Anda di halaman 1dari 78

ANALISIS LOGIKA FORMAL BERTRAND RUSSELTERHADAP

PROBLEM KEBAHASAAN
USHUL FIQH

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi dan melengkapi sebagai syarat ujian guna memperoleh
gelar Sarjana dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh:
NINGSIH
NIM: E51212053

JURUSAN FILSAFAT AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016-2017
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Logika Formal Bertrand Russell terhadap


Problem Kebahasaan Ushul Fiqh. Adapun fokus penelitian yang dibahas dalam
skripsi ini adalah (1). Bagaimana pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari
logika Bertrand Russel? (2). Bagaimana konsep pendekatan kebahasaan dalam
ushul fiqh?
Ushul fiqh sebagai sebuah disiplin yang pertama kali digagas Asy-Syafi’i
sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu
keislaman (the queen of Islamic sciences). Di samping kedudukannya sebagai salah
satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu
yang dalam banyak hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya,
seperti ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu kalam. Ushul fiqh sebagai disiplin yang
mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan
legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat
persoalan hukum sebagai masalah epistemologi.
Dengan kata lain ushul fiqh tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan
penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan
mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum.
Bahkan Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fiqh telah menyentuh
epistemologi kontemporer.
Dalam penelitian yang penulis lakukan ini merupakan metode kepustakaan
murni. Penelitian akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau segala
informasi yang memuat objek penelitian yang akan diteliti, yang memuat tulisan
tentang ushul fiqh yang dilihat dari sudut pandang filsafat bahasa Bertran Russell.
Baik didapatkan dari buku yang memuat tentang pemikirannya maupun jurnal-
jurnal yang telah dituliskan ataupun pada tulisan-tulisan yang dituangkan yang
termuat dalam situs-situs yang penulis gunakan adalah deskripsi dan analisa.
Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai ushul fiqh dilihat dari fisafat bahasa Bertrand Russell.
Dari kesimpulan yang didapat, Bertrand Russell memandang bahwa bahasa
yang digunakan harus jelas dengan formulasi tatanan bahasa yang tepat. Tugas dari
filsafat bahasa disini adalah untuk memperjelas arti dari makna yang ada di dalam
Al-qur’an khususnya dalam ilmu ushul fiqh.

ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN.......................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI .................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... v

MOTTO .......................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vii

ABSTRAK ...................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR .................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 8

C. Tujuan Peneitian ........................................................................ 8

D. Kegunaan Penelitian .................................................................. 8

E. Penegasan Judul ......................................................................... 9

F. Penelitian Terdahulu .................................................................. 10

G. Metode Penelitian ...................................................................... 12

H. Sistematika Pembahasan ............................................................ 13


 

xii 

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


 

BAB II. KAJIAN TEORI

A. Biografi Bertand Russell ............................................................ 15

B. Pemikiran Bertand Russell ......................................................... 16

a. Atomisme Logis ..................................................................... 17

b. Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk ............................ 20

4. Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell ........................... 22

BAB III. PENYAJIAN DATA

A. Pengertian Ushul Fiqh ................................................................ 23

B. Objek Kajian Ushul Fiqh ........................................................... 27

C. Perkembanagan Ushul Fiqh ....................................................... 27

1. Ushul Fiqh Sebelum di Bukukan ........................................... 30

2. Pembukuan Ushul Fiqh ........................................................... 32

D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh............................................................... 33

1. Jumhur Ulama’ ...................................................................... 34

2. Aliran Hanafiyah (Anhaf) Atau Fuqoha ................................. 37

3. Metode Campuran................................................................... 40

E. Problem Kebahasaan dalam Ushul Fiqh ..................................... 41

F. Pengertian Dalalah Mantuq dan Dalalah Mafhum ...................... 48

1. Pengertian Dalalah Mantuq ................................................... 49

2. Pengertian Dalalah Mafhum .................................................. 50

G. Macam-Macam Dalalah Mantuq dan Dalalah Mafhum ............. 51


 

xiii 

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


 

BAB IV. ANALISIS DATA

A. Kaitan Logika Formal Bertand Russell dalam Problem

Kebahasaan Ushul Fiqh .............................................................. 59

1. Metode Atomisme .................................................................. 61

1. Metode Kebahasaan Usul Fiqh .............................................. 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................ 64

B. Saran/ Kritik ............................................................................... 65

C. Penutup ...................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA

xiv 

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Termasuk di antara anugerah dan kasih sayang Allah SWT pada

manusia adalah munculnya al-Maudhu’at al-Lughawiyyah (beberapa

peletakan bahasa), atas ciptaan Allah SWT. Meskipun ada yang mengatakan

bahwa peletakan bahasa adalah selain Allah SWT, yakni para hamba sendiri,

munculnya bahasa tetap menjadi anugerah agung dari-Nya, karena Allah-lah

yang menciptakan semua perbuatan hamba-hamba-Nya. Setiap manusia

membutuhkan bahasa sebagai pengungkap makna dalam hati, untuk

berinteraksi dengan sesama. Karena secara fitrah, manusia makhluk sosial,

tidak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Selain itu

bahasa adalah faidah dari pada isyarat yang lebih mudah dipahami.1 Selain

bahasa manusia memerlukan pemahaman hukum-hukum tentang Islam seperti

ilmu ushul fiqh.

Para ulama’ ushul berupaya untuk menggali hukum atau meng-

istimbath-kan hukum dari Al-qur’an dan Hadits, sebagaimana usaha untuk

memecahkan problem dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menggali

hukum adalah melalui nash-nash Al-qur’an dan Hadits. Ushul fiqh merupakan

ilmu yang mempelajari dasar-dasar fikih. Karena untuk memahami atau

mengetahui hukum tentang pengkajian hukum Islam. Dalil-dalil ini merupakan

1
Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 110.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2

pondasi dalam menentukan suatu pernyataan. Jadi jelas ushul fiqh merupakan

metode untuk mengkaji dan memahami hukum secara komprehensif. Dalam

ilmu fikih, Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama yang dipahami

dan ditetapkan sebagai hukum melalui ushul fiqh. Yaitu ilmu yang membahas

tentang metodologi istinbath hukum Islam dari sumbernya yaitu sumber primer

yakni Al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas dan sumber sekunder yakni istihshan,

maslahah al-mursalah, sadz al-dzari’ah, istishab, urf, syar’u man qablaha dan

qaul shahabi. Metodologi yang dimaksud secara garis besar ada dua macam

yaitu metode pendekatan lughawiyah (kebahasaan) dan maqashid al-syari’ah

(kemaslahatan bersama). Metode pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh

merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui dalil-dalil am-khas,

mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh dan lain-lain. Sedangkan metode

pendekatan maqashid al-syari’ah merupakan metode dalam ushul fiqh yang

memandang pada kemaslahatan umat. Karena sebagaimana diketahui bahwa

Tuhan tidak menghendaki kesukaran kepada hamba-Nya.

Sedikit telah kita paparkan mengenai metode yang digunakan dalam

ushul fiqh, seperti di atas ada dua macam yaitu pendekatan kebahasaan dan

pendekatan maqashid al-syari’ah. Tetapi dalam tulisan ini, kita akan

mengkhususkan bahasan pada metodogi yang pertama yaitu pendekatan

kebahasaan.

Adapun nash-nash dalam Al-qur’an dan Hadits ialah menggunakan

bahasa Arab. Konsekuensi logis yang harus diterima benar adalah ketentuan-

ketentuan yang harus dipenuhi harus sesuai dengan gramatika bahasa Arab

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


3

agar pemahaman yang diperoleh dalam menetapkan suatu hukum yang berasal

dari nash itu memadai. Oleh karena itu, para ulama ushul fiqh melakukan

penelitian sistematis terhadap susunan bahasa Arab, mufradat, dan lain-lain

yang secara garis besar mereka melakukan penelitian terhadap gramatika

bahasa Arab.2

Dengan demikian jadi jelas bahwasanya al nushus merupakan hal yang

pertama. Syatibi memperinci pandangan sebagai metode dalam menemukan

maqashid al-syari’ah yaitu pertama, berpegang nash (al nushus) dalam

menetapkan hukum, yang pertama kali dijadikan rujukan adalah lafal dan

makna lughawi al-qu’ran dan sunnah. Dalam konteks ini yang menjadi fokus

kajian adalah lafadz-lafadz nash yang ‘am, khas, mutlak, muqayyad, mustarak,

mantuk, mafhum, amr, nahi, persoalan nasikh dan mansukh dan sebagainya

yang berkaitan dengan dalalah. Untuk memahami nash diperlukan kemampuan

bahasa Arab yang baik dan ilmu-ilmu pendukunnya.3

Madzhab Syafi’iyah dalam memahami dalil nash dibagi menjadi dua

macam yaitu dalalah manthuq dan dalalah mafhum. Pertama, dalalah

manthuq adalah petunjuk lafadz yang sama antara redaksi dan arti lafadz itu

sendiri. Artinya, dalil-dalil nash dalam Al-qur’an dan hadits memiliki maksud

dan tujuan sama dalam penerapannya.

2
Ebook offline Ushul Fiqh, 1 , dalam agustionto.niriah.com, diakses pada 15 September 2015
3
Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), 170.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


4

Kedua, dalalah mafhum yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang

didiamkan dari lafadz itu dalam hal menetapkan atau meniadakan hukum.

Artinya, makna dari lafadz-lafadz dalil nash tidak dijelaskan penerapannya

secara langsung melainkan memerlukan metode induksi untuk dapat memahami

makna yang terkandung di dalamnya.4

Dari kedua metode yang diterapkan oleh ulama Syafi’iyah kita dapat

mengetahui bahwa dalam metode kebahasaan juga harus berlaku dalam

penerapannya yakni kehidupan nyata. Di mana proses istimbath suatu hukum

dapat melahirkan hukum fikih yang dapat diterapkan oleh umat Islam dalam

kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum

(maqashid al-syari’ah) dan hakikatnya hukum. Pengetahuan tentang ini

diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung

kemaslahatan bagi umat Islam. Dan begitu juga dalam filsafat Bertrand Russel

menjelaskan tentang pentingnya sebuah penjelasan di dalam fakta realita yang

dibantu oleh logika yang berasal dari inderawi.

Menurut Russell, proposisi merupakan hasil daripada pemikiran yang

disampaikan melalui pernyataan-pernyataan dalam bentuk bahasa. Dalam sistem

logika tradisional dan modern, proposisi merupakan unsur utama. Tetapi dalam

perkembangan logika sejak digagas oleh Aristoteles proposisi-proposisi banyak

dipakai dan disesuaikan dengan pemahaman filsafat yang dianut oleh aliran-

4
Ibid,. 63

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


5

aliran tertentu. Penganut idealisme akan menyatakan bahwa proposisi tidak lain

adalah hasil daripada ide atau pikiran, sedangkan bagi penganut materialisme

akan mengatakan bahwa proposisi tidak lain adalah hasil daripada interaksi indra

dengan benda-benda material.5

Jika dalam ushul fiqh menurut pandangan Syafi’iyah untuk memahami

nash ada dalalah mafhum dan dalalah manthuq akan tetapi dalam pendekatan

kebahasaan Bertrand Russell menggunakan proposisi atomik dan proposisi

majemuk. Atomisme Logis merupakan nama filsafat yang diberikan oleh

Russell, yang mana logika adalah fundamental filsafat. Logika bersifat atomis.

Atom yang dimaksud adalah atom logis bukan atos fisika. Analisis logis

digunakan untuk mendapatkan satuan-satuan logis akan kebenaran realitas.

