Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

STUDI KAWASAN ISLAM

.Dosen Pengampu: Dr.H. Iman Fadhilah , M.SI

:Kelompok
Fikri Fathnani (21200011004)
Muhammad An,imbih (21200011017)
Nur Afifah (21200011032)
Slamet Santoso (21200011034)
Farid Riza (21200011048)

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi artinya penyelidikan, bahan pelajaran. Sedangkan pengertian
Kawasan: Wilayah daerah, Lingkungan. Sedangkan Studi Kawasan dalah suatu
pengetahuan untuk menyelidiki tentang wilayah atau daerah yang berkaitan
dengan beranekaragam bagi wilayah seperti: Social, Ekonomi, Pendidikan dan
Keagamaan. Pada saat tumbangnya kekuasaan Islam di Andalusia tahun 1492 M
pada pengujung abad ke 15 M, yakni selama delapan abad semenjak abad ke-7
M. Dunia barat hanya mengenali bangsa-bansa timur di sekitar lautan tengah
belaka, sekalipun demikian ada beberapa factor yang mendorong pertumbuhan
untuk mempelajari dan menyelidiki peri keadaan di Timur.
Satu hal yang sangat menarik seperti apa yang digambarkan selama ini,
yakni Islam memiliki karekteristik global, bisa diterima dalam setiap ruang dan
waktu. Namun pada sisi yang lain, saat ia memasuki berbagai kawasan wilayah,
karekteristik global seolah-olah hilang melebur ke dalam berbagai kekuatan
lokal yang dimasukinya. Satu kecenderungan dimana biasa Islam mengadaptasi
terhadap kepentingan mereka. 
Persoalannya adalah apakah fenomena seperti ini bisa dipandang sebagai
sebuahkeberhasilan Islam dalam menembus medan dakwah hingga bisa diterima
dalam berbagai lapisan masyarakat lokal, sekalipun warna dan ciri
keglobalannya sedikit pudar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan bagaimana asal-usul Studi Kawasan Islam ?
2. Apa perbedaan antara Orientalisme dan Oksidentalisme?
4. Apa maksud Dunia Islam sebagai Objek Studi Antara Timur dan Barat?
5. Apa saja Problem dan Prospek Pendekatan Studi Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Asal Usul studi Kawasan Islam
Dalam kajian islam di barat di sebut Islamic studies secara harfiah
adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara
terminology adalah kajian secara sitematis dan terpadu untuk mengetahui,
memakai dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan denagn
agama islam, sejarah islam maupun realitis pelaksanaanya dalam kehidupan.
Pengertian studi kawasana adalah kajian yang tampaknya bias
menjelaskan bagaimana situasi sekarang ini terjadi, karena focus materi
kajiannya tentang berbagai area mengenai Kawasan dunia islam dan lingkup
pranata yang ada di coba diurai di dalamnya, mulai dari pertumbuhan,
perkembangan serta karakteristik social budaya yang ada didalamnya,
termasuk juga tentang factor-faktor pendukung bagi munculnya berbagai ciri
dan karakter serta pertumbuhan kebudayaan di masing-masing dunia
Kawasan islam. Dengan demikian objek studinya harus meliputi aspek-aspek
geografis, demografis, historis, Bahasa serta berbagai perkembangan social
dan budaya yang merupakan ciri-ciri umum dari keseluruhan perkembangan
yang ada pada setiap Kawasan budaya (Chuzaimah :2018)
Dalam sejarahnya, persoalan hubungan antar batas-batas wilayah sebuah
negara sebenarnya sudah sekian lama telah menjadi perhatian para ahli
kegenaraan sejak jaman Yunani sekitar tahun 450-an SM. Ptolemy,
Thucydidas, Hecataeus, dan Herodotus merupakan sejarawan Yunani yang
cukup intens dengan kajian-kajian wilayah yang ia kenal, baik melalui cerita
orang maupun dari hasil pengamatan terhadap wilayah-wilayah yang ia
kunjungi. Mereka selain seorang sejarawan juga seorang pengelana.1.300
tahun kemudian, Kaum Muslimin memiliki kemampuan yang luar biasa
dalam mengembangkan studi kawasan ini dengan berbagai  corak yang
ragam yang lebih dinamis lagi. Karya-karya mereka telah melampaui
sejarawan Yunani, di mana pembahasannya bukan lagi berbicara tentang
realits sejarah, tetapi lebih maju lagi yakni bagaimana cara-cara
menanganinya. Munculnya berbagai karya sejarah  dengan tema-tema kajian
wilayah dimulai dari awal penciptaan sampai mulai dihuni umat manusia,
merupakan kajian-kajian yang sangat populer dan hampir bisa ditemukan
dalam karya-karya sejarah klasik Islam. Sekalipun kajian geografi sebagai
disiplin ilmu agak berbeda dengan sejarah, namun dikalangan sejarawan
muslim hal ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena objek pembahasan
antara keduanya  saling melengkapi. Karena kajian sejarah, sangat
membutuhkan kajian tentang ruang dan waktu sebagai aktivitas pelakunya.
