Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEPUTAR TAQLID DAN


TALFIQ MENURUT ASWAJA

Dibuat Untuk Pemenuhan Tugas Mata Kuliah


Aswaja
Dosen Pengampu : Kamarullah,S.HI,M.HI

Disusun Oleh :

1. DINDA SAJMINI 2202060138


2. SUCI IDRIYANI 2202060123
3. RATU AYU 2202060104
4. LISA JULIANA 2202060129
5. SOFYANI PRIHARTINI 2202060130

PRODI PGSD
FAKULTAS PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL
ULAMA NUSA TENGGARA
BARAT

1
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Seputar
Taqlid dan Talfiq Menurut Aswaja”.
Tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Ahlussunnah Wal Jamaah
( ASWAJA ), serta dapat menjadi penambah wawasan bagi pembaca dan bagi kelompok
kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kamarullah,S.HI,M.HI., pada mata
kuliah ini yang sudah mempercayakan tugas ini kepada kelompok kami, sehingga sangat
membantu kami untuk memperdalam pengetahuan pada bidang studi yang sedang ditekuni.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada semua pihak yang telah berbagi pengetahuannya
kepada kami, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tidak ada gading
yang tak retak, kami menyadari jika makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik serta saran demi kesempurnaan dari makalah
ini. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia Pendidikan.

Mataram, April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................................1

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................4


B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................5
C. TUJUAN………………………………………………………………..…..................5

BAB II
PEMBAHASAN...........................................................................................................6

1. PENGERTIAN TAQLID……………...........................................................................6
2. HUKUM-HUKUM TAQLID........................................................................................6
3. SYARAT-SYARAT TAQLID......…………………………………… …....................8
4. PROBLEMATIKA TAQLID.........................................................................................8
5. PENGERTIAN TALFIQ..............................................................................................11
6. HUKUM TALFIQ........................................................................................................12
7. PROBLEMATIKA TALFIQ.......................................................................................14

BAB III PENUTUP................................................................................................................. 16

A. Kesimpulan..................................................................................................................16
B. Saran………………………………………………………………………................16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..17

3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal
yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah
pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan
dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk telah ada maka
tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu
ushul fiqh.

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas
dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an
dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan Imam Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.
Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul
fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara
ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang- orang mukallaf, baik berupa igtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab
akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh
Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti
hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan
(mani’) dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang di maksud dengan Taqlid ?

2. Bagaimanakah Hukum-hukum Taqlid ?

3. Apa saja syarat-syarat Taqlid ?

4. Bagaimanakah problematika Taqlid ?

5. Apakah yang dimaksud dengan Talfiq ?

6. Bagaimana hukum Talfiq ?

7. Bagaimanakah problematika Talfiq ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui pengertian Taqlid

2. Mengerti apa saja hukum-hukum Taqlid

3. Mengetahui syarat-syarat Taqlid

4. Mengetahui problematika Taqlid

5. Mengerti tentang pengertian Talfiq

6. Mengetahui hukum Talfiq

7. Mengetahui problematika Talfiq

5
BAB II PEMBAHASAN

A. TAQLID
1. Pengertian Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung),
yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain.
Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan
kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut
istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang
suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-
alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.

2. Hukum-Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang
diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.
a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-
orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup
mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang
dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut
beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh
syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi
semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap
muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak
memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum
syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang
serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk
menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak
mengetahui ijma dan qiyas.

6
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang
sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji
hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini
antara lain :

Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan
membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid
orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran
al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al- Baqarah ayat 170 :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah
Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)

Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid


yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau
buta.

Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau
tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa
pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau
sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap
suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang
betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

7
3. Syarat-Syarat Taqlid

Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang
yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai
berikut :
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid

Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang
tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat
orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum
syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun,
kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk
mengerjakannya yang lain (dalam soal- soal ibadah), maka menurut suatu
pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

b. Syarat-syarat yang ditaqlid

Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan


dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain,
seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya.
Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum
tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

4. Problematika Taqlid

Taqlid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui


sumber dan cara pengambilannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat
Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut
Muqallid.

Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :

8
a. Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan
ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i
dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum
minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang kewajiban
shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat
dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat
Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada
penelitian terhadap dalil- dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak
dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
b. Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-
masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti
masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal
wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab,
masalah ini memang ada dalilnya dari Al- Qur’an. Tetapi dalilnya perlu
diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh
dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya
terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan perbedaan-
perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang
seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.

Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak


berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau
fatwa dari para mujtahid.
Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak
wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah,
mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah
lain mereka beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini,
jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah,
tidak semestinya kita bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua
masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab
lain.

