Anda di halaman 1dari 13

MU’AMALAH

FIRDAUS, S.Pd.I., M.Pd


email: Firdaus@ump.ac.id
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 1

MU’AMALAH

A. Hakekat Mu'amalah
Mu’amalah secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah, yaitu saling
berbuat. Kata ini, menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan
seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau Mu’amalah
secara etimologi itu artinya saling bertindak, atau saling mengamalkan.
Secara terminologi, Mu’amalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian
mu’amalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pengertian mu’amalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan dunia dalam pergaulan sosial.
Pengertian mu’amalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang memperbolehkan
manusia saling menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan
Allah dan manusia wajib mentaati-Nya.
Dalam buku enslikopedia islam jilid 3 halaman 245 dijelaskan bahwa mu’amalah
merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang
lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, seperti perseoran,
firma, yayasan, dan negara. Contoh hukum islam yang termasuk mu’amalah, seperti Jual-beli,
Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Nikah (Munakaha), Khiyar, Syirkah (Kerja Sama),
Bank, Riba, dan Rente, Asuransi, ‘Ariyah (Pinjaman), Hiwalah (Pemindahan Utang), Al-Rahn
(Gadai/Peminjaman dengan jaminan),Al-Ijarah (Sewa-menyewa dan Upah).
Jadi, Mu’amalat adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan
dunia,dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-menukar,
pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalat juga merupakan tatacara atau peraturan dalam
perhubungan manusia sesama manusia untuk memenuhi keperluan masing-masing yang
berlandaskan syariat Allah s.w.t yang melibatkan bidang ekonomi dan sosial Islam.

B. Ruang Lingkup Mu'amalah


Ruang lingkup mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup mu’amalah madiyah
dan adabiyah. Ruang lingkup pembahasan mu’amalah madiyah ialah masalah:
1. Jual-beli (al-ba’i/al-tijarah)
2. Gadai (al-rahn)
3. Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 2

4. Pemindahan utang (al-hiwalah)


5. Batasan bertindak (al-hajru)
6. Perseroan atau pengkongsian (al-syirkah)
7. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
8. Sewa-menyewa (al-ijarah)
9. Pemberian hak guna pakai (al-‘araiyah)
10. Barang titipan (al-wadhi’ah)
11. Barang temuan (al-luqathah)
12. Garapan tanah (al-muzara’ah)
13. Sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah)
14. Upah (ujrah al-‘amal)
15. Gugatan (al-syuf’ah)
16. Sayembara (al-ji’alah)
17. Pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
18. Pemberian (al-hibah)
19. Pembebasan (al-ibra’)
20. Damai (al-shulhu)
21. Masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muhaditsah), seperti masalah bunga bank,
asuransi kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.

Ruang lingkup mu’amalah yang bersifat adabiyah ialah masalah:


1. Ijab kabul
2. Saling merindai
3. Hak dan kewajiban
4. Kejujuran pedagang
5. Penipuan
6. Pemalsuan
7. Penimbunan
8. Segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 3

C. Prinsip -Prinsip Mu'amalah


Kata prinsip, diartikan sebagai asas, pokok, penting, permulaan, fundamental, dan
aturan pokok. Ada beberapa prinsip Muamalah, diantaranya:
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-
qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas perkembangan
bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup
masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela , tanpa mengandung unsur paksaan. Agar
kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari
madharat dalam hidup masyarakat. Bahwa sesuatu bentuk muamalat dilakukan ats dasar
pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup
masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala
bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
5. Haramnya segala kezaliman dengan memakan harta secara bathil, seperti : riba, ghasab,
korupsi, monopoli, penimbunan , dll

D. Akhlak Bermu'amalah
Macam-macam akhlak bermu’amalah adalah Shiddiq, Istiqamah, Fathanah, Amanah,
Tablig.
1. Shiddiq artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan, dan amal
perbuatan atas dasar nilai-nilai yang benar berdasarkan ajaran Islam. Tidak ada
kontradiksi dan pertentagan yang disengaja antaea ucapan dengan perbuatan. Karena itu
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa memiliki sifat shiddiq
dan menciptakan lingkungan yang shiddiq. Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran
ditampilka dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan. Baik ketepatan waktu, janji,
pelayanan, pelaporan, mengakui kelemahan dan kerugian (tidak ditutup-tutupi) untuk
kemudian diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhkan diri dari berbuat bohong
dan menipu (baik pada diri, teman sejawat, perusahaan maupun mitra kerja)
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 4

