Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

INTERAKSI ISLAM DAN KEBUDAYAAN NUSANTARA


Dianjurkan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Kebudayaan Local
Dosen Pengampu : Pak Hamdani.Jh.M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok : 05
Aufa Salsabila 23.11.1487
Iqrimah Bailany 23.11.1457

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSALAM
MARTAPURA
2024
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim

Dengan nama Allah yang banyak meanugrahi nikmat yang besar-besar, puji
syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
dan Shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Interaksi Islam dan Kebudayaan Nusantara” dengan
baik dan tepat waktu.

Makalah merupakan karya tulis ilmiah karena di susun berdasarkan kaidah


kaidah ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Islam dan Kebudayaan Local” Untuk itu, makalah ini disusun dengan memakai
bahasa yang sederhana dan mudah untuk dipahami.

Dan pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Hamdani.Jh.M.Pd selaku dosen pengajar dan pengampu yang telah memberikan
bimbingan, arahan, saran, dan petunjuk hingga makalah ini dapat disusun dengan
baik.

Sebagai sebuah makalah, tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang berkepentingan, guna
penyempurnaan makalah ini. Selanjutnya terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat digunakan oleh
pembaca dengan baik.

Martapura,23 Maret 2024

Kelompok 05

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I (PENDAHULUAN)............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 1
BAB II (PEMBAHASAN) .............................................................................. 3
A. Islam sebagai Agama ........................................................................... 3
B. Islam sebagai budaya dalam masyarakat lokal .................................... 5
C. Sinkretisme kebudayaan lokal yang berkulturasi dengan
budaya islam ......................................................................................... 8
BAB III (PENUTUP) ...................................................................................... 14
A. Kesimpulan .......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi, karena pada keduanya terdapat nilai dan simbol.
Agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, sedangkan
kebudayaan dapat mempengaruhi sistem nilai dan simbol agama.Agama
adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan, dan
kebudayaan juga mengandung nilai supaya manusia dapat hidup di
dalamnya. Agama dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah
sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas,
yang berperan besar dalam struktur tata normatif dan sosial. Sedangkan
budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam
masyarakat tertentu) yang mengandung nilai-nilai religiusitas, filosofis,
dan kearifan lokal (local wisdom)
Islam yang beradaptasi dengan budaya lokal pada akhirnya
membentuk sebuah varian Islam yang khas dan unik, seperti Islam Jawa,
Islam Madura, Islam Sasak, Islam Minang, Islam Sunda, dan seterusnya.
Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang tercabut dari akar kemurniannya,
melainkan Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dengan budaya lokal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Islam sebagai agama ?
2. Apa itu Islam sebagai budaya dalam masyarakat lokal ?
3. Apa Sinkretisme kebudayaan lokal yang berkulturasi dengan budaya
islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui islam sebagai agama
2. Untuk mengetahui islam sebagai budaya dalam masyarakat lokal

1
3. Untuk mengetahui sinkretisme kebudayaan lokal yang berkulturasi
dengan budaya islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam sebagai Agama


Pengertian agama (religi) yang dikemukakan disini adalah agama
yang bersifat empirik, dalam pengertian agama secara nyata dilaksanakan
oleh para pemelukya, bukan agama sebagai teks dan doktrin. Mengapa
agama yang dimaksud lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat empirik.
Sebabnya tidak lain bertujuan untuk memahami agama dalam konteks
kebudayaan (lokal), termasuk Islam yang jadi fokus pembicaraan dalam hal
ini.
Berikut beberapa definisi tersebut: “Seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan
mengatur manusia dengan lingkungannya”.
Agama dapat digambarkan sebagai sebuah sistem keyakinan dan
perilaku manusia masyarakat yang diarahkan pada “Ultimate Concern”
(tujuan tertinggi). Tujuan tertinggi, menurut Paul Tillich, memiliki dua
aspek: aspek makna (meaning) dan aspek kekuatan (power). Agama
mempunyai makna dalam arti makna tertinggi yang terdapat dalam tata nilai
masyarakat dan memiliki kekuatan dalam arti kekuatan suci kekuasaaan
supranatural yang ada dibalik tata nilai tersebut.
Dalam pengertian yang lain, agama dilihat sebagai sistem keyakinan
yang melahirkan berbagai perilaku keagamaan. Sistem keyakinan tersebut
memiliki daya kekuatan yang luar biasa untuk memerintah dan melarang
pemeluknya untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Hal
tersebut disebabkan karena disamping adanya makna suci yang diyakini,
juga adanya kekuatan supranatural dibalik perintah dan larangan tersebut. 1

1
“Islam dan Budaya Lokal.pdf,” diakses 23 Maret 2024,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43069/3/Islam%20dan%20Budaya%
20Lokal.pdf.

