Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sosiologi hukum membahas pengaruh timbal balik antara perubahan

hukum dan masyarakat. Perubahan hukum dapat mempengaruhi masyarakat

dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum.1 Alam pikiran manusia

dalam dunia sosial ditentukan oleh prinsip hubungan timbal balik dalam

memberi dan menerima, sehingga tampak jelas bahwa manusia menciptakan

dunia sosial pada hakekatnya justru akan memperbudak mereka sendiri dan

manusia memelihara kapasitas untuk mengubah dunia sosial yang

membelenggu mereka sendiri.2

Pada hakikatnya, hal ini merupakan objek yang menyentuh dari

aspek sosiologi hukum, atau aspek sosial masyarakat oleh karena tak ada

keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan dari

sistem sosial dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya.

Akan tetapi persoalannya tidak semudah itu, karena perlu diteliti

dalam keadaan-keadaan apa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem

sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan

sampai sejauh manakah proses pengaruh mempengaruhi tadi bersifat timbal

balik. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan

yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari

1 Soerjono Soekamto, sosiologi suatu pengantar, Jakarta Raja Grapindo Persada 1990 hal. 17
2
Soerjono Soekamto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum ,Jakarta PT Bina Aksari 1988. Hal. 50
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial

lainnya.3

Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan

adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat.4 Hal tersebut perlu

dilakukan agar hukum yang diciptakan dapat sesuai dengan kebutuhan

hukum masyarakat dan menjamin rasa keadilan bagi seluruh masyarakat.

Sebagaimana adagium yang mengatakan ibi ius ibi society yang

mendefinisikan hukum berkembang dan tumbuh dalam masyarakat, dan

dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Jadi hukum terdapat dalam

masyarakat manusia. Dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum.5

Hal tersebut menunjukkan sangat erat hubungan antara hukum dengan

masyarakat. Dalam melaksanakan peranan pentingnya bagi

masyarakat, hukum mempunyai fungsi, seperti penertiban,

pengaturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sedemikian

rupa, sehingga dapat mengiringi masyarakat yang berkembang.6

Suatu pendekatan yang telah dilakukan oleh E. Adamson dan Karl

Llwellyn dalam melihat fungsi hukum dalam menjaga keutuhan masyarakat

dapat berupa :

1. Menetapkan hubungan antara warga masyarakat, dengan menetapkan

perikelakuan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

3 Soerjono Soekanto,2012, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta:Rajawali Pers. Hal.13


4 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum,
Surakarta, Muhammadiyah University Press, Hal 1.
5 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, Hal. 28.

6 Soerdjono Soekanto, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hal. 154.
2. Membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan dengan

seksama pihak-pihak yangs secara sah dapat melakukan paksaan dengan

sekaligus memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif.

3. Disposisi masalah-masalah sengketa.

4. Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi

kehidupan.7

Dari fungsi hukum tersebut diatas dapat dilihat bahwa selain

berfungsi mengatur hubungan antara masyarakat dengan pemerintah dan

antar sesama masyarakat itu sendiri hukum juga memiliki fungsi sebagai

sarana penyelaras hubungan masyarakat yang terus berkembang dengan

perubahan-perubahan kondisi kehidupan.

Perubahan-perubahan pada masyarakat-masyarakat didunia dewasa

ini, merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan

cepat ke bagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi

modern. Penemuan-penemuan baru dibidang teknologi, terjadinya suatu

revolusi, modernisasi pendidikan, dan seterusnya terjadi di suatu tempat,

dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang letaknya jauh dari

tempat tersebut.8

Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar

manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.

HKI juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah

masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya

senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu

7 Soerdjono Soekanto, 2004, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hal.
75.
8
Ibid. Hal. 99.
pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau

bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.

Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh

berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan

berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting dari sekian aspek yang ada

adalah apabila hal ini dihubungkan dengan penggunaan merek suatu produk

yang berkaitan dengan sebuah geografis. Statemen ini cukup beralasan

karena kalau ditinjau dari segi sosiologi, hokum adalah sebuah perangkat

peraturan yang dibuat untuk melindung keharmonisan masyarakat. Sehingga

perlindugan terhadap merek suatu barang yang berkaitan dengan geografis

itu sangat penting, dan seharusnya menjadi prioritas utama bagi siapapun

yang mempunyai kapasitas sebagai stakeholder hukum.

B. Rumusan Masalah :

1. Pengertian Sosiologi Hukum?

2. Karakteristik Sosiologi Hukum dalam Masyarakat?

3. Pandangan Sosiologi Hukum terhadap HaKI?


BAB II
PEMBAHASAN

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI) DIPANDANG DARI PARADIGMA

SOSIOLOGI HUKUM

A. Ruang Lingkup dan Kegunaan Sosiologi Hukum

Ruang lingkup sosiologi hukum ada 2 (dua) hal, yaitu:

a. Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. Sebagai

contoh dapat disebut misalnya: hukum nasional di Indonesia, dasar

sosialnya adalah pancasila, dengan ciri-cirinya: gotong royong,

musyawarah, dan kekeluargaan;

b. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya. Sebagai contoh

dapat disebut misalnya: Undang-undang No. 22 Tahun 1997 dan

Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Narkotika dan Narkoba

terhdap gejala konsumsi obat-obat terlarang dan semacamnya,9

Sementara itu, menurut Esmi Warassih, antara ilmu-ilmu sosial

dan ilmu hukum mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan

memengaruhi. Perbedaan fungsi antara keduanya boleh dikata hanya

bersifat marjinal.10

Sebagai cabang sosiologi yang terpenting, sosiologi hukum masih

dicari perumusannya.Kendati selama puluhan terakhir semakin mendapat

perhatian dan aktual, sosiologi hukum belum memiliki batas-batas tertentu

yang jelas. Ahli-ahlinya belum menemukan kesepakatan mengenai pokok

9Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 4


10Esmi Warassih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama,
2005), hal. 2.
persoalannya, atau masalah yang dipecahkannya, serta hubungannya dengan cabang

ilmu hukum lainnya.

Terdapat pertentangan antara ahli sosiologi dan ahli hukum

mengenai keabsahan sosiologi hukum. Ahli hukum memerhatikan masalah

quid juris, sementara ahli sosiologi bertugas menguraikan quid facti :

mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan.

Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat menghancurkan semua

hukum sebagai norma, asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai suatu

penilaian. Paraahli khawatir, kehadiran sosiologi hukum dapat menghidupkan

kembali penilaian baik-buruk (value judgement ) dalam penyelidikan fakta

sosial.

Ruang lingkup yang paling sederhana dari kajian sosiologi hukum

adalah memperbincangkan gejala sosial yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat dalam hubungannya dengan tindakan melawan hukum, tindakan

menaati hukum, tindakan melakukan upaya hukum di kepolisian, kejaksaan

dan pengadilan, penafsiran masyarakat terhadap hukum, dan hukum

sebagai produk penafsiran masyarakat. Oleh karena itu, sosiologi hukum

menjadi alat pengkaji hukum yang berlaku di masyarakat dengan paradigma

yang sangat luas. Keluasannya disebabkan sosiologi sebagai ilmu yang

menguras kehidupan sosial, bukan oleh hukum yang menjenuhkan dan

selalu mempertahankan kebenaran hitam diatas putih.11

Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi

1. pola-pola perilaku (hukum) warga masyarakat,

11 Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta,
hlm.14
2. hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan danwujud dari

kelompok-kelompok sosial, dan

3. hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan

perubahan-perubahan sosial dan budaya

Sosiologi hukum memiliki kegunaan yang bermacam-macam.

Pertama, sosiologi hukum mampu memberi penjelasan tentang satu dasar

terbaik untuk lebih mengerti Undang-undang ahli hukum ketimbang hukum

alam, yang kini tak lagi diberi tempat, tetapi tempat kosong yang

ditinggalkannya perlu diisi kembali.

Kedua, sosiologi hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada

hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-

faktor sosial lain yang memengaruhinya

Ketiga, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi

pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.

Keempat , sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan untuk

mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik

sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah

masyarakat,maupun sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai

keadaan-keadaan sosial tertentu.

Kelima, sosiologi hukum memberikan kemungkinan dan kemampuan-

kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di

dalam masyarakat.12

Sosiologi hukum memiliki kegunaan antara lain, memberikan

kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial;

12
Ibid hal. 22
penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan kemampuan

untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat

baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah

masyarakat, sarana mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-

keadaan sosial tertentu; sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta

kemampuan untuk mengadakan evaluasi-evaluasi terhadap efektifitas hukum

dalam masyarakat.13

B. Karakteristik Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat

Untuk lebih memahami karakteristik kajian sosiologis di bidang

hukum, Bapak Ilmu Hukum Sosiologis Amerika Serikat, Roscoe Pound

mengemukakan bahwa:14

“Masalah utama yang yurist sosiologis yang adressing sendiri saat ini adalah
untuk mengaktifkan dan untuk memaksa pembuatan undang-undang, dan
juga penafsiran dan penerapan aturan-aturan hukum, untuk membuat lebih
banyak akun, dan akun lebih cerdas, fakta sosial di mana hukum harus
dilanjutkan dan yang harus diterapkan”.

Adapun Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum sebagai berikut :

1. Sosiologi hukum berusaha untuk memberikan Deksripsi

2. Berusaha memberikan deskripsi terhadap praktek-praktek hukum

3. Sosiologi hukum bertujuan memberikan Penjelasan

4. Menjelaskan mengapa suatu praktek-praktek hukum di dalam kehidupan

sosial masyarakat terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang

berpengaruh.

5. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum.

13 Muhammad Abduh. 2002. Sosiologi Hukum. Medan: Modul Kuliah Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, hal. 4
14
Beni Ahmad Saebani, 2007, Sosiologi Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung . hal.18
Menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum sehingga

mampu mengungkapkannya. Tingkah laku yang dimaksud mempunyai dua

segi, yaitu “luar” dan“dalam”. Sosiologi hukum tidak hanya menerima

tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin juga memperoleh

penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku

seseorang (paradigma definisi sosial)15

Karakteristik sosiologi hukum semakin jelas jika memperhatikan apa yang

telah dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa :

“Untuk dapat memahami permasalahan yang dikemukakan dalam kitab ujian


ini dengan saksama, orang hanya dapat melakukan melalui pemanfaatan
teori sosial mengenai hukum. Teori ini bertujuan untuk memberikan
penjelasan mengenai hukum dengan mengarahkan pengkajiannya ke luar
dari sistem hukum. Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat, baik itu
menyangkut soal penyusunan sistemnya, memilih konsep-konsep serta
pengertian-pengertian, menentukan subjek-subjek yang diaturnya, maupun
soal bekerjanya hukum itu, dicoba untuk dijelaskan dalam hubungannya
dengan tertib sosial yang lebih luas. Apabila di sini boleh dipakai istilah
„sebab-sebab sosial‟, maka sebab-sebab yang demikian itu hendak
ditemukan, baik dalam kekuatan-kekuatan budaya, politik, ekonomi atau
sebab-sebab sosial yang lain”

Penting pula mengetahui apa yang dikemukakan oleh Soentandyo

Wignjosoebroto bahwa :

Ilmu hukumpun dapat dibedakan ke dalam dua spesialisasi ini. Di satu


pihak, hukum dapat dipelajari dan diteliti sebagai suatu skin-in system (studi
mengenai law in books), sedangkan di pihak lain hukuman dapat dipelajari
dan diteliti sebagai skin-out system (studi mengenai law in action). Di dalam
studi ini, hukum tidak dikenspesikan sebagai suatu gejala normatif yang
otonom, akan tetapi sebagai suatu institusi sosial yang secara riil berkait-
kaitan dengan variable-variabel sosial yang lain”