2. Istiqamah mempunyai arti konsisten dalam ima dan nilai-nilai yang baik, meskipun
menghadapi berbagai godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan
dalam keteguhan dan kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang
optimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-
menerus. Misalnya interaksi yang kuat dengan Allah dalam bentuk shalat, zikir, membaca
Al-Qur’an, dan lain-lain. Proses itu menumbuh-kembangkan suatu sistem yang
memungkinkan, kebaikan, kejujuran, dan keterbukaan teraplikasikan dengan baik.
Sebaliknya, keburukan dan ketidak jujuran akan terduksi dan ternafikan secara nyata.
Orang dan lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan
sekaligus mendapatkan solusi dan jalan keluar dari segala persoalan yang ada.
3. Fathanah mempunyai arti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam
segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini aka menumbuhkan kreatifitas dan
kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Kreatif dan inovatif
hanya mungkin dimiliki manakala seorang selalu berusaha untuk menambah berbagai
ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi, baik yang berhubungan dengan pekerjaan
maupun perusahaan secara umum. Sifat fathanah (perpaduan antara ‘alim dan hafidz)
telah mengantarkan Nabi Yusuf a.s. dan timnya berhasil membangun kembali negeri
Mesir. Dan sifat itu pula yang mengantarkan Nabi Muhammad saw. (sebelum menjadi
nabi) oada keberhasilan dalam kegiatan perdagangan (riwayat Imam Bukhari)
4. Amanah, mempunyai arti bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan
kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal,
dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal. Sifat amanah harus dimiliki setiap
mukmin, apalagi yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan
kepada masyarakat.dalam sebuah hadists dikemukakan bahwa Rasulullulah saw.
bersabada bahwa amanah itu akan menarik rezeki, sebaiknya khianat itu akan
mengakibatkan kefakiran.
5. Tabligh berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksaakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan kita sehari-hari. tabligh
yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif, dan persuasif akan
menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat.

E. Pandangan Islam Tentang Kehidupan Dunia


Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 5

Manusia dewasa ini telah berada di persimpangan jalan, antara agama dan kemajuan
ilmu pengetahuan. Kebimbangan pun datang mengusik lamunan di malam hari,
membangunkan dari mimpi-mimpi indahnya sepanjang malam. Manusia cenderung menilai
realita kehidupan dunia yang tampak di depan mata tanpa menoleh fenomena kehidupan di
masa lalu. Ada sebagian darinya yang tidak merujuk kepada perintah-perintah agama sebagai
pedoman hidup di dunia. Padahal, sejarah peradaban manusia telah terukir dari beberapa
peristiwa kebajikan dan kebathilan. Padahal, yang di cari manusia dalam kehidupan di dunia
adalah kebahagiaan.
Terangkatnya posisi manusia sebagai khalifah di muka bumi merupakan suatu
kemuliaan yang tinggi dari Allah swt. Alam dan seisinya juga dipersembahkan kepada manusia
untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya tanpa harus membayar upeti kepada Allah. Anugerah yang
tidak ternilai berupa akal seharusnya mampu menjadikan manusia sebagai sosok
kekhalifahannya, mulia. Tetapi, mengapa manusia masih berambisi mencari kehidupan dunia
sebagai sesuatu yang kekal? Dunia bukanlah semata-mata warisan untuk anak cucu manusia ,
tetapi sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Yang Maha
Kuasa.
Syeikh Muhammad ‘Ali as Shobuni dalam kitabnya Shofwatu al Tafasir menuliskan
bahwa Allah swt menciptakan langit dan bumi hanya dalam enam hari. Hal ini bukan
menunjukkan bahwa Allah swt tidak mampu menciptakannya hanya dalam sekejap, namun
Allah ingin mengajarkan kepada hamba-hamba Nya satu sifat yang tidak tergesa-gesa dalam
melakukan pekerjaan. Dan masih ada beberapa firman Allah yang menjelaskan tentang
penciptaan dunia, namun penulis dalam hal ini lebih termotivasi dalam membahas kehidupan
dunia.
Sebuah realita tentang kehidupan dunia abad ini diterjemahkan sebagai kehidupan yang
sementara, tempat untuk bersenang-senang, kehidupan modern, kehidupan yang abadi dan
sebuah kehidupan yang fana. Di sisi lain kehidupan dunia dipandang sebagai jembatan menuju
kehidupan setelah mati (akhirat), tempat mencari amal kebajikan, tempat menimba ilmu
pengetahuan dan lain-lainya. Berangkat dari pemahaman di atas maka nyatalah kehidupan
dunia yang fana ini hanyalah sebuah ujian bagaimana mengemban tugas-tugas kehidupan dan
amanat kemanusiaan. Dengan demikian manusia akan merasa puas dan hidup tidak menjadi
sia-sia tanpa melemahkan semangat berjuang dalam kehidupan.
Akhirnya, dapatlah digambarkan bahwa persepsi kehidupan dunia memiliki tujuan yang
beragam, yaitu; kesenangan, kemegahan, kesehatan, kepintaran, kesuksesan, ketenteraman
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 6

