Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Islam & Kemuhammadiyahan

Dosen Pengampu: Suarni, S.Pd.I.,M.Pd.I

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK III

1. Syahri Ramadani 221 10 098


2. Niken Santana 221 10 110
3. Reza Andhika 221 10 084

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS MIUHAMMADIYAH KENDARI

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT. Karena atas taufik dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sejarah Berdirinya Muhammadiyah.
Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Al-Islam &
Kemuhammadiyahan IV, juga sebagai pedoman belajar bagi setiap pembaca. Dalam
makalah ini terdapat informasi-informasi pembelajaran mengenai Sejarah Berdirinya
Muhammadiyah.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas, semua itu murni didasari oleh keterbatasan
yang dimiliki oleh kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca agar lebih memahami dan mengetahui Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah.

Kendari, 8 Maret 2023

Kelompok III

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2

A. Faktor Subyektif Lahirnya Muhammadiyah ............................................. 2


B. Faktor Objektif Lahirnya Muhammadiyah ............................................... 8
C. Profil dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Islam dan Umatnya .... 14

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18

A. Kesimpulan ............................................................................................ 18
B. Saran ...................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muhammadiyah (waktu berdiri ditulis Moehammadijah) adalah nama
gerakan Islam yang lahir di Kauman Yogyakarta pada 18 November 1912. Pada
waktu berdiri dan mengajukan pengesahan kepada pemerintah Hindia-Belanda
memakai tanggal dan tahun Miladiyah atau Masehi. Adapun bertepatan waktu
dengan penanggalan hijriyah ialah 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah. Pendiri
Muhammadiyah adalah seorang Kiai yang dikenal alim, cerdas, dan berjiwa
pembaru, yakni Kiai Haji Ahmad Dahlan, yang sebelumnya atau nama kecilnya
bernama Muhammad Darwisy. Muhammadiyah didirikan dalam bentuk
organisasi atau perkumpulan atau perhimpunan resmi, yang sering disebut dengan
Persyarikatan, pada waktu itu memakai istilah Persjarikatan Moehammadijah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa Faktor Subyektif Lahirnya Muhammadiyah?
2. Apa Faktor Objektif Lahirnya Muhammadiyah?
3. Apa Profil dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Islam dan
Umatnya?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusun masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai
pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui Faktor Subyektif Lahirnya Muhammadiyah.
2. Mengetahui Faktor Objektif Lahirnya Muhammadiyah.
3. Mengetahui Profil dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Islam
dan Umatnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor Subyektif Lahirnya Muhammadiyah


Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak
lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan
Islam yang dipelopori Kiai Haji Ahmad Dahlan selaku pendirinya. Setelah
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci tahun 1889 dan bermukim yang kedua
kalinya, Kiai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air.
Gagasan pembaruan itu diperoleh Kiai Dahlan setelah berguru kepada ulama-
ulama Indonesia yang bermukim di Makkah seperti Syekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari Surabaya, dan
Kiai Fakih dari Maskumambang: juga setelah membaca pemikiran-pemikiran
para pembaru Islam seperti Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin 'Abdul Wahhab,
Jamalud. din Al-Afghani, Muhammad “Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menan. amkan benih ide-
ide pembaruan dalam diri Kiai Dahlan.
Jadi, sekembalinya dari Arab Saudi, Kiai Dahlan justru membawa Spirit,
ide, dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi kolot. Memang menarik,
Ahmad Dahlan yang lahir dalam tradisi santri tradisional dan budaya Jawa Kraton
yang penuh dengan pakem tradisional yang konservatif, pergi naik haji dan
bermukim di sebuah negeri yang berada dalam pengaruh Wahhabisme yang
kental, justru pulang ke Tanah Air sebagai sosok pembaru. Hal itu tidak mungkin
terjadi jika di dalam dirinya tidak terdapat energi intelektual yang kritis dan haus
akan pembaruan yang bersemi sejak awal. Ahmad Dahlan ternyata bukan seorang
pencari ilmu yang mudah taklid, kendati belajar di pusat sejarah dan kekuasaan
Islam yang waktu itu kental dengan praktik Islam yang keras dan kaku. Ahmad
Dahlan memang sosok “pencari kebenaran yang hakiki, yang menangkap apa
yang tersirat dalam tafsir Al-Manar", sekaligus sebagai tokoh unik karena “usaha
pembaruannya tidak melalui pendahuluan atau pra-kondisi tertentu sebelumnya”
(Madjid, 1983 : 310).
2
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk
mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam konteks sosial merupakan hasil
interaksi Kiai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik
dengan masalah agama yang diajarkan Kiai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R.
Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kiai
Dahlan di Kweekschool Jetis di mana Kiai mengajar agama pada sekolah tersebut
secara ekstrakurikuler. Para siswa tersebut sering datang ke rumah Kiai dan
menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kiai Dahlan tidak diurus oleh
Kiai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan apabila
suatu saat Kiai wafat. Dalam temuan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM
kelahiran Kauman, nama Muhammadiyah pada mulanya diusulkan oleh kerabat
dan sekaligus sahabat Kiai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu,
seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian
menjadi penghulu Kraton Yogyakarta. Usul itu kemudian diputuskan Kiai Dahlan
setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk
mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi
sebagaimana alam pikiran dan praktik keagamaan para kiai atau ulama yang
tumbuh dan berkembang kuat saat itu.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain
untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, menurut
Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan
memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya
pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari sekolah
(kegiatan Kiai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kiai
Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu
agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan
Djarnawi Hadikusuma, bangunan yang didirikan pada 1911 di kampung Kauman
Yogyakarta tersebut, merupakan Sekolah Muhammadiyah. Sekolah tersebut
adalah sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada
umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah

3
gedung milik ayah Kiai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang
mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Adapun secara idealistik, menurut Djarnawi (t.t: 68) gagasan untuk
mendirikan Muhammadiyah timbul dalam hati sanubari Kiai Dahlan sendiri
karena didorong oleh sebuah ayat dalam Al-Our'an, yakni Surat Ali-Imran ayat
104, yang berbunyi sebagai berikut: “Wal takum minkum ummatun yad'una ilal
khairi wa yakmuruna bil makrufi wa yanhau. ng anil munkan wa ulaika humul
muflihun” (Adakanlah di antara kamu Segelongan umat yang menyuruh manusia
kepada keutamaan dan menyuruh berbuat kebajikan serta mencegah berlakunya
perbuatan yang mungkar. Umat yang berbuat demikian itulah yang akan
berbahagia), Karena itu, pada 18 November 1912 Miladiyah bertepatan 8
Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi
yang bernama Moehammadijah.
Dari pemaparan di atas dapat diambil benang merah bahwa kelahiran
Muhammadiyah melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kiai Dahlan
sebagai pendirinya. Dahlan mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali
pada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu
ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan
perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kiai Dahlan, sebagaimana para
pembaru Islam lainnya, dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita
membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang
berkemajuan. Gagasan Dahlan diwujudkan melalui tajdid (pembaruan) yang
meliputi aspek-aspek tauhid (akidah), ibadah, muamalah, dan pemahaman
terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada
sumbernya yang asli yakni Al-Our'an dan Sunnah Nabi yang sahih, dengan
membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kiai Dahlan, Adaby Darban (2000: 31)
menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:
"Dalam bidang tauhid, Kiai Haji Ahmad Dahlan ingin membersihkan
akidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-
cara ibadah dari bidah, dalam bidang mu'malah, membersihkan kepercayaan dari

