Oleh :
Dhia Khadijah (220101070589)
Musrivatun (220101070546)
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang integrasi sains dan agama, Hingga kini, masih saja ada
anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan
”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai
wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya. Bahkan, banyak yang
menganggap bahwa sains adalah semata-mata hasil karya orang Eropa saja,
sehingga tidak ada hubungannya dengan agama. Padahal jika ditinjau dari sejarah,
sebelum perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan
muslim, Eropa masih dalam kegelapan, penuh takhayul, khurafat, dan beribu
macam dogma.1
Ada juga yang memandang bahwa sains dan agama berdiri pada posisinya
masing-masing, karena bidang ilmu mengandalkan data yang didukung secara
empiris untuk memastikan apa yang "nyata" dan apa yang tidak, agama
sebaliknya siap menerima yang gaib dan tidak pasti hanya didasarkan pada
variabel berwujud dari "iman" dan kepercayaan. Keduanya mempunyai wilayah
masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-
material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh
ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak
memperdulikan ilmu.
Hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 muncullah ide integrasi Islam dan
sains. Awal munculnya ide ini dilatarbelakang oleh adanya dualisme atau
dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama
di sisi lain. Dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi
pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah berlangsung
semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern.2
1
Ika Rochdjatun Hidayat, Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama Islam, (Malang:
Avicenna, 1982), hlm. 21.
2
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Muhammadiyah, 1960), hlm. 17.
1
Integrasi Islam dan sains kini telah menjadi hal yang sangat penting.
Bentuk integrasi yang tepat antara ilmu agama (divine knowledge) dan Ilmu
umum (scientific knowledge) harus segera dirumuskan. Oleh karena itulah
dalam makalah kami ini, kami hendak membahas mengenai integrasi Islam dan
sains dalam dunia pendidikan sebagai suatu tinjauan umum.
Selain itu kami juga membahas mengenai integrasi sains dengan
kebangsaan beserta ruang lingkupnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Apa Pengertian dari Islam?
2. Apa Pengertian Sains?
3. Apa Pengertian Kebangsaan?
4. Bagaimana Integrasi Dinamis antara Islam dengan sains?
5. Bagaimana Integrasi Dinamis antara Islam dengan Kebangsaan?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun agar dapat memahami tentang:
1. Pengertian Islam
2. Pengertian Sains
3. Pengertian Kebangsaan
4. Integrasi Dinamis antara Islam dengan sains
5. Integrasi Dinamis antara Islam dengan Kebangsaan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Abu al-Fadhl Jamalu ad-Din Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandzur al-Afriqiy, Lisanu
al-Arab, (Daar Shadr: Beirut, 1956) jilid-12, hlm. 293.
4
Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008), hlm. 420.
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa:
Jakarta, 2008), hlm. 1244.
3
Namun ketika sains atau science diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, ia bermakna ‘ilm atau ilmu yang disetarakan dengan knowledge. 6
Sedangkan secara konseptual, ilm dalam bahasa Arab berarti pengetahuan
(idrak) mengenai sesuatu sesuai dengan hakikatnya (kebenarannya) yang
meyakinkan.7 Ilmu juga bermakna pengetahuan terhadap sesuatu secara
komprehensif dan sistematis, bukan hanya pengetahuan yang parsial atau
sebagian.
Terlihat dari perbedaan definisi secara linguistik di atas, bahwa
pemaknaan sains menurut Barat dan Islam memiliki konsepsi masing-
masing. Jika dilacak lebih jauh lagi, sains yang dimaknai sebagai science
dalam tradisi keilmuan Barat tidaklah sama dengan sains yang dimaknai
sebagai ‘ilm yang ada dalam tradisi keilmuan Islam. Untuk itulah, sebelum
mengungkap hubungan antara sains dan Islam, haruslah diperjelas terlebih
dahulu macam-macam sains dari dua kutub yang mempergunakan istilah
tersebut yaitu Barat dan Islam.
Sains barat
Ungkapan “sains modern” selalu dipahami bahwa sains adalah dari
Barat – yang mana sains tersebut telah melakukan revolusi sejak zaman ia
dikekang di bawah kungkungan agama (Kristen). Sains Barat pun dengan
karakternya juga memiliki sebuah sejarah dan revolusi tersendiri. Sains
yang pada saat ini sudah memiliki worldview yang memiliki karakter
penting: (1) studi kritis dan mendalam secara alami terhadap suatu
aktivitas ilmiah dan (2) memiliki metode penjelasan ilmiah tertentu.