Russell menganggap bahasa sehari-hari tidak memadai untuk bahasa filsafat

karena banyak makna ganda dan keterikatan dengan konteks, pikiran harus

dibangun melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika.

Russell mengatakan adanya kaitan erat dalam istilah isomorphismenya

yakni adanya kesepadanan atau kesetaraan antara struktur realitas dan struktur

bahasa. Suatu proposisi disebut proposisi atomik apabila berupa proposisi yang

berdiri dalam satu kalimat yang mengandung realitas sederhana, tidak memuat

unsur-unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan

proposisi lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan

sebagainya.

5
Robert C. Solomon dan Kathleen M. H., A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,
Sejarah Filsafat (Yokyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000), 491.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


6

Menurut Russell, kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi

majemuk ialah tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi

atomiknya. Atau dengan kata yang lebih mudah untuk dipahami ialah bahwa

proposisi majemuk merupakan fungsi kebenaran daripada proposisi atomik.

Suatu proposisi atomik menurutnya tidak dapat dinilai benar atau salahnya,

hanya bahasa yang dipakai dapat ditentukan kebenaran dan ketidakbenarannya,

karena proposisi atomik sendiri mengandung unsur-unsur realitas sederhana.6

Filsafat analitis lahir sebagai respon atas kerancuan dan permasalahan

dalam menjelaskan dan menguraikan ungkapan-ungkapan filosofis. Dengan

kata lain, filsafat analitis digunakan untuk membahas, menjelaskan dan

memecahkan masalah filsafat dengan menggunakan analisa bahasa, ataupun

melalui analisis linguistik. Salah-satu teori dalam filsafat analitis adalah

atomisme logis. Istilah ini dinisbatkan pada dua filsuf Ludwig Wittgenstein dan

Bertrand Russel.

Pemikiran atomisme logis lebih dulu telah dikembangkan Ludwig

Wittgenstein dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Namun nama

dari aliran atomisme logis ini pertama kali dikemukakan oleh Bertrand Russell

dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam “Contemporary British

Philosophy” yang terbit pada tahun 1924.

6
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 267.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


7

Nama atomisme logis yang digunakan oleh Bertrand Russell

menunjukkan pengaruh dari David Hume dalam karyanya “An Enguiry

Concerning Human Understanding”.7

Sedikit mengulas hubungan Russel dan Witgenstein. Keduanya adalah

sahabat sejaman. Wittgeinstein adalah murid Russel yang cemerlang. Namun

demikian, di beberapa waktu, Russel mengaku sebagai murid Wittgeinstein.

Mengenai atomisme logis yang dikembangkan keduanya, sebenarnya memiliki

perbedaan. Tetapi jika dipandang dari pendekatannya terdapat kesamaan yang

signifikan.8 Karena itu, dalam penulisan ini, akan difokuskan pada atomisme

logisnya Bertrand Russel.

Begitu juga yang terjadi pada saat ini, bahasa menjadi tolak ukur

seseorang untuk memahami sebuah makna, kenyataan yang ada dalam Al-

qur’an ataupun Hadits makna yang digunakan banyak memakai arti yang

tersirat. Sedangkan pemahaman yang lebih mudah ialah makna yang tersurat.

Oleh karena itu, penelitian ini beranjak dari fenomena kebahasaan yang sering

terjadi kesalah fahaman antara teks dan konteks, dalam Al-qur’an, hadits, ijma’

dan qiyas dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa kita paparkan melalui analisis

proposisi Bertrand Russell. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melalui

penelitian dengan judul. “Analisis Logika Formal Bertrand Russell

terhadap Problem Kebahasaan Ushul Fiqh”.

7
Kaelan, Filsafat Bahasa (Yogyakarta: Paradigma 1998), 87.
8
Asep Hidayat, Filsafat Bahasa (Bandung: Rosda Karya, 2006), 48.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


8

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah peneliti kemukakan di atas, maka

dirumuskan beberapa rumusan masalah yang kemudian akan dikaji lebih

lanjut, yaitu:

1. Bagaimana pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari analisis logika

Bertrand Russell?

2. Bagaimana konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diajukan di atas maka tujuan penelitian

ini adalah:

1. Untuk memahami pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari analisis

logika Bertrand Russell.

2. Untuk memahami konsep pendekatan kebahasaan dalam ushul fiqh.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara

teoritis, praktis, maupun secara akademik.

1. Secara Teoritik

Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya memenuhi tugas akhir

dalam program strata S1 jurusan Filsafat dan Agama Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat dan juga diharapkan mampu menambah keilmuan peneliti dalam

bidang ilmu filsafat secara mendalam.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


9

2. Secara Praktis

Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai analisis

proposisi Bertrand Russell terhadap metode kebahasaan ushul fiqh, dan bahan

pertimbangan bagi peneliti lainnya.

3. Secara Akademik

Sebagai masukan dan sebagai pembendaharaan perpustakaan untuk

kepentingan ilmiah selanjutnya dapat memberikan informasi atau gambaran

bagi peneliti lainnya mengenai (filsafat bahasa, pengetahuan terhadap

kebahasaan ushul fiqh dan strategi logika formal Bertrand Russell).

E. Penengasan Judul

Analisis : Penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa menguraikan

pemahaman dan arti keseluruhan untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, dan

sebagainya), dan juga menguraikan suatu pokok atas

berbagai bagianya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta

hubungan antar bagian untuk memperoleh pengetahuan

yang tepat dalam pemahaman.9

Logika : Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang

berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan

lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah

9
Hasan Alwi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Manteri Pendidikan Nasional, 2003), 43.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


10

salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut

dengan logike episteme (bahasa Latin: logica scientia) atau

ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari

kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.

Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk

mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan

akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam

tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga

diartikan dengan masuk akal.10

Formal : Sesuai dengan peraturan, atau kebiasaan.11

Kebahasaan : Bahasa yang memilki definisi, sesuatu yang mewakilkan

benda, tindakan gagasan, dan keadaan.12 Sesuatu yang

bertujuan untuk menggambarkan sesuatu dengan bahasa

yang jelas.

Ushul fiqh : Ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus

ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-

dalil syara’. 13

Bertrand Russell : Filsuf atau ilmuan yang lahir pada 1872-1970 di

Cambridge pada abad ke-19 M. Dalam perumusan Russell

ia mencoba membagikan dalam tiga tipe: tipe tradisional

10
https://id.wikipedia.org/wiki/Logika. Di akses pada 21 agustus 2016.
11
Hasan Alwi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Manteri Pendidikan Nasional, 2003),
320.
12
https://bahasadankesastraan.wordpress.com/category/pengertian/.
13
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh. Cet 1 (Bandung: PT Pustaka Setia, 1999), 17.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


11

klasik, tipe evolusionalisme, dan yang ketiga tipe logika

atomisme.14

Dengan demikian maksud dari judul tersebut adalah untuk memahami

ilmu-ilmu ushul fiqh terutama dalam dalalah-dalalah yang ada di ushul fiqh

dan di lihat dari segi filsafat bahasa Bertrand Russell melalui Proposisinya,

yang mana dijelaskan melalui proposisi atomic dan proposisi majemuk.

Penengasan judul ini tidak lain untuk tidak terjadi kesalah pahaman judul.

F. Telaah Pustaka

Dalam penulisan ini tentunya penulis menggunakan sumber primer dan

sumber sekunder. Sejauh ini penulis berhasil mengetahui karya ilmiah yang

membahas tentang ushul fiqh.

1. Dalam jurnal “Diskursus Interpretasi Linguistik;Ragam Kejelasan dan

Kesamaan Makna dalam Ushul Fiqh” pengarang Atik Abidah di sini

menjelaskan bahwa dalalah yang tidak jelas bukan berarti karena ketidak

jelasan dalil itu akan tetapi mungkin karena qarinah yang belum jelas

sehingga diperlukan ijtijad dan upaya yang lebih besar lagi. Akan tetapi

perbandingan antara ulama’ Ushul Hanafiyyah dan Mutakallimin adalah

Hanafiyyah membagi dalalah yang jelas menjadi empat: Dahir, nas,

mufassar, dan Muhkam sedangkan Mutakallimin membagi menjadi dua

yaitu; Dahir dan Nas.

14
Wahyu Murtiningsih. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Majah. Cet III (Yogjakarta: IRCisod,
2014), 187-190.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


12

2. Dalam jurnal “Interrelasi dan Interkoneksi antara Hermeneutika dan Ushul

Fiqh” pengarang Lindra Darnela di sini menjelaskan bahwa hermeneutika

dan ushul fiqh memiliki korelasi yang sangat dekat jika melihat beberapa

metode yang digunakan. Oleh karena itu, hermeneutika yang merupakan

metode penafsiran yang tegas dan jelas. Dengan kata lain untuk mengikuti

pergerakan makna dari al-qur’an sebagai rahmatan lil allamin maka perlu

metode ushul fiqh yang senantiasa mampu menerjemahkan bahasa Al-qur’an

dan menjawab persoala-persoalan kemanusian yang selalu berubah.

Berbeda dengan skripsi yang ditulis oleh peneliti terdahulu, Peneliti

ingin membahas macam-macam dalalah dalam ushul fiqh. Dengan kata lain,

peneliti ingin membahas secara keseluruhan mengenai ushul fiqh dan

mengaitkan dengan proposisi formal Bertran Russell.

G. Pendekatan dan Kerangka Teroritik

Sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan penelitian skripsi ini ialah untuk

mengetahui kebahasaan ushul fiqh dilihat dari kacamata proposisi Bertrand

Russell. Karena jenis penelitian ini merupakan tentang filsafat bahasa tokoh

filsafat barat yang mana untuk menelaah kebahasaan ushul fiqh, maka untuk

mendapatkan gambaran yang jelas dan hasil yang sesuai dengan apa yang

sudah diharapkan maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode pengumpulan data

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


13

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan

pendekatan library research (penelitian kepustakaan), sebagai refrensi adalah

data-data yang baik primer atau sekunder seperti skripsi, tesis, disertai dengan

yang sudah dijadikan buku, jurnal, ensklopedi dan dokumentasi lain yang

membahas tentang kebahasaan ushul fiqh.15

2. Metode analisis data

Data sebagai hasil studi kepustakaan akan ditempuh dengan metode

deskriptif analitik yaitu suatu metode yang digunakan untuk menganalisis

data yang sudah diperoleh, kemudian diklasifikasikan agar sampai pada

kesimpulan dari kumpulan data tersebut.16 Tentunya dalam penulisan skripsi

ini akan sering berjumpa dengan bahasa asing, maka akan diproses dengan

penterjemahan yaitu mengalihkan makna bahasa asing ke bahasa Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan rangkuman sementara dari sisi

skripsi, yakni gambaran isi skripsi secara keseluruhan. Adapun penyajian

skripsi ini dibagi dalam bab-bab, dan secara keseluruhan dibagi dalam empat

bab dengan rincian sub-bab secara sistematis dan berkesinambungan.

Adapun penyajiannya sebagai berikut:

Dalam bab I ini memuat uraian pendahuluan yang di dalamnya terinci

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

definisi konsep, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

15
Muhammad Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghaila Indonesia, 1998), 56.
16
Winarno Surhamad, Pengantar penelitian Ilmiah (Bandung: Taristo, 1985), 140.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


14

Pada bab II. Berisi ulasan biografi Bertrand Russell tentang pengertian

logika formal, fungsi logika formal dan kelemahan atomisme logis Bertrand

Russel.