3
Islam diakui secara jamak sebagai agama sekaligus peradaban
(Islam is both a religion and a civilization), karena Islam bukan hanya
sebuah agama, melainkan creator dan spirit yang hidup bagi sebuah
peradaban besar dunia yang sejarahnya terbentang luas lebih dari 14 abad.
Dalam bahasa Nasr dan Smith, “Islam is not only a religion; it is also the
creator and living spirit of major world civilization with a long history
stretching over fourteen centuries”.
Fakta ini diakui juga, misalnya, oleh orientalis kontemporer sekelas
Bernard Lewis. Ia mencatat bahwa: “Islam –the offspring of Arabia and the
Arabian Prophet—was not only a system of belief and cult. It was also a
system of state, society, law, thought and art, a civilization with religion as
its unifying eventually dominating, factor.” Artinya, Islam dan peradaban
merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan. Sejak
kehadirannya, Islam memang telah membawa konsep dan misi peradaban
yang inheren dalam dirinya. Karena Islam hadir membawa satu sistem yang
menaungi kebahagiaan individu dan masyarakat (alfard wa al-mujtama‘),
maka tak heran jika peradaban Islam tidak bisa lepas dari spiritnya, yaitu
Islam. Dengan Islam sebagai dîn dan madaniyyah atau hadârah (peradaban)
itu, peradaban umat Islam menjadi jelas maknanya, konsepnya,
karakteristiknya, dan kontribusinya terhadap manusia dan kemanusiaan.2
Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta alam
dan dalam kehadirannya di muka bumi, Islam berbaur dengan budaya lokal
suatu masyarakat (local culture), sehingga antara Islam dengan budaya lokal
tidak bisa dipisahkan, melainkan keduanya merupakan bagian yang saling
mendukung dan melengkapi. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut
perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda dengan budaya, sekalipun
berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi
sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah

2
Qosim Nursheha Dzulhadi, “Islam sebagai Agama dan Peradaban,” TSAQAFAH 11, no. 1 (30
November 2015): 151, https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i1.258.

4
primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup
keagamaan, karena ia sub-kordinat terhadap agama.3

B. Islam sebagai Budaya dalam masyarakat lokal


Berdasarkan data yang ditemukan “ungkapan penghubung” yang
menunjukkan bahwa Islam mempengaruhi budaya Indonesia. Sedangkan
ungkapan yang menunjukkan adanya keseimbangan antar keduanya ada 13.
Sementara hanya ada hanya ada 3 ungkapan yang menunjukkan budaya
lokal memengaruhi Islam. Dengan demikian, hubungan keduanya bisa
dipetakan menjadi tiga.
Pertama, Islam adalah agama yang datang ke nusantara dengan
tujuan mengislamkan masyarakatnya. Islam hadir untuk memengaruhinya.
Ini dapat dilihat dari ungkapan yang menjelaskan IN sebagai konsep bahwa
Islam dengan nilai-nilainya itu yang mempengaruhi. Mirip dengan kaidah
dalam kitab fikih, fath al-Mu’in; yang mendatangi itu lebih diunggulkan
daripada yang didatangi. Dalam hubungan ini, budaya yang dibawa Islam
untuk memengaruhi Nusantara adalah sistem nilai subtantif atau universal,
teologi, dan ritual Ibadah yang sifatnya pasti. Sementara budaya Islam yang
bersifat fisik—dalam pengertian sosiologis—seperti cara berpakaian,
berjilbab, dan nada membaca Alquran (langgam) dianggap sebagai budaya
Arab yang tidak perlu dibawa ke Nusantara. Konsep inilah yang ditonjolkan
IN sebagaimana dijelaskan Moqsith (sebagai metodologi) dengan ungkapan
“melabuhkan”.
“Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia
hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks
budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya
sinkretisme yang memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan

3
Fauzi Abubakar, “INTERAKSI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI KHANDURI
MAULOD PADA MASYARAKAT ACEH,” Akademika : Jurnal Pemikiran Islam 21, no. 1 (27 Februari
2017): 19–34.