jiwa, ketenangan hidup dan kebahagiaan. Tidak cukup sampai disitu, manusia akan terus
mempertanyakannya setelah mampu meraih segala apa yang diinginkannya atau sebaliknya,
manusia akan terus mencari-cari jawaban dari sebuah pertanyaan yang membosankan.
Mengapa pertanyaan demi pertanyaan itu muncul seolah tidak merasa puas dengan
kenyataan hidup, atau sebaliknya? Islam sebagai agama melalui kajian al qur’an dan hadits-
hadits Rasulullah dapat menjawab pertanyaan demi pertanyaan tersebut dengan menanamkan
kepercayaan terhadap Allah dan Rasulullah. Oleh karena itu jugalah penulis mencoba
menghadirkan jawaban-jawaban yang bersumber dari nash-nash al Qur’an dan beberapa
Hadits Nabi saw, sekaligus dapat memberikan keyakinan yang kuat dalam diri.
Jikalau manusia menjadikan kehidupan dunia sebagai bentuk yang mempesonakan
terhadap kemewahan harta, kebanggaan memiliki anak-anak dan lainnya, atau sangat
mencintai perabot kehidupan duniawi, sehingga lalai dan lupa akan sebuah hakikat, maka islam
menjawabnya, bahwa semua bentuk kesenangan dunia tersebut bersifat temporer, sebuah
sandiwara, permainan dan kesenangan sesaat. Maka, untuk apa terlalu mengejar kesenangan
sesaat sementara kesenangan yang kekal dan hakikat adalah akhirat?.
Gambaran kehidupan dunia dengan perumpamaan seperti di atas bukanlah bermaksud
untuk meremehkan kehidupan dunia, namun sebagai satu peringatan agar manusia tidak
terlena dan lalai, atau tidak menjadikan hidup mereka sia-sia dan merugi. Kemudian islam
menawarkan kehidupan akhirat yang kekal sebagai tempat bersenang-senang yang abadi, dan
hal ini tentunya menjadi kabar gembira bagi mereka yang percaya kepada Allah dan kehidupan
di akhirat. Ada beberapa dalil al Qur’an dan Hadits Nabi saw di bawah ini yang bisa dijadikan
pedoman bagi manusia dalam menyikapi kehidupan dunia, dan mungkin sebagai renungan
bersama, diantaranya adalah:

‫يِ ْال َحيَ َوانِ لَ ِْو َِكانوا‬


َ ‫ّار ْاْل ِخ َرِةَ لَ ِه‬ ِ ّ ‫َو َما َه ِذ ِِه ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا ِإ‬
ِّ ‫َل لَ ْهوِ َولَ ِعبِ َو ِإ‬
َِ ‫ن الد‬
َِ‫َي ْعلَمون‬
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan
sesungguhnya akhirat itulah sebenar-benar kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al
‘Ankabut: 64).

