Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SEJARAH PERADILAN ISLAM

Wilayah Kekuasaan Al-qadhi & Perkembangan Al-qadhi dalam islam

Disusun oleh:
Azlisa fajar wati

Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia


Jalan Taman Amir Hamzah No.5, Pegangsaan, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, 10320, Telp./fax. (021)3906501
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena dengan ridhonya semata kami dapat menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah sejarah peradilan islam. Sebagai wujud dari pengabdian
kami kepada Allah SWT sekaligus bentuk realisasi dari tanggung jawab dan kewajiban kami selama
mengikuti matakuliah ini. Makalah ini berisi materi tentang “wilayah kekuasaan dan perkembangan
islam”
Pembahasan yang memaparkan tentang wilayah kekuasaan dan perkembangan al-qadhi itu
sendiri. Sehingga makalah dapat digunakan untuk penyajian diskusi dan untuk keperluan lainnya.
Makalah ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa/i sebagai materi dalam belajar atau
sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan yang telah ada, serta sebagai bahan untuk penentuan
nilai tugas oleh dosen pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Allah
SWT, kepada kedua orang tua, teman-teman, dan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya dalam penyusunan makalah ini.

Jakarta, 8 Maret 2019

Penyusun
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wilayah kekuasaan al-qadhi

a) ABSOLUT

Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan yaitu wewenang badan pengadilan
dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain. Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak ini
memberi jawaban atas pertanyaan : apakah peradilan tertentu itu pada umumnya berwenang
memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan kepadanya dan bukan wewenang pengadilan
yang lain. Kompetensi absolut /wewenang mutlak disebut juga artibusi kekuasaan kehakiman.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya,
misalnya : Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama
Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum Batas-batas
kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan
“kompetensi absolut”. Artinya apa yang telah ditegaskan menjadi porsi setiap lingkungan
peradilan, secara “mutlak” menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya.
Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya.16 Kompetensi
absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana
dibangun atas azaz Personalitas Keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa
Peradilan Agama merupakah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.

b) RELATIF

Kewenangan relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah antara


pengadilan yang serupa. Misalnya masalah utang-piutang diajukan oleh penggugat pada PN
Jakarta Selatan, karena salah satu tempat kediaman tergugat ada di Jakarta Selatan, walaupun
penggugat dapat juga mengajukan gugatan pada PN Tangerang karena tergugat lainnya
berdomisili di Tangerang. Adapun asas yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal
tergugat atau disebut actor sequitur forum rei. Tujuannya adalah agar gugatan diajukan dan
dimasukkan kepada PN yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal
tergugat.

Asas ini dideduksikan dari Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg, yaitu:

 Gugatan diajukan pada PN tepat kediaman tergugat, apabila tidak diketahui tempat kediaman
tergugat, maka diajukan pada tempat tinggal tergugat sebelumnya.
 Jika tergugat lebih dari seorang sedang mereka tidak tinggal di dalam wilayah satu PN, gugatan
diajukan pada PN yang berada di wilayah salah satu diantara para tergugat, menurut pilihan
penggugat.

Berdasarkan penjelasan sebagaimana tersebut di atas, maka jelas seseorang atau badan hukum
yang akan mengajukan gugatan perdata haruslah mencermati dan mengetahui kemana dirinya
harus mengajukan gugatan tersebut agar gugatan dapat diperiksa oleh pengadilan yang
berwenang
B. Perkembangan al-Qadhi dalam Islam