5
kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan
oleh pendahulu kita walisongo”
Hal senada juga dijelasakan oleh Faisol Ramdhoni (Islam sehari-
hari): islamisasi dan merangkul, Milal Bizawie (islam khas Indonesia dan
teori): didakwahkan, kontekstualisasi, merangkul budaya, memberangus
budaya, memperkaya dan mengislamkan tradisi, dan budaya dan Islam yang
telah melebur dengan tradisi, Abdurrahman Wahid: pribumisasi,
disampaikan dengan meminjam “bentuk budaya” lokal, Azyumardi Azra:
vernakularisasi, pribumisasi, membumi ke dalam bentuk budaya, Islam
embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia, Mahrus eL-Mawa
(pemikiran khas Indonesia): akuturasi dan sosialisasi ajaran Islam, Oman
Fathurrahman (Islam empirik yang terindegenisasi): kontekstualisasi,
indigenisasi, vernakularisasi, Afifuddin Muhajir (fikih Nusantara): Islam
membumi di Nusantara, Irham (Islam faktual): menyebarkan Islam, Islam
diimplementasikan dan dikembangkan di Nusantara dan Ishom Yusqi (IN
sebagai istilah/pendekatan): menyempurnakan budaya.
Bila dicermati, istilah-istilah di atas menghasilkan tiga (3) pola,
sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab (Islam subtantif) dengan
menyebut tiga akulturasi budaya, yaitu menolak budaya setempat, merevisi
budaya setempat, dan menyetujui budaya setempat. (nu.or.id). Tiga hal ini
dilakukan IN dengan sangat hati-hati dan secara bertahap sehingga
membutuhkan puluhan tahun atau beberapa generasi. Pengaruh ini tidak
untuk merusak atau menantang budaya Indonesia, tapi untuk memperkaya
dan mengislamkan budaya tersebut.
Kedua, pada tataran ini Islam dan budaya Indonesia dalam posisi
seimbang. Islam merasa sejajar dengan budaya lokal bisa dimaknai tiga
pengertian. Islam memiliki budaya fisik-sosiologis yang memilki
karakteristik ke-Arab-an bisa digabung dengan budaya lokal, sehingga
memunculkan budaya baru. Misalnya, lembaga pendidikan pesantren dan
tulisan pegon (gabungan dari budaya tulisan Arab dengan bahasa
Nusantara). Mahrus mengungkapan “adaptasi” berikut:

6
“Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa
Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab.
Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa
Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak,... Jelas
sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal adaptasi dan
akulturasi aksara/bahasa”
Selanjutnya, Islam dan budaya lokal seimbang dalam wilayah nilai-
nilai universal. Sebagimana dijelasakan Ishom Syauqi, bahwa Islam
Nusantara hendak mewujudkan budaya dan peradaban baru dunia yang
berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan.
Di sini, nilai Islam dan kenusantaraan sejajar, sehingga keduanya
menghasilkan peradaban baru. Islam merasa sejajar dalam wilayah teologis
(sistem kepercayaan) dan peribadatan dengan budaya lokal, tetapi di antara
keduanya tidak ada saling sapa melainkan saling menghormati atau
toleransi. Ini dibuktikan dengan adanya UUD dan Pancasila yang dijadikan
sebagai dasar negara Indonesia. Argumentasi yang cukup komprehensif
diungkapkan oleh Musthofa Bisri dengan ungkapan toleransi:
“Islam Nusantara yang telah memiliki wajah yang mencolok,
sekaligus meneguhkan nilai-nilai harmoni sosial dan toleransi dalam
kehidupan masyarakatnya........ Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta bersendikan
Bhinneka Tunggal Ika, secara nyata merupakan konsep yang
mencerminkan pemahaman Islam ahl as-sunnah wa al-jama’ah yang
berintikan rahmat.
Ketiga, budaya lokal memengaruhi Islam. Budaya Indonesia sebagai
“tuan rumah” aktif dalam menjaga, memberi tempat, dan membina Islam
agar tidak berbenturan. Ini menunjukkan bahwa ketika masuk dalam budaya
lokal, Islam diletakkan dalam posisi tertentu sehingga tidak memengaruhi

