Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI

Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Tugas

Pada Mata Kuliah sejarah pemikiran islam.

Disusun oleh:

Nama: Npn:

Heni Lathipah Wulan Sari 22221003

Nova Elisa 22221004

Kelas Ekonomi Syari`ah A

JURUSAN EKONOMI SYARI`AH

UNIVERSITAS LA TANSA MASHIRO

RANGKAS BITUNG

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmaanirahiim
Atas izin Allah langit masih menyunting matahari, angin masih setia mengipasi bumi,
dan laut tak pernah bosan mengantar ombak ke tepian. Dan atas izin Allah pula maka makalah
ini dapat dibuat. Maka sudah sepatutnyalah penyusun memanjatkan puji dan syukur yang tak
terbatas ke hadirat-Nya.
Makalah ini dibuat oleh penyusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada
mata kuliah sejarah pemikiran islam. Di dalamnya terdapat pembahasan mengenai Pemetaan
pemikiran imam al-ghzali.
“Tak ada gading yang tak retak”, begitu pun dengan makalah ini masih jauh dari
kriteria sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi
improvmentasi penyusun makalah selanjutnya.
Segala kritikan yang membangun senantiasa diharapkan penyusun demi
penyempurnaan makalah ini. Dan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi pembaca.
Akhirnya penyusun mengucapkan syukur alhamdullilah kehadirat ilahi robbi yang tiada
hentinya atas selesainya proses penyusunan makalah ini.

Amin.

Rangkasbitung , 09 november 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah. ........................................................................................... 1

C. Tujuan Penulis . ................................................................................................ 2

D. Manfaat Penulisan ............................................................................................. 2

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................................... 3

A. Landasan teori imam al-ghazali ....................................................................... 3

1. Ta’lim insani ............................................................................................... 3

2. Pendekatan ta’lim rabbani .......................................................................... 4

B. Kajian penelitian terdahulu ............................................................................... 5

1. Konsep pemimpin menurut al-ghazali ........................................................ 5

2. Kepemimpinan dalam perspektif islan dan dasar konseptualnya ............... 6

3. Konstuksi pemimpin ideal untuk indonesia peneleitian ini dilakukan oleh

ainun najib, S.TH.I pada tahun 2013 ......................................................... 7

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................... 8

A. Beografi imam al-ghazali .................................................................................. 8

B. Al-gahzali seorang filosof .............................................................................. 10

C. Corak tasawuf al-ghazali ................................................................................ 13

D. Pemikiran al-ghazali ...................................................................................... 14

1. Epistemologi ........................................................................................... 14

2. Metafisika ................................................................................................ 15

ii
3. Etika ........................................................................................................ 16

E. Karya-karya dan pandangan al-ghazali ........................................................... 17

F. Pemikiran filsafat ilmu al-ghazali ................................................................... 18

1. Pengertian filsafat pendidikan islam ........................................................ 19

2. Filsafat pendidikan islam menurut ilmuan ............................................... 20

BAB IV PENUTUP ............................................................................................................. 26

A. kesimpulan ...................................................................................................... 26

B. saran .............................................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang

disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,

dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, karena dari

merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih

filsafat Islam dikembangkan.

Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang

ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur.

Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam.

Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang

teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali

yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim

lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Biografi Imam Al Ghazali ?

2. Apakah Al-Ghazali Seorang filusuf ?

3. Bagaimana corak tasawwuf imam Al ghzali ?

4. Bagaimana pemikiran imam Al Ghazali ?

5. Karya-karya dan pandangan al-ghazali ?

6. Pemikiran filsafat ilmu al-ghazali ?

1
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan

makalah ini adalah sbb:

1. Menjelaskan biografi imam al-ghazali.

2. Menjelaskan al-ghazali seorang filosof.

3. Menjelaskan corak tasawuf al-gahazali.

4. Menjelaskan pemikiran al-ghazali.

5. Menjelskan karya-karya dan pandangan al-gahazali.

6. Menjelskan pemikiran filsafat pemikiran al-gahzali.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini di harapkan dapat memberikan manfaat bagi pembuat makalah

ataupun pembaca makalah tentang Pemikiran Imam Al-Ghazali.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori Imam Al-Ghazali

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad, kemudian mendapat

gelar imam besar Abu Hamid Al-GhazaliHujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau

1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suat kota di Khurasan Persia.

Menurut Al-Ghazali, pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan

menggunakan dua pendekatan ta’lim insani dan ta’lim rabbani.

1. Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Yang mana proses ta’lim

insani ini dibagi menjadi dua :

a. Proses eksternal melalui belajar mengajar (ta’lim)

b. Proses belajar mengajar adalah aktivitas eksplorasi pengetahuan sehingga

menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru mengeksplorasi ilmu yang

dimilikinya untuk diberikan kepada muridnya, sedangkan murid menggali ilmu

darigurunya agar ia mendapatkan ilmu.

Oleh sebab itu terdapat syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh seorang pelajar agar

belajar dapat optimal adalah :

a. Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah (Dahlan Tamrin 1988).

b. Membersihkan hati. terhindar dari sifat-sifat tercela, seperti riya’, sombong, ghurur,

takabur hasud dan dengki.

c. Memiliki sikap rendah hati dan tidak boleh meremehkan pada orang lain, terutama

terhadap guru yang telah mengajarinya.

d. Belajar dari yang mudah

e. Belajar sampai tuntas

3
f. Mengetahui nilai-nilai ilmupengetahuan yang dipelajari

g. Memprioritaskan ilmu keagamaan sebelum memasuki ilmu duniawi

h. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suat lmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat,

membahagiakan, mensejahterakana, dan memberi keselamatan dunia akhirat.

i. Merasakan persaudaraan yang erat terhadap teman sebayanya

j. Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan

kekacauan dalm pikiran atau aliran-aliran.

k. Proses internal memalui proses tafakkur

l. Membaca realitas dalam setiap dimensinya. Dan selalu berfikir karena menuntut ilmu

itu diperlukan suatu proses berfikir.

2. Pendekatan ta’lim rabbani.

Pendekatan ini merupakan belajar dengan bimbingan tuhan.Ada tiga proses yang dilalui

dalam mendapatkan pengetahuan ini:

1. Mendedikasikan seluruh disiplin ilmu dengan mengambil bagian yang paling sempurna

dari yang terbanyak.

2. Melakukan upaya yang diamalkan dalam rangka menaucikan diri. seperti berpuasa,

berdzikir dan amalan-amalan lain.

3. Tafakur. Jika seseorang melakukan riadat dan bertafakur merenungi pengetahuan-

pengetahuan yang didapatnya, maka dia akan dibukakan gerbang alam gaib.

4
B. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian terdahulu yang

pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Sejauh penelusuran yang telah

dilakukan, penulis belum menemukan penelitian yang membahas secara komprehensif

mengenai konsep pemimpin ideal dalam hukum Islam menurut pandangan Imam al-Ghazali.

Namun ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan konsep pemimpin ideal yang penulis

temukan, di antaranya adalah sebagaimana berikut.

1. Konsep Kepemimpinan Menurut Al-Ghazali

Penelitian ini dilakukan oleh Masykur Hakim pada tahun 2018. Hasil penelitian: Menurut

al-Ghazālī, kehadiran pemimpin sangat penting di suatu negara atau di komunitas untuk

menjaga perdamaian, permusuhan dan keteraturan di masyarakat. Merupakan kewajiban

agama bagi umat Islam atau perwakilan mereka untuk memilih pemimpin yang mampu untuk

mendapatkan kepentingan bersama rakyat dan agar perintah agama berjalan sesuai dengan

harapan mereka.

Bahkan Islam 12 mengizinkan ulama Muslim untuk berpartisipasi dalam politik praktis

atau menjadi anggota DPR agar semua program pemerintah dilaksanakan dengan lancar. Jika

para cendekiawan Muslim di negara itu tidak dapat mengkritik ketidakdisiplinan pemerintah

terhadap hukum Islam atau ketidakpatuhannya terhadap peraturan, lebih baik mereka

mengambil peran sebagai oposisi dan menjadi lawan nyata. Masih banyak pemikiran politik

Islam al-Ghazali yang menarik untuk dijabarkan lebih mendalam pada artikel ini.1

Adapun perbedaan dengan penelitian penulis, artikel ini membahas beberapa aspek

kepemimpinan menurut al-Ghazali, sedangkan penelitian yang akan dilakukan penulis

membahas konsep pemimpin ideal menurut al-Ghazali.

5
2. Kepemimpinan dalam Perspektif Islam dan Dasar Konseptualnya

Penelitian ini dilakukan oleh Maimunah pada tahun 2017. Hasil penelitian:

Kepemimpinan adalah cara untuk memimpin. Adapun pemimpin dibutuhkan dengan

setidaknya empat alasan. Pertama, manusia secara alamiah butuh untuk diatur. Kedua,

beberapa situasi pemimpin diperlukan untuk tampil mewakili kelompoknya. Ketiga, pemimpin

sebagai pengambil alih resiko apabila terjadi tekanan terhadap 1Masykur Hakim, “Konsep

Kepemimpinan Menurut al-Ghazali”, Jurnal Ilmu Ushuluddin,|Volume 5, Nomor 1, (Januari

2018), hlm. 39-56. 13 kelompoknya. Keempat, pemimpin dan kepemimpinan sebagai tempat

meletakkan kekuasaan.