9
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid
kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam
Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat


dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi
hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang
mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang


terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-
kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil
Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

 Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.


a. Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu
yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah- azimahnya2
dalam semua urusan agamanya.

Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara
mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut
mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent)
untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal
tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam
mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam


pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah
dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih
dipertanyakan.”

10
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia
melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang
memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur
syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang
yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah
mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih
pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu
dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih
‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama
tersebut lebih bertaqwa kepada Allah terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu
rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib
dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut”.

b. Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam


kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk
mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau
ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

B. TALFIQ
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan seperti
tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju
yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan
kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq
menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian
mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun
dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat
dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.12 Atau definisi lainnya
yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas
kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.

11
Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa
memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai
mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan
antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-
mudah saja. Pengambilan dari berbagai- bagai mazhab dalam berbagai-bagai
persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu
persoalan saja, apakah bagian- bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab,
sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai
mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.

2. Hukum Talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya
seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka
terbagi kepada tiga pendapat.15 Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
• Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih)
salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah
dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik
secara keseluruhan maupun sebagian. Keadaan orang itu sama dengan
seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus
tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil
yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah
dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi
seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan
dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini
maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari
ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
• Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah
satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk
mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu
kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-
sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat
dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar
dari Malikiyah.

12
• Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah
satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke
mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia
dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang
dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri
kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling
mudah selama hal itu tidak membawa dosa

Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq


hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal
Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi
seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil
mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.

Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq


diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa
alasan yaitu :

a. Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah
satu mazhab.
b. Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
c. Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan
mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam
yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
d. Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama
mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
e. Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta
penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat
yang lebih senior.

13
3. Problematika Talfiq
Talfiq ialah mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian
bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh: mengambil wudlu
mengikuti Imam Hanafi dan shalat mengikuti Imam Syafi’i.
Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :

a. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab


dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi
dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini
dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua
masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang
ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat Allah terhadap
umat Muhammad.
b. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab
dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali
menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak
menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.

Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya kita
di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita memakai madzhab lain
karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut secara jelas, dan
akan membuat fitnah dan bingungngya orang lain, namun jika kita pindah,
misalnya ke wilayah yang masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak
kita terus berkeras diri untuk bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai
madzhab Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki.
Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara
untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

14
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila
kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli,
dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah
menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun
karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14
abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah
kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka
bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal-hal yang fardhu /
wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab
menjadi wajib hukumnya.
Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras
kepala dengan madzhab Syafiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika
Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing
membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan
shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd bertanya pada
amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?,
maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka
wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula dalam madzhab
syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota
wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab
Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab
Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula dalam
madzhab Syafii.
Demikian contoh kecil jika kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita
pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan
minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu.

15
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Taqlid adalah meniru atau menyesuaikan diri dengan pendapat para ulama
berdasarkan hukum-hukumnya dan problematika yang ada.
Sedangkan talfiq adalah menggabungkan semua pendapat para ulama untuk
dijadikan sebagai benang merah dari permasalahan atau problematika dari masalah
yang ada, tentunya dengan hukum-hukumnya.

B. SARAN
Dalam beragama tentunya sebelum kita mengenal ibadah atau melaksanakan
ibadah, kita mengetahui terlebih dahulu ilmunya, dan dari ilmu tersebut kita bisa
mengetahui tata cara beribadah yang benar dalam beragama, makalah ini hanya
menggambarkan bagaimana cara berpikir dalam mengikuti suatu mazhab atau
menyelesaikan perkara yang rumit dengan pendapat para ulama. Namun, kami
menyadari betapa banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, sehingga kami
menyarankan agar para pembaca bisa mengolah ilmu atau mencari ilmu yang
berkaitan dengan isi makalah ini kepada yang lebih bisa atau ahlinya, karena kami
para penulis hanyalah manusia yang banyak kekurangan dan keterbatasan dalam
menyelesaikan makalah ini. Terimakasih !!

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama


Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Arifin, Miftahul dan Haq, Ahmad Faisal. 1997. Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam.Surabaya: Citra Media.

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Hanafi, Ahmad. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7. Jakarta: PT Bulan
Bintang.

Hasan, M Ali. 2002. Perbandingan Mazhab, cet 4. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT
RajaGrafindo.

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.

Rosyada, Dede. 1999. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Jakarta: Logos.

Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul


Fiqh. Vol. 1. No. 1.

Umam, Khairul dan Aminudin, A. Achyar. 2001. Ushul Fiqih II, cet. 2. Bandung:
Pustaka Setia.

17

Anda mungkin juga menyukai