7
unsur-unsur budaya Nusantara. Ibarat rumah, Islam hanya diperbolehkan
masuk ke kamar tertentu tetapi dilarang masuk kamar lain.4
Islam yang yang berdialektika dengan budaya lokal tersebut
pada akhirnya membentuk suatu varian Islam yang khas dan unik,
seperti Islam Jawa, Islam Aceh, Islam Padang, Islam Sunda, Islam
Sasak, Islam Bugis dan seterusnya.Varian Islam tersebut bukanlah Islam
yang tercerabut dari akar kemurniannya, tapi Islam yang di dalamnya
yang telah berakulturasi dengan budaya lokal. Jadi untuk strategi
pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan.
Kenapa harus budaya? Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan
dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan
manusia.5
Adanya lingkungan budaya yang berbeda mengakibatkan
munculnya ke-Islaman yang berbeda. Akan tetapi hal ini tidak mengganggu
keuniversalan agama Islam itu sendiri. Hal ini hanya membawa akibat
adanya realitas keragaman penerapan prinsipprinsip umum dan universal
suatu agama, yaitu keanekaragaman berkenaan dengan tata cara
(technicalities), walaupun bisa juga berada dalam tahap keragaman dalam
hal yang abstrak dan tinggi, karena itu kebanyakan orang tidak mudah
dikenali segi benar atau salahnya secara normatif universal.2 Namun, hal
ini tidakditafsirkan sebagai sebuah sikap untuk mengkompromikan suatu
prinsip. Hal ini dimaksudkan bahwa, sebagai ‚tata cara‚,intipersoalan
itusemua hanya bernilai ‚metodologis‚ dan ‚instrumental‚, dan tidak bersifat
intrinsik atau fundamental.
trinsik ataufundamental. Jadi, kedatangan Islam itu selalu
mengakibatkan adanya perombakan dalam masyarakat atau ‚pengalihan
bentuk‚ (transformasi ) sosial kearah yang lebih baik. Kedatangan Islam

4
Khabibi Muhammad Luthfi, “Islam Nusantara: Relasi Islam Dan Budaya Lokal,” SHAHIH: Journal
of Islamicate Multidisciplinary 1, no. 1 (28 Juni 2016): 1, https://doi.org/10.22515/shahih.v1i1.53.
5
Limyah Al-Amri dan Muhammad Haramain, “AKULTURASI ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL,”
KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan 10, no. 2 (24 November 2017): 87–100,
https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.

8
tidak bersifat “destruktif“ atau bersifat memotong suatu masyarakat dari
masa lampaunya semata, melainkan ikut serta dalam melestarikan segala hal
yang baik dan benar dari masa lampau dan bisa dipertahankan
denganuniversalitas Islam.Walaupun dalam kenyataan sosial masih terdapat
banyak hal yang belum sesuai dengan yang dikehendaki oleh ajaran agama,
karena memang perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusionar sehingga
membutuhkan waktu yang panjang.6
C. Sinkretisme kebudayaan lokal yang berkulturasi dengan budaya islam
Akulturasi merupakan proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsurunsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing lambat laun dapat diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan itu sendiri.
Latar belakang sejarah sebagai bukti adanya akulturasi Islam dan
budaya lokal. Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia)
telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme.
Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses
islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang
peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-
kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak
HinduBudha. Misalnya di daerah pesisir utara Jawa, kerajaan-kerajaan yang
berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran saudagar. Mereka
takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja setempat memeluk
agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata politik dan
ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit.
Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses
Islamisasi berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-
kerajaan Islam seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi
pemahaman aqidah Islam, tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam

6
H. Lebba Kadorre Pongsibanne “ islam dan budaya lokal” 2017,Yogjakarta

9
pikiran filsafat lama, seperti Hindu dan Budha. Mereka memang
mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan praktik-
praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata
Sewwa’E , dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan
sinkritisme. Dengan demikian, maka Islam yang berkembang di pedalaman
Jawa berbeda dengan Islam yang berkembang di pesisir adalah Islam yang
mobilitas sosialnya tinggi dan mengikuti perkembangan dunia Islam.
Setelah kerajaan Majapahit runtuh, maka muncul penggantinya di
daerah pedalaman, muncullah kerajaan Mataram Islam tahun 1575 M.
Karena masa peralihan yang lama antara kerajaan Islam pedalaman dan
Islam pesisir, menyebabkan mereka saling berebut pengaruh yang
menyebabkan terjadinya peperangan. Sultan Agung (1613 – 1645 M) dari
kerajaan Mataram berusaha merebut kekuasaan kerajaan pesisir, sehingga
unsur agama memegang peranan kembali, yakni di mata kerajaan-kerajaan
pesisir kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam yang sinkritisme. Di
keraton kesultanan berkumpul segolongan pujangga yang
mencampuradukkan antara Islam dengan Hindu, seperti terbukti pada
Babad Tanah Jawa yang mengandung pencampuran Islam dengan
Hinduisme.
Dalam kisah Babad Tanah Jawa di katakan bahwa, adapun raja-raja
jawa berasal dari Nabi Adam yang mempunyai anak Sis, seterusnya
mempunyai anak Nurcahya. Lalu Nurasa, kemudian Sang Hyang Wening,
seterusnya sang Hyang Tunggal, dan akhirnya dijumpai Batara Guru yang
gilirannya mempunyai Batara Wisnu sebagai salah seorang puteranya yang
kemudian menjadi raja jawa dengan nama Pabru Set. Inilah sebuah contoh
sinkritisme yang tidak disenangi oleh para alim ulama dan sultan-sultan
pesisir. Sebagai bentuk kepeduliannya, maka para ulama di pesisir giat
memasuki daerah pedalaman, melakukan gerakan dakwah di daerah
kerajaan Mataram, menyerukan perlawanan rakyat terhadap Sultan Agung.
Dari kisah Babad Tahan Jawa itu, maka kita dapat melihat bahwa telah
menyebabkan terjadinya pertentangan antara kerajaan Islam di pesisir

10
dengan sikap ortodoksnya , dengan kerajaan Islam pedalaman yang
sinkritisme. Disinilah awal munculnya pertentangan antara Islam
Sinkritisme dan ortodoks dalam arti telah terjadi pergumulan antara
mempertahankan kemurnian akidah dengan pencampuran akidah yang
dilakukan oleh kerajaan Islam di pedalaman(Hindu Budha kedalam Islam)
demi mempertahankan pemburuan hegemoni kekuasaannya.
Oleh karena itu, dalam menyikapi akulturasi budaya analisis dari
perspektif sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Karena
dalam proses Islamisasi di Indonesia tidak berjalan satu arah, tetapi banyak
arah atau melalui berbagai macam pintu. Pintu-pintu itu, misalnya melalui
kesenian, pewayangan, perkawinan, pendidikan, perdagangan, aliran
kebatinan, mistisisme dan tasawuf.
Ini semua menyebabkan terjadinya kontak budaya, yang sulit
dihindari unsur-unsur budaya lokal masuk dalam proses Islamisasi di
Indonesia. Oleh karena itu kita sebagai muslim, harus punya sikap kritis
dalam melihat konteks akulturasi Islam dan budaya lokal dalam menelaah
sejarah Islam di Indonesia.
Kita harus punya pandangan, bahwa Islam itu bukanlah suatu sistem
yang hanya membicarakan ke Tuhanan saja, tetapi yang tak kalah
pentingnya adalah mengandung ajaran peradaban (tamaddun) yang komplit
atau lengkap.7
Dalam beberapa aspek proses akulturasi budaya terjadi secara damai
(penetarion pacifique) satu sisi ada kalanya budaya Islam yang dominan,
tapi sisi lain budaya asli mendominasi percampuran budaya itu. Proses
percampuran berbagai macam budaya itu dapat ditemukan sebagai berikut:
1. Didominasi oleh budaya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ritual Islam,
seperti peralatan yang digunakan saat sholat (sajadah, tasbih dan

7
Limyah Al-Amri dan Muhammad Haramain, “AKULTURASI ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL,”
KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan 10, no. 2 (24 November 2017): 87–100,
https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.