ِ ‫ن ِذ ْك ِِر‬
ِ‫للاِ َو َم ْن‬ ِ ‫َلَ ت ْل ِهك ِْم أ َ ْم َوالك ِْم َو‬
ِْ ‫َلَ ِأَ ْوَلَدك ِْم َع‬ ِ ‫يَاأَيُّ َها الّذِينَِ آ َمنوا‬
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 7

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan


kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi”. (al Munafiqun: 9).
Telah menjadi ketentuan Allah jikalau manusia hidup sebagai makhluk sosial,
bertetangga, bergaul dengan sesama walaupun terdapat perbedaan bahasa, suku dan warna
kulit. Lantas agama menjawabnya agar manusia menjaga tali silaturrahmi dan saling mengenal
antar satu dengan lainnya, saling menghormati dan menghargai hak-hak sesama. Islam
mengakui kemajemukan manusia sebagai suatu komunitas plural, tetapi bukan untuk saling
membedakan, namun untuk saling mengenal antar satu dengan lainnya. Islam melarang untuk
berlaku sombong dan angkuh karen perbedaan posisi, keadaan, suku, ras, dan lainnya. Dan
kesombongan itu tidak sepantasnya dilakukan manusia karena segala sesuatunya akan
kembali kepada Allah Yang Maha Menciptakan.
Kesuksesan manusia dalam meningkatkan mutu dan kualitas ilmu pengetahuannya
memang perlu untuk dibanggakan, namun kebanggan itu bukan untuk menjadikan dirinya
sombong, angkuh dan tidak tunduk kepada Allah. Manusia lebih cenderung menyibukkan
dirinya dengan kesuksesan duniawi, namun lalai akan mengerjakan amal shalih. Manusia
mampu seharian duduk di kantornya, namun ketika suara azan memanggilnya untuk sholat
dilalaikan. Apalah artinya segudang ilmu dan kekayaan, namun sholat saja masih dilalaikan.
Apa gunanya semashur nama di mata masyarakat, namun masih menyimpan perasaan iri,
dengki dan menceriterakan prihal orang lain dibelakang. Allah Maha Mendengar dari segala
perkataan manusia.
Islam tidak membedakan status sosial antara si miskin dan kaya, seharusnya si kaya
yang menyantuni, mengasihi dan menyayangi si miskin dan bukan untuk membeda-bedakan
derajat. Allah yang menurunkan rezeki, meluaskan dan menyempitkannya. Apakah pantas bagi
manusia untuk berlaku bakhil dan kikir? Nyatalah, yang menjadi pembeda adalah mereka yang
paling bertaqwa, bukan mereka yang lebih putih, kaya, cantik, dan berkedudukan. Kesuksesan
manusia merupakan kesempatan baik yang diberikan Allah, tetapi Allah juga Maha Mampu
merubah kesempatan baik itu sebagai ujian bagi manusia.
Kehidupan dunia adalah sebuah ketentuan Allah (sunnatullah) yang tidak mungkin ada
seorangpun yang mampu merubahnya. Seperti halnya perputaran langit dan bumi, tanam-
tanaman yang tumbuh subur, gunung-gunung yang Allah tinggikan dan tangguhkan, lautan dan
daratan yang terbentang luas.
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 8

