Anda di halaman 1dari 9

Kumpulan makalah pengantar ilmu pikih

Makalah ini Diajukan Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah “pengatar ilmu
pikih”
Dosen Pengampu : imat ruhimat

Di Susun Oleh:
NURJANAH
22.02.01.0020

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARUAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NIDA EL-ADABI PARUNGPANJANG
Bogor Parung panjang 2023

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “lingkupnya” dengan tepat
waktu. Makalah ini diajukan untuk memenuhi nilai tugas matakuliah studi
alquran dan hadis.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak
rudini atas bimbingan dan arahannya dengan sangat baik, serta bantuan dari
teman-teman lain yang terlibat yang telah membagi ilmunya sehingga makalah ini
selesai sesuai dengan waktu yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan sehingga
penulisan makalah ini dapat dikembangkan lebih baik lagi.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak ilmu dan
manfaat yang banyak bagi para pembaca, khususnya bagi pembaca yang memiliki
minat di bidang hukum. Selain itu, penulis berharap makalah ini juga dapat
dijadikan sebagai referensi belajar untuk kedepannya.

Parungpanjang, January
2023

penulis

DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR ....................................................................
............................... i
DAFTAR
ISI ..........................................................................
....................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................
......................... 1

A. Latar Belakang
Masalah ......................................................................
.................... 1

B. Rumusan
Masalah ......................................................................
.............................. 2

C.
Tujuan........................................................................
............................................... 2

BAB II
PEMBAHAHASAN .................................................................
..................... 3

Objek Kajian Ilmu


Fiqih ........................................................................
....................... 3

BAB III
PENUTUP ......................................................................
.............................. 4

A.
Simpulan .....................................................................
....................................... 4

Daftar pustaka
II
KAIDAH-KAIDAH FIKIH & METODE ILMU FIKIH

Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah kerangka berpikir yang dijadikan aturan-


aturan
pokok oleh para mujtahid dalam menggali hukum Islam, sehingga hasil ijtihadnya
dapat
dievaluasi secara obyektif. Misalnya, para mujtahid sepakat bahwa “kalimat
perintah
(amar) menunjukkan kepada wajib sampai ada argumentasi bahwa kalimat perintah
itu
tidak menunjukkan kepada wajib”. Mereka mencoba membuat generalisasi pokok-
pokok pikirannya dalam menggali hukum Islam, kemudian direpleksikan ke dalam
bentuk kaidah-kaidah dasar penggalian hukum Islam. Melalui kaidah-kaidah dasar
(al-qawa’id al-ushuliyyah) inilah dapat diketahui titik relevansi antara satu
ijtihad dengan ijtihad yang lainnya. Namun demikian, ruang lingkup al-qawa’id
al-ushuliyyah terbatas pada ranah sumber hukum dan hukum, sedangkan ranah
realitas tidak tercakup kecuali hanya disinggung saja.Jadi ada dua persoalan
yang perlu diperhatikan, yaitu persoalan menggali hukum (istinbath al-ahkam)
dan persoalan penerapan hukum (tathbiq al-ahkam). AlQawa’id al-ushuliyyah
berhubungan dengan istinbath al-ahkam, sedangkan tathbiq alahkam berhubungan
dengan term al-qawa’id al-fiqhiyyah (the maxims of Islamic law).

Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah penggalian hukum (ijtihad


istinbathi),
sedangkan al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah penerapan hukum
(ijtihad
tathbiqi). Kedua model ijtihad ini sama-sama penting, karena saling
berhubungan.
Artinya, sebuah hukum perlu proses penggalian dalam mendapatkannya, sedangkan
hukum yang sudah digali ini juga perlu aturan main dalam menerapkannya agar
bettulbetul dirasakan keadilan dan kebijaksanaannya.

Hukum Islam yang sudah digali, ‘di antaranya’ oleh al-qawa’id al-ushuliyyah
adalah
sangat luas dan banyak sekali materinya, yang tersebar ke dalam ribuan kitab
fiqh. Oleh
karena itu, para ahli fiqh (fuqaha) memandang perlu adanya kristalisasi fiqh.
Kristalisasi
fiqh inilah yang disebut al-qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
Kaidahkaidah fiqh
ini (the maxims of Islamic law) bersifat umum sebagai hasil dari cara berpikir
induktiftematik setelah meneliti materi-materi fiqh. Kaidah-kaidah fiqh ini
berfungsi sebagai klasifikasi dan generalisasi hukum-hukum cabang (al-fiqh)
menjadi beberapa kelompok, yang mana setiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqh ini,
para ahli fiqh merasa lebih mudah dalam menerapkan hukum terhadap suatu
masalah yang berkaitan langsung dengan perbuatan mukallaf (realitas). Mereka
dapat mengelompokkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah fiqh.
Para ahli fiqh berkata:

.‫من راعى االصول كان حقيقا بالوصول ومن راعى القواعد كان حليقا بادراك المقاصد‬

Artinya: “Siapa yang memelihara ushul (ushul al-fiqh), ia akan sampai pada
maksud, dan
siapa yang memelihara kaidah-kaidah (fiqh), selayaknya ia mencapai maksud.”
Abu
Bakar al-Yamani (w.1035 H) menyatakan sebagai berikut:

.‫انما تضبط بالقواعد فحفظها من أعظم الفوائد‬

Artinya: “Sesungguhnya permasalahan fiqh hanya dapat dikuasai oleh kaidah-


kaidah
(fiqh), maka memahami kaidah-kaidah fiqh besar fungsinya.”
Kaidah-kaidah fiqh (the maxims of Islamic law) bertujuan untuk memelihara ruh
Islam
dan mewujudkan gagasan tinggi dalam membina hukum. Dilihat dari sisi
bentuknya, kaidah-kaidah fiqh ini mempunyai keistimewaan, di antaranya adalah
susunan kalimatnya yang ringkas, tetapi cakupan dan jangkauan maknanya sangat
luas. Biasanya, kaidahkaidah fiqh disusun dengan menggunakan dua atau beberapa
kata yang bermakna umum. Menurut Syihabuddin al-Qarafi (w.684 H) sebagaimana
dikutif oleh Mustafa Ahmad al-Zarqa, Syari‘at Muhammad terbagi dua, yaitu
ushul (pokok) dan furu' (cabang). Ushulnya terbagi dua, yaitu ushul al-fiqh
dan kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah. Secara umum, ushul al-fiqh mengkaji
kaidah-kaidah hukum yang muncul dari lafaz, seperti bentuk amar (perintah)
menunjukkan wajib, bentuk nahyi (larangan) menunjukkan haram, bentukbentuk
khusus dan umum, serta nasikh dan mansukh. Kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah,
yaitu kaidah-kaidah yang nilainya tinggi dan jumlahnya banyak, serta mempunyai
cabang-cabang hukum yang tak terhingga. Kaidah-kaidah fiqh ini tidak
disebutkan dalam ushul al-fiqh, kecuali hanya secara global saja. Kaidah-
kaidah fiqh ini sangat penting dan bermanfaat bagi ilmu fiqh. Kebesaran dan
keagungan seorang ahli fiqh terkait dengan keahliannya dalam ilmu ini, sebagai
acuan baginya dalam menetapkan fatwa. Orang yang mengambil furu‘ yang
sifatnya partikular dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah kulliyyah
fiqhiyyah akan mengakibatkan cabang-cabang hukum tersebut bertentangan dan
kacau balau. Di samping itu, ia juga perlu menghapal hukum-hukum partikular
yang tidak berkesudahan. Sebaliknya, orang yang dapat mengikat fiqh melalui
kaidahkaidahnya, tidak perlu menghapal semua partikular tersebut, karena telah
tercakup dalam (kaidah-kaidah) kulliyah fiqhiyyah.
Menurut al-Subki, jika kesulitan dalam memahami hukum-hukum cabang (al-fiqh)
dan
kaidah-kaidah fiqh secara bersamaan, maka cukuplah baginya memahami kaidah-
kaidah fiqh dan sumber-sumber pengambilannya saja.Pengkodifikasian kaidah-
kaidah fiqh (the maxims of Islamic law) bertujuan agar dapat berguna bagi
perkembangan ilmu

fiqh pada masa-masa berikutnya. Dengan berpijak pada kaidah-kaidah fiqh, para
ulama dapat dengan mudah mengidentifikasi berbagai hukum cabang (furu‘) yang
terjadi (realistis). Karena inilah, para ahli fiqh (fuqaha) memberikan
perhatian yang besar dan mempelajari secara sungguh-sungguh ilmu kaidah-kaidah
fiqh.
Rumusan kaidah-kaidah fiqh ada yang sama dan ada yang berbeda. Perbedaan
kaidahkaidah fiqh ini disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
perbedaan hukum fiqh di kalangan para ahli fiqh. Kaidah-kaidah fiqh adalah
hukum fiqh yang diformat dalam bentuk kaidah. Artinya, kaidah-kaidah fiqh
merupakan ‘hukum fiqh besar’ yang mewadahi semua hukum fiqh yang masuk ke
dalam cakupannya.
Kajian metode penemuan hukum Islam ini ada yang menyebutnya dengan istilah
metode
1. hukum Islam biasanya berkenaan dengan teori klasik tentang sumber hukum
Islam, baik di kalangan ahli hukum Islam maupun para pakar hukum Barat.
Oleh karena itu fungsi

2. dan sifat sutu metode tidak dapat dipisahkan, bahkan dipengruhi sifat
sifat sumber hukum

3. itu sendiri. Fakta historis menunjukkan bahwa pemahaman hukum Islam yang
jelas

4. ditempuh para sahabat Nabi telah mampu memberi peran penting dalam
menampakkan
5. karakteristik hukum Islam yang dinamis dan elastis seiring dengan
tuntutan zaman yang

6. dihadapi. Pembahasan metode dan sumber hukum ini terasa semakin penting

7. dikemukakan karena selama ini masih terdapat diskursus sekitar


penempatan ijma, qiyas,

8. istihsan dan lainnya sebgai dalil hukum Islam pada satu sisi dan sebagi
metode hukum

9. pada sisi lainnya.

HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH

A.pengertian hakim

kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanyasama
dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu;orang yang memutuskan dan
menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, danyang mengetahui hakikat seluk beluk segala
sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan. Untuk pengertian
yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh,
kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan.Adapun
menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum
syariat secara hakiki. Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan
hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-HakimHuwa Allah; al-Hakim adalah Allah). .Semua ulama
sepakat menyatakan, hanya Allah SWT yang berhak mencipta danmenetapkan perintah dan larangan,
dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-
Nya.Dalam konteks penetapan hukum, dilingkungan ulama ushul fiqih dikenal dua istilah yaitu Al-
mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi
nyata).Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan
hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah SWT, Tidak siapa pun yang
berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah
al-hakim dan asy-Syari (pembuat syariat). Dalam istilah al-hakim dan asy-syari selain bermakna Allah
SWT pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah SAW bukan karena beliau
memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antaralain ,
menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam konteks
inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada RasulullahSAW yaitu yang biasa
disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw
(wahyu yang tidak dibacakan/Al-Hadits/AsSunnah).
B.Pengertian Mahkum fih
Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang
berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini
tidak lain adalah sebagai bentuk uji coba/ ibtila’ dari Allah kepada para hambanya supaya dapat
diketahui mana hamba yang benarbenar taat dan mana hamba yang maksiat kepadaNya. Dengan
demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan erat dengan perbuatan mukallaf dan perbuatan inilah yang
disebut dengan mahkum alaih, (M. Sulaiman Abdullah, 2004: 72). Dari sini terlihat jelas bahwa setiap
bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu berupa taklif ijab atau nadb maka hukum tersebut akan
terlaksana dengan adanya sebuah tindakan atau perbuatan dan jika taklif itu berupa karahah atau
haram, maka hukum

tersebut akan terlaksana pula dengan adanya tindakan/perbuatan meninggalkan. Jadi tindakan
pencegahan atau meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun (perbuatan).
Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya adalah:

a. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf sehingga tergambar
tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya. Dengan demikian seorang itu tidak diwajibkan
melaksanakan sholat sebelum jelas rukun-rukun dan kaifiyahnya.
b. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk memberikan taklif.
Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu mengarahkan kehendak untuk
melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah mengenai pengetahuan.
Pengetahuan yang dimaksud adalah imkan al-Ilm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan pengetahuan
secara praktis. Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu memahami hukum-
huum syar’i dengan sendiri ataudengan cara bertanya pada ahlinya, maka ia telah dianggap sebagai
orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya, (Wahab Khallaf,: 129).

C. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.


Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa perbuatan yang mustahil untuk
dikerjakan, seperti mengharuskan untuk melaksanakan dua hal yang saling bertentangan, mewajibkan
dan melarang dalam satu waktu, mengharuskan manusia untuk terbang dll. Meski demikian, ternyata
masih ada sekelompok ulama yang memperbolehkan taklif pada perbuatan yang mustahil. Pendapat ini
dipegangi oleh ulama-ulama dari kalangan Asy’ariyah

Pengertian Mahkum Alaih

Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitumukallaf atau manusia
yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaihberarti ‘orang mukallaf (orang yang layak
dibebani hukum taklifi). Para ulama ushulfiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih
( َ‫ )عليه خكم الم‬dikenai khitab allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (ُ‫)كلف الم‬. Secara etimologi,
mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usulfiqih,istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih
(dalam subjek). Orang mukallafialah orang yang telah dianggap bertindak hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan laranganNya.Perbuatan seorang mukallaf bisa
dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang sah apabilamukallaf tersebut memenuhi dua
persyaratan, yaitu:
a. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia mampu memahaminash-nash
perundangan yang ada dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah dengan kemampuannya sendiri atau melalui
perantara.

b. Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang ditaklifkan kepadaNya.
Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan. Sementara kecakapan

sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Terkait dengan hal ini, Al-Amidi, sebagaimana dikutip oleh az-
Zuhaili mengatakan bahwa para cendekiawan muslim sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai
seorang mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif adalah khitab
dan khitabnya orang yang tidak

Anda mungkin juga menyukai