Oleh karena itu, karya-karya tentang geografi dan sejarah telah menjadi
bagian penting dan tidak terpisahkan dari perkembangan historiografi Islam
secara umum.
Karya al-Baladzuri, Futuh al-Buldan wa Ahkamuha merupakan kajian
sejarah yang sangat mementingkaan tinjauan wilayah Baladzuri wafat tahun
892 M, semasa hidupnya ia menjadi penasihat para Khalifan Abbasiyah, Al-
Mutawakkil ‘Alallah dan Al-Musta’in Billah, bahkan ia mendidik Al-
Mu’taz. Karya monumental ini merekam seluruh proses penaklukan dan
bagaimana penanganan terhadap wilayah-wilayah baru kaum muslimin,
seperti Syam, Irak, Mesir, Maroko, Armenia, serta wilayah-wilayah Persia
lainnya. Secara metodologis dia tidak hanya mengandalalkan fakta tulis atau
riwayat pengalaman pelaku, tetapi ia juga berhasil melihat dimana wilayah-
wilayah yang dijelaskannya hampir seluruhnya sudah ia kunjungi.
Al-Ya’qubi seagai Pegawai di kekhalifahan Abbasiah dan diperkirakan
meninggal tahun 292 H, telah menulis karya al-Buldan (jama’ dari balad;
negara-negara) membicarakan bukan hanya cara-cara penaklukkan dan
penanganan wilayah-wilayah Islam, tetapi juga berbaai potensi sumber daya
alam dan ekonomi tiap-tiap wilayah ia gambarkan secara jelas. Sebagai
penulis ia telah mengunjungi semananjung India, Arab, Syam, Palestina,
Libya, Aljazair, dan Sebagainya. Ia mencari sumber-sumber otoritatif dalam
aspek-aspek geografi wilayah-wilayah Islam. Sebagai seorang pengelana dan
Sejarawan ia telah mengunjungi dan mengamati lebih dari 70 kota dan
wilayah Islam baik di Afrika Utara, Asia maupun Spanyol.
Al-mas’udy, penulis Maruj al-Dzahab ini mengawali pengetahuaan
tentang heografi dan sejarah dari hasil pengembaraan nya ke berbagai
wilayah, bailk wilayah muslim maupun wilayah non muslim, ia banyak
menerima berbagai informasi sehingga penjelasannya tentang keberadaan
dan sejarah wilayah sangat kaya. Ia sangat menguasai adat istiadat dan
pembangunan, pola kehidupan setiap masyarakat yang dikunjunginya,
termasuk bahasa dan punya keakraban dengan tokoh lokal. Karya ini ditulis
tauhun 947 M, ia meninggal tahun 956 M di Fusthath.