1. Pada masa Rasulullah

Penetapan hukum pada periode Rasulullah saw. berlangsung 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Periode ini telah mewariskan nas-nas hukum dalam al-Qur’an dan sunah Rasul, mewariskan
sejumlah asas-asas penetapan hukum yang menyeluruh serta memberi petunjuk kepada sejumlah
sumber dan dalil-dalil untuk menentukan hukum. Periode ini telah meninggalkan asas-asas
penetapan hukum yang sempurna.Periode Rasulullah saw. terdiri atas dua fase yang masing-
masing mempunyai corak dan karakteristik tersendiri. Fase Makkiyah ialah sejak Rasulullah saw.
masih menetap di Mekah selama 12 tahun beberapa bulan, sejak Nabi Muhammad dilantik
menjadi rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini umat Islam masih terisolir, sedikit
kuantitas dan kapasitasnya masih lemah, belum bisa membentuk komunitas umat yang
mempunyai lembaga pemerintahan yang kuat. Perhatian Rasulullah saw. pada fase ini dicurahkan
kepada aktifitas penyebaran dakwah untuk proyek penanaman tauhid kepada Allah swt. dan
meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala. Rasulullah saw. tetap berusaha
mewaspadai orang-orang yang selalu berusaha menghalangi jalan dakwahnya dan memperdaya
orang-orang beriman dengan berbagai macam tipu daya.Dengan situasi dan kondisi seperti itu,
maka fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang-undangan, tata pemerintahan dan
lain-lain. Pada surah-surah Makkiyah seperti surah Yunus, al-Ra’d, al-Furqan, Yasin dan lain-
lain, tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum-hukum aktual (amaliah), akan tetapi
justru banyak membahas seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah.Fase Madaniyah
ialah sejak Rasulullah saw. hijrah dari Mekah ke Madinah hingga wafat tahun 11 H/632 M. Pada
fase Madaniyah ini Islam sudah kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai
tata pemerintahan sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai. Keadaan
seperti inilah yang mendorong perlu adanya tasyri’ dan pembentukan perundang-undangan yang
mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, mengatur
perhubungan atau kontak komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non muslim, baik di
masa damai atau di masa perang. Di Madinah disyariatkanlah berupa hukum-hukum pernikahan,
perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian pada
surah-surah Madaniyah di dalam al-Qur’an banyak memuat ayat-ayat pembahasan
hukum.Keberadaan Rasulullah saw. sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat
dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan
legislatif (sult}ah tasyri’iyah), kekuasaan eksekutif (sultah tanfiziyah) dan kekuasaan yudikatif
(sultah qadaiyah) sekaligus.Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah
swt., Rasulullah saw. merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan, bahkan
segala perbuatan dan ucapa Rasulullah saw. juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus
ditaati sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah saw. dapat dilihat dari pelaksanaan
Rasulullah dalam menegakkan hukum-hukum Allah swt. dari berbagai aspek kehidupan sosial,
ekonomi maupun politik.Adapun kekuasaan yudikatif Rasulullah saw. diperlukan untuk
menegakkan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat yang terkadang mengalami
perselisihan atau persengketaan. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara
penguatan sistem sebuah masyarakat dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara
keseluruhan.Penyatuan tiga kekuasaan sekaligus di tangan seorang Rasulullah saw. ini tidaklah
menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan kekuasaan karena jaminan kema’suman
Rasulullah saw. (terjaga dari dosa) sekaligus sebagai teladan bagi umat.Sementara itu, piagam
Madinah (al-Misaq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah
sampainya Rasulullah saw. di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial
politik masyarakat di Madinah dimana salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur
anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan muslim untuk saling bertanggung jawab
secara bersama-sama terhadap keamanan umum di Madinah.Teks piagam Madinah disebutkan
bahwa masing-masing orang mukmin bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi di
sekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendiri. Adapun jika terjadi perselisihan dan
persengketaan maka otoritas legislasi dan yuridiksi berada di tangan Allah swt. dan Rasul-Nya.

