Fase Kedua adalah fase Madaniyah yakni
sejak Rasulullah saw hijrah dari Mekah ke
Madinah hingga wafat tahun 11 H/632 M.
Pada fase Madaniyah ini Islam sudah
kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak
dan telah mempunyai tata pemerintahan
sehingga media-media dakwah
berlangsung dengan aman dan damai.
Di Madinah disyariatkanlah berupa
hukum-hukum pernikahan, perceraian,
warisan, perjanjian, hutang piutang,
kepidanaan dan lain-lain. Dengan
demikian pada surah-surah Madaniyah
di dalam al-Qur’an banyak memuat
ayat-ayat pembahasan hukum
Masyarakat-negara Madinah saat itu jika
dilihat dari konsep ketatanegaraan
modern menggabungkan ketiga institusi
trias politica yaitu kekuasaan legislatif
(sultah tasyri’iyah), kekuasaan eksekutif
(sultah tanfiziyah) dan kekuasaan
yudikatif (sultah qadaiyah) sekaligus.
Penyatuan tiga kekuasaan sekaligus di
tangan seorang Rasulullah saw. ini
tidaklah menimbulkan kekhawatiran
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
karena jaminan kema’suman
Rasulullah saw. (terjaga dari dosa)
sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, piagam Madinah (al-Misaq al-Madani)
sebagai undang-undang tertulis yang disusun
tidak lama setelah sampainya Rasulullah saw. di
Madinah memiliki muatan-muatan yang
mengatur hubungan sosial politik masyarakat di
Madinah dimana salah satu pasalnya menegaskan
kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat
tersebut, khususnya dari kalangan muslim untuk
saling bertanggung jawab secara bersama-sama
terhadap keamanan umum di Madinah
Teks piagam Madinah disebutkan bahwa
masing-masing orang mukmin
bertanggung jawab atas kejahatan yang
terjadi di sekitarnya meskipun hal itu
dilakukan oleh anaknya sendiri.[9] Adapun
jika terjadi perselisihan dan persengketaan
maka otoritas legislasi dan yuridiksi berada
di tangan Allah swt. dan Rasul-Nya.
Kewnangan Peradilan Islam
Pada Masa Rasulullah
Otoritas yuridiksi yang hanya dimiliki oleh Rasululah
saw. ini sangat tegas ditekankan dalam Q.S. al-
Nisa’/4: 65. Terjemahnya: Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.
Kitab Pedoman
Sumber hukum peradilan pada masa Rasulullah saw. hanya dua
yaitu al-Qur’an dan ijtihad Rasulullah saw. sendiri. Kalau terjadi
suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum
karena terjadi perselisihan, ada peristiwa, ada pertanyaan atau
permintaan fatwa, maka Allah swt. menurunkan wahyu kepada
Rasulullah saw.
Bila terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukum,
sedang Allah swt. tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut,
maka Rasulullah saw. berijtihad untuk menetapkan hukum suatu
masalah atau menjawab pertanyaan atau memenuhi permintaan
fatwa hukum.
Contoh Ijtihad Nabi
Menurut historis akar konsep lembaga ini sudah ada
pada zaman Rasulullah saw. Sebagaimana
diriwayatkan Rasulullah saw. senantiasa memeriksa
kondisi berbagai sisi hidup umatnya, ketika Rasulullah
saw. melakukan inspeksi di pasar, Rasulullah saw.
menemukan kecurangan seorang pedagang dan
kemudian menegurnya. Pengadilan hisbah ini mulai
menjadi lembaga pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab yang kemudian berkembang pada masa
daulah Bani Umayyah.
Mazalim merupakan institusi pembelaan
terhadap hak-hak rakyat kecil dari seorang
penguasa yang dalam penyelesaiannya sulit
diputuskan oleh pengadilan biasa. Pengadilan
ini menyelesaikan perkara suap dan tindak
pidana korupsi. Orang yang menangani kasus
tersebut dinamakan wali al-mazalim.
Poses Peradilan
Proses peradilan pada masa Rasulullah saw.
berlangsung sangat sederhana. Jika ada suatu
permasalahan maka segera datang kepada
Rasulullah saw. untuk meminta putusan tanpa
harus menunggu waktu tertentu maupun mencari
tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari
putusan-putusan yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. lebih bersifat fatwa dengan model tanya
jawab dibandingkan dengan proses pengadilan
yang dipahami saat ini.
Syarat Hakim
Pendelegasian tugas yudikatif dilaksanakan dalam tiga
bentuk, pertama; Rasulullah saw. mengutus sahabatnya
menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi
wewenang bertindak sebagai hakim untuk mengadili
sengketa di antara warga masyarakat. Kedua; Rasulullah
saw. menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai
hakim guna menyelesaikan masalah tertentu, penugasan
ini biasanya dilaksanakan atas perkara tertentu saja.
Ketiga; Rasulullah saw. terkadang menugaskan seorang
sahabat dengan didampingi sahabat yang lain untuk
menyelesaikan suatu masalah tertentu dalam suatu
daerah
Di antara sahabat tersebut adalah :
Muadz Bin Jabal ra, yang ditunjuk menjalankan
kekuasaan pemerintahan dan peradilan di
Yaman, dan Atab Bin Asid yang menjadi hakim
di Mekah
َج َر
َ ش
َ ما
َ ك فِي ُ ّك
َ مو ِ ح
َ ح َّتى ُي
َ ك ال ُي ْؤ ِم ُنو َ ن
َ ّ ِفال َو َرب
ما
َّ جا ِم
ً ح َر
َ مْ س ِهِ م ال يَجِ ُدوا فِي َأ ْن ُف َّ م ُث
ْ بَ ْي َن ُه
( َ٦٥ ( يما ً ِسلْ 000س ِل ّ ُموا َت
َ 0 ُي0ض ْي َت َو
َ 00ق
Artinya: “Maka dari Tuhanmu, mereka itu
(hakekatnya) tidak beriman, sehingga mereka
mau menjadikan kamu sebagai hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap keputusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya
Sekian