Al-Birruny, penulis kitab al-Hind merupakan sejarawan yang ahli dalam
kajian wilayah India. Bukan hanya sebagai sejarawan tetapi ia juga ahli
dalam penelitian dan observasi dalam ilmu-ilmu lainnya. Sebagai seoarang
penasihat dinasti Ghaznawy, Sultan Mahmud Ghazna ia bekerja bukan hanya
untuk kepentingan pemerintahan, tetapi juga menjelaskan secara objektif
keberadaan wilayah, keagamaan, mentalitas penduduk, pemeikiran India dan
bagaimana semestinya harus ditangani oleh para penguasa muslim. Kitab al-
Hind ini ditulis tahun 1017 M.
Sebenarnya banyak sekali berbagai studi yang telah dilakukan oleh para
sarjna muslim klasik dan pertengahan dan melihat berbagai kawasan dan
kantong-kantong kaum muslimin di bebagai wilayahnya. Perhatian mereka
terhadap potensi-potensi wilayah,  baik Desa, Kota maupun berbagai
kegiatan kependudukannya, jelas membuktikan bahwa studi kawasan-
kawasan Islam sepanjang sejarahnya selalu menarik perhatian. Sejarah
wilayah seperti Halb, Mesir, dan sebagainya yang menjadi objek studi, telah
ditulis Bughyat al-Thalib fi Tarikh al-Halab.
Begitu banyak orang mengkaji wilayah dengan berbagai variasinya, dan
setiap periode menunjukkan trend yang berbeda-beda. Namun, dalam
perkembangan sejarahnya, istilah geopolitik baru lahir sebagai istilah baru
abad ke-19, sebagai bagian dari konsep “geo-strategy” bangsa Jerman yang
dikembangkan oleh Otto van Bismarck, dengan “unification of the German
States.” Teori ini pada akhirnya menjadi suatu bagian yang lebih luas lagi
dari kajian Geografi secara umum. Tahun 1890 Alferd Thayer menulis
tentang  “The Influence of Sea Power Upon History.” Rudolf Kjellen ahli
geografi politik Swedia kemudian memunculkan istilah kekuatan wilayah
(the power of area) di akhir abad ke-19. Tulisannya ini kemudian
mengilhami Friedrich Ratzel seorang ahli Ilmu alam, untuk merumuskan
teori “geopolitik” secara utuh dalam bukunya “politische Georaphie” tahun
1879. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa setiap negara selalu
mengupayakan wilayah kesatuaanya dan membentenginya terhadap upaya-
upaya negara lain untuk merebut tanah wilayah kekuasaannya. Oleh karena
itu, semua negara (Nasionalisme) ingin hidup dalam wadah wilayah kesatuan
bagi kehidupannya. 
B. Perbedaan antara Orintalisme dan Oksidentalisme
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara
harfiah bermakna : Timur, dan secara geografis bermakna; dunia belahan
Timur, dan secara etnologis bermakna; bangsa-bangsa di Timur. Kata
“orient” itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk Inggris.
Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna; hal-hal yang bersifat
Timur (Endang Saifuddin: 1986, 46) yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang yang
ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan “Timur” itu, biasanya disingkat
dengan sebutan; ahli Ketimuran. Kata “isme” (Belanda) atau “ism” (Inggris
menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham/aliran. (Ibid, 1986, 332).
Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta
lingkungannya.
Lawan kata “orienta” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang
secara harfiah bermakna; barat, dan secara geografis bermakna; dunia
belahan barat, dan secara etnologis bermakna, bangsa-bangsa di Barat.
Sedangkan kata occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia
“Barat itu, yaitu bangsa-bangsa disitu beserta lingkungannya. Berbeda
dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah
disebut, karena bukan merupakan suatu kehalian khusus dalam lingkungan
disiplin ilmu. Kelahiran oksidentalisme emosional atas kesalahan-kesalahan
dari Barat yang dialami dunia Timur pada umumnya dan dunia islam
khususnya. Barat dengan segala implikasinya telah berjaya menguasai
Timur. Penguasaan, atau lebih tepatnya kolonialisme Barat atas Timur ini
dalam perjalanan sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari orientalisme. Dengan
demikian, terbentuknya oksidentalisme adalah sebagai upaya untuk mengikis
serangan Barat yang sudah semakin meluas wilayah jangkauannya. 