Proses peradilan pada masa rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana. Jika ada suatu
permasalahan maka segera datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta putusan tanpa harus
menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari
putusan-putusan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. lebih bersifat fatwa dengan model tanya
jawab dibandingkan dengan proses pengadilan yang dipahami saat ini Meskipun pelaksanaan
peradilan pada zaman Rasulullah saw. terkesan tidak formal tetapi rukun-rukun al-Qada telah
terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih (tergugat), al-mahkum ‘alaih dan al-mahkum lah
(penggugat).Kebanyakan kasus-kasus yang diselesaikan Rasulullah saw. bersifat ad hoc dan
diselesaikan secara informal di dalam suatu acara yang bersifat ad hoc juga. Meskipun
pelaksanaan peradilan pada masa Rasulullah saw. terkesan tidak formal tetapi putusan-putusan
Rasulullah saw. mengandung nilai kebenaran sehingga putusan itu sangat dihormati oleh semua
pihak yang berperkara. Kesederhanaan peradilan pada masa Rasulullah saw. terlihat karena
belum adanya gedung peradilan tersendiri, belum adanya administrasi yang memadai dan belum
banyak kasus yang muncul untuk diselesaikan.

 Syarat-syarat Hakim Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW

Pendelegasian tugas yudikatif dilaksanakan dalam tiga bentuk, pertama; Rasulullah saw.
mengutus sahabatnya menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi wewenang
bertindak sebagai hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat. Kedua;
Rasulullah saw. menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai hakim guna menyelesaikan
masalah tertentu, penugasan ini biasanya dilaksanakan atas perkara tertentu saja. Ketiga;
Rasulullah saw. terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi sahabat yang lain
untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu dalam suatu daerah Sebelum penugasan diberikan,
Rasulullah saw. terlebih dahulu menguji atau lazim dikenal fit and proper test (uji kepatutan dan
kelayakan) kepada sahabat yang ditugaskan. Ini digambarkan ketika Rasulullah saw.
menanyakan kepada Mu’az bin Jabal perihal sikapnya dalam menyelesaikan perkara. Rasulullah
saw. pun sangat selektif dalam memilih sahabat untuk diangkat menjadi hakim hanya yang
berkualitas dan berkredibilitaslah yang terpilih.

2. Pada masa khulafaur Rasyidin

Peradilan Islam Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin Setelah Rasulullah saw wafat, sahabat
sebagai generasi Islam pertama meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya
Nabi SAW merupakan peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebelum jenazah Nabi SAW
dikubur, sahabat telah berusaha memilih penggantinya sebagai pemimpin agama dan pemimpin
negara. Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi
SAW. Abu Bakar diganti oleh Umar bin Khattab yang kemudian diganti oleh Usman bin Affan
dan selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib. Empat pemimpin umat di atas dikenal sebagai
Khulafa al-Rasyidin.

 Peradilan Pada Masa Abu Bakar ash-Shiddiq

Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq, keadaan umat Islam tidak jauh berbeda
semasa Rasulullah saw sehingga tidak tampak adanya perkembangan-perkembangan di dalam
hukum Islam, khususnya di dalam masalah peradilan. Keadaan peradilan di masa pemerintahan
Abu Bakar as-Shiddiq relatif sama dengan peradilan yang terdapat pada masa Nabi dan tidak ada
suatu perubahan dalam lapangan peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukannya memerangi
sebahagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal Rasulullah saw dan kaum pembangkang
yang tidak menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, di samping
belum meluasnya kekuasaan Islam pada masa itu. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada
masa khalifah Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab selama + 2
tahun lamanya. Namun selama itu hanya terdapat dua orang yang berselisih dan mengadukan
permasalahannya kepada Umar karena beliau dikenal dengan ketegasan yang dimilikinya. Para
ahli sejarah tasyri’ menerangkan bahwa Abu Bakar apabila menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskan, beliau memperhatikan isi alQur’an. Jika beliau menemukan hukum Allah di dalam
al-Qur’an, beliau pun memutuskan perkara dengan hukum Allah itu. Tetapi jika tak ada hukum
Allah terhadap masalah yang dihadapi, maka beliau memperhatikan sunnah Rasul atau
keputusan-keputusan yang pernah diambil Rasul. Jika beliau tidak menemukan sunnah Rasul,
maka beliau bertanya kepada para ahli ilmu. Beliau mengatakan bahwa: “Saya menghadapi suatu
perkara, maka apakah tuan-tuan ada mengetahui hukum Rasul terhadap perkara itu?”. Kerap kali
berkumpul dihadapan beliau beberapa orang sahabat. Maka masing-masing mereka menerangkan
apa yang mereka ketahui. Apabila Abu Bakar memperoleh keterangan dari orang-orang yang
beliau hadapi, beliau pun memuji Allah. Jika tak ada yang mengetahui hukum Nabi, maka beliau
mengumpulkan para pemimpin untuk berembuk putusan apa yang akan diberikan. Jika mereka
semua sependapat untuk menetapkan sesuatu hukum, maka beliau pun berpegang pada putusan
itu. Inilah dasar ijma’.

