Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH USHUL FIQIH MUAMALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu :
Ust. Lutfi Zulkarnain S.Ag., ME.Sy

DISUSUN OLEH:

Salman Alfarist 42103107


Hilmy Mubasysyir Fauzi 42103070
Ade Khairina 42103081

PROGRAM STUDI KONSENTRASI BISNIS DIGITAL


FAKULTAS MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM
SEBI JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Pertama, mari kita ucapkan puji serta syukur kita kepada Tuhan Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas nikmat sehat, serta nikmat lainnya yang tak bisa
disebutkan kepada Saya untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa shalawat serta
salam mari kita hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang
Adapun Penulisan makalah ini untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ushul Fiqih
dan menambah Ilmu kepada kita semua tentang Urgent nya Ilmu Ushul fiqih bagi kehidupan
kita sehari hari.
Terlebih dari itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik
dari susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu saya dengan tangan terbuka sangat
menerima kritik, saran, serta masukan dari pembaca untuk memperbaiki makalah ini.
Akhir kata semoga makalah saya ini yang dengan judul “Ushul Fiqih Muamalah”
dapat memberikan manfaat dan Inspirasi bagi para pembaca.

Jakarta, 23 September 2021

i
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..........................................................................................................................2
A. Substansi, Target dan Kedudukan Ushul Fiqih...................................................................2
B. Unsur-unsur penting dalam Ushul fiqih..............................................................................4
C. Ruang lingkup dan hubungan Ushul fiqih dengan fikih muamalah....................................4
D. Karakteristik target pembelajaran usul
Fiqih.................................................................................
E. Sumber Hukum
Asasi.....................................................................................................................
F. Sumber-Sumber Hukum lain (Pelengkap)
.....................................................................................
G. Tsubut dan Dilalah Nash Al-Qur'an dan
Hadist..........................................................................

BAB III............................................................................................................................................5
PENUTUP....................................................................................................................................5
A. Kesimpulan............................................................................................................................
..................................................................................................................................................5
B. Daftar Pustaka......................................................................................................................6

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terdapat tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait
kelindan satu sama lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih. Umat Islam pada
umumnya lebih familiar fikih dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan
sederhananya karena fikih bersinggungan dalam keseharian perilaku kaum muslimin.
Definisi yang mudah dipahami oleh semua kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan
tentang hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan tindak tanduk orang mukallaf terpantau
dan disorot oleh fikih. Dengan demikian, fikih merupakan panduan praktis tentang
tata cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam berinteraksi secara vertikal
(berhubungan dengan Tuhan) yang dikenal dengan ibadah, atau interaksi horizontal
(berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan) yang disebut dengan
muamalah dalam arti yang luas.
Secara istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang
bersifat praktis yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari
dalil-dalil syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu
nahkumu biddhawahir (kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang
tampak). Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan
orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk perbuatan,
bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa (dzauq) yang
digarap oleh ilmu tasawuf.
Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang
dijadikan perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode
dan tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut
dengan ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban
dan salah satu unsur yang harus ada (rukun). Bagaimana metode dan cara
menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul
fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-sumber
hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib.
Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa
kaidah berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan
sebagai ketentuan umum (dominan) yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang
menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah
fikih menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan
ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi: keyakinan tidak bisa
dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang terkait
dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan tertentu tidak
dapat dikalahkan dengan munculnya keraguan.

1
Ketiga disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term
hukum syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik,
sementara fikih merupakan produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang
menghubungkan produk-produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam
produksi. Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara (proses)
bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk menata dan
mengkaitkan sekaligus merawat produk yang dihasilkan. Andaikan fikih adalah roti,
maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah fikih mengelompokkan
jenis-jenis produk roti.  
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah
A. Menjelaskan apa Substansi Target dan Kedudukan dari Ushul Fiqih?
B. Apa Saja Unsur-Unsur yang penting dalam Ilmu Ushul Fiqih?
C. Apa Ruang lingkup dan Korelasi Antara Ushul Fiqih & Fiqih Muamalah?
D. Bagaimana Karakteristik target Pembelajaran Ushul Fiqih ?
E. Apa yang disebut Sumber Hukum Asasi ?
F. Apa Sumber Hukum yang lain sebagai pelengkap?
G. Apa Pengertian Tsubut dan Dilalah Nash Al-Qur’an dan Al-Hadist?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini antara lain, selain untuk memenuhi nilai tugas
yaitu antara lain sebagai berikut :
A. Agar dapat memahami dan mengetahui Substansi, Target dan Kedudukan
Ushul Fiqih
B. Menjabarkan beberapa Unsur Penting dalam Ushul Fiqih
C. Memaparkan Korelasi antara Ushul Fiqih dan Fiqih Muamalah
D. Mengetahui Target mempelajari Ushul Fiqih
E. Mengetahui apa Sumber Hukum Asasi
F. Mengetahui Sumber hukum yang lain sebagai pelengkap
G. Memahami Makna Tsubut dan Dilalah Nash Al-Qur’an dan Hadist