C. Dunia Islam Sebagai Objek Studi Antara Timur Dan Barat
Islam tidak hanya sebagai agama theologis, tetapi juga merupakan
agama pengetahuan yang secara tidak langsung melahirkan berbagai macam
pemikiran. Hal ini islam sangat menarik untuk dikaji menjadi objek kajian
studi. Menurut Taufik Abdullah, agama sebagai sasaran kajian dapat di
kategorikan menjadi tiga, yakni agama sebagai doktrin, dinamika dan
struktur masyarakat  yang dibentuk oleh agama,dan sikap masyarakat
pemeluk terhadap doktrin. Kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran
agama.namun yang menjadi sasaran penelitian agama sebagai doktrin adalah
pemahaman agama terhadap doktrin-doktrin tersebut. Kategori kedua,
meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah. Sementara
kategori ketiga merupakan usaha untuk mengetahui corak penghadapan
masyarakat terhadap simbol dan ajaran islam. Secara terperinci dalam
mempelajari agama, ada lima bentuk fenomena agama sebagai bentuk
kebudayaan yang perlu diperhatikan, lima ha tersebut adalah:
1. Naskah-naskah (scripture) atau simbol-simbol agama.
2. Sikap, perilaku,dan penghayatan para penganut tokoh-tokoh agama.
3. Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat agama, seperti shalat,
haji, puasa, zakat, nikah, dan lain sebagainya.
4. Alat-alat atau sarana peribadatan.
5. Lembaga atau organisasi keagamaan tempat para penganut agama
bergumul berperan.
a. Studi Islam di Barat
Ditinjau dari prespektif sejarah, studi yang dilakukan orang
Indonesia di Barat berlangsung cukup lama. Namun demikian fokus
studi yang dilakukan belum menyentuh secara menyeluruh dalam bidang
kajian islam. Fokus kajian islam baru dilakukan setelah Indonesia
merdeka. Dan orang Indonesia pertama kali yang melakukan Studi Islam
di Barat adalah M. Rasijidi. Menteri pertama indonesia ini menanamkan
program doctor di universitas Sorbone, Perancis. Para alumni barat
memiliki pengaruh dalam kontribusi besar dalam Studi Islam di
Indonesia.
b. Studi Islam di Timur
Hampir sama  yang terjadi di Barat, studi islam di Timur Tengah
juga bervariasi. Ini merupakan hal yang wajar karena karakteristik studi
Islam dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya kebijakan politik,
dinamika sosial budaya latar belakang pemegang kebijakan pendidikan
perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
D. Problem Dan Prospek Pendekatan Studi Islam
Perkembangan Islam menjadi disiplin ilmu agama tak lepas dari sisi-sisi
positif negatifnya, terdapat kelebihan juga kekurangannya, bagi studi Islam
sendiri maupun bagi pemeluknya.
1. Distorsi Islam
Ini terjadi karena Islamic studies hanyalah pandangan luar, terutama
orang Barat yang ahli Islam. Islam dipelajari dan dijelaskan oleh mereka
yang bukan penganut Islam dan tidak untuk mencari kebenaran. Motivasi
studi Islam oleh non-Muslim ini sangat penting karena akan berpengaruh
pada apa yang dilakukannya. Bila tendensinya negatif dan tujuannya
untuk mendistorsi Islam, maka yang akan ia lakukan adalah mencari-cari
kekurangan dan kesalahan. Berbeda dengan yang tujuannya mencari
kebenaran. Ia akan mencari mutiara terpendam apa yang bisa
memberikan sesuatu yang dicarinya atau memberikan jawaban atas
problem-problem hidupnya. Sedangkan bagi mereka yang mendalaminya
murni sebagai studi, keyakinan yang berbeda akan memposisikan
pandangan-pandangan dan kesimpulannya yang subyektif. Karena itulah,
seahli apapun seorang orientalis dan Islamolog, subyektifitasnya tetap
akan kuat. Hal ini diperkuat oleh sejarah relasi Islam-Barat. Ketegangan
dan konflik antara Islam-Barat (Kristen) selama berabad-abad sejak
Perang Salib selama 200 tahun (1096-1291) hingga masa kolonialisme
modern, tidak akan menghasilkan studi-studi yang benar-benar obyektif.