 Peradilan Pada Masa Umar bin Khattab

khalifah Abu Bakar meninggal dunia, maka tampuk pemerintahan beralih ke tangan
Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahan beliau, wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah
luas dan umat Islam semakin bertambah banyak. Maka bertambah banyak pula beban yang
dihadapinya. Oleh karena kemajuan yang sangat pesat itu, maka bengkitlah qadhi atau hakim
untuk menangani perkara yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemisahan
kekuasaan eksekutif dan yudikatif dirasakan amat mendesak di masa pemerintahan Umar bin
Khattab. Dalam hal ini, Prof. TM. Hasbi ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa: Di masa
pemerintahan Umar ibn al-Khattab, daerah Islam telah luas, tugas-tugas yang dihadapi oleh
pemerintah dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, telah berbagai corak ragamnya dan
pergaulan orang-orang Arab dengan orang-orang lain pun sudah sangat erat, dan terjadilah
pertemuan kebudayaan. Karena itu, khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan sendiri perkara-
perkara yang diajukan kepadanya.9 Maka Umar mengangkat beberapa orang hakim untuk
menyelesaikan perkara, dan mereka pun digelari hakim (qadhi). Khalifah Umar mengangkat Abu
Darda untuk menjadi hakim di Madinah, syuraih di Bashrah, Abu Musa al-Asy’ary di Kufah,
Utsman ibn Qais ibn Abil ‘Ash di Mesir, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri.10
Di masa pemerintahan Umar, urusan peradilan merupakan bagian dari kekuasaan Umar. Maka
diantara wewenang penguasa adalah menentukan qadhi terhadap sebagian urusan peradilan yang
harus ditanganinya, membatasi wewenang tersebut. Karena itu Umar sebagai penguasa, beliau
mengangkat pejabat-pejabat qadhi dengan membatasi wewenang mereka, khusus tentang
penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara-perkara jinayah (pidana) yang
menyangkut hukum qishash/had-had, maka ditangani khalifah dan penguasapenguasa
daerah.Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab telah diadakan pemisahan tugas antara kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan
peradilan. Namun peradilan pada masa itu masih dibatasi wewenangnya pada masalah perdata
saja. Adapun pengangkatan qadhi pada masa Umar, yaitu qadhi daerah mulanya ditunjuk oleh
khalifah sendiri. Khalifah yang mengutus dari pusat pemerintahan ke suatu daerah. Tetapi
apabila khalifah tidak menetapkan dan mengutus seseorang yang telah ditetapkan untuk suatu
daerah, maka khalifah mengintruksikan kepada gubernurnya mengangkat qadhi menurut
pilihannya sendiri. Sudah barang tentu pengangkatan yang dilakukan oleh para gubernur itu atas
nama khalifah. Oleh karena itu, khalifah dapat menyetujui pengangkatan itu atau
membatalkannya serta memecatnya karena khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi
(kepala negara) dalam negara atas nama umat.Para hakim pada masa Umar dalam peradilan,
mereka memutuskan perkara dengan merujuk kepada al-Qur’an. Jika mereka tidak mendapati
hukum dalam al-Qur’an, mereka mencarinya dalam sunnah. Tapi, jika mereka tidak
mendapatkan sesuatu didalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara
mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam sunnah mengenai perkara yang dihadapi.
Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang dikatakan orang yang mengetahuinya
tersebut setelah dilakukan upaya penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara
kolektif jika topik permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasar bagi jamaah dan
berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan individu.13 Pada masa
ini, pembinaan penyelenggaraan peradilan mendapat perhatian besar. Salah satu bentuk pembinaan
tersebut adalah adanya sebuah surat yang memuat beberapa petunjuk Umar kepada salah seorang
qadhinya yaitu Abu Musa alAsy’ary dalam menyelenggarakan tugas peradilan. Petunjuk tersebut dikenal
dengan Risalatul qadha Umar bin Khattab yang hingga sekarang ini masih dipandang sebagai prinsip-
prinsip penyelenggaraan kekuasaan peradilan. Hal yang menarik dari pembahasan mengenai peradilan
pada masa Umar ini adalah masalah Umar bin Khattab dengan ijtihadnya yang telah menjadi sorotan
utama dalam dunia hukum Islam. Ketertarikan terhadap bentuk ijtihadnya adalah dengan munculnya
bentuk-bentuk ijtihad dan produk hukumnya yang terbilang baru dan kontradiktif, seakan tidak sesuai
dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Ijtihad Umar bin Khattab dapat dilihat pada beberapa kasus
seperti pengguguran hukum had bagi pencuri, thalak tiga dengan satu lafadz, hukum ta’zir, tindak pidana
perzinahan, dan sebagainya.