Kepemimpinan Islam atau Imamah, sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,

yang berkaitan dan merupakan aspek dari kebutuhan manusia, mulai kebutuhan pribadi,

keluarga, bahkan sampai pada tingkat kelompok masyarakat. Konsep kepemimpinan dalam Al-

Qur’an dan AsSunnah mencakup penjelasan mengenai cara-cara memimpin untuk tujuan

terlaksananya ajaran Islam, untuk menjamin kehidupan duniawi yang lebih baik, dan untuk

tujuan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama kepemimpinan dalam Islam (kepemimpinan

Islam).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu

proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang

lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan

yang diinginkan bersama.2 Adapun perbedaan dengan penelitian penulis, penelitian ini

menganalisa kepemimpinan dalam perspektif Islam dan dasar konseptualnya secara umum,

sedangkan penelitian yang dilakukan penulis menganalisa konsep kepemimpinan ideal dalam

perspektif hukum Islam menurut al-Ghazali.

6
3. Konstruksi Pemimpin Ideal untuk Indonesia Penelitian ini dilakukan oleh Ainun Najib,

S.Th.I pada tahun 2013.

Hasil penelitian: Dalam penelitian ini dibahas tentang pemilihan umum di Indonesia.

Rakyat Indonesia menghadapi pesta demokrasi (pemilu) setiap lima tahun sekali untuk mencari

pemimpin yang bisa mengayomi dan membawa negara lebih maju serta menciptakan

kehidupan yang damai, tentram dan sejahtera.

Pada saat masa kampanye, para kandidat atau calon wakil rakyat berlomba-lomba

mencitrakan diri, mempromosikan diri, menampilkan diri layak memperoleh kedudukan

sebagai pemimpin negara, dan tentunya membandingkan citra diri dengan calon-calon lainnya.

Tak heran bila beragam cara dilakukan untuk mendapat suara terbanyak pada perhitungan suara

pemilihan umum. Maka yang dapat diharapkan adalah, rakyat jangan sampai salah memilih

pemimpin.

Bagi penulis atau peneliti penelitian ini, pemimpin ideal untuk Indonesia yang plural

masyarakatnya adalah sosok yang memiliki potensi atau talenta kepemimpinan yang

mampu/bisa tetap menjaga keutuhan pluralitas masyarakat Indonesia, bertanggungjawab dan

berjiwa semangat jihad (berjuang) yang besar dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan,

serta tetap menjaga karakter atau akhlak mulia pada kepribadian diri sendiri. 3 3Ainun Najib,

S.Th.I, “Konstruksi Pemimpin Ideal untuk Indonesia”, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia,

Vol. 3 No. 1, (2013). 15 Adapun perbedaan dengan penelitian penulis, penelitian ini

menganalisa pemimpin ideal dalam politik pemilihan umum di Indonesia, sedangkan penelitian

yang dilakukan penulis menganalisa konsep pemimpin ideal dalam hukum Islam.

7
BAB III

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Al-Ghazali

Al ghazali, Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad al-Thusi al-Ghazali. lahir pada tahun 450 H/1058 M, di desa Thus, wilayah

Khurasan, Iran. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya tukang pintal benang,

Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah

Ghazali (satu Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.

Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini ia belajar ilmu fiqh

pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani. Setelah itu, ia belajar

di Jurjan pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqh.

Al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain

Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab fiqh, retorika, logika dan juga

ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya. Dan setelah Imam Al-Juwaini meninggal

tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan

Nizhamu’I-Muluk Perdana Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas di

sebelah Kota Naisabur dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham Al-Muluk. Di sini,

Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya

dalam mengalahkan para ulama setempat dalam munazharah.

Dengan bantuan Nizhamu’I-Mulk, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad pada tahun 484

H/1090 M. Nizam Al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M, sebagai

guru besar pada perguruan Tinggi Nizamiyah di kota Baghdad. Ia juga mengajar di perguruan

tinggi tersebut. Disamping menjadi guru besar di Nizamiyah, Al-Ghazali diangkat sebagai

mufti untuk membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul

8
dalam masyarakat. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para

penuntut ilmu memadati halqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di kawasan itu karena

berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia mulai berpikir dan

menulis dalam ilmu fiqh dan Al-Kalam dan juga kitab-kitab yang berisi sanggahan terhadap

aliran-aliran Batiniyyah, Ismailiyyah dan falsafah.

Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M. Yakni krisis

keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang empiris maupun yang

rasional. Periode ini menandai perubahan orientasi Al-Ghazali, yang memilih melakukan ritual

sufistik untuk mencapai ketenangan hati. Al-Ghazali menjelaskan dalam otobiografinya

mengapa ia meninggalkan karir cemerlang dan berpaling ke tasawuf. Hal itu kemudian ia

jelaskan bahwa kesadarannya meyakinkan dia bahwa tidak ada cara untuk mendapatkan

pengetahuan sejati dan ketenangan hati kecuali melalui sufisme.

Kesadaran Al-Ghazali ini juga bisa berkaitan dengan kritiknya terhadap filsafat Islam.

Bahkan, penolakannya terhadap filsafat Islam bukan merupakan sebuah kritisisme dari sudut

pandang theologi orthodoks saja. Pertama, sikap Al-Ghazali terhadap filsafat terlihat

ambivalen. Pada satu sisi, Al-Ghazali menerima beberapa bagian dari filsafat, seperti ilmu alam

dan logika. Al-Ghazali berusaha menguasai filsafat untuk kemudian melakukan kritikan

terhadapnya. Pentingnya kritiknya tersebut terletak pada demonstrasi filosofisnya yang

menyatakan argumen –argumen yang dikemukakan para filosofof metafisis tidak dapat

bertahan dalam pengujian. Namun di sisi lain, ia juga dipaksa mengakui bahwa kepastian-

kepastian agama seperti kebenaran wahyu, alam gaib, dan kenabian tidak dapat diperoleh

dengan pembuktian nalar.

Pencarian kebenaran Al-Ghazali ini kemudian dilakukan selama 10 tahun di menara

masjid Damaskus. Setelah melakukan suluk sufinya, pemikiran Al-Ghazali yang sebelumnya

banyak dihiasi dengan argumentasi teologis dan filsofis mendapatkan warna baru dengan

9
sentuhan sufistik. Hal ini semakin melengkapi konstruk rancang bangun pemikirannya. Atas

kecemerlangannya, julukan hujjatul Islam disematkan kepada Al-Ghazali sebagai apresiasi

karya-karyanya yang sangat ensiklopedis.

Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studi tentang

sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta menulis berbagai kitab dalam bidang falsafah,

batiniyyah, fiqh dan lain-lain. Namun, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu

ia meninggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih kurang dua

tahuh. Dalam masa ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah dan beribadah serta

beri’tikaf di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid pada waktu siang hari. Lalu ia

berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada Allah.

Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H,

19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin.

Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan

makam penyair besar Firdausi.

B. Al-Ghazali Seorang Filosof

Polemik Al-Ghazali dengan para filosof, yang ia tuliskan dalam karyanya yang terkenal,

Tahafut al-Falasifah membuat sebagian orang memandang bahwa Al-Ghazali adalah orang

yang anti filsafat, anti rasio, dan seorang ulama orthodoks semata. Dari sini kemudian Al-

Ghazali banyak mendapat kecaman karena dituding sebagai seorang yang bertanggung jawab

memundurkan capaian intelektual umat Islam. Dalam buku tersebut Al-Ghazali menerangkan

kelemahan-kelemahan argumentasi para filosof. Apakah mungkin satu karya yang mengkritik

filsafat dapat disebut sebagai buku filsafat? Al-Ghazali sendiri beberapa kali kesempatan

mengatakan bahwa tujuannya menulis buku tersebut memang untuk merobohkan bangunan

10
filsafat. Lantas apakah mungkin pengarang seperti ini dapat digolongkan sebagai seorang

filosof,

Jawaban dari persoalan ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama apabila filsafat diartikan

sebagai aliran pemikiran Ibnu Sina dan Al-Farabi serta beberapa pemikir sealiran yang

berbicara masalah-masalah ketuhanan, metafisika, jiwa manusia, tanpa melihat proses deduksi

dan metode yang digunakan, maka bisa dikatakan bahwa Al-Ghazali bukanlah seorang filosof

dan buku karyanya tersebut bukanlah buku filsafat, karena berisi hantaman terhadap pemikiran

kedua tokoh filsafat tersebut.