4
khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak
faklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam berijtihad.” Kendati dalam
hal ini terdapat catatan dari sebagian pengkaji Muhammadiyah seperti Abdul
Munir Mulkhan, bahwa pemurnian dengan pemberantasan takhayul, bidah, dan
churafat (TBC) tidak begitu menonjol dilakukan oleh Kiai Dahlan, meskipun
secara prinsip dan dalam hal akidah serta ibadah Kiai Dahlan memang mengajak
umat Islam untuk kembali pada sumber ajaran Islam yang murni yaitu Al-Our'an
dan As-Sunnah yang shahih. Dalam pandangan Deliar Noer, Kiai Dahlan dan
Muhammadiyah juga lebih moderat dan tidak keras dibandingkan dengan gerakan
modern Islam lainnya seperti Persatuan Islam dalam menggerakkan pemurnian
agama.
Gagasan pembaruan Kiai Dahlan yang memiliki aspek “pemurnian”
(purifikasi) selain dalam memurnikan akidah dari syirik, bidah, khurafat,
takhayul, juga dalam praktik pelaksanaan ibadah. Contoh yang paling populer
ialah dalam meluruskan arah kiblat yang benar. Setelah gagal meyakinkan 17
ulama di sekitar kota Yogyakarta tentang arah kiblat yang benar pada suatu malam
tahun 1898. Peristiwa itu disertai “gegernya” pembuatan garis putih setebal 5 cm
di masjid besar Kauman Yogyakarta yang menghebohkan. Kiai Dahlan
merenovasi surau milik keluarganya dan menjadikannya sebagai mushalla yang
memakai arah kiblat yang benar, kendati surau ini pernah dirusak secara paksa
oleh penduduk Kauman setelah ada larangan dari Penghulu Kraton karena
berbeda dengan arah kiblat Masjid Besar Kraton Yogyakarta dan paham yang
berkembang saat itu. Gagasan serupa juga dapat ditunjukkan dalam aspek ibadah,
yakni pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan, yang awalnya
banyak penolakan, tetapi akhirnya diikuti. Sejarah kemudian menunjukkan
fenomena shalat dua Hari Raya di lapangan itu melekat dengan ciri
Muhammadiyah kendati kini telah menjadi praktik umum pengamalan kaum
Muslimin di negeri ini. Hal yang menarik, bahwa pelurusan arah kiblat selain
mengandung aspek pemurnian, sesungguhnya juga mengajak pada reformasi atau
pembaruan karena menggunakan dasar keilmuan yaitu Ilmu Falak (Astronomi)
dalam memahami dan mempraktikan ajaran Islam.

5
Adapun langkah pembaruan yang bersifat reformasi ialah dalam menntis
pendidikan modern yang memadukan pelajaran agama dan umum Menurut
Kuntowyoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kiai Dahlan, merupakan
pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek man dan kemajuan, sehingga
dihasilkan sosok generasi Muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modem
tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowyoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan
Islam modern bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu.
Pendidikan Islam modem itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi
lembaga pendidikan umat Islam secara umum. Langkah ini pada masa lalu
merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi
terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu
saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kiai Dahlan dapat di rujuk pada
pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma'un. Gagasan dan pelajaran tentang
Surat Al-Ma'un, merupakan contoh lain yang paling monumental dari pembaruan
yang berorientasi pada amal sosial kesejahteraan, yang kemudian melahirkan
lembaga Penolong Kesengsaraan Ocmoem (PKO). Langkah monumental ini
dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan feologi transformatif, yakni
pandangan keagamaan (Islam) yang berbasis pada tauhid dan melakukan prakSis
pembebasan dan pemberdayaan manusia. Dalam pandangan Islam yang bersifat
transformatif itu ajaran Islam tidak sekadar mengandung seperangkat ritual-
ibadah dan habluminallah (hubungan dengan Allah) Semata, tetapi justru peduli
dan terlibat dalam memecahkan masalahmasalah konkret yang dihadapi manusia.
Inilah teologi amal yang tipikal (khas) dari Kiat Dahlan dan awal kehadiran
Muhammadiyah, sebagai bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di
negeri ini. Praktik Al-Ma'un kendati kelihatannya sederhana tetapi menunjukkan
pelembagaan ajaran Islam dalam gerakan sosial yang bersifat pemberdayaan dan
pembebasan. Gerakan Al-Ma'un itu menjadi fenomena baru dalam gerakan Islam
di Indonesia waktu itu, yang tidak terdapat dalam gerakan-gerakan pembaruan