 Peradilan Pada Masa Usman bin Affan

Pada waktu Umar meninggal dunia, maka terpilihlah Utsman bin Affan untuk menjadi
khalifah yang ketiga dari khufa al-Rasyidin. Pada masa pemerintahannya, di dalam menghadapi
suatu perkara, maka beliau mengikuti jejak yang ditempuh oleh khalifah sebelumnya. Pada masa
Utsman inilah, maka peradilan dilaksanakan dalam suatu gedung tertentu. Khalifah Utsman
mengikuti langkah yang ditempuh oleh khalifah Umar dalam hal-hal pemilihan qadhi, dan begitu
pula beliau selalu menyandarkan keputusannya pada al-Qur’an dan sunnah. Bila tidak ditemukan
dalam al-Qur’an dan sunnah, maka beliau mengadakan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya
dalam menetapkan suatu hukum. Khalifah Utsman begitu menganjurkan kepada petugas-
petugas/qadhiqadhinya yang berada di daerah apabila dalam menjalankan tugasnya agar mereka
selalu berlaku adil demi terciptanya kebenaran. Begitu pentingnya masalah keadilan sehingga
beliau mengirimkan surat kepada petugas yang isinya sebagai berikut:

“Maka sesungguhnya Allah menciptakan makhluk yang benar. Maka Allah tidak akan
menerima juga kecuali dengan benar. Ambillah kebenaran dan perhatikanlah amanah,
tegakkanlah amanah itu dan janganlah kalian merupakan orang yang pertama kali
meniadakannya, maka kalian akan merupakan kongsi orangorang yang sesudah kamu, penuhilah!
Penuhilah! Jangan kalian berbuat aniaya kepada anak yatim dan begitu juga yang berbuat aniaya
kepada orang yang engkau mengikat janji dengannya.” Dapat dipahami dari penjelasan diatas
bahwa surat khalifah Utsman tersebut adalah memerintahkan kepada petugas-petugas dan para
qadhanya agar menjalankan keadilan dalam melaksanakan tugasnya terhadap masyarakat dan
melarang untuk berbuat curang dalam menjalankan tugas mereka.