Kemudian dalam kehidupan dunia dijadikan tempat untuk bercocok tanam, berternak
dan lainnya. Dunia merupakan tempat manusia berkembang biak dan meneruskan sejarah.
Semua penciptaan ini merupakan sunnatulah yang harus disyukuri oleh manusia sebagai
makhluk yang lemah di hadapan Allah swt. Inilah dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan
Allah swt Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang mau merenungi.
Manusia tidak melihat kekuasaan Allah Yang Maha Mampu dalam mengatur peredaran
benda-benda langit. Manusia ingkar dan meremehkan kekuasaan Allah. Padahal manusia
sangat lemah dihadapan Allah. Manusia lupa dan amat jarang merenungi beberapa kekuasaan
Allah. Padahal, kepada Allah dan Rasulullah sebaik-baik pengaduan dari segala urusan. Dunia
memang salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah swt yang nyata, agar manusia benar-
benar beriman dan tunduk kepada Nya.
Bagi orang-orang yang beriman, Allah menjadikan kehidupan dunia sebagai jembatan
untuk kehidupan yang kekal (akhirat). Allah membimbing mereka meraih dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta mengajarkan mereka untuk mencari nafkah di dunia
tanpa melalaikan waktunya untuk mengingat Allah. Dan juga memberikan kabar gembira
sekaligus menuntun mereka dengan ajaran islam bahwa kehidupan dunia sebagai kehidupan
untuk bertaubat dan mencari bekal di akhirat. Karena itu Allah menganjurkan manusia supaya
teliliti dengan kehidupan dunia ini agar hidup tidak sia-sia. Membimbing manusia sebagai
makhluk yang pandai bersyukur. Semua ini tidak lain hanyalah ujian bagi orang-orang yang
beriman kepada Nya dan mengikuti ajaran islam.

F. Makna Spiritual tentang Kejayaan Hidup


Masyarakat modern dewasa ini menghadapi problem yang sangat serius yaitu alienasi.
Alienasi dalam pandangan Eric Fromm (1995) sejenis penyakit kejiwaan dimana seseorang
tidak lagi merasa memiliki dirinya sendiri, sebagai pusat dunianya sendiri melainkan terenggut
kedalam mekanisme yang sudah tidak lagi mampu dikendalikan. Masyarakat modern
merasakan kebingungan, keterasingan dan kesepian karena apa yang dilakukan bukan atas
kehendaknya sendiri melainkan adanya kekuatan luar yang tidak diketahuinya menurut
perasaan dan akalnya.
Itulah yang juga dikritik oleh Karl Marx, dia menilai akumulasi modal dan alat produksi
pada sekelompok elite membuat dunia mengalami kesenjangan sosial yang hanya
memunculkan kemiskinan massal di mana rakyat yang miskin semakin miskin dan yang kaya
menjadi kaya. Orang miskin menjadi sangat bergantung pada pemilik modal yang menguasai
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 9

pusat-pusat produksi dan ekonomi sehingga kebebasan individu untuk memilih pekerjaan
sebagai aktualisasi diri tidak mendapatkan tempat yang kondusif. Penindasan terjadi secara
terus menerus mereka bekerja hanya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya semata
sementara disisi lain pemilik modal memeras dengan seenaknya.
Kritik Karl Marx hampir sulit diingkari kebenarannya tentang problem alienasi pada
masyarakat modern, hal ini juga diperkuat oleh pandangan Chistropher Lasch yang
menyebutkan bahwa krisis kejiwaan yang menimpa masyarakat kapitalis terutama barat telah
menyebabkan mereka kehilangan sense of meaning dalam hidupnya.
Relevansi dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zaman
menurut pendapat sebagian pakar merupakan proses menghilangnya sekat-sekat pembatasan
ruang dan waktu yang berdampak kepada semakin transparannya proses transformasi nilai-
nilai dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan nyaris tanpa batas (the world
without border) (Tilaar, 2000).
Kondisi demikian pada akhirnya menjadikan individu dituntut untuk semakin kompetitif
dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu, individu yang lambat akan
tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dengan segala
kenikmatannya. Sebaliknya, kesuksesan hanya akan dimiliki oleh individu yang mampu
bersaing dan memiliki kedewasaan dalam berpikir dan mengaktualisasikan diri
dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem terbuka
yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai dampak globalisasi
mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat, yang
pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku manusia.
Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu karena nilai
menjadi dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya nilai dalam mesyarakat
tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri.
Sebagai imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang secara langsung atau tak langsung
memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu dan bahkan menjadi "hancur"
(Tirtarahardja,1994).
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan.
Percepatan perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (1) kecenderungan
globalisasi yang makin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin pesat; (3) perkembangan
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 10