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum dari sisinya

yang demikian itu. Berikut ini disampaikan beberapa karakteristik studi

hukum secara sosiologi :

15Rabdhanpurnama.blogspot.com/.../sosiologi-hukum-fakultas-hukum.htm, di akses 15 juni


2015
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap

praktek-praktek hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan ke dalam

pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga

mempelajari bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing

bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk

menjelaskan, mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-

sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan

sebagainya. Tujuan untuk memberikan penjelasan ini memang agak

asing kedengarannya bagi studi hukum “tradisional”, yaitu yang bersifat

perspektif, yang hanya berkisar pada apa hukumnya dan bagaimana

menerapkannya.

Max Weber menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai

suatu interpretative understanding, yaitu dengan cara menjelaskan sebab,

perkembangan serta efek dari tingkah laku orang dalam bidang hukum. Oleh

Weber, tingkah laku ini mempunyai dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”.

Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang

tampak dari luar saja, melainkan juga memperoleh penjelasan yang bersifat

internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku hukum, maka sosiologi

hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum

dan yang menyimpang. Kedua-duanya sama-sama merupakan objek

pengamatan dan penyelidikan ilmu ini.

2. Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris (empirical

validiity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pertanyaan yang

bersifat khas disini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya

peraturan itu? Apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi


peraturan?” Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang

normatif dan pendekatan sosiologi adalah bahwa yang pertama

menerima apa saja yang tertera pada peraturan hukum, sedangkan

yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris).

3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah

laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-

sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang

satu lebih dari yang lain. Perhatiannya yang utama adalah hanyalah

pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya.

Pendekatan yang demikian itu sering menimbulkan salah paham,

seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktik-praktik yang

menyimpang atau melanggar hukum. Sekali lagi dikemukakan di sini, bahwa

sosiologi hukum tidak memberikan penilaian melainkan mendekati hukum

dari segi objektivitas semata dan bertujuan memberikan penjelasan terhadap

fenomena hukum yang nyata.

Sosiologi hukum utamanya menitikberatkan tentang bagaimana

hukum melakukan interaksi di dalam masyarakat. Sosiologi hukum

menekankan perhatiannya terhadap kondisi-kondisi sosial yang berpengaruh

bagi pertumbuhan hukum, bagaimana pengaruh perubahan sosial terhadap

hukum, dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Sosiologi hukum utamanya menitikberatkan tentang bagaimana

hukum melakukan interaksi di dalam masyarakat. Sosiologi hukum

menekankan perhatiannya terhadap kondisi-kondisi sosial yang berpengaruh

bagi pertumbuhan hukum bagaimana pengaruh perubahan sosial terhadap

hukum, dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.


C. Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)

Hak kekayaan intelektual atau IPR (Intellectual Property Rights)

adalah hak yang muncul karena kemampuan intelektual manusia. Obyek

yang termasuk ke dalam kekayaan intelektual yaitu berupa hasil

pemikiran atau sesuatu yang timbul karena kemampuan atau aktivitas

intelektual manusia. Hak kekayaan intelektual adalah hak eksklusif yang

diberikan pemerintah berdasarkan undang-undang untuk menikmati

secara ekonomis hasil dari kreativitas intelektual tersebut dan mencegah

orang lain untuk memanfaatkannya kecuali atas izin pemilik. Hak eksklusif

tersebut meliputi hak untuk16 :

a. Membuat salinan dari hasil karya dan menjual hasil salinan tersebut;

b. Mengimpor atau mengekspor hasil karya;

c. Menciptakan karya turunan dari hasil karya ciptaannya;

d. Menampilkan hasil karya di depan umum;

e. Menjual atau mengalihkan kepemilikan hak eksklusif tersebut kepada

pihak lain.