 Peradilan Pada Masa Ali bin Abi Thalib

Demikian pula pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau mengikuti
langkah yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya dan beliau selalu memberikan
pesan terhadap qadhi-qadhi yang bertugas agar menjalankan tugasnya berdasarkan dengan
keadilan dan kasih sayang terhadap masyarakat. Ali menetapkan hukum di antara manusia
selama di Madinah. Ketika keluar di Basrah, dia mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai
gantinya di Madinah, dan mengangkat Abul Aswad ad-Du’ali dalam masalah pemerintahan di
Basrah dan sekaligus dalam peradilan. Selain itu, ad-Du’ali juga diperintahkan menyusun kitab
tentang dasar-dasar ilmu nahwu.19 Ali juga sangat memperhatikan para gubernur dan para hakim
dengan bimbingan dan pengarahan. Sehingga, sangat wajar jika kitab-kitab peradilan, fikih, dan
sejarah sering membicarakan ijtihad imam yang sekaligus hakim ini dan hukum-hukumnya yang
menunjukkan kecerdasan dan kejeniusannya, kecermatan dan kebenaran pemikirannya,
pengukuhan kebenaran dan penegakan keadilan.20 Beberapa Contoh Penyelesaian Hukum Pada
Masa Khulafa Al-Rasyidin Adapun beberapa contoh tentang penyelesaian hukum pada masa
Khulafa al-Rasyidin, sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Shubhi Mahmashani dalam bukunya
Turats Al-Khulafa Al-Rasyidin adalah sebagai berikut :

 Masalah Nasab

Seorang anak mengaku di depan Umar bahwa seorang wanita adalah ibunya. Maka,
wanita tersebut datang dengan beberapa orang yang bersaksi bahwa dia belum pernah menikah
dan anak tersebut berbohong. Umar pun memerintahkan untuk menghukumnya dengan had
qadzaf (tuduhan zina). Lalu, hal tersebut terdengar oleh Ali, maka dia mengintervensi perkara ini
dan menawarkan kepada anak tersebut agar menikahi wanita yang diakui sebagai ibunya. Wanita
itu pun berteriak, “ Allah, Allah, itu neraka. Demi Allah, dia adalah anakku.” Kemudian dia
mengakui bahwa keluarganya telah menikahkannya dengan seseorang tanpa kerelaannya, lalu dia
mengandung anak ini darinya, dan suaminya pergi berperang lalu terbunuh. Kemudian, dia
mengirimkan anaknya kepada kaum yang bersedia merawatnya, dan tidak mengakuinya sebagai
anak. Maka, Ali menetapkan nasab anak tersebut dengan wanita yang ditunjukinya.

 Kasus Pembunuhan

Seorang pemuda mengaku di depan Imam Ali bahwa bapaknya pergi bersama beberapa
orang dalam bepergian. Ketika mereka pulang, mereka mendalihkan bahwa bapaknya telah
meninggal dan tidak meninggalkan harta apa pun. Maka, Amirul Mukminin memerintahkan dua
polisi untuk masing-masing tertuduh supaya mencegah terjadi bentrokan di anatara mereka.
Kemudian Ali menanyakan kepada masing-masing tertuduh dengan cermat tentang kapan
kepergiannya mereka, tempat singgah mereka, sebab meninggalnya teman mereka, dan
bagaimana didapatkan hartanya. Juga tentang bagaimana dia dimakamkan, di mana tempatnya,
dan pertanyaan-pertanyaan yang mendetail seperti itu. Namun ternyata jawaban masing-masing
berbeda dengan yang lain. Maka dia memerintahkan untuk menahan mereka, dan masing-masing
mengira bahwa kawannya telah mengaku. Ketika itulah mereka mengakui masalah yang
sebenarnya. Akhirnya, Imam Ali menetapkan denda kepada mereka dan hukuman mati dengan
qishash. Peristiwa ini menetapkan tentang bolehnya memisahkan para terdakwa untuk
mencermati permasalahan yang sebenarnya dan bahwa pengakuan yang muncul akibat tersebut
dinilai benar dan tidak ada paksaan.