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Menjelaskan Substansi, Target dan Kedudukan Ushul Fiqih


1. Substansi Ushul Fiqih
Pengertian Us ūl fiqh terdiri dari dua buah kata dalam bahasa Arab yang
masing-masing Us ūl merupakan ūl dan fiqh. Kata us mempunyai pengertian yang
luas, yaitu kata us l yang mengandung arti landasan sesuatu.
Sedangkan secara bentuk jamak dari kata as mempunyai terminology. Al-
Ghazali menyebutkan (al-Ghazali, 1983: 5), kata as beberapa pengertian, yaitu: l
dariūl fiqh: as1. Dalīl, yaitu landasan hukum, seperti ungkapan para ulama us
wajibnya salat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul. Maksudnya, yang menjadi dalil
kewajiban salat adalah ayat Alquran dan Sunnah.
Maksudnya, setiap perkataan yang didengar atau dibaca, yang menjadi
patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu. Ushul fiqh
Pada masa Rasulullah, sumber hukum Islam hanya ada dua, yaitu Alquran dan
Sunnah. Apabila mucul suatu kasus, beliau menunggu turunnya wahyu yang akan
menjelaskan hukumnya. Jika tidak ada wahyu yang turun, beliau menetapkan
hukumnya berdasarkan sabdanya yang disebut dengan Hadith atau Sunnah. Dari
beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ulama terhadap peristiwa hidup
Rasulullah s.a.w., menujukkan bahwa beliau melakukan ijtihad dan memberi fatwa
berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu. Khususnya, pada masalah-masalah
yang tidak berhubungan langsung dengan hukum dan tidak ada wahyu yang
menjelaskannya.
Seperti, beliau pernah bersabda: ‫نزل علي فيو )رواه أبو‬PP‫رأيي لن ي‬PP‫ ب‬P‫إني إنما أقضي بينكن‬
‫ (داود عن أم سلمة‬Artinya: 4 “Sesungguhnya saya memberi keputusan di kalian dengan
pendapatku, jika wahyu tidak turun kepadaku.” (HR. Abu Dawud, dari Umu Salamah)
Akan tetapi, apabila hasil ijtihad beliau salah, Allah s.w.t. langsung menurunkan
wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihadnya dan menunjukkan kepada yang
benar, seperti dalam kasus tawanan perang Badar. Dalam memutuskan permaslahan
ini, beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya. Abu Bakar menyarankan agar
mereka dibebaskan dengan syarat membayar tebusan. Sedangkan Umar, ia
berpendapat agar semua tawanan dibunuh saja. Kemudian, Rasulullah memutuskan
untuk menerima saran Abu Bakar. Setelah itu, turunlah ayat 67 dari surat al-Anfal
yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar
(Mukhtar dkk, 1995: 10).
Kegiatan ijtihad pada masa ini, tidak saja dilakukan oleh Rasulullah, tetapi
beliau sendiri mengijinkan para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam
memutuskan suatu perkara yang belum ada ketentuntuan hukumnya dalam Alquran
dan Sunnah, seperti dalam kisah Mu‟adz bin Jabal yang sangat terkenal yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud. Kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini,
mempunyai hikmah yang sangat besar. Yaitu, memberikan inspirasi terhadap para