Secara umum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi ke dalam dua

bagian yaitu Hak Cipta (copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (industrial

property rights). Hak Kekayaan Industri mencakup paten, desain industri,

merek, penanggulangan praktek persaingan curang, desain tata letak sirkuit

terpadu, dan rahasia dagang. Di Indonesia badan yang berwenang dalam

mengurusi HaKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual,

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI17.

16Ita, Gembiro, SH., Hukum Milik Intelektual (Law of Intellectual Property), Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1991.hlm. 95

17
Ibid
Sistem perlindungan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia

sebenarnya telah berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Pada awal

masa kemerdekaan Indonesia menggunakan UU Hak Cipta dan UU tentang

merek peninggalan dari pemerintahan Belanda. Selanjutnya pada tahun

1979 Indonesia meratifikasi konvensi Paris tentang HaKI (Paris Convention

for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the

World Intellectual Property Organization) melalui Keppres No. 24 tahun 1979

yang kemudian diubah menjadi Keppres No. 15 tahun 1997. Dengan

meratifikasi konvensi Paris berarti Indonesia masuk ke dalam keanggotaan

WIPO (World Intellectual Property Organization) , suatu organisasi yang

dibentuk PBB untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hak

kekayaan intelektual. Selain konvensi Paris, Indonesia juga telah meratifikasi

konvensi-konvensi lain di bidang HaKI ini seperti:18

a. Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC,

dengan Keppres NO. 16 Tahun 1997;

b. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;

c. Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works

dengan Keppres No. 18 tahun 1997;

d. WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997.

Pada tahun 1994, Indonesia bergabung ke dalam organisasi perdagangan

dunia atau WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil

Putaran Uruguay yaitu Agreement Astablishing the World Organization

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian

18Saidin, 2006, Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada. Hlm. 423
terpenting darti persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counter\feit Goods

(TRIPs).

D.Pandangan

Dalam perkembangannya, kesepakatan atau peraturan mengenai HaKI

ini ternyata menuai pro dan kontra. Banyak krtik dan tuduhan yang diberikan

kepada HaKI, bahwa peraturan atau kesepakatan-kesepakatan tentang HaKI

banyak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Secara

umum terdapat dua pandangan kritik tentang HaKI di masyarakat, pertama

adalah bahwa konsep HaKI yang ada sudah tidak sesuai dengan kemajuan

zaman. Banyak permasalahan timbul dan penyelesaiannya sulit ditemukan

karena HaKI belum bisa mengakomodasi permasalahan tersebut. Kedua,

konsep HaKI memang dari awal tidak pernah menguntungkan masyarakat

umum tetapi selalu memperkaya pihak-pihak tertentu dengan

mengorbankan kreativitas.

Setidaknya ada beberapa keuntungan dalam penegakan HaKI,

yang dapat berpengaruh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi di Indonesia. Seperti adanya perlindungan karya tradisional

bangsa Indonesia, mencegah pencurian karya lokal yang umumnya masuk

kategori paten sederhana dan penemuan-penemuan baru. Adanya masukan

pendapatan untuk para penemu/pencipta. Meningkatkan intensif untuk terus

berkarya bagi penemu paten, baik yang dari kalangan pemerintah maupun

yang swasta dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut

mengembangkannya lagi. Di samping itu sistem HaKI menunjang

diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas

manusia sehingga memungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil karya


lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan

dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat

memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau

mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih

tinggi lagi, serta juga untuk meningkatkan pemahaman hukum HaKI pada

aparat hukum dan masyarakat.

Terlebih, Prof. Achmad Zen Umar Purba mengemukakan pentingnya

pembudayaan HaKI dalam masyarakat. Masyarakat harus menyadari bahwa

HKI merupakan aset yang secara hukum berada dalam kewenangan penuh

pemiliknya. Temuan yang sudah dijamin dengan HKI -dalam bentuk paten

atau hak cipta- tidak bisa diklaim lagi oleh pihak lain. "Masyarakat

tradisional masih beranggapan, bahwa semakin banyak orang meniru

karyanya akan semakin baik bagi dirinya. Ini hanya bisa dihilangkan dengan

penumbuhan budaya HKI. Karena akan disayangkan apabila sebuah temuan

akhirnya diklaim pihak lain, termasuk orang asing gara-gara tidak dipatenkan".