 Masalah Makar Perempuan

Seorang perempuan sangat tertarik kepada seorang pemuda, maka dia menuangkan zat
putih pada bajunya dan di antara dua pahanya, lalu perempuan itu mengadu kepada Umar bin
Khattab dengan mengatakan bahwa pemuda tersebut memperkosanya seraya mengisyaratkan
bekas-bekas yang dibuatnya. Pemuda itupun menolak dakwaan tersebut, dan Umar mengalihkan
masalah ini kepada Imam Ali. Maka Ali memerintahkan untuk diambilkan air panas lalu
dituangkan pada baju, dan mengeraslah zat putih tersebut. Sehingga, tampak jelas letak
kebenaran sebab kecerdasan Ali dan kecermatan pandangannya. Demikian bentuk penyelesaian
secara kimiawi. Akhirnya, Imam Ali bertanya kepada wanita itu dan mengakui rekayasanya
sehingga tuduhannya tersebut ditolak.

C. Al-Qadhi setelah khulafaur Rasyidin

Setelah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin berakhir, maka pemerintahn umat Islam
dilanjtkan oleh Daulah Bani Umayyah. Bani Umayyah adalah salah satu kabilah dalam struktur
masyarakat Arab Quraisy yang berasal dari keturunan dari Umayyah bin Abi Syams bin Abdi Manaf.
Pada Daulah Bani Umayyah dipimpin oleh raja-raja yang berasal dari Bani Umayyah itu
sendiri.Setelah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang terakhir yaitu masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh putra dari Ali bin Abi Thalib yaitu Hasan bin Ali.
Tetapi selama masa pemeritahan yang dipegang oleh Hasan bin Ali tidak bertahan lama hanya
bertahan beberapa bulan saja. Muawiyah pun berusaha untuk mengambil tahkta dari Hasan bin Ali,
dan Muawiyah melakukan beberapa upaya strategi yang cukup efektif demi bisa mewujudkan
keinginannya dalam mendirikan daulah Bani Umayyah agar posisi dan dukungan terhadap Muawiyah
semakin kuat, diantara strategi Bani Umayyah antara lain yaitu:

 Mengadu domba kabilah-kabilah yang menjadi lawan politiknya.


 Menumbuhkan fanatisme Arab.
 Politasi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan dengan meminta
pertanggungjawaban khalifah untuk segera menghukum orang-orang yang terlibat
dalam pembunuhan tersebut. Jika Tidak, maka khalifah dianggap berada di pihak
pembunuhan tersebut.
 Membangun kekuatan militer di Damaskus yang hanya tunduk pada perintahnya,
serta dibentuk juga tentara bayaran dari penduduk asli Damaskus dan para imigran
Arab.
 Mengadakan perjanjian dan ajakan perdamaian yang dibuat Muawiyah untuk
mencari jalan yang terbaik guna menyusun langkah-langkah berikutnya.

Dari beberapa upaya tersebut yang dilakukan oleh Muawiyah ternyata mampu
mengalahkan kekuatan dari Hasan bin Ali serta mampu memposisikan dirinya sebagai khalifah.
Hasan bin Ali pun menyerahkan semua kepemimpinannya kepada Muawiyah. Peristiwa
penyerahan kepemimpinan takhta dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah itu dikenal dengan
istilah 'Amul Jama'ah. atau tahun  bersatunya umat islam. Tetapi Hasan bin Ali mengajukan
beberapa syarat kepada Muawiyah yang harus dipenuhi sebelum penyerahan takhta tersebut:

 Muawiyah dimohon menjaga nama baik Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.
 Muawiyah diminta menjaga keselamatan Hasan dan keluarganya.
 Bila Muawiyah wafat, kekhalifahan harus diserahkan kepada kaum Muslimin.
 Pajak tanah di negara Ahwaz diserahkan kepada Hasan setiap tahun dan Muawiyah diwajibkan
menyerahkan uang sebesar 2 juta dirham kepada Husein, adik Hasan.

Pada tahun 41 H/ 661 M tepatnya pada bulan Rabiul Akhir Muawiyah menerima persyaratan yang
diajukan oleh Hasan bin Ali dan sejak itu Muawiyah telah resmi untuk mengendalikan pemerintahan
tersebut kemudian Muawiyah memindahkan pusat pemrintahan dari Madinah ke Damaskus (Suriah).
Selama masa kepemimpinan Muawiyah telah terjadi perubahan di dalam sistem pemerintahan, yaitu
dari sistem musyawarah islami menjadi sistem monarki (kerajaan).