Dalam bab III. Berisi ulasan, pengertian ushul fiqh, kajian ushul fiqh,

perkembang ushul fiqh, aliran ilmu ushul fiqh, problem kebahasaan dalam

ushul fiqh, serta macam-macam dalalah dalam ushul

Dalam bab IV. Analisis data, peneliti menuliskan analisis tentang kaitan

logika Bertand Russel dan bagaimana cakupan dalam metode kebahasaan ushul

fiqh.

Dalam bab V. Penutup, berisi kesimpulan dan saran dari peneliti terkait

analisi logika formal Bertran Russel terhadap problem kebahasaan ushul fiqh

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Biografi Bertrand Russell (1872-1970 M)

Bertrand Russell dilahirkan di Cambridge pada abad ke-19 M dia

dilahirkan setahun sebelum kematian John Stuart Mill. Ibunya adalah anak

Lord Stanley dari Arderley, ayahnya Viscount Amberley adalah anak tertua

Lord John Russell. Pada usia empat tahun ibunya meninggal dunia, dan setelah

itu ia diasuh oleh neneknya secara ketat hingga ia masuk Trinity Collage

Cambridge, dengan beasiswa dalam bidang matematika. Kemajuan

intelektualnya segera mulai berkembang. Ia perlahan-lahan pindah dari

matematika kepada filsafat dan terus tinggal sampai tahun keempat di Trinity

untuk membaca bagian kedua Moral Science Tripos. Pada tahun 1895 ia

memperoleh beasiswa pada Trinity.

Pada bulan Juli 1909 dalam kongres filsafat yang bertempat di Paris ia

bertemu dengan ahli logika Itali, Peano, dan melalui pertukaran gagasannya ia

mengembangkan pikirannya mengenai identitas yang mungkin dari

matematika dan logika.17 Hasil akhir dari ini adalah kolaborasinya dengan

Whitehead yang menguji dalam program doktor di Trinity untuk menyusun

principia mathematic. Karya detail daripada bukunya secara luas dimuat dalam

penulisan ulang dalil-dalil yang dilakukan dengan susah payah oleh Russell.18

17
Diane Collingson, Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin, Lima Puluh Filosof
Dunia yang Mempengaruhi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 197
18
Ibid., 198.

15

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


16

Dalam bukunya mengenai Russell, Ayer mengatakan bahwa sejak

tahun 1907 sampai tahun 1910 Russell menulis buku itu kira-kira selama 8

bulan setiap tahun, 10-12 jam sehari. Ayer meneruskan:

”Ketika buku itu selesai ditulis, Syindics dari Cambridge University

memperkirakan bahwa penerbitannya akan merugikan mereka sebanyak P600,

yang sebagian darinya mereka tidak mau menanggung lebih banyak”.

Russell meninggal dunia pada usia 98 tahun di North Wales dengan

membuat kecaman terhadap perang yang dilakukan oleh Israel-Arab.

B. Pemikiran Bertrand Russell

Bertrand Russell termasuk dalam kelompok filosof kontemporer yang

pokok kajiannya adalah persoalan logosentris, yakni pengkajian filsafat

melalui analisis aturan-aturan kesesuaian kebahasaan. Pemikirannya mengenai

tata bahasa logis yang digunakan sehari-hari merupakan suatu paradox

terhadap para pemikir-pemikir Inggris yang cenderung mengedepankan ajaran

idealisme. Maka dari itu ia menegaskan bahwa kesadaran adalah akses manusia

terhadap dunia dan pengetahuan manusia berasal daripada pengalaman

sehingga dapat dipahami dengan cepat dan tanggap dengan bantuan logika

yang sesuai dengan realitas. Karenanya realitas dapat dirasakan dengan adanya

sensor atas fakta-fakta yang berupa sensasi-sensasi yang berasal inderawi.19

1. Atomisme Logis

19
Robert C. Solomon dan Kathleen M. H., A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu,
Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), 491.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


17

Pada saat pemikiran filsafat di Inggris didominasi oleh tradisi-tradisi

idealisme membuat Russell tergugah untuk memberikan tantangan terhadap

tradisi yang dinilai konservatif. Ia menciptakan gagasan pemikiran filsafat

yang berbeda dengan pemikir yang lain, yakni atomisme logis. Melalui konsep

ini ia telah dinilai berhasil mensintesakan pemikiran para filosof sebelumnya.

Atomisme logis merupakan sebuah ajaran yang menyatakan bahwa

semua entitas bersifat kompleks yang hanya dapat dianalisis melalui nama-

nama yang secara logika tepat dan berupa keadaan partikular-partikular.20

Menurutnya, bahwa dunia memuat berbagai fakta yang sesuai dengan

wujudnya tersendiri seperti yang terpikir oleh akal. Dalam teorinya terlihat

jelas bahwa Russell termasuk ke dalam golongan empirisme.

Atomisme logis Russell telah berhasil memberikan sebuah konsepsi

logis mengenai realitas yang terjadi sehari-hari. Pemikirannya merupakan

sebuah reaksi terhadap para Hegelian Inggris yang dinilainya sebagai sebuah

pemahaman yang salah mengenai realitas. Idealisme Hegel dikatakannya

sebagai sebuah ajaran yang tidak perlu untuk dikaji karena dalam sistem

ajarannya Hegel menyatakan bahwa realitas adalah satu dan realitas seluruhnya

berupa pikiran. Misalnya, ketika seseorang melihat orang lain kelaparan, maka

selamanya orang tersebut akan tetap merasa lapar apabila tidak diberikan

makanan untuknya. Ini persis seperti apa yang telah diajarkan oleh Hegel, maka

ketika melihat orang kelaparan akan bisa merasakan kenyang dengan dikatakan

20
Diane Collingson, Fifty Major Philosoper, terj. Ali Mufty dan Ilzamuddin, Lima Puluh Filosof
Dunia yang Mempengaruhi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 197.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


18

kepadanya “makan, makan, dan makan”. Akan tetapi, pada kenyataannya

manusia lapar tidak membutuhkan kata-kata seperti itu melainkan mereka

butuh pada makanan.

Pemikiran Russell merupakan pertukaran gagasan G.E. Moore, yang

mengemukakan konsep filsafat analitik bahasa, yaitu teman seperjuangan

dengannya. Rusell dan Moore memiliki gagasan bahwa seorang filosof

mempunyai tugas untuk menganalisis proposisi-proposisi kebahasaan, yaitu:

suatu pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang dapat dinilai

benar tidaknya kalimat tersebut.21 Meskipun mereka berdua memiliki

persamaan, namun mereka memiliki perbedaan yang mendasar. Yaitu Moore,

menggunakan analisa berdasarkan commonsence. Moore beranggapan bahwa

bahasa alamiah yang digunakan sehari-hari dinilai telah memadai dalam

filsafat. Sedangkan Rusell mengatakan bahwa bahasa sehari-hari tidak cukup

memadai dalam filsafat karena menurutnya bahasa sehari-hari sering kali

memilki makna dasar yang ambigu sesuai dengan konteks yang terjadi. Atas

dasar inilah maka Rusell menciptakan pemikrannya melalui bahasa yang

berdasarkan formulasi logika.

Dalam hal ini Rusell ingin mewujudkan realitas yang akurat yang sesuai

dengan fakta berdasarkan formulasi logika. Namun ia juga mengakui bahwa

untuk dapat mengimplementasikan bahasa logis itu banyak terpengaruh oleh

21
Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 54.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


19

logika Gothlob Frege. Secara mendasar Russell mengemukakan alasan sebagai

dasar pemikirannya adalah;

1. Logika Frege yang baru itu hanya cocok diterapkan pada ilmu itu hitung

(aritmatika), tidak untuk diterapkan pada cabang matematika yang lain.

2. Premis Frege tidak dapat meniadakan berbagai kontradiksi yang terdapat

dalam sistem logika formal tradisional.

Dengan teori atomisme bahasa ini, Russell menawarkan dasar-dasar

logico-epistemologik untuk bahasa, artinya Russell mengetengahkan antara

fakta, logika formal dan bahasa ideal. Dengan ini Russell sebenarnya hendak

menyatakan bahwa antara fakta dan bahasa harus sepadan, bahasa digunakan

sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta ini dijelaskan olehnya bahwa

fakta bukanlah benda-benda melainkan adalah totalitas keberadaan indera

dalam mempersepsikan. Baginya realitas sesungguhnya merupakan totalitas

fakta-fakta yang terbagi menjadi dua yaitu fakta universalia (kesadaran akan

alam semesta) dan fakta partikular (benda-benda).22

Russell mengemukakan teori kebahasaan yang di era post-Modern ini

dinilai sangat berharga dalam perkembangan filsafat, yakni bahwa antara fakta

dan bahasa memiliki unsur isomorphisme yaitu semacam kesetaraan antara

realitas atau fakta dengan bahasa yang diungkapkan. Akan tetapi, realitas yang

22
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post-Positivisme, dan Post-Modernisme,
(Yogyakarta: Rakesarasin, 1998), 99.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


20

dimaksud Russell tidak hanya terarah kepada fenomena empirik melainkan

merupakan ke-periada-an sifat universal.23

Agaknya memang membingungkan, bagaimana seorang Russell

dengan pandangannya mengenai realitas fakta memiliki kaitan erat dengan

bahasa. Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat mengatakan bahwa

pemikiran Russell didominasi oleh fakta-fakta yang berupa kejadian-kejadian,

tidak berupa kebendaan. Dalam memahami Russell, Kattsoff menjelaskan

bahwa Russell memakai istilah minimal events sebagai sebuah kejadian-

kejadian terkecil yaitu kejadian-kejadian yang menempati lingkungan

berhingga tertentu dalam gerak, ruang, dan waktu. Misalnya, meja

sesungguhnya bukanlah sebuah realitas melainkan campuran proses

penyerapan inderawi manusia terhadap warna, bangun dan pengalaman.24

Jadi terlihat jelas bahwa tidak ada yang benar-benar bersifat material di dunia

karena adanya indera menerima berbagai sensor dari kualitas dan kuantitas

yang bersifat substansial. Materi baginya hanya merupakan sebuah reaksi

inderawi belaka sehingga yang tinggal hanyalah kejadian-kejadian yang

disebut fakta-fakta.

2. Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk

Dalam pembahasan proposisi atomik dan proposisi majemuk Russell

menyatakan adanya kaitan erat antara struktur realitas dan struktur bahasa.

Suatu proposisi disebut proposisi atomic apabila berupa proposisi yang berdiri

23
Ibid., 100.
24
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 267

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


21

dalam satu kalimat yang mengandung ralitas sederhana, tidak memuat unsur-

unsur majemuk. Proposisi atomik yang telah digabungkan dengan proposisi

lain dengan kata penghubung, misalnya “yang, atau, dan” dan sebagainya.25

Untuk dapat lebih memahami proposisi atomik dan proposisi majemuk

sebaiknya kita sajikan misal sebagai berikut;

“Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana”.

Contoh proposisi ini terdiri dari dua unsur proposisi atomik yaitu:

a. Socrates adalah seorang warga Athena, dan

b. Socrates adalah seorang bijaksana.