11
sebagainya), kelembagaan zakat, waqaf, dan perurusan pelaksanaan
haji.
2. Percampuran antara kedua budaya seperti bangunan masjid, bentuk
joglo, pakaian, lagu kasidah, tahlil dan sebagainya.8

Di Indonesia, sikap elastis tampak mewarnai pemikiran kaum


muslim yang menganut rasionalisasi. Dari sikap mereka terhadap terjadinya
akulturasi, umat Islam di Indonesia pada umumnya dapat dibagi menjadi
dua golongan:

1. Golongan Modern, yang menghendaki agar pelaksanaan keagamaan


yang bersifat akidah dan ibadah diamalkan sesuai dengan ajaran
aslinya.9
2. Golongan Tradisional yang menghendaki bahwa segala amalan yang
menjunjung semaraknya syiar Allah, baik dalam bidang ibadah (ritual
keagamaan seperti dzikir, tahlil, samrah dan qasidah) ataupun akidah
(tawasul, hormat kepada wali, karomah dan sebagainya) boleh
dilaksanakan asal tidak ada larangan dalam agama.

Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang


saling bertemu dan saling memengaruhi atau proses masuknya pengaruh
kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara
selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu.

Oleh karena itu, baik konflik maupun integrasi tidak pernah dapat
berjalan secara sempurna. Dengan kata lain, dalam pertemuan dua budaya
yang berbeda tidak semua unsur budaya yang masuk tertolak secara
keseluruhan dan juga tidak dapat terintegrasi secara penuh. Di antara dua

8
“Layout_ISLAM NUSANTARA_Cet. 2_2020_Preview REVISI OK.pdf,” diakses 24 Maret 2024,
http://repository.uinsu.ac.id/13888/1/Layout_ISLAM%20NUSANTARA_Cet.%202_2020_Preview
%20REVISI%20OK.pdf.
9
9Muchtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung:
AlMa’arif, 1986), 145. Dan Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyah)
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 43.

12
kutub tersebut dapat terjadi proses tarik menarik sehingga mendorong
terjadinya kompromitas, yaitu adaptasi atau akomodasi dan asimilasi.
Sebuah unsur budaya dalam proses interaksi akan tertolak, bila terjadi
pertentangan yang sangat menyolok dengan nilai-nilai lokal. Namun, unsur-
unsur yang bertentangan tersebut dapat diakomodasi, bila dimodifikasi agar
sesuai dengan budaya yang berlaku. Dapat juga dilakukan reinterpretasi
agar unsur-unsur baru tersebut dapat diterima. Hal tersebut dapat terjadi
dalam sebuah interaksi, karena setiap kebudayaan mempunyai kemampuan
untuk bertahan dan menyeleksi pengaruh budaya luar dengan bentuk
penolakan atau mendiamkan, akomodasi, ataupun instegrasi budaya luar ke
dalam budaya asli.

Dengan demikian, interaksi Islam dengan budaya lokal dapat dilihat


dari pola-pola, yaitu konflik, adaptasi atau akomodasi, asimilasi, dan
integrasi. Proses adatasi dan asimilasi yang terjadi. Di antara konflik dan
integrasi dapat menghasilkan perpaduan antara masing-masing nilai budaya
untuk mencapai suatu budaya khusus yang bercitra lokal. Hal ini
dimungkinkan untuk terwujud, karena dalam setiap pertemuan antara dua
budaya, manusia membentuk, memanfaatkan, dan mengubah hal-hal yang
paling sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan hal tersebut, proses akulturasi
budaya melahirkan local genius, yaitu kemampuan menyerap sekaligus
seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan yang datang,
sehingga dapat dicapai ciptaan baru yang unik dalam wilayah bangsa yang
membawa kebudayaan tersebut.