Pada organisasi negara di masa Daulah Bani Umayyah terdir atas lima bidang yang dimana
organisasi negara di masa Umayyah masih sama seperti masa permulaan Islam, diantanya yaitu:

 An-Nizamus Siyasi (Organisasi Politik)

Pada organisasi politik ini sudah mengalami beberapa perubahan dibandingkan pada masa permualan
Islam yaitu:

a. Penguasa

Terdapat perubahan sistem pemerintahannya, yang dulu menggunakan sistem demokrasi berubah
menjadi sistem monarki.

b. Al-Hijabah

Al-Hijabah adalah dewan urusan pengawalan keselamatan khalifah. Fungsi Al-Hijabah itu sendiri
dibentuk dikarenakan takut akan terulangnya kembali peristiwa pembunuhan bermotif politik yang telah
terjadi di khalifah yang sebelumnya.

c. Al-Kitabah

Al-Kitabah yaitu Dewan Sekretariat yang bertugas mengurusi urusan pemerintahan. Terdapat 5 orang
sekretaris yang telah ditetapkan antara lain yaitu:

d. Katib ar-Rasail (Sekretaris Urusan Persuratan)


e. Katib al-Kharraj (Sekretaris Urusan Pajak atau Keuangan)
f. Katib asy-Syurtah (Sekretaris Urusan Kepolisian)
g. Katib al-Qadi (Sekretaris Urusan Kehakiman
h. Katib al-Jund (Sekretaris Tentara)
 An- Nizamul Idari (Organisasi Tata Usaha Negara)

Daerah-daerah Islam merupakan peninggalan dari daerah Persia dan Romawi, Pada masa Daulah Bani
Umayyah ini administrasi pemerintahannya masih sama seperti dari peninggalan daerah Persia dan
Romawi dahulu, hanya terdapat beberapa perubahan kecil dinataranya yaitu:

a. Ad-Dawawin (dewan-dewan)

Terdapat empat dewan dalam mengurus tata usaha pemerintahan yaitu:

 Diwan al-Kharraj (sekretaris urusan pajak atau keuangan)


 Diwan al-Mustagilat al-Mutanawwi'ah (administrasi umum)
 Diwan al-Rasa'il (surat menyurat)
 Diwan al-Khatim (menyiarkan, menstempel dan mengurus surat-surat lamaran raja)
 Barid (organisasi pos)
 Syurtah (kepolisian)
 Al-Imarah 'alal Buldan

 An-Nizamul Harbi (Organisasi Pertahanan)

Organisasi pertahanan pada masa Daulah Bani Umayyah hampir sama dengan masa Khulafaur
Rasyidin bedanya kalau pada organisasi pertahanan di masa Khulafaur Rasyidin itu tentara islam
adalah tentara sukarela sedangkan pada masa Daulah Bani Umayyah saat itu orang yang masuk
tentara tersebut karena terpaksa.

 An-Nizamul Mail (Organisasi Keuangan)

Tugas Organisasi Keuangan disini yaitu mengurusi sumber uang yang masuk pada masa Daulah
Umayyah.

 An-Nizamul Qadar (Organisasi Kehakiman)

Kekuasaan kehakiman di masa Daulah Umayyah ini terbagi menjadi 3 badan, antara lain yaitu:

a. Al-Qada
b. Al-Hisbah
c. An-Nazar fil Mazali

 An-Nazar fil Mazalim

An-Nazal fil Mazalim adalah pengadilan tertinggi, yang diamana bertugas untuk menerima
banding dari pengadilan yang ada di bawahnya serta mengadili para hakim dan para pembesar tinggi
yang bersalah.
 





  
3.



!!

!
4.
!!


5.!




"


  
"
6.#$





 
7.





"

8.



%

%

9.







10. 





"



11. 





Anda mungkin juga menyukai