Menurut Russell, kebenaran suatu pernyataan atau ketidakbenaran

suatu pernyataan dalam suatu proposisi majemuk ialah tergantung pada

kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomiknya. Karena proposisi

majemuk ialah fungsi yang utama dalam proposisi Atomik. Didamana

proposisi atomik tidak dapat dinyatakan benar atau salah, karena hal tersebut

hanya bahasa yang dapat menentukan kesalahan atau kebenarannya, karena

proposisi atomik hanya bisa mengutarakan bahasa dengan unsur-unsur realita

yang sederhana. Misalnya seperti contoh di atas, kata Socrates, bijaksana, dan

Athena, ketiga kata ini merupakan objek yang terkandung dalam proposisi

atomik.26

25
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 48-49.
26
Ibid., 50.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


22

C. Kelemahan Atomisme Logis Bertrand Russell

Atomisme logis yang disusun Russell memiliki kelemahan yang

tampak dari ketidakkonsistennya dalam menolak metafisika. Karena tak dapat

disangkal, atomisme logis mengandung suatu metafisika, sebab teori ini ingin

menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia. Atau dengan kata lain, teori

ini mau mengatakan bagaimana akhirnya dengan realitas seluruhnya.

Mengatakan bahwa dunia ini diasalkan pada fakta-fakta atomis, jelas

sekali merupakan suatu pendapat metafisis. Pendapat Russell tersebut juga

terlihat jelas, tidak berdasar pada data-data empiris, melainkan suatu analisis

tentang bahasa.

Atomisme logis juga menggunakan suatu kriteria untuk menentukan

makna. Suatu proposisi disebut bermakna hanya jika dapat ditunjukkan suatu

fakta atomis yang sepadan dengannya. Tapi sudah jelas bahwa proposisi yang

dirumuskan dalam atomisme logis itu sendiri tak dapat disamakan dengan jenis

proposisi lain. Tak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang

membentuk teori atomisme logis itu menjadi benar atau salah. Akibatnya, perlu

disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme logis itu sendiri tidak

bermakna.27

27
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta,2002), 32.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Pengertian Ushul Fiqh

Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan

kata “fiqh”. Secara etimologi berarti “paham yang mendalam” kata ini muncul

sebanyak 20 kali dalam Al-qur’an dengan arti pahan itu, umpamanya dalam

Surat al-Kahfi (18):93.

“Hingga ketika dia sampai diantara dua gunung, didapatinya dibelakang kedua
gunung itu suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan”.

Arti dalam ayat itu “mereka memahami”.

Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dalam

arti etimologi sebagaimana disebutkan di atas, yaitu “ilmu tentang hukum-

hukum syara’” yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-

dalil tafsili”.28

Kata ushul yang merumakan jama’ dari kata “ashal” secara etimologi

berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”, arti etimologi ini tidak

jauh dari kata ashal tersebut karena ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang

kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian ushul fiqh secara istilah teknik

28
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 35

23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


24

hukum berarti: “ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha

merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci, “atau artian sederhana

adalah: ”kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari

dalil-dalilnya”.

Umpama dalam kitab-kitab fikih ditemukan ungkapan,”mengerjakan

shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum

syara’”. Tidak pernah disebut dalam Al-qur’an maupun hadits bahwa shalat itu

hukumnya wajib. Yang tersebut dalam Al-qur’an hanyalah perintah

mengerjakan shalat yang berbunyi:

َ‫أﻗِِم اﻟ ﱠﺻَ ﻼة‬

“Kerjakanlah shalat”.

Ayat Al-qur’an mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut

“dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut hukum syara’

dari Firman Allah: ‫ اﻗِِم اﻟ ﱠﺻَ ﻼة‬yang disebut ”dalil syara’” itu ada aturannya dalam

bentuk kaidah, umpamanya “setiap perintah menunjukkan wajib”.

Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara-cara

mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang

disebut hukum ushul fiqh.29

29
Ibid,. 36.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


25

Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau bahasan-

bahasan sebagai metodologi untuk memahami hukum-hukum syari’ah. Dalam

bahasa non Arab, ushul fiqh ini sering diterjemahkan dengan teori hukum

(legal theory), karena memang didalamnya berisi tentang teori-teori dalam

memahami hukum syari’ah.30

Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh.

Ushul fiqh merupakan pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan

menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang fakih dalam

usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dan dalilnya. Sedangkan

fiqh merupakan hukum-hukum syara’ yang sudah digali dan dirumuskan

melalui dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan.

Adapun menurut istilah, ashal mempunyai beberapa arti berikut ini:

a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama’ ushul fikih

bahwa ashal dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan

Sunnah Rasul.

b. Qa’idah, yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad

SAW:

‫ﺑُﻧِ َﻲ اِْﻻ ْﺳ ﻼَُم َﻋﻠَ ﻰ َﺧْﻣ َﺳ ِﺔ أُ ُﺻْو ٍل‬.

“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau pondasi)”.

30
Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah (Bogor: Kencana, 2003), 33.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


26

c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:

“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.


Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat
dari perkataan tersebut.31

d. Mustashab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula

selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang,

apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan

perkawinannya?. Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada

berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap

mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.

e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul:

‫اَْﻟَوﻟَ دُ ﻓَ ْر ٌع ِﻟْ ﻸَ ِب‬

“Anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I: 5).

Dari kelima pengertian ashal di atas, yang bisa digunakan adalah dalil,

yakni dalil-dalil fikih. Adapun fikih, secara etimologi berarti pemahaman yang

mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut

dapat ditemukan dalam Al-qur’an, yakni dalam Surat Thaha (20): 27-28, An-

Nisa (4): 78. Hud (11): 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda

Rasulullah SAW:

31
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 17-18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


27

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan


pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi dan Ibnu Majah).32

B. Objek Kajian Ushul fiqh

Dari definisi ushul fiqh yang sudah dipaparkan di atas, terlihat jelas

bahwa objek kajian ushul fiqh secara garis besar terbagi menjadi tiga:

1. Sumber hukum dengan semua hukum seluk beluknya.

2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari

sumbernya.

3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istimbath dengan semua

permasalahannya.33

Menurut pendapat Muhammad Al-Juhaili memperinci tentang objek

kajian ushul fiqh sebagai berikut:

1. Sumber-sumber hukum syara’ baik yang disepakati seperti Al-qur’an dan

Sunnah, maupun yang masih diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah

mursalah.

2. Mencari jalan keluar dari kedua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat

dengan ayat atau Sunnah dengan Sunnah, dan lain-lain. Baik dengan jalan

32
Ibid,. 19.
33
Ibid., 23.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


28

pengkompromian (Al-Jam’u Wa At-taufiq), menguatkan salah satu tarjih,

pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan.

3. Pembahasan tentang ijtihad, syarat-syarat, sifat-sifat, dan orang yang

melakukan ijtihad.

4. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam meng-istimbath-

kan hukum.

Dan adapun sumber pengambilan ushul fiqh ialah:

1. Ilmu kalam (theology)

2. Ilmu bahasa Arab

3. Tujuan syara’ (maqashid asy-sari’ah).

Dan hal ini disebabkan sumber hukum yang merupakan objek kajian

ushul fiqh diyakini oleh Allah SWT. Yang berbentuk Al-qur’an dan Sunnah.

Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT, hal

tersebut pembahasan dalam ilmu kalam.

C. Perkembangan Ushul fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun

dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Dan

pada Rasullah ilmu ini sudah digunakan oleh beliau sendiri yaitu sebagai

syar’i.34 Sebenanya keberadaan ushul fiqh harus didahului oleh ushul fiqh,

34
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Cet 1 (Bandung: PT Remaja Rosyakarya, 2013), 5.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


29

karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid

pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh

datang belakangan.

Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah nabi wafat, yaitu

pada periode sahabat. Peminggiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu

perumusan fiqh itu. Para sahabat di antaranya Umar bin Ibn Khattab, Ibnu

Ma’sud, Ali Ibn Abi Thalib, umpamanya pada waktu mengemukakan aturan

atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak

mengemukakan demikian.

Sewaktu Ali Ibn Thalib mengemukakan hukum cambuk sebanyak 80

kali terhadap peminum khamar, beliau berkata: “bila ia minum ia akan mabuk

bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar”, dari

pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali mengenggunakan kaidah pintu

kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari’ah”.

Abdullah Ibnu Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang

wanita hamil yang kematian suaminya iddah-nya adalah melahirkan anak,

mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surah at-Thalaq (85)

ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) yang

menjelaskan bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh

hari. Dalam menetapkan pendapatnya ini beliau mengatakan bahwa ayat 4

Surat at-Thalaq datang sesudah Surat al-Baqarah (2).35

35
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr,tt), 11.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


30

Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan

fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasikh dan mansukh, yaitu

bahwa dalil yang datang kemudian me-nasakh-kan dalil yang terdahulu. Dari

apa yang dilakukan Ibnu Mas’ud ini juga dari apa yang dilakukan oleh Ali Bin

Abu Thalib, dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat dalam

melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak secara

jelas.

1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

a. Masa Sahabat

Pada wafatnya Rasulullah SAW membuka catatan baru dalam

penetapan sebuah hukum. Akan tetapi pada munculnya para sahabat

setelah Nabi wafat muncullah permasalahan baru yang belum pernah ada

pada masanya Nabi menyangkut dengan penetapan Hukum. Untuk

mendapatkan hukum baru baru maka para sahabat melakukan ijtihad

dengan bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah. Pada masa sahabat ini

ijtihad tidak hanya dilakukan dengan menggunakan Al-qur’an dan Sunnah

saja melainkan dengan ijtihad para sahabat.36

Banyak hal positif terhadap ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat,

yang mana mereka sudah siap menghadapi permasalahan sosial. Meskipun

kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang dilakukan

oleh para sahabat dalam ijtihad ialah mereka mempelajari teks Al-qur’an

36
Ibid., 11-12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


31

dan Sunnah Nabi. Apabila tidak ditemukan diantara kedua tersebut maka

para sahabat melakukan ijtihad. Hasil kesepakatan sahabat disebut dengan

ijma’, qiyas dan mereka juga menggunakan istilah maslahah mursalah

seperti mengumpulkan Al-qur’an dalam satu mufhaf.

b. Masa Tabi’in

Setelah masa sahabat muncul periode berikutnya yaitu, tabi’in tabi’

al-tabi’in serta imam-imam mujtahid. Pada masa ini daulah Islamiyah

semakin berkembang dan muncul permasalah baru. Berbagai masalah,

perselisihan, pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu

persatu mulai muncul. Persoalan tersebut menambah beban imam

mujtahid untuk membuka pandangan yang lebih luas terhadap lapangan

ijtihad. Sumber yang digunakan pada periode ini ialah Al-qur’an, Sunnah,

keputusan sahabat Rasul, serta fatwa mujtahid.37

c. Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i

Sebenarnya mujtahid sebelum imam Syafi’i dikenal dua tokoh besar,

yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Imam Abu Hanifah Al-

Nu’man (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi menggunakan dasar istimbath

secara berurutan yaitu Al-qur’an Sunnah, fatwa sahabat. Imam Abu Hanifah

di hadapkan oleh beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih

pendapat yang tidak akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah

37
Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


32

dikenal dikenal mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan.

Dan Iman Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.38

Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya tidak memiliki metode yang

cukup jelas, sehingga ushul fiqh pada masanya belum dibukukan secara

sistematis. Dan ia juga tidak meninggalkan karyanya dalam ushul fiqh.