Dasar dari argumen pertama ini dapat dipertanyakan, yaitu apakah lapangan filsafat

hanyalah apa-apa yang dibicarakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina saja? Bagaimana dengan

pendapat para filosof lainnya? Apakah bidang garapan filsafat hanya terbatas pada persoalan

metafisika semata? Lalu jika tujuan berfilsafat adalah dalam rangka mencapai kebenaran lewat

akal, maka apakah yang dilakukan Al-Ghazali bukan sebuah bentuk pencarian kebenaran

melalui logika?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas dapat diuraikan lebih jelas apabila kita

membuka simpul ikatan yang mengunci bidang kajian filsafat terbatas pada masalah ketuhanan

dan metafisika saja. Jika kita perluas pengertian filsafat sebagai usaha untuk menemukan

kebenaran menggunakan akal, maka upaya Al-Ghazali ini bisa dikatakan sebagai upaya

filosofis. Pendapat-pendapat dalam disiplin filsafat sangatlah beragam, akan sangat

mengherankan apabila dibatasi hanya pada Al-Farabi dan Ibnu Sina, meskipun kita tidak dapat

menyangkal kebesaran kedua sosok pemikir muslim tersebut.

Dalam buku tahafutnya tersebut Al-Ghazali menunjukkan bahwa argumen-argumen

yang disebutkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina penuh dengan kerancuan. Al-Ghazali

melontarkan kritikannya tersebut melalui metode yang sama dengan yang digunakan Ibnu Sina.

Bahkan beberapa penstudi menyatakan bahwa argumentasi yang diberikan Al-Ghazali jauh

11
lebih detail dan mendalam dari Ibnu Sina dan Al-Farabi. Jadi dapat dilihat disini bahwa kritikan

Al-Ghazali bisa digolongkan ke dalam usaha filsofis karena melihat dari metode dan tujuan

yang hendak diraihnya.

Dalam lapangan filsafat, tradisi kritisisme merupakan salah satu tradisi yang lumrah.

Bahkan kritisisme dapat dianggap sebagai inti dari kegiatan berfilsafat, karena mustahil suatu

pemikiran manusia akan tetap berdiri sebagai entitas yang kebenarannya relevan dengan

perubahan masa. Dengan adanya tradisi kritisisme tersebut, maka kesalahan-kesalahan yang

dilakukan para pendahulu dapat dikoreksi dan dibenarkan dengan pemikiran yang datang di

masa terkemudian. Sikap skeptis Al-Ghazali tersebut bisa disamakan dengan kritikan

Aristoteles terhadap teori idea yang dikembangkan gurunya, Plato. Dan apakah dengan kritikan

Aristoteles kepada Plato tersebut lantas Aristoteles bisa dianggap menolak filsafat? Dan apakah

kemudian bangunan filsafat bisa roboh secara keseluruhan? Mungkin pernyataan Aristoteles

bisa kita perhatikan: “Aku mencintai kebenaran. Dan aku mencintai Plato. Aku juga mencintai

kebenaran yang ada pada diri Plato. Namun jika disuruh memilih, aku akan lebih memilih

kebenaran daripada Plato”.

Selain itu, pernyataan bahwa Al-Ghazali adalah seorang yang gigih menentang filsafat

tidaklah salah sepenuhnya apabila kita hanya menelaah buku tahafut saja. Namun menjadi lain

persoalan jika kita melihat dan membandingkannya dengan karya-karya Al-Ghazali yang lain,

dimana dengan jelas terlihat bahwa pemikir berkebangsaan Persia ini adalah seorang rasionalis

tulen. Kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof tidak lantas diartikan bahwa ia seorang anti

rasio. Kritisisme cendekiawan muslim ini sejatinya tidak dalam rangka membunuh kreativitas

intelektual umat Islam karena ia sendiri memberikan apresiasi yang positif terhadap akal

sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan.

12
C. Corak Tasawuf Al-Gazali

Yang menarik dalam sejarah hidup Al-Gazali adalah kehausannya akan segala macam

pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat sesuatu.

Al-Gazali tidak percaya akan kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat

indrawi dan axioma. Akan tetapi akhirnya, terhadap kedua macam pengetahuan itu pun, ia tidak

mempercayainya. Ia berada dalam keragu-raguan terhadap kedua pengetahuan itu. Namun

sikap keragu-raguannya itu hanya berlangsung 2 bulan saja kemudia ia bisa sembuh dari

keragu-raguan itu bukan karena dalil melainkan karena cahaya Tuhan yang dilimpahkan-Nya

dalam hatinya. Cahaya inilah yang menjadi kunci dari segala pengtahuan bagi Al-

Gazali.setelah Al-Gazali mendapatkan cahaya tersebut maka membuka fase kehidupan baru

bagi Al-Gazali dimana tasawuf mendapat tempat seluas-luasnya pada dirinya.

