Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban
organisasi.

Sifat Muhammadiyah memiliki:


(a) Apakah Muhammadiyah itu,

28
(b) Dasar amal usaha Muhammadiyah dan
(c) Pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah,

maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya,


terutama yang terjalin di bawah ini:

1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.


2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar
dan falsafah negara yang sah.
6. Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh
teladan yang baik.
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan
pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.
8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha
menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela
kepentingannya.
9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur yang diridlai Allah SWT.
10. Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.

D. Mukamadimah AD/Art Muhammadiyah


Mukadimah Anggaran Dasar muhammadiyah pada hakekatnya
merupakan ideologi Muhammadiyah yang memberikan gambaran tentang
pandangan Muhammadiyah mengenai kehidupan manusia di muka bumi

29
ini. Cita-cita yang ingin diwujudkan dan cara-cara yang dipergunakan
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sebagai sebuah ideologi,
Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah menjiwai segala gerak dan
usaha Muhammadiyah dan proses penyusunan sistim kerjasama yang
dilakukan untuk mewujudkan tujuannya. Sedehananya. Bagi persyarikatan
Muhammadiyah, Mukadimah anggaran Dasar Muhammadiyah
berfungsi sebagai jiwa dan semangat pengabdian serta perjuangan.
a. Sejarah Perumusan.
Babak 1 : Pada Periode Kepemimpinan : KH. Mas Mansur (1937-1942)
Duabelas Langka Muhammadiyah

1. Matan Keyakinan dan Cita-cita Muhammadiyah.


2. Kepribadian Muhammadiyah
Babak 2 : Perode Kepemimpinan KI Bagus Hadikusumo (1942-1953)

1. Penyusunan konsep oleh Ki baus Hadikusumo Tahun 1945


2. Anggota Tim Penyempurna Redaksi :
 Buya Hamka
 Farid Ma’ruf
 Kasman Singodimejo
 Zain Jambek.
3. Penetapan / Pengesahan Pada Muktamar Muhammadiyah ke 31
Tahun 1950 di Jokyakarta.
b. Latar Belakang Perumusan Mukadimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah.
a. Belum ada kepastian rumusan tentang cita-cita dan dasar perjuangan
Muhammadiyah.
b. Terdesaknya pertumbuhan dan perkembangan jiwa atau roh anggota
dan keluarga Muhammadiyah oleh perkembangan lahiriah ataupun
kehidupan duniawi.
30
c. Masuknya pengaruh dari luar yang tidak sesuai dan menjadi lebih
kuat.
d. Dorongan disusunnya Preambule (Pembukaan UUD 1945)

c. Isi (matan) dan Penjelasan Mukadimah Anggaran Dasar


Muhammadiyah.
a. Hidup manusia harus mentauhidkan Allah; ber-Tuhan, ber-ibadah
serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.
b. Hidup manusia harus bermasyarakat.
c. Hanya hokum Allah satu-satunya yang dapat dijadikan sendi
pembentukan pribadi utama dan pengatur tata tertib hidup bersama
menuju kehidupan bahagia sejahtera yang hakiki dunia dan akherat.
d. Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk
mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhio
Allah subhanahu wata’ala adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah
dan berbuat ihsan dan islah kepada sesame munusia.

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kelahiran Muhammadiyah secara umum dapat dikaitkan dalam rangka
merespon kondisi sosio-politik umat Islam sebagai akibat kebijakan
pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hinda Belanda
mengembangkan kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Setelah berhasil melakukan penaklukan, Belanda
melakukan proses kolonialisme yang dikemas dengan kebijakan
pemerintahan yang liberal.
2. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah
mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-
sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia
yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk
berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur
dan diridhoi Allah SWT: “BALDATUN THAYYIBATUB WA
ROBBUN GHOFUR”.
3. Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam.
Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar
yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat .
4. Mukadimah Anggaran Dasar muhammadiyah pada hakekatnya
merupakan ideologi Muhammadiyah yang memberikan gambaran
tentang pandangan Muhammadiyah mengenai kehidupan manusia di
muka bumi ini. Cita-cita yang ingin diwujudkan dan cara-cara yang
dipergunakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

32
B. Saran
Adapun beberapa saran penulis membahas aktiv Muhammadiyah
dalam menjalankan aktivitasnya kedepan antara lain : Pertama, menata
dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai
alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi
Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang
berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan,
memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan
bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi milik organisasi
lain; yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi
Muhammadiyah; Kedua, Bertindak tegas terhadap setiap anggotanya yang
memiliki rangkap jabatan antara partai politik dan amal usaha
Muhammadiyah; Ketiga, Melakukan pendidikan politik yang Islami
terhadap anggotanya, terutama yang menduduki lembaga-lembaga
kenegaraan; Keempat, Dalam mengeluarkan kebijakan hendaknya
Muhammadiyah Sumatera utara merumuskanya melalui kiriteria-kriteria
atau unsur-unsur yang sangat mendetail dan mudah di terjemahkan
anggota.

33
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekata Praktik.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan


Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung. CV. PUSTAKA
SETIA.

Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif.


Jakarta: AV Publiser.

Djamarah, Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, M. Sobry. 2009. Strategi Belajar


Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami.
Bandung: PT. Refika Aditama.

https://muhammadiyah.or.id/sejarah-berdirinya-muhammadiyah/

34

Anda mungkin juga menyukai