2. Pembukuan Ushul Fiqh

Ushul fiqh lahir pada dua Hijriyah, karena pada abad pertama belum

ada dan belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan

keputusan (hukum) berdasarkan pada Al-qur’an dan Hadits, dan berdasarkan

naluri yang bersih tampa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan

istimbath. Adapun para sahabat membuat keputusan hukum berdasarkan pada

nash yang telah dipahami dari aspek kebahasaan semampu mereka, dan untuk

memahaminya perlu kaidah bahasa yang baik. Di samping itu mereka juga

melakukan istimbath hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nash. Jadi

para sahabat sudah benar-benar menguasai tujuan-tujuan hukum syari’at serta

dasar-dasar pembentukannya.39

Setelah Islam semakin berkembang dan bangsa Arab memperluas

pergaulannya dengan bangsa lain maka penyerapan bahasa asing dalam

bentuk mufradat dan tata bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan

kesamaran-kesamaran dan kemungkinan lain dalam rangka memahaminya

38
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr,tt), 13.
39
Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah al-da’wah al-Islamiyah,tt), 16.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


33

lebih luas. Pada abad kedua Hijriyah muncul ulama’ bernama Muhammad bin

Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) yang menggagas, mengsistematiskan, dan

membukukan ushul fiqh.

Sebelum imam Syafi’i tercatatat sebagai orang yang pertama kali

membukukan ushul fiqh yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah

Abu Yusuf seorang pengikut Abu Hanifah. Akan tetapi kumpulan tersebut

tidak sampai pada kita. Namun hasil pertama kali kitab imam Syafi’i diberi

nama kitab Ar-Risalah yang merupakan kitab pertama kali ushul fiqh yang

sampai kepada kita hingga saat ini. Setelah imam Syafi’i banyak ulama’ yang

berbondong-bondong untuk menyusun ushul fiqh baik dalam bentuk yang

panjang ataupun ringkas. Adapun karya ushul fiqh setelah imam Syafi’i yang

tercatata pada abad ke-3 diantaranya adalah: al-Khabar al-Wahid, karya Isa

Ibn Abban Ibn Sedekah (w.220 H), dari kalangan Hanafiyah, al-Nasihk wa

al-Mansukh oleh imam bin Hambal (w. 164 H- 241 H), pendiri madzab

hambali dan kitab Ibtal al-Qiyas oleh Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri

madzab Zahiri. Berdasarkan penelitiaan ulama’ ushul dikit demi sedikit ilmu

ushul fiqh terus merosot, akan tetapi setelah 200 tahun barulah ilmu ushul

fiqh tumbuh dengan subur, yaitu sebagai tolak ukur hukum fiqh.40

D. Aliran Ilmu Ushul Fiqh

Maraknya kajian tentang ushul fiqh setelah imam Syafi’i semakin

berkembang pesat yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda dalam

40
Ibid,. 18.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


34

merumuskan kaidal Al-qur’an dan Sunnah yang sudah jauh terjadi sebelumnya.

Namun tampak jelas aliran ushul fiqh menjadi tiga aliran.

1. Jumhur Ulama’ Ushul Fiqh

Disebut jumhur ulama’ karena mayoritas aliran ini di anut oleh ulama’

Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Di sebut juga aliran Syafi’iyah karena

pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah imam

Syafi’i. Dan disebut juga aliran mutakallimin karena pakar di bidang ini setelah

imam Syafi’i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti

imam al-Juwaini, al-Qadho Abdul Jabbar, dan imam al-Ghazali.41

Sebutan Mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya.

Kaum Mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan

pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk

logika Yunani. Orang-orang seperti Qadlo Abdul Jabbar adalah seorang teolog

Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran

Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku

al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwaini, dipandang sebagai

Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan

Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis

ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi

41
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh. Cet ke-3 (Jakarta: Interpratama Offset, 2009), 23.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


35

teologis, tetapi menulis dengan pola Mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-

Syirazi.42

Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran mutakallimin, antara lain:

1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas

kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang

menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum

digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah

kebahasaan.

2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti

terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori

kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu,

dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan

pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah

(pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-

Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-

Sul) karya Ibnu Hajib. Aliran Mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan

yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai

penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama’ dan

menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab. 43

42
http://sofiswa.blogspot.co.id/2011/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses
pada 08 Oktober 2015
43
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh. Cet ke-3 (Jakarta: Interpratama Offset, 2009), 24.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


36

Aliran ini berdasarkan pada logika yang bersifat rasional dan

pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada. Fokus perhatinnya tidak

diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap hukum yang telah diterapkan

oleh imam mujtahid atau hubungan kaidah dengan masalah furu’ tetapi apa saja

yang di anggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok

hukum syari’at Islam baik sesuai dengan masalah furu’ dalam berbagai

madhzab atau menyalahinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

pembahasan ushul fiqh aliran jumhur ini bersifat teoritis tampa disertai contoh

dan bersifat murni karena tidak mengacu pada madzhab fiqh tertentu yang

sudah ada.44

Adapun dalalah menurut ushul mutakallimin ialah terbagi menjadi dua

yaitu dhahir dan nash, yang keduanya mengandung dalam kalimat yang terang

yaitu kalimat yang tidak mujmal.45

a. Dhahir, yaitu lafadz yang mengandung ta’wil atau lafadz yang maknanya

menunjukkan terhadap dalalah yang dzahir atau rajih itu dalalahnya muncul

dalam pembahasan lughawi (bahasa) seperti ‘am terhadap segala macam

afrad-nya (satuannya) dan dari urf seperti dalalah shalat yang secara sah

berupa ucapan dan perbuatan tertentu. Dzahir menurut ushul mutakallimin

sama artinya dengan konsep dzahir dan nash menurut Hanafiyah. Hukum

44
Ibid,. 25.
45
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilmi al-Ushul (t.t.p, Syirkah Tiba’ah al-Fatanniyah,
t.t.p), 281.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


37

dzahir ini adalah diamalkan sesuatu dengan mathlub-nya, tidak boleh

meninggalkan kecuali adanya ta’wil yang benar.46

b. Nas, menurut ushul Mutakallimin adalah lafadz yang tidak mengandung

ta’wil atau lafadz yang menunjukkan makna yang qat’i yang tidak ada

pemahaman lainnya. Bisa juga nash adalah lafadz yang seiring sejalan

diantara dzahir lafadz dan batinnya. Seperti nama Muhammad yang diartikan

nama seseorang dan nash serupa dengan musaffar menurut ushul Hanafiyah.47

Hukum nash ini adalah seperti qat’i harus diamalkan kecuali ada nasakh.

Akan tetapi musaffar menurut ushul Hanafiyah tidak terlalu terkenal dalam

pandangan ushul Mutakallimin. Namun muhkam, menurut ushul

Mutakallimin adalah mengandung diantara nash dan dzahir yaitu lafadz-

lafadz yang maknanya menunjukkan makna yang jelas dan terang. Adapun

as-Syafi’i sebagaimana dikatakan al-Ghazali menganggap dzahir adalah nas

dimana nash itu terbagi menjadi nash yang menerima ta’wil dan nash yang

tidak menerima ta’wil.48

2. Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha

Metode ini dicetuskan oleh imam Hanifah dan dikembangkan oleh

ulama’ Hanifah. Aliran ini juga disebut aliran fuqaha (ahli fiqh), karena sistem

penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan

46
Wahab al-Zuhaily, Ushul fiqh, I (Damaskus: Dar al-Firk, 1986), 319
47
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (t,t.p,t.n,p.t.t), 165.
48
Ibid,. 165.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


38

kaidah ushul fiqh Abu Hanifah dan para muridnya serta melengkapinya dengan

contoh-contohnya.49

Cara yang digunakan oleh aliran ini ialah istiqro’ (induksi), terhadap

imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan

yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.

Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah,

ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah

menyandarkan ijtihad kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah

tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai

cabang dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka untuk membuktikan

kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah di-istimbath-kan oleh

para imamnya yang bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang

bersifat teoritis. Oleh karena itu, mereka banyak menyebutkan masalah furu’

dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain mereka pun menaruh perhatian

serius terhadap kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah

disepakati dan juga pada masalah furu’. Jadi, semata-mata perhatian mereka

tertuju kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil dari masalah-

masalah furu’ dalam melakukan istimbath. Dan ulama’ ushul Hanafiyah

membgi dalalah menjadi empat bagian, yaitu: dhahir, nash, musaffar, dan

49
Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh. Cet ke-3 (Jakarta: Interpratama Offset, 2008), 26.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


39

muhkam.50 Dari urutan tersebut nampak dari status hukum dari yang kuat

sampai kepada yang paling kuat.

a. Dhahir, ulama’ ushul mengartikan dhahir dengan suatu lafadz atau kalam

yang jelas maknanya. Kejelasan makna itu tercermin dari bentuk nash itu

sendiri, tampa memerlukan faktor luar dari nash itu dan bisa saja mengandung

ta’wil.51 Hukum dhahir adalah wajib qat’i diamalkan baik ‘am adanya atau

khas sebagaimana arti yang ditunjukkan lafadz itu kecuali ada dalil yang

meng-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadz mutlak, maka harus

diamalkan menurut kemutlakannya sampai ada dalil yang membatasinya

(qayyid) kemutlakannya dan jika dhahir itu berupa lafadz ‘am, maka harus

diamalkan keumumannya, sampai ada dalil lain yang meng-takhsih-nya atau

diamalkan menurut arti yang ditunjuki lafadz itu sampai adanya dalil yang

me-mansukh-kannya. Misalnya pembatasan terhadap kemutlakan kebolehan

mengawini wanita. Kebolehan menikah dengan wanita tampa dibatasi

kemudian muncul ayat yang meng-takhsis-kannya dengan maksimal empat

istri.52

b. Nash, para ushul Hanafiyah mengatakan bahwa nash adalah suatu lafadz

yang lebih jelas dari dhahir, dimana kejelasan lafadz itu ditunjukkan oleh

lafadz itu sendiri yang berasal dari radiksional dan tidak mungkin

mengandung pengertian lain dari lafadz itu juga bisa mengandung ta’wil.

50
Abu Bakar Ibn Ahmad Ibn Sahal al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, I (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘ilmiyyah), 163.
51
Ibid,. 164
52
Wahbah al-Zuhaily, Usul fiqh al-Islamy, I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 319.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


40

Memang kelihatanya antara nash dan dhahir agak mirip akan tetapi

sebenarnya berbeda. Bisa dikatakan nash adalah tindak lanjut dari dhahir

terhadap suatu makna lafadz. Hukum nash adalah sebagaimana hukum

dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh nash

tersebut sampai ada dalil yang meng-ta’wil-kannya, yaitu kalau lafadz itu

berupa lafadz mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil

yang meng-takhsis-kannya atau diamalkan menurut arti yang ditunjukinya

samsapi ada dalil yang me-mansukh-kannya.

c. Musaffar, pengertiannya adalah suatu lafadz yang terang petunjukannya

kepada arti yang dimaksud dari susunan lafadz itu, yang lebih terang

disebanding nash dan dhahir dan tidak mungkin di-ta’wil-kan kepada yang

lain akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa

diutusannya Rasul. Hukum musaffar adalah wajib diamalkan sebagaimana

penjelasannya terhadapnya, tidak mengandung kemungkinan untuk

dipalingkan dari makna dhahir-nya, kecuali kalau ada dalil shahih yang me-

nasakh-nya. Yang jelas hukum musaffar lebih qat’i dan kuat jika

dibandingkan dengan nash dan dhahir.53

d. Muhkam, para ushul Hanafiyah mengartikan muhkam dengan lafadz yang

sangat terang petunjukannya dari susunan lafadz itu, dengan tidak menerima

pembatalan dan penggatiannya pada masa Rasul dan tidak sama sekali tidak

mengandung ta’wil. Ia tidak mengandung ta’wil artinya tidak menghendaki

53
Ibid,. 323.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


41

arti lain yang bukan arti formalnya. Karena ia dijelaskan dan ditafsiri dengan

penafsiran yang tidak mungkin membuka penakwilan baginya. Juga tidak

menerima penghapusan yang diambil adakalanya berupa kaidah hukum yang

bersifat asasi seperti pada kasus penuduh zina terhadap wanita baik-baik, dan

adakalanya dari hukum cabang seperti ibadah kepada Allah, mempercayai

Rasul-Nya dan kitab-Nya dan sebagainya.54

3. Metode Campuran

Metode cempuran ini adalah gabungan antara Mutakallimin dan

Hanafiyah. Metode yang ditempuh adalah mengombinasikan kedua aliran

terdahulu dan yang telah dijelaskan di atas. Mereka memerhatikan kaidah-

kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah itu, juga

memerhatikan penerapan terhadap masalah fiqh far’iyah dan relevansinya

dengan kaidah-kaidah itu.55 Kitab-kitab yang termasuk dalam aliran ini,

sebagai berikut:

a. Kitab an-Nizham, karangan al-Bazdawi.

b. Kitab al-Ahkam, karangan Mudhaoffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi

(694 H).

c. Kitab al-Tauhid, karangan Shadrus Shariah.

d. Kitab at-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hamman.