Sains dalam sejarahnya mengalami revolusi pada abad ke 16 dan
17. Paradigma sains barulah muncul dan memisahkan diri dari paradigma
agama dan mitologi. Revolusi tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan
6
Baalbaki, al-Mawrid : A Modern Arabic-English Dictionary, (Daar-al-‘Ilm al-Malayin:
Beirut, 1995) seventh edition, hlm. 775
7
Louis Ma’luf, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002) cet.
39, hlm. 527
4
filosofis dan religious, yang mana agama pada saat itu selalu bertentangan
dengan sains.
Sejarah sains di Barat, dalam perkembangannya lebih didominasi
di tangan para matematikawan, fisikawan, dan ahli-ahli ilmu alam.
Beberapa tokoh terkenal dalam kebangkitan sains Barat seperti Copernicus
(1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642), hidup pada zaman
kekuasaan Gereja di Eropa. Penerusnya adalah Newton (1643-1727),
Gilbert (1540-1603), Harvey (1578-1657), Robert Boyle (1627-1691), dan
Leeuwenhoek (1623-1723). Barulah di zaman selanjutnya, estafet tersebut
diraih oleh ilmuwan matematika, fisika, dan ilmu alam yang juga berbicara
masalah filsafat seperti Descartes, Kant, dan Dilthey dan lainnya. 8 Dari
pemikiran mereka itulah pemikiran mengenai sains menjadi berkembang,
bahkan muncul anggapan bahwa “sains modern” adalah berasal dari Barat.
Implikasi bahwa Barat adalah kiblat sains modern menimbulkan
beberapa hal penting. Hal tersebut akan terlihat jelas jika ditinjau dari
paradigma ilmu tersebut. Salah satunya adanya anggapan yang selama ini
beredar, bahwa sains adalah “value-free” atau bebas nilai. Gauch, seorang
ilmuan menyatakan bahwa sains adalah netral karena didasari dengan
metode ilmiah yang dikuatkan oleh pembuktian dengan sebuah realitas.
Gauch menganggap sains sebagai interogasi terhadap alam lantas
kemudian membuat kesimpulan darinya. Sains hanya terbatas pada hal
yang tampak dalam realitas fisik. Berpedoman pada “tujuh karakter sains”-
nya, Gauch menyimpulkan bahwa sains merupakan hal yang netral.
8
McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy, (Thomson Gale : Fermingston Hill,
2006) vol 7, hlm. 392
5
3. Integrasi Dinamis Antara Islam-sains
Sains Islam secara khusus dapat didefinisikan sebagai aktifitas
saintifik atau ilmiah yang memiliki dasar atau berpedoman pada Islamic
worldview (yaitu penggunaan konsep “natural” secara Islamiy) dan
merupakan pengejawentahan secara langsung dari skema konseptual
saintifik yang Islami.9 Tentunya dalam pencapaian kegiatan saintifik/
ilmiah ini, Islam juga menekankan adanya sumber-sumber dan metode
ilmu tersebut. Islam memandang sains yang bersifat fisik tidak hanya pada
tataran lahiriyah saja, namun juga adanya tujuan, kebenaran, dan
pengakuan wahyu sebagai satu-satunya suber ilmu tentang realitas dan
kebenaran yang terkait dengan makhluk dan khaliknya. Artinya, dalam
melakukan kegiatan saintifik, para ilmuwan muslim yang berpedoman al-
Qur’an dan Hadits akan dapat melahirkan produk sains yang membawa
maslahat bagi kehidupan manusia, baik jangka panjang maupun jangka
pendek.
Sains menurut Islam secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil
atau interpretasi alegoris dari benda-benda empiris yang menyusun dunia
alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap pada
tafsir atau interpretasi dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-
benda dalam alam. Penampakan dan makna mereka yang jelas berurusan
dengan tempat mereka di dalam sistem hubungan dan tempat mereka
menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas kebenaran dari arti
mereka dikenali. Saat ini, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan
mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan
dunia. Interpretasi itu pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains
dalam studi alam. Adalah interpretasi tentang pernyataan ini dan
kesimpulan umum sains dan arah sains sepanjang garis yang ditawarkan
oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi kritis.