Tasawuf dengan sikap yang negatif dan asing dari semangat jiwa islam, sebagaimana

yang terlihat pada aliran-aliran tasawuf ektrim, yag menimbulkan reaksi dan kemarahan islam

sunni. Maka datanglah Al-Gazali untuk memasukkan tasawuf dalam pengakuan islam sunni.

Ia memasuki kehidupan tasawuf, namun dirinya tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf

inkarnasi, atau tasawuf panteisme dan buku-buku yag dikarangnya juga tidak pula keluar dari

jalan islam yang benar.

Pengetahuan yang dimiliki oleh Al-Gazali di dasarkan atas rasa yang memancar dalam

hati, bagaikan sumber air jernih, bukan dari hasil penyelidikan, tidak pula dari argumen-

argumen ilmu kalam.

Al-Gazali menentang dengan tegas orang-orang tasawuf yang meremehka upacara

agama. Sebaliknya ia menganggap upacara tersebut sebagai suatu kewajiban yang harus

dijalankan untuk mencapai kesempurnaan. Menjalankan upacara-upacara itu tidak hanya

cukup dengan pekerjaan-pekerjaan lahiriah, melainkan dengan penuh pengertian akan makna-

makna dan rahasianya yag tidak didapati dalam buku-buku fiqih.

13
D. Pemikiran Al-Ghazali

1. Epistimologi

Pada mulanya Al-Gazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang bisa

dilihat dengan mata tetapi kemudian ternyata panca indra juga berdusta. Contohnya bayangan

rumah, kelihatannya tak bergerak padahal terbukti bayangan itu berpindah tempat. Demikian

juga dengan bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan

bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Al-Ghazali kemudian tidak mempercayai alat

indra lagi, kemudian ia meletakkan kepercayaannya kepada akal. Namun, ia juga tidak percaya

kepada akal karena pada saat bermimpi orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul,

namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.

Al-ghazali dalam proses pencarian ini ada kesan inkoherensi. Ia ingin mencari kebenaran

yang universal melalui keyakinan, namun yang tercapai adalah kebenaran individual melalui

al-dzawq. Dalam menceritakan proses pencariannya ini ia mengajak semua orang untuk

meragukan taklid, indra dan akal untuk mencari sumber pengetahuan baru yang dapat di

gunakan untuk mencapai kebenaran yang universal, tetapi jalan keluar yang di perolehnya

dengan menemukan intuisi atau al-dzawq, menunjukkan bahwa yang di selamatkan dari

keraguan yang telah ia ciptakan itu adalah orang-orang tertentu saja. Sebab, intuisi dan segala

yang di peroleh dari padanya bersifat individual dan di capai oleh orang-orang tertentu.

Menurut Al-ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika, logika, fisika, etika,

dan metafisika. Hubungan lapangan-lapangan tersebut berbeda dengan agama, ada yag

berlawanan dan ada yang tidak berlawanan. Al-ghazali berpendapat bahwa agama tidak

melarang atau memrintahkan mempelajari matematika karna ilmu ini adalah hasil pembuktian

pemikiran yang tidak bisa di ingkari sesudah di ketahui dan di fahami. Logika menurut al-

ghazali, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika besisi penyelidikan tentang dalil-

dalil pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi. Semua persoalan ini tidak

14
perlu di ingkari, sebab masih sejenis dengan di pergunakan mutakallimin. Ilmu fisika Al-

ghazali, membicarakan tentag planet-planet, unsur-unsur tunggal, benda-benda tersusun,

sebab-sebab perubahan kedokteran. dalam agama tidak di syaratkan mempelajari ilmu

kedokteran sama halnya dengan ilmu fisika tidak perlu untuk di ingkari, kecuali dalam empat

persoalan yaitu yang dapat di simpulkan bahwa alam semesta ini di kuasai oleh tuhan, tidak

bekerja denga dirinya sendiri, tetapi bekerja karna tuhan, dzat penciptanya.

Selanjutnya Al-ghazali membagi filsuf dalam tiga golongan, yaitu materialis, maturalis

dan theis. Menurut Al-ghazali golongan yang pertama yaitu materialis, mereka tidak beragama

karena mereka tidak mempercayai pencipta dan pengatur dunia dan meyakini bahwa dunia ini

telah ada sejak dulu. Peristiwa-peristiwa alam adalah perubahan yag terus menerus. Naturalis

dalam hal kepercayaan surga, neraka dan hari akhirat mereka memandang itu sebagai dongeng

dan khayalan. Menurut Al-ghazali golongan ini juga tidak religius ( zindiq ). Kaum theis

menurut Al-ghazali masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bid’ah.

2. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama

karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan

bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti

mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara

mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka

(para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah

mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang

mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni

bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya

15
sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode

rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang

meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang

fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap

memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan

matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat

metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para

filosof dinyatakan kafir. Dan berikut ini merupakan persoalan metafisika yang berlawanan

dengan islam dan yg oleh karnanya para filosof harus dinyatakan sebagai orang atheis.

a. Qadimnya alam

b. Tidak mengetahuinya tuhan terhadap soal soal peristiwa kecil

c. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

3. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya

dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori

tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan

tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf

Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh

kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-

sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif

berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam.

Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai

16
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,

dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

E. Karya-Karya Dan Pandangan Al-Ghazali

Dalam mempelajari ilmu filsafat baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof

Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang

bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang banyak argumen

filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil

Aristoteles tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan

tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun

menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata,

tidak nyatsa.

Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islm atas pembelaannya yang

mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bthiniyyah dan kaum filosof.

Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli

pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.

Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa

warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.

Maqshid Al Falsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-

masalah filsafat.

Tahfut Al Falsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda

keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.

Mi'yr Al 'Ilm (kriteria ilmu-ilmu).

17
Ihy` 'Ulm Ad Dn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya

terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara

damaskus,Yerussalem, Hijjz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.

Al Munqidz Min Adl Dlall (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah

perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam

ilmu serta jalan mencapai Tuhan.

a. Al Ma'rif Al 'Aqliyyah ( yang artinyapengetahuan yang rasional).

b. Misykat Al Anwr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlq tashawuf.

c. Minhaj Al 'bidn (yang artinya jalan mengabdikan diri pada Tuhan).

d. Al Iqtishd f Al I'tiqd (moderasi dalam akidah).

e. Ayyuh Al Walad ( yang artinya wahai anak).

Sebagai seorang ilmuan, alGhazali berhasil menyusun buku-buku beliau kurang lebih

sebanyak 100 buah karangannya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, karya

al-Ghazali tidakdi konsumsikan kepada masyarakat secara umun,, tetapi ada klasifikasinya ,

ada yang di peruntukkan kepada orang ahli tazawuf dan ada pula kepada pencinta etika ,oleh

karna itulah karya-karyanya ada yang berbeda dengan yang lain.

F. Pemikiran Filsafat Imam Al Ghazali

Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam masalah pendidikan.Orientasi pendidikan

yang seharusnya bisa dicapai Mempengaruhi cara pandang proses pendidikan itu sebagaimana

mestinya . Perlu diketahui bagaimana bahwa pendidikan islam sebagai langkah untuk

menghasilkan pelajar atau peserta didik yang sesuai dengan goal islam.

18
1. Pengertian filsafat pendidikan Islam

Ilmu yang berkaitan dengan masalah mendasar dari segala hal di sebut filsafat. Filsafat

berusaha untuk membongkar realitas secara mendalam mengenai dasar-dasar terbentuknya,

hal-hal prinsip yang membuat realitas ada, dan menjadi pandangan hidup atau pandangan

seseorang dalam melihat realitas tersebut.

pertanyaan yang mendasar seperti Apa, Mengapa, Bagaimana menjadikan bagaimana

permulaan filsafat bisa terjadi dan terbentuk Aktivitas filsafat tidak akan terjadi apabila tanpa

adanya ada pertanyaan. Sebagai contoh timbulnya pertanyaan tentang Apa dan Siapa Manusia,

Apakah itu tuhan dan bagaimanakah wujud tuhan? Semuanya akan dijawab oleh aktivitas

filsafat.

Filsafat berkembang menjadi pembicaraan tentang hal-hal yang abstrak dan tidak terlihat.

Hal abstrak ini biasanya seperti nilai-nilai, ide, pemikiran, dan sistem di masyarakat

perkembangan merubah realitas mengenai awal mula terbentknya filsafat . Adanya filsafat

yang berupa realitas abstrak maka mulai muncul pemikiran-pemikiran dari filsafat yang

akhirnya menjadi landasan sebuah kehidupan di masyarakat atau menjadi cara pandang hidup

seseorang.