54
Ibid,. 324.
55
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 18.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


42

e. Kitab Jam’u al-Jawami’, karangan Ibnu Subki.

f. Kitab Irsyad litahqiqi al-Haqqi min al-Ilmi al-Ushul, karangan al-

Syaukani (w. 1250 H).

g. Kitab Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek (w.1927).

h. Kitab Al-Wushul ila Ilmi al-Wushul, karangan Syekh Muhammad

Abdurahman ‘Aid al-Mihlawi (w. 1920).56

E. Problem kebahasaan dalam Ushul Fiqh

Logika menempati posisi sangan sentral dalam dunia ushul fiqh, selain

mengacu pada wahyu verbal, rumusan kaidah ushul fiqh juga didasarkan pada

pijakan logika formal sehingga ia tidak mudah lekang dengan waktu lantaran

bisa selalu di-update sesuai konteks perkembangan masyarakat. Nalar berpikir

merupakan intriksi dan ciri khan manusia yang dapat membedakan dirinya dari

makhluk lain. Karena dalam ilmu mantiq disebutkan, al-insanu hayawan an-

nathiq (manusia adalah hewan yang bisa berkata-kata, sekaligus berpikir).57

Sebenarnya logika induksi digunakan untuk menarik kesimpulan dari

kasus-kasus individual yang mempunyai jangkauan sangat spesifik menjadi

kesimpulan yang sangat umum. Sedangkan logika deduktif adalah sebaliknya,

yakni digunakan untuk menarik dari kesimpulan yang bersifat hal yang bersifat

umum menjadi kasus yang bersifat individual. Dalam tradisi pemikiran ilmu

56
Ibid,. 19.
57
Abu Yazid. Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh” bagian 1, Tahwirul
Afkar, ed.Abdul Wahid (Situbondo: Buletin Ma’had Aly Salafiyah Safi’iyah, 2015), 24.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


43

ushul fiqh, penggunaan logika induktif sering direppresentasikan oleh mazhab

Ahnaf, sedangkan logika deduktif banyak digunakan oleh mahzab

Muktakallimin yang di logomotifi oleh imam Al-Syafi’i.58

Jika mazhab tersebut pertama menginduksi kasus-kasus hukum secara

spesifik menjadi teori dan kaidah-kaidah penalaran hukum secara umum maka

mazhab tersebut kedua sebaliknya. Mereka sering mendeduksi kaida-kaidah

umum ijtihad tentang pengalian hukum terhadap kasus- kasus hukum yang

bersifat khusus. Dengan perkataan lain, mazhan Ahnaf dalam paradigma fikih

berangkat dari kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat secara khusus,

kemudian ditarik kesimpulan menjadi postulat-postulat berupa kaidah

istimbath hukum. Sebaliknya, karangangan mutakallimin segaja membangun

kaidah-kaidah ushuliyah secara mandiri kemudian diterapkan dalam

pengimpulan hukum-hukum secara khusus yang terjadi ditengah masyarakat.

Preseden yang ditampilkan kedua mazhab besar ini menunjukkan

logika induktif dan deduktif merupakan cara kerja yang khas dalam dunia

pemikiran ushul fiqh. Pada tahapan perkembangan selanjutnya pemaduan

keduan jenis pemikir logis ini tidak dapat dihindarkan seseai tingkat

perkembangan masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, cara

kerna para juris memiliki asal-usul yang sama dengan mengetangahkan dan

58
Ibid,. Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh” bagian II, Tahwirul Afkar,
ed.Abdul Wahid (Situbondo: Buletin Ma’had Aly Salafiyah Safi’iyah, 2015), 23.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


44

mengembangkan logika induktif dan deduktif secara terintegrasi untuk

menemukan prekskripsi hukum.59

Selain kedua cara berpikir logis ini sesungguhnya terdadap jenis lain

dalam tradisi pemikiran ushul fiqh, yaitu logika dialektif. Logika ini digunakan

untuk mengompromikan perb edaan pendapat antara juris yang satu dengang

yang lain. Seperti kita tahu bahwa dalam hazanah fiqh syarat dengan

diferensiasi pendapat hukum (ikhtifaf), bukan pertentangan (khilaf). Dalam

kondisi seperti ini antara tesis yang satu dengan yang lain lalu bisa ditarik

sintesi sebagai upaya dialektika dalam perumusan hukum Islam.

Karena itu dalam terminology ilmu ushul fiqh lalu popular apa yang

sebut at-tarjih, yakni upaya seleksi dan memilih pendapat-pendapat yang

proses istidlal-nya di nilai lebih mendekati kebenaran. Logika lain yang justru

lebih mengkristal dalam tradisi pemikiran uhul fiqh adalah logika analogi atau

dalam bahasa arabnya disebut qiyas. Logika ini dalam ushul fiqh diposisikan

sebagai sumber hukum aqli sejajar dengan jenis-jenis logika lain semisal

istihsan, maslahatul mursalah urf, istishaf dan lain-lain.

Lebih jelasnya logika induktif dan deduktif mempunyai peran sangat

penting dalam proses pengambilan kesimpulan hukum berdasarkan mekanisme

istidlal. Kedua jenis logika ini merupakan cara kerja yang khas dalam dunia

59
Ibid,. 24.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


45

pemikiran ushul fiqh untuk menemukan perskripsi hukum sebagai panduan

bagi setiap manusia.60

Sebenarnya masalah yang ada dalam ushul fiqh ialah bahasa yang tidak

mudah dipahami, misalnya bahasa Al-qur’an yang mana terkadang kita hanya

sekedar menbaca tampa mengetahui isi kandungan ayatnya. Melalui bahasa

kita bisa berkomunikasi, akan tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham

dan salah tafsir. Arti atau makna atau kerangka waktu.61 Contoh filsuf yang

membahas bahasa adalah Derrida yang mana ia memulai dekontruksinya

pertama kali dengan memusatkan perhatian pada bahasa. Yang mencoba

membongkar pandangan tentang pusat, pondasi, prinsip, dan dominasi tersebut

sehingga berada di pinggir.62 Selain itu menurut Deridda makna itu seakan-

akan keluar atau diturunkan dari tulisan, entah benar atau salah atau hanya

khayalan saja. Hal ini hanya mungkin syarat bahasa yang asli dan alami tidak

pernah ada, jadi tidak pernah terkontak atau terjemah oleh tindakan menulis.63

Untuk menemukan makna yang tersembunyi, orang harus membuka

selubungnya, melihat isi secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada

antara kata dan konsep. Dan ini cara untuk menghapus prasangka, sumber

utama timbulnya pemahaman atau salah pengertian.64 Kengelisan bahasa

sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Dan jauh sebebum itu para sahabat

60
Ibid,. 25.
61
Sumaryono, Hermeneutika (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), 29-30.
62
Listiyono Santoso, Epistimologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Mdia, 2014), 253.
63
Jacques Derrida, De La Grammatologie (Paris: Les Editions du Minuit, 1967), 82.
64
Ibid., Hermeneutik (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), 121.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


46

bahkan para filsuf memcoba menjelaskan makna bahasa untuk mudah

dimengerti.

Dalam literatur ushul fiqh, kita dapat dua macam telaah dalam menggali

suatu hukum yaitu telaah sanad dan telaah matan. Dalam telaah sanad, kita

diperkenalkan metodologi sistematik tentang penggalian hukum dari sudut

pandang tentang khabar mutawwatir dan ahad. Dan dalam telaah matan, kita

disuguhkan dua macam analisa; analisa bentuk bahasa dan kata (al-mandzum)

dan analisis cara ungkap (ghayr al-mandzum).

Ushul Fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-.dalil hukum

hanya berguna jika orang mengenal Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, jika

mengakui kebenaran ajaran Rasulullah, dan hal-hal akidah yang lain yang

hanya bisa diketahui dari Ilmu Kalam. Bahasa Arab berperan penting karena

dalil-dail lafdziyyah, tekstual (Al-qur'an dan As-Sunnah) dan pendapat para

ahli menggunakan bahasa Arab, sehingga persoalan-persoalan apakah teks itu

menggunakan al-haqiqah dan al-majaz, al-‘umum dan al-khas, al-mutlaq dan

al-muqayyad, dan lain-lainnya hanya bisa dipahami dengan menggunakan

Bahasa Arab. Hukum Syar'i penting bagi ushul fiqh karena materi bahasan

ushul fiqh adalah hukum-hukum syar'i, tentu orang harus tahu terlebih dahulu

hakikat hukum, sehingga ia tidak salah membahas.65

65
Ach Fajruddin Fatwa, Makinuddin dkk, Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah. Cet-1 (Surabaya:
IAIN SA Press, 2013), 196

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


47

Menilik Abdul Wahab Khalaf, beliau memberikan titik tekan pada

ushul fiqh sebaga berikut:

1. Pembahasan tentang dalil dan

2. Kumpulan kaidah yang dengan itu

3. Bisa diperoleh hukum Syar'i.

Dengan kata lain, Khallaf seperti terlihat dalam daftar bahasan di bawah

ini tidak terlalu membedakan antara dalil dengan istidlal sehingga dari Al-

qur'an sampai dengan Madzhab as-Shahabi semuanya ia sebut dalil.

Berbeda dengan obyek materiil fiqh yang berupa perbuatan mukallaf,

obyek materiil ushul fiqh adalah dail Syar’i secara garis besarnya dari aspek

penetapan hukum yang ditimbulkannya. Mengenai pendekatan kebahasaan,

kami sebutkan sistematika pembahasan mereka masing-masing. Pendekatan

kebahasaan menurut mereka masing-masing dalam kitabnya, terbagi atas

beberapa terma:

Dalam kitab Al Ihkam, pendekatan tersebut ada sebagaimana berikut:

1. Amr,

2. Nahy,

3. Al-`am dan al-khas,

4. Al-mutlaq dan al-muqayyad,

5. Al-mujmal, al-bayan dan al-mubayyan,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


48

6. Az-Zahir dan ta'wil-nya,

7. Dalalah al-iqtida`,

8. Tanbih ima`,

9. Isyarah, dan

10. Mafhum.66

Sedang dari versi Abdul Wahab Khalaf, pendekatan kebahasaan hanya

diperbincangkan dalam beberapa poin sebagaimana berikut:

1. Cara-tunjuk (dalalah) Nash

2. Mafhum al-mukhalafah

3. Penunjukan yang jelas dan tingkat kejelasannya

4. Teks yang tak jelas dan tingkat ketakjelasannya

5. Al-Musytarak

6. Al-‘Am dan jangkauan maknanya

7. Al-Khas dan jangkauan maknanya.

Selanjutnya, Pada kitab tersebut, al-Ihkam dan 'Ilm Ushul Fiqh kita bisa

melakukan perbandingan sistematika yang dipergunakan. Yang menarik,

meski lahir kemudian dan banyak referensi yang bisa dirujuk dan digunakan,

'Ilm Ushul Fiqh justru lebih sederhana dibanding al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

66
Ibid,. 197.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


49

Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam membagi materi ushul fiqh menjadi empat konsep:

ushul fiqh, dalil, ijtihad dan tarjih. Sementara 'Ilm Ushul Fiqh membahasnya

menjadi empat bagian: dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi.