Di sisi lain, Islamic studies yang lebih menekankan aspek-aspek profan
dari ajaran Islam akan membentuk pandangan yang tidak mewakili
sistem keimanan dan keyakinan. Pada level tertentu, pandangan ini
melahirkan kecenderungan distortif karena, dalam tradisi ilmiah, sebuah
pembenaran termasuk studi agama hanya menggunakan fakta-fakta
historis dan sosiologis. Seperti dilakukan banyak orientalis, Islam hanya
diukur dari realitas masyarakat dan sejarahnya, dari perilaku kaum
Muslimin bukan dari sumber normatifnya yaitu kitab suci Al-Qur’an.
2. Berkurangnya prasangka
Namun disisi lain juga merupakan berkah atau blessing in disguise yaitu
makin berkurangnya kecenderungan prasangka dan kecurigaan-
kecurigaan buruk Barat tentang Islam. Fakta historis telah banyak
membuktikan semakin mendalam Islam digali dengan pendekatan-
pendekatan ilmiah justru semakin tampak kekuatannya dan seringkali
membuat tidak berdaya para pengkaji dan pengkritiknya sendiri.
Misalnya, H.A.R. Gibb menjadi simpati pada Islam setelah menjadi
ahlinya. Mongomery Watt diam-diam pernah meyakini bahwa
Muhammad benar-benar seorang Nabi (Steenbrink, 1992). Berbeda
dengan para orientalis lama, Gibb dan Watt diklasifikasikan sebagai
orientalis generasi baru yang simpatik terhadap Islam. Demikian juga
dengan Roger Geraudy, Annemarie Schimmel dan lain-lain. Lebih dari
itu, setelah mempelajari Islam secara sungguh-sunggguh beberapa nama
malah berpindah keyakinannya menjadi Muslim. Leopold Weiss berganti
nama menjadi Mohammad Asad, Martin Lings menjadi Abu Bakar
Sirajuddin, Frithjof Schuon menjadi Muhammad Isa Nuruddin, Di
Indonesia, pengalaman itu terjadi pada Martin van Bruinessen dan Johan
Hendrik Meuleman.
3. Bergesernya Pusat studi Islam ke Barat
Di Barat telah lama muncul profesor-profesor ahli-ahli Islam di
bidangnya masing-masing yang wawasannya banyak yang melebihi
ulama. Masalahnya hanya satu: keahlian mereka minus iman. Tetapi, ini
dipandang tidak menjadi masalah karena mereka tidak mengajarkan
“kebenaran Islam” atau “keimanan” tetapi mengajarkan Islam sebagai
fenomena sejarah dan sosiologis. Para mahasiswa Islam yang belajar di
Barat bukan belajar Islam untuk menjadi ulama, tetapi untuk menjadi
modern dalam sikap mental akademik, cara berfikir dan menjadi dewasa
dalam tradisi keilmuan. Walaupun bagi mahasiswa Islam yang belajar di
Barat kadang-kadang menimbulkan masalah psikologisnya tersendiri,
tetapi inilah alasan yang menjelaskan mengapa terjadi gelombang belajar
Islam ke Barat. Dan gelombang belajar ke Barat di dunia Islam bukan
fenomena baru. Program pengiriman mahasiswa-mahasiswa Islam untuk
belajar di Barat pertama kali dilakukan di Mesir pada abad ke-18-19 oleh
para pembaharu sepeti Muhammad Ali Pasya (1765-1849) diteruskan
oleh Rifa’ah Badawi Tahtawi (1801-1873) yang saat itu melihat
kemajuan Barat jauh meninggalkan dunia Islam. Gerakan mereka adalah
akar-akar gerakan modernisme Islam yang kelak dikukuhkan oleh
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada abad ke-19.