arus informasi yang makin padat dan cepat, dan (4) tuntutan peningkatan layanan profesional
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. (Tirtarahardja, 1994).
Alfin Tofler (Ancok, 2002) menggambarkan kemasakinian dalam konteks peradaban
dunia dengan istilah Gelombang Keempat (Fourt Wave); yaitu respiritulisasi berupa bentuk
akomodatif terhadap potensi dan antisipatif terhadap tantangan dan perubahan yang semakin
cepat, dengan jalan membentuk kerjasama antar tiap individu dalam adegan mikro, messo dan
juga makro; sehingga terjadi suatu harmoni dalam kehidupan dan
keseimbangan (equilibirium) dalam tatanan kehidupan, baik dengan individu itu sendiri, alam,
maupun dengan lingkungan sekitar.
Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan
teknologi dan pengetahuannya telah tercebur kedalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan
materi semata namun tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang hadapinya.
Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu pada materi melainkan pada
dimensi spiritual.
Terkait dengan aspek spiritualitas atau pada istilah lain adalah releigiusitas/ transedensi,
dalam kajian keilmuan bimbingan dan konseling terdapat beberapa pandangan yang
disampaikan para ahli psikologi, khususnya yang beraliran fenomenologis-
eksistensial. Pertama, yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl dengan faham Logo Terapinya;
dan kedua, Abraham E. Maslow dengan te'ori kebutuhannya (need theory) mencetuskan
tentang konsep yang terkait dengan upaya membantu individu untuk mencapai perkembangan
optimal, walaupun dengan pemaknaan dan perspektif yang berbeda untuk masing-masing
faham. Frankl memaknai transen-densi sebagai akumulasi pengalaman individu yang
bertendensi negatif dan positif, sehingga melahirkan kebermaknaan hidup; sedangkan Maslow
memaknai trensendensi sebagai pencapaian aktualisasi diri (self actualization) oleh individu.
Walaupun perspektif mereka berbeda, akan tetapi yang perlu dicatat di sini adalah
keberanian dan pencapaian "kontemplasi" mereka dalam mengetengahkan tentang sisi
keterbatasan individu dalam memahami peristiwa ataupun pengalaman yang dialami individu
yang berada di luar jangkauan pemahaman inderawi dan nalar logik manusiawi. Dari
pemahaman itu, pada akhirnya mendorong individu untuk meyakini hakikat ketuhanan,
menyadarkan akan kelemahan yang dimilikinya, dan sekaligus menjadi motivasi untuk
mengembangkan potensi diri secara proporsional.
Faham-faham yang dilontarkan para tokoh aliran fenomeno-logis-eksistensial tersebut
secara langsung membantah pandangan psikoanalitik yang cenderung memandang individu
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 11

dari sudut negatif dengan sifat-sifatnya yang pesimisitik, deterministik, dan juga penuh
kecemasan; begitupun behavioristik yang memandang individu mekanistik yang dapat diubah
dengan formula S-R (Stimulus dan Respon). Faham ini seolah menyadarkan individu tentang
hakikat hidup dan potensi diri yang sesungguhnya masih banyak yang belum terungkap,
sehingga mengantarkan individu untuk meyakini terhadap suatu kekuatan yang berada di
luar jangkauan dan kekuatan diri mereka.
Nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan individu menjadi urgen karena pada diri individu
terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi
pada realitas di luar wilayah materi yang bersifat fisik (Hidayat, 2002). Kecenderungan ini
membawa pada suatu kesadaran diri (self awareness) tentang kelebihan dan kelemahan diri,
dan keterbatasan aspek-aspek inderawi dalam memahami sesuatu yang berada di
luar jangkauan fisik dan rasio kamanusiaan.
Dimensi spiritualitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan, karena
konseling merupakan aktivitas yang fokus pada upaya membantu (building
relationship) individu/klien dengan segala potensi dan keunikannya untuk mencapai
perkembangan yang optimal. Sementara itu dimensi spiritualitas berfungsi sebagai radar yang
mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada diri
individu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa aspek
hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.Dimensi pada akhirnya
menjadi penting pada aktivitas konseling, yang berupa motivasi untuk semakin konsisten
dengan profesi yang ditekuni dan menimbulkan kobaran api semangat untuk membantu
individu/klien dengan penuh keikhlasan, serta menciptakan nilai-nilai luhur keyakinan pada
aktivitas bantuan yang dilakukan dalam bentuk empati, perhatian, dan kasih sayang.
Hal utama kaitan dimensi spiritualitas dalam konseling adalah upaya memandang
sebagai bagian dari proses kepentingan pembinaan tersebut. Oleh karena itu, dimensi spiritual
dalam bimbingan konseling selalu mengutamakan hakekat manusia. Sebagai keilmuan yang
mengkaji tentang hubungan kemanusiaan, maka bimbingan dan konseling memiliki pandangan
tentang dimensi kemanusiaan. Djawad Dahlan (2002) memaparkan dimensi kemanusiaan
dalam perspektif bimbingan dan konseling sebagai berikut:
1. Pandangan yang menganggap manusia sebagai makhluk yang pada dasarya bersifat
deterministik, pesimistik, mekanistik dan reduksionalistik. Menurut pandangan ini, individu
dipan-dang tidak mampu meraih kebebasan susila, karena segala gerak dan ucapnya
dipandang datang dan ditentukan oleh dorongan-dorongan instinktif yang tidak
Ibadah, Akhlaq, Mu’amalah 12