6
Islam sebelumnya di Durua Islam Gerakan Al-Ma'un merupakan khas pembaruan
Kiai Dahlan dan Muhammadiyah yang dilahirkannya.
Dengan mendirikan Muhammadiyah Kiai Dahlan juga peduli dalam
membentengi umat Islam agar tidak menjadi korban mussie-zending Kristen kala
itu, dengan menempuh cara yang cerdas dan elegan tanpa konfrontasi. Kiai
mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta
di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan
antara Al-Our'an sebagai Kitab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci
sebelumnya, Kiai Dahlan menganjurkan atau mendorong “umat Islam untuk
mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang
inheren dalam ajaran-ajarannya.” Kiai pendiri Muhammadiyah ini misalnya
beranggapan bahwa diskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid
(Jainuri, 2002: 78). Langkah Ahmad Dahlan seperti itu terbilang cerdas dan
berani, sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk kompetisisi yang objektif dalam
gerakan keagamaan. Kiai Dahlan tidak mengedepankan konfrontasi tetapi ber-
fastabig al-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dengan keyakinan bahwa
Islam jika diyakini, dipahami, dan diamalkan dengan benar akan mampu
mengungguli yang lainnya.
Kepeloporan pembaruan Kiai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya
Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan 'Aisyiyah
tahun 1917. Ide dasarnya lahir dari pandangan Kiai agar perempuan Muslim tidak
hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus
menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan.
Langkah pembaruan ini yang membedakan Kiai Dahlan dari pembaru Islam lain,
yang tidak dilakukan oleh Afghani, "Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (Ali,
2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari
Kiai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari
pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kiai dari Kauman
ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan "feminisme” seperti berkembang
sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kiai Dahlan yang kemudian
melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang murni dan berkemajuan.

7
Kiai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya telah
menampilkan Islam yang berdimensi luas. Menurut Djarnawi, melalui Mu.
hammadiyah Kiai Dahlan menunjukkan wajah Islam sebagai “sistem ke. hidupan
manusia dalam segala seginya.” Kiai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh
sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kiai Dahlan, orang Islam itu
harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah,
tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan
menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehidupan, dan mau berpikir
teoretik dan sekaligus beripikir praktik (Hadjid, 2005). Kiai Dalan tidak ingin
umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam hidup. Karena itu
memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki
dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal pikiran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Our'an, sebagaimana ditemukan dalam cara Kiai
Dahlan mengajarkan Surat Al-Ma'un, pendiri Muhammadiyah itu berusaha
mendidik para muridnya untuk mempelajari ayat Al-Our'an satu-persatu ayat, dua
atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur
(dipikirkan): "bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya?
bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah
meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah
kita menjalankannya?” Model pemahaman yang demikian dikembangkan pula
belakangan oleh Kiai Haji Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas
dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar di Kairo, cerdas pemikirannya
sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
B. Faktor Objektif Lahirnya Muhammadiyah
Muhammadiyah berdiri sebelum mengenal spirit, gagasan, dan tindakan
Kiai Ahmad Dahlan selaku pendirinya, pada saat yang sama tidak lepas dari
kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat khususnya umat Islam saat itu.
Kenyataan sosial yang hidup tersebut merupakan faktor sosiologis mendorong
lahirnya Muhammadiyah. Dalam konteks social movement (gerakan sosial),
kelahiran berbagai pergerakan dan organisasi kemasyarakatan termasuk gerakan

8
dan organisasi keagamaan selalu hadir dalam konteks sosiologis yang
mengitarinya, sehingga tidak berada di ruang hampa atau vakum.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan
pembaruan dari pendirinya, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam
menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang
juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah
ialah antara lain:
a. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bidah, dan khurafat,
yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang
terhormat dalam masyarakat, de mikian pula agama Islam tidak
memancarkan sinar kemurniannya lagi
b. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak
tegaknya ukhuwwah Islamiyyah serta ketiadaan suatu organisasi yang
kuat
c. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam
memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi
tuntutan zaman
d. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit,
bertaklid buta serta berpikir secara dog- matis, berada dalam
konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme
e. Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan
pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan missie dan
zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan peri- garuhnya
di kalangan rakyat (Salam, 1968: 33).

Pada saat Muhammadiyah lahir memang terdapat situasi sosial yang


memicu dan memacu lahirnya gerakan Islam ini. Umat Islam saat itu dalam hal
pemahaman dan pengamalan agama diwarnai oleh cam- pur-aduk antara ajaran
Islam dan tradisi yang seringkali tampak ber- tentangan dengan Islam itu sendiri.