E. Paradigma Sosiologi Hukum

Sangat menarik paradigma HaKI ini apabila diteruskan ke pemikiran

pakar sosiolog dalam melihat hukum yang ada, dimana mereka

melahirkan konsep perspektif Konsesus dan Konflik dalam masyarakat.

Perspektif Konsensus menganggap hukum sebagai kerangka netral

untuk menjaga integrasi sosial. Salah satu sarjana hukum yang paling dikenal

dan paling berpengaruh, Roscoe Pound, memandang masyarakat terdiri dari

beragam kelompok yang kepentingannya sering kali bertentangan dengan

elemen lain tetapi tetap terjaga dalam haluan. Dia menganggap rekonsiliasi

antara kepentingan yang saling bertentangan dari kelompok-kelompok yang


beragam dalam masyarakat sangat penting untuk mengamankan dan

menjaga ketertiban sosial.

Berbeda dengan perspektif konsensus, perspektif konflik menganggap

hukum sebagai "senjata dalam konflik sosial" dan sebagai suatu instrumen

penindas yang "dipekerjakan oleh kelas penguasa untuk kepentingan mereka

sendiri". Dari perspektif ini, transformasi masyarakat dari kelompok sosial

yang relatif homogen kecil ke jaringan kelompok khusus yang dibawa oleh

evolusi kedua set yang berbeda kepentingan dan perbedaan kekuasaan antar

kelompok. Ketika beragam kelompok ikut ke dalam suatu konflik, mereka

akan berkompetisi untuk melindungi kepentingan mereka melalui formalisasi

niat mereka menjadi undang-undang. Atas dasar ide ini, Richard Quinney

berpendapat bahwa hukum adalah ekspresi kepentingan hasil dari konflik

yang melekat pada kepentingan karakteristik.


KESIMPULAN

Sosiologi hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memahami,

mempelajari, menjelaskan secara analiti empiris tentang persoalan hukum

dihadapkan dengan fenomena-fenomena lain dimasyarakat. Hubungan timbal

balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dalam mempelajari sosiologi hukum.

Menarik dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, bila dilihat HaKI

dalam keadaan modern ini dari pandangan masyarakat maupun pemikiran para

pakar sosiologis, maka HaKI dapat dikatagorikan sebagai suatu instrument

hukum yang timbul atas dasar kepentingan masyarakan elemen tertentu

yang telah melewati proses konflik yang berkepanjangan. Karenanya HaKI

bersifat individual dan monopoli, maka dengan demikian perspektif konflik

adalah tepat dalam penggambaran lahirnya hukum HaKI secara umum.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif


Watampone. Jakarta.
Ali, Zainudin. 2008. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Dimyati,Khudzaifah. 2005, Teorisasi Hukum. Studi Tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum. Surakarta. Muhammadiyah University Press.
Gembiro, Ita. 1991. Hukum Milik Intelektual (Law of Intellectual Property).
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Mertokusumo, Sudikno. 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta,


Liberty.
Muhammad Abduh. 2002. Sosiologi Hukum. Medan: Modul Kuliah Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, hal. 4
Rabdhanpurnama.blogspot.com/.../sosiologi-hukum-fakultas hukum.htm, di
akses 15 juni 2015
Saebani, Beni Ahmad. 2007. Sosiologi Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Saidin. 2006. Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soekamto, Soerdjono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.
Soekamto,Soerjono. 1990. sosiologi suatu pengantar. Jakarta Raja Grapindo
Persada
Soekamto.,Soerjono. 1988. Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum. Jakarta: PT
Bina Aksari
Soerjono Soekanto. 2012. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:Rajawali Pers.
Warassih, Esmi. 2005 Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang:
Suryandaru Utama

Anda mungkin juga menyukai