3
sahabat dan para ulama dari generasi berikutnya untuk melakukan ijtihad dalam
menghadapi kasus-kasus yang tidak terjadi pada masa Rasulullah atau yang tidak
terdapat ketetapan hukumnya dalam Alquran. Pada masa tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in dan
para imam mujtahid, yakni sekitar abad II dan III Hijriyah, wilayah kekuasaan Islam
bertambah luas. Banyak di antara ulama yang bertebaran ke wilayah-wilayah tersebut.
Hal ini menyebabkan munculnya peristiwaperistiwa yang ketetapan hukunya tidak
terdapat Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu, para ulama yang tinggal di daerah-
daerah tersebut melakukan ijtihad untuk mencari ketetapan hukumnya. Kenyataan ini
mendorong para ulama untuk menyusun kaidahkaidah syariah yang berhubungan
dengan tujuan dasar-dasar syara‟ dalam menetapkan hukum. Selain itu, mereka juga
menyusun kaidah-kaidah lughawiyyah (bahasa), agar dapat memahami nas-nas syara‟
sebagaimana dipahami oleh olah orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nas-
nas tersebut. Dengan disusunnya kaidah-kaidah syariah dan lughawiyyah dalam
berijtihad pada ūl fiqh. Menurut Ibnu Nadim, ulamaabad II Hijriyah, maka telah
terwujudlah ilmu us ūl fiqh adalah imam Abū Yusufyang pertama kali menyusun
kitab tentang ilmu us 5 ūl fiqh tulisannya tidak sampai kepadamurid imam Abū
Hanifah. Akan tetapi, kitab us kita. Sedangkan menurut Abdul Wahab Khalaf, ulama
yang pertama kali membukukan ūl fiqh dan disertai dengan alasan-alasannya adalah
Muhammadkaidah-kaidah ilmu us bin Idris Asy Shāfi‟i dalam sebuah kitab yang
berjudul Al-Risālah. Kitab yang terakhir ūl fiqh yang pertama kali sampai kepada
kita. Oleh karena itu, iaini adalah kitab us ūl fiqh.terkenal di kalangan para ulama
sebagai pencetus munculnya ilmu us ūl fiqh ini kemudian ditPembahasan ilmu
useruskan oleh para ulama generasi berikutnya (Mukhtar dkk, 1995: 15-16).

2. Target Ilmu Ushul Fiqih


Kegunaan Ilmu Us ūl fiqh adalah untukūl fiqh berpendapat bahwa tujuan
utama usPara ulama us mengetahui dalil-dalil syara‟ yang menyangkut
permasalahan akidah, ibadah, mu‟amalah, uqubah (sangsi) dan akhlak. Pengetahuan
tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan sesuai dengan hukum
yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Oleh ūl fiqh bukan merupakanūl fiqh
menyatakan bahwa uskarena itu, para ulama us tujuan, tapi hanya sebagai sarana
untuk mengetahui hukum-hukum Allah s.w.t. pada setiap kasus. Sehingga, dapat
dipedomanai dan diamalkan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan
mengamalkan ūl fiqh tersebuthukum-hukum Allah s.w.t. yang diperoleh melalui
kaidah-kaidah us (Haroen, 1996: 5). ūl fiqh,ūl fiqh mengemukakan kegunaan
usSecara sistematis, para ahli us antara lain sebagai berikut (al-Zuhaili, 1986: 30-
31): 1. Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam
memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun. 2. Memberikan
gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga
dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara‟ dari nas. Sehingga, ūl fiqh
masyarakat awam dapat mengerti bagaimana para mujtahiddengan us menetapkan
hukum. 3. Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para

4
mujtahid. Sehingga, berbagai persoalan baru yang muncul dan belum ada ketentuan
hukumnya dapat ditentukan hukumnya. 6 4.

3. Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih


Memelihara Agama dari kemungkinan penyalahgunaan dalil. Dalam
pembahasan ūl fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, tetapi
statusnyaus ūl fiqh para peminat hukum Islamtetap mendapatkan pengakuan
Syara‟. Melalui us juga mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang harus
dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum Islam yang bersifat sekunder
yang berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Islam. 5. Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan untuk menetapkan
hukum dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang. 6. Mengetahui kekuatan
dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad.
Sehingga, para peminat hukum Islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu
dalil atau pendapat tersebut mengemukakan alasanya. ūl fiqh adalah untuk
memperoleh hukumhukum syara‟ tetang perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci
sebagaimana disebutkanDari sini, jelaslah bahwa kegunaan us ūl fiqh yang demikian
masih masih sangatūl fiqh.