9
Contohnya praktik kemusyrikan (menyekutukan Allah dalam ajaran akidah atau
tauhid), takhayal (percaya pada hal-hal yang bersifat khayal atau mitos), bidah
(mempraktikkan hal-hal baru dalam beragama terutama dalam beribadah yang
tidak ada contohnya dari Nabi), dan khurafat (percaya pada tanda-tanda alam yang
dikaitkan dengan kejadian dalam hidup menyerupai paham metafisika atau
nujum). Praktik Islam memang masih bercampurbaur dengan ajaran animisme,
dinamisme dan ajaran Hindu-Buddha yang selama itu telah mendarah-daging
dalam kehidupan masyarakat di Nusantara, yang diterima oleh pemeluk Islam
tanpa kritis dan bahkan diawetkan atas nama penghargaan dan akulturasi Islam
terhadap tradisionalitas. Dalam kehidupan umat Islam tertinggal atau terbelakang
secara ekonomi (miskin, duafa), marjinal bahkan terjajah secara politik, dan
mengalami keterbelakangan kebudayaan (tradisional) yang jauh dari kemajuan.
Pada saat yang sama, selain berada dalam belenggu penjajahan Belanda
(sebelumnya Portugal), umat Islam juga mengalami penetrasi missiezending
Kristen yang sejak awal kedatangan penjajah menyertainya dalam bentuk
penyebaran misi agama ini yang secara langsung atau tidak langsung
membonceng dan memperoleh perlindungan kekuasaan kolonial. Kenyataan
sosiologis tersebut tidak terbantah dalam kehidupan bangsa-bangsa, ketika
penyebaran agama apapun selalu berada dalam bagian sejarah perjalanan bangsa-
bangsa sepanjang zaman. Keadaan yang serba menghimpit dan tertinggal itulah
yang memberikan dorongan dan inspirasi bagi Kiai Dahlan untuk mencari jalan
keluar sekaligus menawarkan jalan baru bagi umat Islam khususnya dan bangsa
Indonesia pada umumnya. Langkah ini kemudian melahirkan corak gerakan Islam
yang bersifat reformis atau modernis atau pembaruan sebagai alternatif dari rahim
Muhammadiyah.

Karena itu, atas dasar kenyataan sosiologis yang serba tertinggal dan
tradisional itu, maka Muhammadiyah sejak awal berdirinya ingin
menyebarluaskan dan memajukan halihwal ajaran Islam kepada pemeluk-
pemeluknya di wilayah Yogyakarta saat itu kemudian ke seluruh Indonesia, yang
di belakang hari disebut sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Gerakan
Muhammadiyah yang bersifat pembaruan itu bertemakan al-ruju ila Al-Qur'an wa

10
al-Sunnah (kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah), sebagaimana tema
gerakan-gerakan pembaruan Islam yang digelorakan di dunia Muslim sebelumnya
sebagaimana dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin 'Abdul Wahhab,
Muhammad 'Ab- duh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Di sini terdapat mata rantai
gerakan Islam, meskipun dalam sejumlah hal Muhammadiyah berbeda dengan
gerakan pembaruan Islam di dunia Muslim itu.

Sedangkan menurut Mukti Ali, bahwa latar belakang berdirinya


Muhammadiyah dapat disimpulkan dalam empat segi:

a) ketidak- bersihan dan campuraduknya kehidupan agama Islam di


Indonesia

b) ketidakefektifannya lembaga-lembaga pendidikan agama

c) aktivitet dari misi-misi Katholik dan Protestan

d) sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang merendahkan dari golongan


intelegensia terhadap Islam.

Dengan latarbelakang sosiologis yang demikian maka kelahiran


Muhammadiyah menurut Mukti Ali memiliki misi gerakan dan orientasi amaliah
sebagai berikut:

a) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang


bukan Islam
b) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
c) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam
d) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (Ali, 1958: 20).

Kendati menurut sementara pihak Kiai Dahlan tidak melahirkan gagasan-


gagasan pembaruan yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat
adhoc, namun penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus
mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kiai Dahlan dengan
Muhammadiyah yang didirikannya, untuk ukuran kala itu dalam konteks
zamannya sungguh merupakan suatu pembaruan yang monumental. Ukuran saat

11
ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan
hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kerangka berpikir neomodernisme Islam yang mekar pada awal 1980-an.

Gerakan-gerakan modernisme atau reformisme Islam yang bangkit pada


awal 1900-an, karena setiap pergerakan Islam atau pergerakan sosial apapun
memiliki konteks dan zaman yang berbeda-beda.