Walaupun memang memproduksi masalah-masalahnya sendiri,
kekagetan sebagian umat Islam Indonesia melihat para mahasiswa Islam
belajar ke Barat hanya karena faktor historical ignorance (ketaktahuan
sejarah).
Prospek pendekatan studi islam boleh dikatakan sangat baik,demikianlah,
ratusan tahun tradisi Islamic studies atau studi Islam telah menyumbangkan
peran positif sekaligus menghadirkan masalahnya tersendiri. Studi Islam
adalah proses historis yang wajar yang tidak bisa dan tidak perlu dihindari.
Islam menjadi disiplin ilmu adalah implementasi dari ajaran-ajaran Islam
tentang keharusan mencari dan mengembangkan ilmu tanpa akhir dan tanpa
batas. Memang, menjadi problem ketika ilmu-ilmu keislaman bertemu
dengan tradisi ilmiah dan akademik Barat yang positivistik. Selama,
paradigma positivistik tetap diterapkan dalam studi-studi Islam, problem
ontologis, epistemologis dan aksiologis akan tetap muncul. Inilah barangkali
signifikansi gagasan Islamisasi ilmu. Islam harus membangun suatu
paradigma baru yang terlepas dari positivisme yang ketika didekati secara
ilmiah dan akademik, tidak menjadi persoalan bahkan menguatkan kebenaran
Islam sendiri. Banyak aspek-aspek keilmuan Islam yang hingga sekarang –
yang dalam tradisi positivistik– menjadi problem. Misalnya, konsep ontologis
yang harus empiris (tentang ada, being) atau khazanah dalam tasawuf tentang
pengalaman spiritual. Bila ide Islamisasi ilmu dipersoalkan, maka umat Islam
harus mengkonstruk gagasan lain yang lebih aplikabel dan menjawab
tantangan zaman sehingga Islam tetap relevan sepanjang zaman dan tradisi
keilmuan Islam semakin menemukan paradigmanya yang lebih mantap dan
kuat. Prospek menemukan paradigma baru ini sebenarnya bisa diharapkan
dari tradisi Islamis studies yang sudah semakin established. Studi-studi Islam
terutama yang ditekuni oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim seharusnya
memikirkan sebuah arsitektur epistemologi baru yang bisa memadukan tradisi
positivisme dengan, misalnya, sistem keimanan dan pengalaman spiritual
menjadi sebuah entitas baru yang utuh. Bila bukan Islamisasi Ilmu, maka ia
harus berupa sebuah konstruksi baru yang dibangun dari khazanah,
vokabulari dan perbendaharaan keilmuan Islam sehingga asek-aspek
keislaman yang selama ini menjadi persoalan dalam tradisi positivisme
menjadi konvensi keilmuan baru yang diterima oleh semua pihak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Studi kawasana adalah kajian yang tampaknya bias menjelaskan
bagaimana situasi sekarang ini terjadi, karena focus materi kajiannya
tentang berbagai area mengenai Kawasan dunia islam dan lingkup pranata
yang ada di coba diurai di dalamnya, mulai dari pertumbuhan,
perkembangan serta karakteristik social budaya yang ada didalamnya,
termasuk juga tentang factor-faktor pendukung bagi munculnya berbagai
ciri dan karakter serta pertumbuhan kebudayaan di masing-masing dunia
Kawasan islam.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang
yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan “Timur” itu, biasanya
disingkat dengan sebutan; ahli Ketimuran. Sedangkan oksidentalisme
adalah sebagai upaya untuk mengikis serangan Barat yang sudah semakin
meluas wilayah jangkauannya.
Agama sebagai sasaran kajian dapat di kategorikan menjadi tiga, yakni
agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat  yang dibentuk
oleh agama,dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Penerbit Akbar, 2004.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Tentang Paradigma dan
Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani,  2004
Azra, Azyumardi. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta : Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai