Anda di halaman 1dari 5

A.

Lembaga Yudikatif
Lembaga yudikatif merupakan suatu badan yang memiliki sifat teknis-
yuridis yang berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanaan konstitusi dan
peraturan perundang-undangan oleh institusi pemerintahan secara luas serta
bersifat independen (bebas dari intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya. Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem
kekuaaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan ketiga ini
sering kali disebut cabang kekuasaan “yuikatif”, dari istilah belanda judicatief.
Dalam bahasa Inggris, disamping istilah legeslative, executive, tidak dikenal
istilah judikative sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah
judicial, judiciary, ataupun judicature.
Kekuasaan kehakiman ini berwenang menafsirkan isi undang-undang
maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi
Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut:
Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law, (perkawinan,
perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar
penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi
negara); International law (perjanjian internasional).
1) Criminal Law
2) Constitution Law.
3) Administrative Law.
4) International Law.1
B. Perkembangan Lembaga Yudikatif Dalam Islam
Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang
mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam
konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai Sulthah
Qadhaiyyah. Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan
perselisihan yang dilaporkan kepadanya dari orangorang yang berseteru
dan menerapkan perundangundangan kepadanya dalam rangka menegakkan
keadilan di muka bumi dan menetapkan kebenaran diantara orang-orang yang
meminta peradilan. Pentingnya kekuasaan kehakiman adalah untuk

1
Jimly Ashisidiqie, Pengantar ilmu hukum tata negara, (Depok : Rajawali Pers, 2020), hal. 301
menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan pemusuhan, pidana dan
penganiyaan, melindungi masyarakat dan mengawasi harta wakaf dan lainlain
pesoalan yang disampaikan kepada pengadilan.2
Pada masa awal kekuasaan Islam, kekuasaan peradilan masih dipegang
oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri yang melaksanakan fungsi sebagai hakim
atas berbagai persoalan dan sebagai pemimpin umat. Setelah Islam mulai
berkembang dan kekuasaan Islam makin melebar, Rasulullah mulai mengangkat
sahabat-sahabatnya untuk menjalankan kekuasaan di bidang peradilan di
berbagai tempat.Rasulullah saw sendiri melaksanakan peranannya sebagai
hakim setelah menerima firman Allah Swt yang memerintahkan kepada beliau
untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul, yaitu surat An Nisa’ ayat 65;

‫ك ِف ْي َما َش َج َر َب ْيَنهُ ْم ثَُّم اَل َي ِج ُد ْوا ِف ْٓي‬ َ ‫ك اَل يُْؤ ِمُن ْو َن َحتّٰى ُي َح ِّك ُم ْو‬
َ ‫فَاَل َو َرِّب‬
‫ت َوُي َسلِّ ُم ْوا تَ ْسِل ْي ًما‬ ِ
َ َ‫اَْنفُس ِه ْم َح َر ًجا ِّم َّما ق‬
َ ‫ض ْي‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan
engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
(sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Menurut Athiyah Musthafa Musyrifah, sebagaimanayang dikutip oleh
Asadulloh Al Faruq, ciri khas peradilan pada masa Rasulullah saw setidaknya
ada lima yaitu;
1) Tidak ada pemisahan kekuasaan di bidang peradilan dengan
kekuasaan di bidang lain, ini disimpulkan dari perkataan Ali, “kalau
kamu telah menerima (keputusan itu) maka laksanakanlah, tetapi
kalau kamu tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu
dari sebagian yang lain (berbuat sesuatu), dan seterusnya”;
2) Kekuasaan di bidang peradilan menyatu dengan kekuasaan di bidang
fatwa;
3) Hakim memiliki kemerdekaan dalam menetapkan hukum atas
perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya;

2
Abul A’la Al-Maududi, Hukum Dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerjemah Asep
Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 247
4) Rasulullah saw mendelegasikan kekuasaan di bidang peradilan
kepada sahabat yang memiliki kemampuan secara cepat, tepat dan
memiliki kejujuran untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapkan
kepadanya;
5) Belum terdapat lembaga pemasyarakatan (penjara) sebagaimana yang
dikenal di masa sekarang;
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi
perkembangan baru di bidang peradilan. Khalifah Umar memisahkan antara
kekuasaan peradilan (yudikatif) dengan kekuasaan pemerintahan (eksekutif),
beliau juga membatasi wewenang mereka dalam perkara-perkara perdata saja,
perkara-perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh penguasa
daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah dan
hakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan
bimbinganbimbingan.3
C. Lembaga Yudikatif Menurut Ali Muhammad Al-Sallabi
Wilayah kekuasaan yang ketiga menurut Al-Ṣallābī adalah kekuasaan
yudikatif, atau disebut juga dengan kekuasan yudisial atau kehakiman, dan di
dalam bahasa Arab dinamakan dengan salṭah qaḍā’iyyah (qaḍā’ī). Bagi Al-
Ṣallābī, salṭah al-qaḍā’iyyah adalah kekuasan yang diberi amanat untuk
menginterpretasikan undang-undang dan menerapkannya di dalam berbagai
peristiwa tertentu, dan para anggotanya adalah para qāḍī di dalam berbagai
tingkatannya. Dalam makna yang lain, salṭah qaḍā’iyyah adalah pihak yang
memiliki kekuasaan untuk menerbitkan menerapkan hukum-hukum syariat dan
menerapkannya pada permasalahan tertentu dengan berlandaskan pada Alquran,
hadis, ijmak, dan qiyas yang benar.4
Menegakkan peradilan adalah bagian dari fardhu kifayah, karena qāḍī
atau hakim ditunjuk hanya pada orang-orang tertentu, sama halnya dengan kasus
kewajiban kifā’ī pada jihad dan penegakan imāmah. 5Karena itu, di dalam
3
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hal 16

4
Alī Muḥammad Al-Ṣallābī, Daulah Al-Ḥadīṡah Muslimah: Da’ā’imuhā wa Waẓā’ifuhā, (Terj:
Ali Nurdin), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), hlm. 252-253.

5
Alī Muḥammad Al-Ṣallābī, ‘Adālah min Al-Manẓūr Al-Islāmī, (Beirut: Dār AlMa’rifah, t.t),
hlm. 159.
konteks kenegaraan, Ali Al-Ṣallābī menempatkan posisi kekuasaan ini pada
posisi yang strategis, bahkan bukti historisnya telah terbukukan di dalam banyak
catatan sejarah tentang peradilan.
Kekuasan yudisial pada semua tingkatan periode Islam sudah ada dan
dikenal keberfungsiannya. Pada masa Rasulullah Saw, beliau sendiri yang
menjadi qāḍī, sekaligus sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan juga
legislatif. Begitu pula berlaku terhadap gubernur yang dikirim Rasulullah ke
berbagai wilayah, pada diri mereka merangkap kekuasaan. Setelah Rasul Saw
meninggal dunia, tanggung jawab di bidang peradilan atau kehakiman dipangku
oleh para sahabat.6 Pada masa kekhalifahan Abū Bakr sampai di masa awal
pemerintahan ‘Umar, penyatuan kekuasaan tersebut masih ada, yaitu Abū Bakr
sebagai khalīfah (eksekutif), beliau juga sebagai legislatif, dan sekaligus
yudikatif atau qāḍī, 7begitu pula pada masa awal ‘Umar. Pola semacam ini
berubah pada saat munculnya berbagai permasalahan yang ada pada
pemerintahan Umar, sehingga sangat sulit untuk diselesaikan hanya satu pihak
saja. AlṢallābī mengemukakan pada masa ‘Umar lah pemisahan kekuasaan telah
dilakukan, khususnya kekuasaan peradilan dipisahkan dari kekuasaan eksekutif.
‘Umar bin Khaṭṭāb mengirimkan masing-masing dua orang ke berbagai kota,
satu sebagai gubernur dan satu lagi sebagai qāḍī.
Di antara sahabat Rasul yang diangkat oleh ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb di saat
kepemimpinannya ialah Abdullāh bin Mas’ūd menjadi hakim Kufah, sementara
gubernurnya ialah ‘Amar bin Yāsir sebagai gubernur (eksekutif), penunjukan
Sulaimān bin Rabi’ah sebagai hakim di Basrah, dan menjadi hakim di Qadisiah.
Qaiṣ Ibn Abī ‘As sebagai hakim di Mesir. Pemisahan kekuasaan sudah tampak
jelas pada masa ‘Umar, namun pada saat itu ‘Umar tidak terhalangi untuk turun
tangan dalam menyelesaikan beberapa masalah hukum meskipun diketahui ia
menduduki jabatan khalīfah (eksekutif). 8

6
Alī Muḥammad Al-Ṣallābī, Daulah Al-Ḥadīṡah Muslimah: Da’ā’imuhā wa Waẓā’ifuhā, (Terj:
Ali Nurdin), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), hlm. 256.

7
Alī Muḥammad Al-Ṣallābī, Abū Bakar Al-Ṣiddīq, (Terj: Masturi Irham dan Muhammad Aniq),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 280-285.
8
Alī Muḥammad Al-Ṣallābī, ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb, (Terj: Khoirul Amru H., dan Akhmad
Faozan), Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 414.

Anda mungkin juga menyukai