Apa yang dibahas dalam bagian hukum oleh Khallaf, dibahas oleh Amidi

dalam konsep ushul fiqh. Apa yang dibahas dalam kaidah kebahasaan juga

dibahas Amidi dalam bagian konsep ushul fiqh.67

Disini peran mantuq dan mafhum ialah untuk menjelaskan kesamaran

teks dan konteks yang mana merupakan salah satu bagian yang tidak dapat

diabaikan dalam melakukan istimbath hukum, selain itu juga berupaya

memahami pengertian nash. Dan oleh karena itu cara untuk mengatasi

masalah bahasa tersebut bisa melalui mantuq dan mafhum, selain bisa

mengetahui teks (ayat), kita juga bisa memahami konteks (makna ayat), yang

lebih mudah untuk dipahami tampa ada unsur kesalah pahaman.

F. Pengertian Dalalah Mantuq dan Dalalah Mafhum

Kaum muslimin sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber hukum

syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-qur’an dari segi wurud

(kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qat’i. Hal ini karena semua

ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Walaupun ada sebagian

sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada

pada qira’ah mutawattir. Hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran

terhadap Al-qur’an yang di dengan oleh Nabi, atau hasil ijtihad mereka dengan

67
Ibid,. 198.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


50

jalan membawa nash mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri.

Namun perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak luput dari petuntuk

(dadalah), yang ada didalam Al-qur’an.68

Dalalah menurut definisi ulama’ ushul adalah makna baru pada sesuatu

permasalahan yang dihasilkan dari penyamaan pada permasalahan lain. Dalam

arti, eksistensi sebuah permasalahan dengan memahaminya akan

memunculkan pemahaman atas permasalahan lain. Dengan mengetahui dalalah

jelas dan tidak jelas menurut tingkatannya berfungsi dan berguna sebagai

upaya penggalian hukum apalagi bila ada perbedaan dan pertentangan dalil-

dalil yang mengetahui tindakan dalalahnya yang jelas dan tidak dapat

mengaborasikan dan menetapkan mana dalil yang paling didahulukan karena

qarinah yang sangat kuat dan mana dalil yang diakhirkan.69

a. Pengertian Dalalah Mantuq

Mantuq adalah makna yang kandungan hukumnya dipahami dari apa

yang diucapkan, dengan kata lain mantuq itu ialah makna yang tersurat

(terucap), contohnya, “diharamkan bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat ini

ialah bangkai itu hukumnya haram. Menurut kitab mabadiulawwaliyah,

mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz atau makna dalam

tempat pengucapan. Arti lain mantuq yaitu makna yang ditunjukkan oleh

sebuah lafadz, oleh wilayah pengucapan. Apabila lafadz tersebut menghasilkan

68
Juhana, Ilmu Ushul Fiqh, I (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 54
69
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, II (Jakarta: Kencana, 2011), 131.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


51

makna yang tidak mungkin mengarah pada makna lain.70 Dan dalalah mantuq

seperti yang di pakai oleh istilah hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida

nash.71 Oleh karena itu mantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut

oleh lafadz itu sendiri.

b. Pengertian Dalalah Mafhum

Adapun mafhum adalah petunjuk lafadz atau makna pada suatu hukum

yang tidak disebutkan oleh lafadz atau makna itu sendiri, dan dalalah mafhum

ini ialah tersirat (tidak terucap).72 Pendapat lain mafhum adalah makna yang

kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik arti mantuq-nya.

Dengan kata lain mafhum itu disebut dengan makna tersirat. Dan makna yang

ditunjuk oleh lafadz dan tidak terdapat dalam wilayah pengucapannya. Apabila

hukum mafhum selaras dengan mantuq-nya, maka disebut mafhum

muwafaqah, meskipun mafhum menyamai mantuq, menurut pendapat Ashah.

Maka tersebut berbentuk hukum sekaligus mahal (penyandang) dari hukum

tersebut (mahal al-hukm).

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan


“ah” dan jangan kamu membentak keduanya. (Q.S Al-Isra’ ayat 23).

70
Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 92
71
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Putaka Setia, 1999), 215.
72
Ibid,. 215.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


52

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,

pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata: uffin) jangan

kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan

mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga

dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi

pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.

Menurut para ulama’ ushul fiqh, bahwa sebagian besar dalalah yang diuraikan

di atas didasarkan pada teks.73

G. Macam-macam Mantuq dan Mafhum

A. Mantuq diklarifikasikan menjadi dua:

1. Nash, yakni manakala menghasilkan makna yang tidak terbuka

kemungkinan diarahkan pada makna lain. Contoh, lafadz”zaid” dalam

kalimat (zaid telah datang). Makna yang dihasilkan dari contoh ini

adalah sosok tertentu, tampa ada kemungkinan diarahkan pada makna lain.

Atau Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang

secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain Seperti firman

Allah SWT QS. Surat al-Baqarah: 196

“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam (musim) haji dan tujuh hari lagi apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.

73
Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 96.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


53

Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan

makna secara pasti.

2. Dzahir, yakni manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan

diarahkan pada makna yang marjuh (lemah) sebagai pengganti makna yang

pertama. Contoh, roaintu yaumal azda (hari ini saya melihat Harimau).

Lafadz ‫ ا ﻻ ﺳد‬memiliki makna hewan buas, namun berpeluang diarahkan pada

makna lelaki pemberani, dimana makna ini marjuh karena termasuk makna

majas.74 Atau suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera

dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang

lemah seperti QS al-Baqarah: 173.

َ‫ا ﱠ‬

“Sesungguhnya dia hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”.

2. Mafhum terbagi menjadi dua macam, muwafaqah, dan mukhalafah.

a. Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkan hukum dari makna yang

sejalan atau sepadan dengan makna mantuq-nya (yang diucapkan).

Contohnya dalam QS. Al-isra’/17; 32.

“Dan janganlah kamu mendekati zina”.

74
Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul (Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014), 92

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


54

Mafhum muwafaqah dari ayat di atas adalah haram mendekati zina,

berduaan, berpacaran apalagi melakukan zina itu sendiri. Mafhum

muwafaqah terbagi menjadi dua macam:

a. Fatwa al-Khitab, yaitu mafhum yang kapasitasnya lebih besar

dibandingkan makna mantuq-nya. Contohnya firman Allah swt dalam QS.

Al-Isra’ ayat 23:

“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang tua”.

Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi

memukulnya. Contoh, mafhum berupa memukul orang tua, dengan mantuq

berupa berkata kasar kepada orang tua dalam QS. Al-Isra’:23 di atas. Dalam

hal ini mafhum, yakni memukul tingkatannya lebih berat dibandingkan

berkata kasar dilihat dari aspek menyakitinya.75

b. Lahn al-Khithab, yaitu mafhum yang kapasitasnya menyamai

mantuq. Contoh, membakar harta anak yatim yang dipahami dari mantuq

atas. Seperti firman Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara


aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.

75
Racmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih. Cet IV (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 216.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


55

Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim

sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang

(haram). Dilihat dari aspek perusakannya, kedua hal ini setara. Menurut

sebagian pendapat, mafhum yang kapasitasnya menyamai mantuq tidak

disebut mafhum muwafaqah, meskipun sama-sama dijadikan hujjah.76

Mafhum muwafaqah dalam istilah hanafiyah disebut juga dalalah

nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang

tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan

hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada

persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian

bahasa tampa memerlukan pembahasa yang mendalam ataupun ijtihad.

Sesuai dengan hukum yang tertulis. Mafhum muwafaqah dikenal pula

dengan makna fatwa al-khitab dan lahn al-khitab seperti yang sudah

dijelaskan di atas.

Sedangkan manakala menghasilkan makna yang terbuka kemungkinan

diarahkan pada makna lain yang setara (musawi), seperti thaubu zaidu junun

kata junun mungkin dimaknai hitam dan putih secara setara, maka disebut

dengan mujmal.

1. Mahfum mukhalafah, adalah makna mafhum yang tidak selaras

dengan mantuq-nya dari sisi hukumya. Mafhum mukhalafah disebut juga

76
Juhaya, Ilmu Ushul Fiqh, I (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 216.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


56

dengan dhalilul khitib. Atau pengertian yang dipahami berbeda dengan

ucapan, baik dalam istimbaht (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh

karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang

Seperti dalam firman Allah SWT seperti QS al-Jum’ah ayat: 9.

“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka
bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli”.

Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at

sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.77

Dan menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum

mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya

menurut mereka, mafhum mukhalafah bukan suatu metode untuk penetapan

hukum. Alasan mereka sebagai berikut:

1. Sesungguhnya banyak nash yang akan rusak apabila diambil mafhum

mukhalaf-nya dan akan rusak pengertiannya, antara lain sebagai berikut:

ِ‫إ‬

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,

77
Ibid,. 217.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


57

dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. QS


Surah At-taubah: 36.

Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalaf-nya akan mempunyai

arti bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja,

sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada

setiap saat.78

2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk

pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib, seperti ayat:

(22)

‫ﺗِ ﻲ أَْر َﺿ ْﻌﻧَ ُﻛْم َوأَ َﺧَواﺗُ ُﻛْم ِﻣ َن‬

‫ﱠن‬

‫ﻣَﺎ ﻗَ ْد َﺳﻠَ َف إِ ﱠن ا ﱠَ ﻛَﺎ َن َﻏﻔُ و رًا‬ ‫ﻓََ ﻼ ُﺟﻧَﺎ َح‬

(23)

Artinya:

22. “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

23. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu

78
Ibid,. 218.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


58

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak


perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.QS. Surah An-
nisa’: 22-23.

Sifat anak tiri pada ayat tersebut, adalah anak tiri yang ada dalam

pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalaf-nya, hal itu berarti

mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’

tetap mengharamkan.

3. Seandainya mafhum mukhalaf-nya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka

suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang

menerangkan hukum kemalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya

penyebutan seperti itu banyak ditemukan. Menurut jumhur ulama; ushuliyyin,

mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara

lain:

a. Berdasarkan logika, setiap syara’ atau sifat tidak mungkin dicantumkan

tampa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid

(pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa

dicantumkannya suatu sifat itu tidak targib, tarhib, dan tanfir.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


59

b. Sikap Rasullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khattab dalam

memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ perjalanan

dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.79

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembah yang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”.
QS Surah An-nisa’: 101.

Sebenarnya prinsip dalam hukum Islam tidak lain ialah untuk

pembinaan dan membangun prinsip-prinsip hukum Islam yang mana prinsip

Tauhidullah mengatakan segala hukum dan tindakan seorang Muslim mesti

menuju kepada satu tujuan yaitu kesatuan dalam rangka menyatu dengan

kehendak Tuhan, dan tidak bisa meraih apapun kecuali dengan kehendandak-

Nya.80 Dari berbagai penjelasan ayat di atas dapat dipahami secara teks dan

kontek bahwa ayat Al-qur’an terkadang memilki arti yang lebih dari apa yang

di ketahui. Dan disini tugas mantuq dan mafhum ialah memilah atau

menjadikan ayat sebagai makna yang dikehendaki.