9
Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1996), hlm. 38-40
6
Dalam Islam, sains sangat terikat dengan ilmu pengatahuan dan
iman. Karena sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan sifat
dari prinsip pertama logika dan pengetahuan metafisika, etika, dan
estetika; maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai
cahaya yang menerangi segala sesuatu. Bahwa iman adalah suatu visi yang
menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dengan,
dan perlu bagi, pemahaman yang benar atas mereka. Ia adalah dasar bagi
penafsiran yang rasional atas alam semesta sebagaimana ia merupakan
prinsip utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional dan
bertentangan dengan diri sendiri.10 Alam semesta yang menjadi sumber
realitas penalaran sains merupakan gambaran yang tak terpisahkan dari
wujud Allah. Karena di balik wujud dan realitas alam semesta ini terdapat
dimensi metafisik dan tujuan dari penciptaannya. Sains dalam Islam
ditujukan untuk melakukan pembuktian terhadap isyarat-isyarat untuk
pencarian ilmu sebagaimana tertera dalam al-Qur’an.11
B. Integrasi Islam-Kebangsaan
1. Faham kebangsaan
Wawasan kebangsaan merupakan cara pandang atau perspektif
yang menyatakan komunitas orang yang tergabung dan terikat solidaritas
bersama dalam wilayah politis tertentu yang memiliki otoritas politik yang
otonom.
Menurut Benedict Anderson, wawasan kebangsaan hanya
merupakan cara pandang atau perspektif yang bernuansa kebangsaan.
Berbeda dengan wawasan kebangsaan, nasionalisme merupakan paham
ideologis kebangsaan, sehingga ia merupakan landasan dan sumber
inspirasi bagi seluruh aktifitas kebangsaan. Sehingga nasionalisme
merupakan ekspresi identitas yang didasarkan pada asumsi-asumsi
10
Ismail Raji al-Faruqi, al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala Lumpur:
Percetakan Zafar Sdn BHd, 1992) hlm. 42
11
Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science, (Brooklands Avenue:
Islamic Texts Society, 1999) hlm. 64
7
bersama atas kebutuhan komunitas masyarakat untuk menjadi bangsa dan
membentuk sebuah Negara.
Paham kebangsaan adalah konsep baru yang pertama kali
diperkenalkan oleh Augustin Barruel (1741-1820) pada tahun 1891 Paham
kebangsaan lebih merujuk pada pengertian subjektif bersumber dari cara
berpikir keseluruhan masyarakat di suatu wilayah yang dilandasi oleh
kesadaran tentang persamaan nasib, budaya, pandangan hidup dan
kebutuhan bersama untuk melanjutkan kehidupan di wilayah yang
bersangkutan. Dengan demikian, paham kebangsaan bukanlah sesuatu
yang bersifat alamiah, karena ia mensyaratkan adanya kehendak bersama
secara sadar harus berbuat apa demi keberlanjutan hidup yang lebih baik
dalam bingkai kebersamaan. Kebangsaan merupakan subjektifitas secara
bersama dari warga yang muncul dikarenakan kondisi sosial politik,
ekonomi maupun ketidakadilan yang menimpa warga di sebuah wilayah.12
Kebangsaan adalah ciri atau identitas pada individu yang menandai
asal bangsanya, atau kelompok suatu bangsa. Kesadaran akan berbangsa
dan bernegara berarti sikap dan tingkah laku seseorang harus sesuai
dengan kepribadian bangsa dan selalu mengkaitkan dirinya dengan cita-
cita dan tujuan hidup bangsa Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
11
Untuk melihat hubungan antara Islam dan sains perlu dilakukan klarifikasi
yang mendalam. Saat ini, banyak orang yang salah faham dalam memandang
Islam – yang sebagaimana difahami oleh orang selain Muslim – bahwa Islam
hanya sekedar agama yang sepadan dengan agama Kristen, Hindu, Buddha, dan
bahkan juga kepercayaan animism-dinamisme lainnya. Tentu hal ini dilihat –
khususnya oleh orang Barat – sebagai bangsa yang saat ini berkembang dalam hal
sains dan teknologi, sebagai sejarah mereka pada zaman di mana mereka dikuasai
oleh Gereja (Dark Age). Dengan asumsi mereka bahwa agama sangat
bertentangan dengan sains dan teknologi.