Secara sosiohistoris Interaksi Islam dengan budaya lokal terjadi


dalam tiga pola penyebaran dan pembentukan formasi Islam yang terjadi di
Asia Tenggara, yaitu pertama, pola Pasai adalah pola dimana Islam tumbuh
bersama-sama dengan perkembangan pusat kekuasaan negara dan Islam
menjadi landasan sosial politik negara, sebagaimana dijelaskan dalam
hikayat raja-raja Pasai.10 Pola kedua dirumuskan berdasarkan kasus
Malaka, Patani, Gowa-Tallo dan Ternate yang disebut sebagai pola Malaka,

13
yaitu penyebaran dan penerimaan Islam melalui kekuatan magis atau yang
lainnya terjadi melalui konversi pusat kekuasaan lokal ke dalam kekuasaan
Islam. Dan pola ketiga adalah pola Jawa, yaitu penyebaran Islam terjadi
melalui penaklukan pusat kekuasaan lokal (Majapahit) oleh Islam (Demak),
termasuk Kerajaan Sriwijaya (Budha) di Sumatera Selatan.10

10
Abubakar, “INTERAKSI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI KHANDURI MAULOD
PADA MASYARAKAT ACEH.”

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam diakui secara jamak sebagai agama sekaligus peradaban
(Islam is both a religion and a civilization), karena Islam bukan hanya
sebuah agama, melainkan creator dan spirit yang hidup bagi sebuah
peradaban besar dunia yang sejarahnya terbentang luas lebih dari 14 abad.
Sementara hanya ada hanya ada 3 ungkapan yang menunjukkan
budaya lokal memengaruhi Islam.
1. Islam adalah agama yang datang ke nusantara dengan tujuan
mengislamkan masyarakatnya. Islam hadir untuk memengaruhinya. Ini
dapat dilihat dari ungkapan yang menjelaskan IN sebagai konsep bahwa
Islam dengan nilai-nilainya itu yang mempengaruhi.
2. Pada tataran ini Islam dan budaya Indonesia dalam posisi seimbang.
3. Budaya lokal memengaruhi Islam. Budaya Indonesia sebagai “tuan
rumah” aktif dalam menjaga, memberi tempat, dan membina Islam agar
tidak berbenturan.

Latar belakang sejarah sebagai bukti adanya akulturasi Islam dan


budaya lokal. Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia)
telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme.
Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses
islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang
peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-
kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak
HinduBudha.

Kita harus punya pandangan, bahwa Islam itu bukanlah suatu sistem
yang hanya membicarakan ke Tuhanan saja, tetapi yang tak kalah
pentingnya adalah mengandung ajaran peradaban (tamaddun) yang komplit
atau lengkap.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Fauzi. “INTERAKSI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL DALAM


TRADISI KHANDURI MAULOD PADA MASYARAKAT
ACEH.” Akademika : Jurnal Pemikiran Islam 21, no. 1 (27
Februari 2017): 19–34.
Al-Amri, Limyah, dan Muhammad Haramain. “AKULTURASI ISLAM DALAM
BUDAYA LOKAL.” KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan
Keagamaan 10, no. 2 (24 November 2017): 87–100.
https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.
———. “AKULTURASI ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL.” KURIOSITAS:
Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan 10, no. 2 (24
November 2017): 87–100. https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.
Dzulhadi, Qosim Nursheha. “Islam sebagai Agama dan Peradaban.” TSAQAFAH
11, no. 1 (30 November 2015): 151.
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i1.258.
“Islam dan Budaya Lokal.pdf.” Diakses 23 Maret 2024.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43069/3
/Islam%20dan%20Budaya%20Lokal.pdf.
“Layout_ISLAM NUSANTARA_Cet. 2_2020_Preview REVISI OK.pdf.”
Diakses 24 Maret 2024.
http://repository.uinsu.ac.id/13888/1/Layout_ISLAM%20NUSAN
TARA_Cet.%202_2020_Preview%20REVISI%20OK.pdf.
Luthfi, Khabibi Muhammad. “Islam Nusantara: Relasi Islam Dan Budaya Lokal.”
SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary 1, no. 1 (28 Juni
2016): 1. https://doi.org/10.22515/shahih.v1i1.53.
H. Lebba Kadorre Pongsibanne “ islam dan budaya lokal” 2017,Yogjakarta

16

Anda mungkin juga menyukai