79
Ibid,. 219.
80
Juhaya, Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia. Cet II (Yogyakarta: Walisongo
Press, 2009), 121.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB IV

ANALISIS DATA

A. Kaitan Logika Formal dalam metode kebahasaan Ushul Fiqh

Fiqh didefenisikan oleh beberapa penulis modern sebagai kaidah-

kaidah hukum yang terinci dalam berbagai cabangnya. Sedangkan Ushul Fiqh

berhubungan dengan metode yang diterapkan dalam deduksi hukum-hukum

dari sumber-sumbernya. Ringkasnya, kalau Fiqh adalah hukum itu sendiri,

maka Ushul Fiqh adalah metodologi hukum. Dan oleh karena istilah

metodologi berkaitan erat dengan praktek epistemologi, yaitu cabang filsafat

yang mencari penjelasan mengenai proses dan tahapan sehingga menghasilkan

pengetahuan, maka jelaslah bahwa Usul Fiqh bisa pula disebut Epistemologi

Hukum Islam.

Ushul fiqih adalah ilmu yang membahas tentang sumber-sumber pokok

dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbath hukum Islam.

Para fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang

hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah.

Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu

tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum

fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang

menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan

perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.

59

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


60

Dalam kontek menggelorakan ijtihad, ilmu ushul Fiqh merupakan

perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir

Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang

yang lain, dari sumber aslinya (al-qur’an dan as-Sunnah).

Ushul-fiqh selalu muncul dalam kerangka berfikir tertentu dan tidak

bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam penyajiannya selalu muncul nilai

subjektivitas di dalamnya. Karena itu, meskipun mulanya ushul fiqh itu

gagasan As-Syafi’i untuk membangun mazhabnya, tetapi dalam

perkembangannya, mucullah Ushul-fiqh Zaidiyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah,

Ushul-Fiqh Syi’ah, Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri, dan sebagainya.

Bertolak dari bahasan logika yang digagas oleh Bertrand Russell yang

pada intinya adalah atomisme di mana setiap pernyataan yang diungkapkan

sehari-hari harus sesuai dengan kenyataan merupakan sebuah formulasi logis

daripada logika yang diterapkan sebelum Russell. Dalam hubungannya dengan

tema yang diambil, maka di sini akan melakukan analisa pola hubungan logika

yang dikembangkan oleh Russell dengan metode pendekatan kebahasaan

dalam ushul fiqh khususnya mazhab Syafi’iyah.

1. Metode atomisme

Sebagai sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semua

entitas bersifat kompleks yang hanya dapat dianalisis melalui nama-

nama yang secara logika tepat dan berupa keadaan partikular-

partikular. Russell membahas atomisme secara konsekuen bahwa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


61

keseluruhan benda-benda dapat dipahami dari hal-hal terkecil.

Sistem logika yang diajarkan oleh Russell terutama dimaksudkan

bahwa antara pernyataan dan kenyataan tidak boleh saling

meniadakan, dan oleh karenanya harus ada keseimbangan antara

pernyataan dan kenyataan. Dalam kajian ushul fiqh, untuk dapat

menetapkan hukum diperlukan pemahaman terhadap sistem

kebahasaan yang logis mulai dari pola hubungan antara pernyataan

dan realitas. Pola hubungan yang dimaksud merupakan pengertian

atas dibentuknya sebuah hukum Islam yang dipahami melalui

sistem logika yang bertumpu pada bahasa. Maka kita dapat

mengetahui hubungan antara logika Russell dan metode kebahasaan

dalam ushul fiqh, di mana Russell dengan teori atomismenya dan

metode kebahasaan dalam ushul fiqh dengan melihat struktur lafadz

dan makna, menjadi sebuah formula dalam kajian ushul fiqh dalam

menetapkan sebuah hukum fikih. Russell juga mengakui

kelemahannya yaitu dalam ataomisme, ia mengatakan bahwa dunia

ini diasalkan pada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupakan suatu

pendapat metafisis. Pendapat Russell tersebut juga terlihat jelas,

tidak berdasar pada data-data empiris, melainkan suatu analisis

tentang bahasa. Jadi Russell hanya berpikiran bahasa adalah ranah

manusia bisa mengerti semua yang terjadi.

2. Metode kebahasaan ushul fiqh

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


62

Metode ini dapat diperoleh melalui lughawiyah dan

maknawiyah di mana keduanya dipahami sebagai asas untuk

menetapkan sebuah hukum. Di sini kita akan melihat persamaan

antara logika Russell dan metode kebahasaan ushul fiqh. Di mana

dalam ushul fiqh sebuah nash dapat ditetapkan sebagai hukum dari

segi lafadznya dan maknanya yang diketahui melalui metode

induktif. Sedangkan dalam logika Russell dengan sedikit

membingungkan bahwa pernyataan/proposisi yang digunakan

sehari-hari harus sesuai dengan fakta yang ada melalui pernyataan

baik itu secara langsung atau tersembunyi dari sebuah pernyataan.

Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks

kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh

meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah bahasa. Jika tidak maka

pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable. Oleh

karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah

ditutup. Seperti Surah Al-Isra’ Ayat 23:

✁✂✝ ✄ þ☎✆✂û☎✞ ✠✟ ✂✡☎☛ ☞☎✌


“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang tua”.

Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi

memukulnya. Dalam hal ini menurut Russell meningalkan disiplin ilmu yang

mana ayat tersebut masih menyimpan makna yang tersirat. Russel

menanggapinya hanya dengan makna teksnya saja bahwa tidak boleh

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


63

mengatakan ah (mengeluh) pada orang tua selain itu dia tidak mengingraukan

makna lain. Karena yang terdapat secara oleh panca indera tidak mengandung

makna lain.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pendekatan kebahasaan ushul fiqh dilihat dari proposisi Bertrand

Russeel. Pertama proposisi atomic antara pernyataan dan kenyataan

harus sesuai tidak boleh meniadakan yang mana keduanya harus

seimbang, tidak mengandung unsur majemuk. Dan proposisi atomic

tidak bisa dinyatakan benar atau salah karena hal tersebut hanya bahasa

yang menentukan benar atau salahnya, karena proposisi atomic hanya

bisa mengutarakan bahasa dengan unsur-unsur realita sederhana. Di

dalam ushul fiqh yang digagas ole ulama’ syafi’iyah tergolong dalah

mantuq yaitu antara teks dan konteks harus sesuai. Dalalah mafhum

ynag bisa mengarah pada makna lain menurut proposisi Bertrand Russel

hal ini sama dengan proposisi majemuk yang mana proposisi majemuk

bisa menjelaskan realita, dengan kata lain bisa menggali hukum-hukum

atau kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang pemahaman makna.

Bertolak dari gagasan analisis proposisi Bertrand Russel yang intinya

adalah atomisme dimana setiap pernyataan harus sesuai dengan

kenyataan yang merupakan formulasi logis dari pada logika yang

diterapkan sebelum Russel. Dalam kajia ushul fiqh untuk dapat

menetapkan hukum diperlukan pemahaman terhadap sistem kebahasaan

yang logis, mulai dari pola hubungan antara pernyataan dan realita. Pola

yang dimaksud merupakan pengertian atas dibentunya sebuah hukum

64

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


65

islam yang bertumpu pada bahasa. Ushul fiqh diperoleh dari lughawiyah

dan maknawiyah yang mana keduanya dipahami atad asas untuk

menetapkan sebuah hukum. Disini kita bisa lihat sisi persamaan antara

logika Bertrand Russel dan metode pendekatan kebahasaan ushul fiqh.

Dimana dalam ushul fiqh dapat ditetapka hukum dari segi lafadz dan

makna sedangkan logika Bertrand Russel pernyataan atau proposisi

harus sesuai dengan fakta yang melalui penyataan. Baik itu secara

langsung atau tersembunyi dari sebuah pernyataan.

2. Didalam konsep pendekatan kebahasaan ushul fiqh digunakan dua

pendekatan yaitu, pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqasid al-

syariah. Dalam hal ini yang digunakan dalam pendekatan kebahasaan

yang digagas oeh ulama’ syafi’iyah terbagi menjadi dua macam, dalalah

mantuq dan dalalah mafhum. Dalah mantuq ialah makna yang tersurat

artinya sesuatu yang ditunjukkan oleh lafadz itu sendiri, sedangkan

dalalah mafhum ialah makna yang tersirat dan bisa mengarah pada

makna yang lain. Kedua pembagian ini bertujuan agar dapat penetapkan

hukum sesuai dengan maksud dari nash yang ada.

B. Saran/Kritik

Berkaitan dengan hasil penelitian dan kesimpulan yang diambil, penulis

mengemukakan beberapa saran sebagai berikut :

1. Agama Islam adalah agama yang mempunyai toleransi yang tinggi dan

hal ini jangan sampai berpengaruh pada ishu-ishu yang negative

khususnya dalam hal memahami isi Al-qur’an, hal inilah yang akan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


66

mengakibatkan perdebatan yang menimbulkan kesenjangan dalam hal

ukhuwah Islamiyah.

2. Khusus terhadap penilaian kritik, ahli pikir Islam maupun non Islam

hendaknya memiliki penyelidikan secara seksama. Sehingga hasil

pemikiran tersebut memberi kesimpulan yang sama, agar tidak terjadi

tumpang tindih pendapat.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


1

DAFTAR PUSTAKA

Alwi. Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Manteri Pendidikan

Nasional, 2003.

Arifin, Miftahul dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan

Hukum Islam. Surabaya: CV. Citra Media, 1997.

Hidayat, Asep. Filsafat Bahasa. Bandung: Rosda Karya, 2006.

Kaelan. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma, 1998.

Kirkham. Richard L. Teori-Teori Kebenaran. Cet 1. Bandung: Nusa Media,

2013.

Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.

Mahrus, Abdulloh Kafabihi. Lubb al-Ushul, Lirboyo: Satri Salaf Press, 2014.

Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Majah. Cet III.

Yogjakarta: IRCisod, 2014.

Nasir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghaila Indonesia, 1998.

Pasaribu, Sejarah Filsafat. Yokyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000.

Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh. Cet 1. Bandung: PT Pustaka Setia, 1999.

Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Robert C. Solomon dan Kathleen M. H., A Short History of Philosophy, terj. Saut

Pasaribu, Sejarah Filsafat. Yokyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000.

Surhamad, Winarno. Pengantar penelitian Ilmiah. Bandung: Taristo, 1985.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2

Yazid Abu. Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh” bagian

1, Tahwirul Afkar, ed.Abdul Wahid. Situbondo: Buletin Ma’had Aly

Salafiyah Safi’iyah, 2015.

Yazid Abu Instrument Ijtihad “logika induktif-deduktif ilmu ushul fiqh” bagian

II, Tahwirul Afkar, ed.Abdul Wahid. Situbondo: Buletin Ma’had Aly

Salafiyah Safi’iyah, 2015.

Sumber Internet:

Ebook offline Ushul Fiqh dalam agustianto.niriah.com, diakses pada 15

September 2015

https://bahasadankesastraan.wordpress.com/category/pengertian/.

https://id.wikipedia.org/wiki/Logika. Di akses pada 21 agustus 2016.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Anda mungkin juga menyukai