terbendung, tidak dapat dikendalikan dan bahkan tidak mungkin untuk dikenal. Segala
perilaku manusia, bahkan yang bersifat etis religius pun dipandangnya tidak lain sebagai
sublimasi dari dorongan-dorongan tidak disadari.A
2. Terdapat juga konsep bimbingan dan konseling yang berwama behavioristik. Pandangan
ini pun menyandang ciri deterministik, sehingga perilaku individu menurut paham
ini, sepenuhnya dapat ditentukan dan ditempa dari luar, melalui pembentukan
hubungan stimulus-respon, latihan atau training. Latihan, pembiasaan, reinforcement,
extinction, desentisitasi, merupakan tindakan-tindakan lunci untuk merubah perilaku klien.
Sederhananya individu adalah makhluk mekanistik yang dapat dikendalikan dari luar oleh
lingkungan.
3. Pandangan yang agak sejalan dengan pemberian latihan untuk berbuat, mengimplikasikan
bahwa pemberian bantuan kepada klien hendaknya berupa peningkatan keterampilan
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sekarang ini, dalam kehidupan ini, di
tempat ini dan dengan kondisi seperti ini. Keterlibatan kepada tempat, waktu, situasi dan
kondisi, membuat klien sulit untuk mempunyai pandangan kedepan. Bagi mereka,
keadaan seperti ini tidak dipandang sebagai persoaian yang serius, karena memang
segala sesuatu tiada yang tetap, melainkan selalu berubah.

Berdasarkan ketiga pandangan di atas, lebih lanjut Djawad Dahlan (2002) menegaskan
bahwa apabila pandangan tersebut selamanya menjadi referensi bagi upaya membantu
perkembangan klien, tentunya individu hanya dihargai sebagai makhluk yang degradasi yang
sepenuhnya tunduk kepada naluri dan dorongan impulsif, atau tunduk kepada kekuasaan dari
!uar dirinya, maka muncuilah pandangan lain yang diametral dan mendewa-dewakan manusia.
Pandangan ini bersifat optimistis, penuh harapan terhadap kemampuan individu dan
memandangnya memiliki kemampuan untuk berbuat sendiri di bumi ini dan menentukkan
tujuannya sendiri. Himbauannya terhadap pendidikan dan bimbingan dan konseling ialah agar
individu dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Akan tetapi kebebasan berpikir dan mengembangakan diri yang dilakukan klien tidak menutup
kemungkinan akan berbenturan dengan tata nilai dan norma yang berlaku di keluarga, sekolah
ataupun lingkungan masyarakat, apalagi jikalau satuan norma yang berlaku lebih banyak
bermuatan aspek kebebasan dari tatanan nilai-nilai agama dan spiritual.

Anda mungkin juga menyukai