B. Unsur Penting Dalam Ushul Fiqh


Kegunaan usdalam pengertian us diperlukan, bahkan dapat dikatakan inilah
kegunaannnya yang pokok. Karenanya, para ulama terdahulu telah berusaha untuk
mengeluarkan hukum dalam berbagai permasalahan. Akan tetapi, dengan perubahan
dan perkembangan zaman dan juga dengan bervariasinya kondisi sosial di berbagai
daerah adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan penyebab timbulnya
persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai ketetapan hukumnya dalam Alquran
dan Sunnah. Untuk itu, agar dapat mengeluarkan ketetapan hukum atas persoalan-
persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidahkaidah dan mampu
menerapkan pada dalil-dalilnya (Mukhtar dkk, 1995: 7). ūl FiqhPendekatan dalam
Ilmu Us ūl fiqh dari berbagai mazhab berbeda pendapat dalam memakaiPara ulama
us ūl fiqh.
Ada aliran yang menggunakan pendekatan teoretikpendekatan pada kajian
us dan ada aliran yang menggunakan aliran deduktif. Perbedaan utama antara kedua
pendekatan ini lebih pada masalah orientasi ketimbang masalah substansi. Kelompok
pertama berhubungan dengan pengungkapan doktrin-doktrin teritis dan kelompok
yang kedua lebih bersifat pragmatis dalam pengertian bahwa teori diformulasikan
dalam kerangka penerapan terhadap masalah-maslah yang relevan. Perbedaan antara
kedua 7 pendekatan ini menyerupai karya seorang perumus hukum jika dibandingkan
dengan karya seorang hakim. Aliran pertama berhubungan dengan pengungkapan
prinsip-prinsip, sementara aliran yang kedua cenderung kepada pengembangan
sintetis antara prinsip dan realitas (Kamali, 1996: 9; Haroen, 1996: 11-13). ūl fiqhūl
fiqh dengan pendekatan teoritis cenderung menganggap usKajian us sebagai disiplin
yang berdiri sendiri, dimana fikih harus menyesuaikan diri, sementara ūl fiqh

5
ditempuh olehūl fiqh secara lebih dekat kepada masalahmasalah detail (furū‟ al-
fiqhi).
C. Ruang Lingkup Ushul Fiqh Dan Hubungan Dengan Fiqih Muamalah

Pengembangan yang digunakan dalam metodologi Islam berbeda dengan


pengembangan yang digunakan dalam metodologi konvensional. Menurut Firtz
Machlup (Muqorobin, tt: 1), metodologi berarti ilmu tentang prinsip-prinsip yang
mengantarkan para pembelajar disiplin ilmu, khususnya beberapa cabang
pembelajaran (ilmu) yang lebih tinggi, dalam rangka menentukan proposisi tertentu
diterima atau ditolak sebagai bagian dari bagan ilmu yang disusun secara umum atau
sebagai bagian dari disiplin (ilmu) mereka. Pengembangan yang digunakan dalam
metodologi ekonomi konvensional berdasarkan kepada gejala-gejala ekonomi yang
muncul dan bagaimana pengamatan yang telah dilakukan oleh para ahli ekonomi.
Metodologi ekonomi konvensional dikembangkan dari interpretasi manusia tentang
manusia dan realita kehidupan. Sedangkan dalam Islam, metodologi dikembangkan
dari pemahaman bahwa alam dan isinya adalah ciptaan Allah, maka peraturan-Nyalah
yang paling pantas untuk dilaksanakan.
Metodologi ilmu ekonomi Islam, dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Alquran, Sunnah dan ijtihad (Muqorobin, tt: 11). ūl fiqh mencakup
kajian-kajianSebagai salah satu disiplin ilmu syariah, us tentang sumber-sumber
hukum dan metodologi pengembangannya. Akan tetapi, di luar ūl fiqh
memberikanparadigma spesifiknya ini, orang dapat mengatakan bahwa us pedoman-
pedoman dalam pengkajian dan pemahaman yang benar pada hampir semua cabang
kajian Islam, termasuk pada disiplin ilmu ekonomi (Ibrahim, dalam Kamali: v). 10
Para ulama bersepakat bahwa fikih itu bermacam-macam jenisnya, seperti fikih āt
(perkawinan), fikih mu‟āmalah, fikih siyāsah (politik) danibadah, fikih munākah
lainnya. Walaupun fikih berhubungan dengan hukum-hukum Islam yang bersifat
praktis, tetapi teori-teorinya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam masalah
ekonomi yang tercakup di bawah fikih mu‟āmalah.
Selain itu, para ahli tafsir, fikih dan ilmu kalam juga telah menjelaskan nilai-
nilai Islam dan penerapannya dalam masalah ekonomi (Muqorobin, tt: 15). Para
ekonom muslim beranggapan bahwa nilai-nilai Islam telah mulai mewarnai penerapan
ilmu ekonomi di era modern.

D. Sumber Hukum Asasi


sumber hukum asasi adalah sumber yang diakui dan pembatas dalam membuat
karya ilmiah dan dipakai diterapkan hukumnya didalam hidup kita sehari hari
M Idris Syafi’i (Imam Syafi’i) berpendapat bahwa dalil hukum ada 4: 1. Al-Quran 2.
Sunnah/Hadis 3. Ijma’ 4. Qiyas

E. Sumber – Sumber Hukum Lain Sebagai Pelengkap


Dalam Islam, sumber hukum dalam menetapkan hukum adalah kehendak atau
aturan dari Allah swt. Kehendak Tuhan ini termaktub dalam firman-Nya (Alquran)

6
yang dijelaskan oleh Rasul-Nya (Sunnah/Hadis) Dengan demikian, sumber hukum
Islam terdapat dalam :(1) Al-Quran, dan (2) Sunnah/Hadis. Daud Ali menambahkan
(3) Ijtihad (ra’yu) sebagai sumber hukum Islam.

F. Tsubut Dan Dilalah Nash Al-Qur’an Dan Al-Hadits


Menurut Safi Hasan Abu Talib yang dimaksud dengan qath’i al-wurūd atau
al-tsubūt adalah nash-nash yang sampai kepada kita secara pasti, tidak diragukan lagi
karena diterima secara mutawatir.5 Dalam ha ini, Alquran dari segi keberadaannya
adalah qath’i al-wurūd atau altsubūt karena Alquran itu sampai kepada kita dengan
cara mutawatir yang tidak diragukan keberadaannya. Sedangkan zhanni al-wurūd atau
al-ṣubūt adalah nashnash yang akan dijadikan sebagai dalil, kepastiannya tidak
sampai ketingkat qath’i.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konsep qath’i dan zhanni
para ulama sepakat tentang qath’i dan zhanni al-ṣubūt atau al-wurūd . Mereka
berbeda pendapat dalam qath’i dan zhanni al-dalālah. Para ulama ushuliyyin
berpendapat bahwa qath’i al-dalālah adalah apabila lafaz ayat itu mengandung
makna tunggal dan tidak dapat dipahami selain yang ditunjukkan lafaz itu.
Sedangkan ayat zhanni apabila ayat tersebut mengandung lebih dari satu makna
sehingga memungkinkan untuk ditakwil.
Konsekuensi dari konsep ini adalah tidak boleh melakukan ijtihad terhadap
nash yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti (dalālah qath’i), termasuk di
sini adalah hukum waris yang di dalamnya telah disebutkan angka-angka dan
jumlah tertentu. Adapun menurut para ulama kontemporer qath’i tidaknya suatu
teks itu bukan dilihat dari ketegasan makna suatu lafazh dalam teks, tetapi lebih
pada substansi makna dan kesatuan maksud dari teks itu sendiri secara bersamaan
dari teks-teks lainnya. Sebab substansi wahyu Qur‟an adalah menegakkan nilai
moral etis, seperti keadilan social, persamaan, misi pembebasan, memberantas
kezhaliman, ketidakberdayaan, dan diskriminasi.
Nilai-nilai dasar ini kalau dikaitkan dengan unsur historisitas yang melekat
pada teks, maka nilai-nilai tersebut bernilai qath’i dan harus diperjuangkan. Dan
nilai- nilai itu pula yang menjadi tujuan pokok syariat (maqaṣid al-syari’ah) yang
harus dijadikan pedoman dalam membaca teks (al-‘ibrah bi al-maqaṣid la bi alfazh).
Selain itu qath’i dan zhanni al dalalah ini juga di dasarkan pada suatu perkara
ta’aqquli dan ta’abbudi, sehingga perkara yang ta’abbudi adalah qath’i dan perkara
yang ta’aqquli adalah zhanni.
Dari dua pendapat di atas penulis lebih cenderung pada pendapat kedua yang
menyatakan bahwa ayat-ayat tentang hukum waris adalah zhanni al-dalālah. Hal ini
bisa dipahami bahwa jika dilihat secara historis ternyata ayat-ayat tersebut
mengandung makna yang esensi yaitu keadilan dimana memang pada saat itu masa
Arab Jahiliyah perempuan sama sekali tidak mendapat hak. Hal lain dari sisi
rasionalitas adalah bahwa dalam hukum waris ternyata tidak sepenuhnya sama
persis dengan dalil seperti dalam hal aul dan bagian saudara dan lain-lain seperti
contoh yang telah dijelaskan.

8
Daftar Pustaka

Ratu Haika, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XV No. 2 Desember 2016

Adi N Rahman, Asas Asas Hukum Islam. Univ. Bhayangkara. Jakarta Utara 2018

Akhmad Faoza, Kedudukan Ushul Fiqh Dalam Ekonomi Islam, STAIN Purwokerto

Anda mungkin juga menyukai