Sains dan agama di Barat memiliki hubungan yang kontradiktif
sebagaimana telah ada dalam paparan di atas. Sedangkan tradisi keilmuan di Barat
selalu mengalami diskurus yang berkutat pada realisme empiris dan rasionalis,
bahkan berujung hingga penafian intuisi serta keberadaan wahyu Ilahi dari Allah.
Dengan demikian, sains dan agama di Barat akhirnya tidak mengandung
hubungan sama sekali. Hal ini berbeda secara diametral dengan tradisi keilmuan
yang ada dalam Islam. Meskipun Islam menerima rasio, akal, dan realitas alam
semesta sebagai suatu hal yang empiris dan faktual, namun lebih jauh lagi Islam
mengakui adanya dimensi metafisik berupa nilai kebenaran, adab, dan iman yang
terkandung dalam realitas tersebut. Tentunya kesemuanya bersumber dari
pengakuan kepada wahyu Allah sebagai otoritas dan sumber kebenaran yang
mutlak.
Namun tentunya pengetahuan mengenai Islam dalam tataran yang
mendalam tersebut masih perlu banyak disebarkan untuk diketahui orang. Karena
saat ini, realitas dan fakta menunjukkan bahwa kondisi umat Islam sangatlah tidak
beruntung karena tertinggal dalam segi ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi
yang berakar dari turunnya perkembangan tradisi keilmuan pada orang muslim itu
sendiri. Hal tersebut berimplikasi pada masuknya worldview dan pandangan
hidup Barat dalam kesehariannya.
Jika seseorang, bahkan juga seorang muslim melihat sains dan agama
dengan worldview Barat, maka antara sains dan Islam (sebagai agama) tidak ada
hubungannya. Sebagaimana sains merupakan hal yang ilmiah dan materialistis
12
sedangkan agama adalah urusan pribadi (private). Seorang saintis, bahkan saintis
muslim namun memiliki framework berfikir sekuler, tentu juga akan berfikir
bahwa hubungan sains dan Islam adalah negatif, bahkan sains Islam akan
dianggap omong kosong karena pendapatnya bahwa ilmu dan sains adalah netral.
Hal tersebut juga akan terjadi pada sarjana muslim yang tidak mempelajari Islam
secara mendalam dan filosofis, sehingga ia menganggap Islam hanya sekedar
ritual keagamaan tanpa memiliki dimensi yang lebih luas.
Yang seharusnya terjadi, bahwa antara sains dan Islam memiliki hubungan
yang sangat erat, karena sains Islam adalah lahir dari worldview dan pandangan
hidup Islam yang terderivasi dari al-Qur’an dan Hadits sebagai otoritas kebenaran.
Selain sikap toleransi, setiap aktivis ormas Islam di Indonesia juga harus
memiliki wawasan kebangsaan yang komprehensif dan senantiasa
mengedepankan sikap nasionalisme. Harus ada kesadaran bahwa Indonesia bukan
Negara Agama, bukan juga Negara sekuler melainkan Negara religius. Sehingga
rumusan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI merupakan suatu
dasar yang sudah final. Selanjutnya segala sikap dan tindakan yang bertentangan
dengan 4 pilar kebangsaan tersebut harus dijauhi dan ditinggalkan.
B. Saran
Kita tidak boleh memaknai sains dan agama sebagaimana yang ada dalam tradisi
Barat, atau bahkan melihatnya dengan cara berfikir Barat. Karena jika demikian,
kita akan ikut berkesimpulan bahwa dalam sains dan agama tidak ada hubungan
apapun. Sebagai Umat Islam kita harus melihat sains dari sisi Islam sehingga ilmu
pengetahuan bisa sesuai dengan kaidah ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji. Al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala
Lumpur: Percetakan Zafar Sdn BHd, 1992.
Hidayat, Ika Rochdjatun. Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama Islam. Malang:
Avicenna, 1982.
Irzik, Gurol and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam
Journal Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science +
Bussiness Media B.V 2007, 729-745.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat
Bahasa: Jakarta, 2008.
14