Muhammadiyah memang telah hadir dalam situasi zaman yang


meniscayakan gerakannya untuk memberikan jawaban melalui gerakan
pembaruan, yang konteks dan pengaruh dari pembaruannya begitu luas
sebagaimana ditulis oleh antropolog dari Amerika Serikat, James L. Peacock
tahun 1970-an. Bahwa menurut Peacock (1986: 26), Muhammadiyah telah
tumbuh menjadi gerakan pembaruan Islam meluas bukan hanya di seluruh pelosok
Indonesia. Tetapi juga menjadi gerakan pembaruan yang besar di Asia Tenggara.
Organisasi perempuannya, 'Aisyiyah, bahkan menjadi yang terbesar di dunia.
Dalam gerakan kemasyarakatan Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang
besar dan utama.

Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki


inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid atau pembaruan, namun secara sosiologis
sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat
Indonesia yang berada dalam keterbelakangan, Kiai Dahlan melalui
Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni)
dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup
umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan.
Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber
ajaran yang asli yakni Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi
kekuatan untuk mengubah kehidupan ma- nusia dari serba ketertinggalan menuju
pada dunia kemajuan.

Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran


Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu

12
dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi.
Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu,
ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih
mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran
kiai yang sangat dominan selaku pem impin informal. Organisasi jelas merupakan
fenomena modern abad ke- 20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh
Kiai Dahlan sebagai wasilah (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Memformat gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran
Muhammadi- yah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada
rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama men
genai kaidah måla yatim al-najib läbiles fa huu uji, bahwa jika suatu urusan tidak
akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih
mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebaga gerakan Islam melalui sistem
organisasi, juga memperoleh rujukan teol ogis sebagaimana tercermin dalam
pemaknaan/penafsiran Surat Ali Im- rar ayat ke-104, yang memerintahkan adanya
"sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar. Ayat Al-Qur'an tersebut di kemudian hari
bahkan dikenal sebagai "ayat" Muhammadiyah.

Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 104


tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran transendensi
yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tau- hid semata. Namun, lebih
jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial
dalam dunia nyata kemanusiaan melalui apa yang oleh Dr. Kuntowijoyo disebut
gerakan humanisasi (mengajak pada serba kebaikan) dan emanisipasi atau liberasi
(pem- bebasan dari segala kemungkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai
agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru rformisme atau
modernisme Islam di Indonesia. Dengan dasar pemikiran Islam yang mendalam,
cerdas, dan berkemajuan sebagaima na dirintis oleh pendirinya, maka di belakang
hari Muhammadiyah tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan Islam yang
paling depan dalam menampilkan Islam sebagai agama kemajuan. Pemikiran
tajdidnya yang bersifat pemurnian telah menjadi alam pikiran umum di kalangan

13
kaum Muslimin yang melahirkan sikap otentik dalam be ragama, yakni dengan
kembali pada sumbernya yang asli dan utama yakni Al-Qur'an dan Sunnah Nabi
yang sahih atau maqbulah. Pemikiran tajdidnya di bidang itihad, pendidikan, dan
amalan amalan sosia bahkan telah diadopsi dan menjadi alam pikiran umum di
lingkungan mayoritas Islam, termasuk bagi mereka yang dulu menentangnya. Se
dangkan kiprah dan amal usahanya yang tersebar di seluruh Tanah Ait benar-
benar telah dirasakan manfaatnya oleh umat dan masyarakat luas, sehingga
Muhammadiyah telah menjadi milik umat, bangsa, dan masyarakat dunia yang
sangat berharga sebagai perwujudan risalah dalam kehidupan umat manusia di
muka bumi.

C. Profil dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Islam dan Umatnya
KH. Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta, 1868. Nama
kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putera keempat dari K.H. Abu
Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor
penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah
(Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang
Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan). (Noer, 1995: 48).
Pada usia ke-15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis muda mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Setelah menunaikan ibadah haji dan
sebelum ia kembali ke kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan.
Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman. Sepulang dari Mekkah,
ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji
Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan

14
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH.
Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. (Kutojo, 1991).
Pada tahun 1903 ia berangkat kembali ke Mekah dan menetap di sana
selama 2 tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin
memperdalam ilmu pengetahuan. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh
Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin
intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani. Pemikiran para
pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan
pembaharuan di Indonesia.
Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga
menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi.
Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima
oleh berbagai pihak. Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith,
seorang pastur dari Katolik.
Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama
yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal. Karena
itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah. Namun
demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, adanya lembaga
pendidikan kiranya terlalu sempit. Beberapa sahabat Ahmad Dahlan
menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Melihat sepak terjang Ahmad Dahlan, pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi Muhamadiyah ini. Maka dari itu
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain
seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang

15
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama
lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, AlMunir di Ujung Pandang,
Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama’ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, diantaranya ialah Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-
Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi. (Kutojo, 1991: 33).
Perjuangan yang dilakukan Ahmad Dahlan tergolong tidak mudah. Ia
mendapat tantangan tidak hanya dari pemerintah Belanda, akan tetapi juga dari
penduduk bumi putera, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri. Ide-ide
Pembaharuan Ahmad Dahlan dianggap aneh dan menyeleweng dari ajaran Islam
sehingga membuatnya dituduh sebagai kiai kafir. Namun ia tetap bertahan dan
terus berjuang dengan sekuat tenaga hingga Muhammadiyah tetap bertahan
hingga hari ini di usianya yang telah melewati satu abad. Ini semua menunjukkan
bukan hanya kekuatan ideologi dan spirit yang dibangun Ahmad Dahlan, tapi juga
menunjukkan kekuatan sistem organisasi yang ia dirikan.
KH. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari
1923 dalam usia 55 tahun. Hari ini kita masih menyaksikan karya besar anak bumi
putera ini. Pesan beliau selalu terngiang bagi para generasi penerusnya: “Hidup-
hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”. Pesan mora
sarat makna yang membuat Muhammadiyah tetap kokoh dan menjulang di
panggung peradaban.
Sementara itu pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Islam dan umatnya.
Sebagai tokoh pergerakan Islam yang merupakan founding father dari pergerakan
Muhammadiyah tentunya K.H Ahmad Dahlan memiliki pemikiran yang khas

16
(state of mind) terkait Islam yang beliau pelajari dan beliau amalkan sehingga
sampai hari ini menjadi salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia yang
mewarnai kancah pergerakan dakwah di Indonesia bahkan Internasional.
Pemikiran khas yang dapat menggerakkan, merubah sebuah keadaan yang
dulunya dalam kejahiliyahan menuju cahaya terang agama Islam di Indonesia.
Sebagaimana Prof. Syahrin Harahap mengatakan, bahwa seorang tokoh selalu
memiliki corak dalam pemikirannya. Ada tiga corak yang paling mendasar dalam
pemikiran seorang tokoh yaitu natural, tradisional dan rasional. Ahmad Dahlan
merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam Indonesia. Oleh sebab itu, corak
pemikiran Ahmad Dahlan bisa mengarah kepada rasional ataupun tardisional.
Menurut beliau, Islam tidak akan tegak kecuali diperjuangkan dengan
berorganisasi (berjamaah). Demikian pula memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Indonesia dari imperialisme Belanda, harus disertai dengan peningkatan ilmu
pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan. Akhirnya, beliau
memberikan nasihat dan arahan kepada masyarakat untuk beramal, berorganisasi,
dan berpegang teguh pada prinsip “senantiasa mempertanggungjawabkan
tindakan kepada Allah SWT”.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Muhammad Darwisy atau lebih dikenal dengan K.H Ahmad Dahlan lahir
di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 23
Februari 1923. KH. Ahmad Dahlan menuntut ilmu di kota suci Makkah, dan hasil
dari pendidikannya itu kemudian beliau membentuk sebuah wadah perubahan
untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan arti
Muhammadiyah yaitu pengikut Nabi Muhammad Saw. Dari terbentuknya
Muhammadiyah di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
H yang bertepatan pada 18 November 1912 M, ia mendirikan Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ia juga ingin
mengadakan pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan Alquran dan Hadist.

B. Saran
Demikianlah makalah tentang Sejarah Berdirinya Muhammadiyah yang
telah kami paparkan. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.

18
DAFTAR PUSTAKA

Nashir, H., 2018, Kuliah Kemuhammadiyahan 1, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah

Mu’thi A, dkk, 2015, K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), Jakarta: Museum Kebangkitan
Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan

Paytren, A., 2021, Profil dan pemikirab KH Ahmad Dahlan,


https://www.academia.edu/46174628/Profil_dan_Pemikiran_KH_Ahmad_Da
hlan, diakses pada 8 Maret 2023 pukul 09.43

19

Anda mungkin juga menyukai