Menurut Dr. Dardiri, mengatakan di dalam dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan

Logika, disebukan bahwa cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut :

a. Metafisika, tujuan filsafat dengan membongkar hal-hal yang ada di luar objek. Misalnya

berkaitan dengan fungsi, manfaatnya, sebab munculnya,

b. Epistemologi,tujuan filsafat dengan bagaimana seseorang bisa

menghasilkan pengetahuan cara berfikir tertentu

19
c. Metodologi,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan cara seseorang bisa menghasilkan

pengetahuan tertentu

d. Estetika,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan baik buruknya suatu realitas

e. Etika, tujuan Filsafat yang berkenaan dengan nilai keindahan suatu perilaku

f. Logika, Filsafat yang berkenaan dengan valid atau tidak valid suatu pernyataan atau

pemikiran yang diambil menggunakan kesimpulan.

2. Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ilmuwan

Pendidikan adalah proses dimana seseorang mendapatkan suatu pengajaran, proses

pembelajaran yang outputnya adalah adanya perubahan baik dalam hal pengetahuan, perilaku,

ketrampilan, keahlian, atau cara pandang terhadap sesuatu. Pendidikan bertujuan agar siswa

didik maupun mahasiswa atau orang yang didik menunjukkan suatu perubahan yang signifikan

dalam hidupnya untuk bisa melakukan sesuatu yang dituju dengan benar.

Berikut penjelasan ilmuwan yang berbicara dan menyatakan teorinya tentang filsafat

pendidikan islam. Diantaranya adalah:

Pendidikan Islam ialah pendidikan Islami, pendidikan yang mempuny karakteristik dan sifat

keislaman, yaitu pendidikan yang didirikan dan dikembangkan di atas dasar ajaran Islam

menurut Muammad As-Said.

Menurut Fatah Yasin mengutip pendapat dari HM. Arifin, ilmu pendidikan Islam

merupakan teori, konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan yang berdasarkan Islam.

Menurut Sudiyono, pendidikan Islam sebagian ada yang menitikberatkan pada segi

pembentukan akhlak anak, sebagian lagi menuntut pendidikan teori dan praktik, dan sebagian

lainnya menghendaki terwujudnya kepribadian muslim, dan lain-lain.

20
Berikut adalah penjelasan mengenai hakikat pendidikan islam :

a) Filsafat Pendidikan Islam Berdasar Nilai Dasar Islam

Cara pandang atau dasar-dasar yang mengenai bagaimana islam melalukan proses

pendidikan baik secara formal ataupun informal itulah yang dimaksud dengan filsafat

pendidikan islam secara umum. Filsafat ilmu pendidikan islam pada dasarnya hanya

mengedepankan beberapa aspek yang menjadi penenganan dalam prosesnya.

Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M. Yakni krisis

keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma'rifah, baik yang empiris maupun yang

rasional. Periode ini menandai perubahan orientasi Al-Ghazali, yang memilih melakukan ritual

sufistik untuk mencapai ketenangan hati. Al-Ghazali menjelaskan dalam otobiografinya

mengapa ia meninggalkan karir cemerlang dan berpaling ke tasawuf. Hal itu kemudian ia

jelaskan bahwa kesadarannya meyakinkan dia bahwa tidak ada cara untuk mendapatkan

pengetahuan sejati dan ketenangan hati kecuali melalui sufisme.

Kesadaran Al-Ghazali ini juga bisa berkaitan dengan kritiknya terhadap filsafat Islam.

Bahkan, penolakannya terhadap filsafat Islam bukan merupakan sebuah kritisisme dari sudut

pandang theologi orthodoks saja. Pertama, sikap Al-Ghazali terhadap filsafat terlihat

ambivalen. Pada satu sisi, Al-Ghazali menerima beberapa bagian dari filsafat, seperti ilmu alam

dan logika. Al-Ghazali berusaha menguasai filsafat untuk kemudian melakukan kritikan

terhadapnya.

Filsafat berkembang menjadi pembicaraan tentang hal-hal yang abstrak dan tidak terlihat.

Hal abstrak ini biasanya seperti nilai-nilai, ide, pemikiran, dan sistem di masyarakat

perkembangan merubah realitas mengenai awal mula terbentknya filsafat . Adanya filsafat

yang berupa realitas abstrak maka mulai muncul pemikiran-pemikiran dari filsafat yang

21
akhirnya menjadi landasan sebuah kehidupan di masyarakat atau menjadi cara pandang hidup

seseorang.

Menurut Dr. Dardiri, mengatakan di dalam dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan

Logika, disebukan bahwa cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut :

1. Metafisika, tujuan filsafat dengan membongkar hal-hal yang ada di luar objek. Misalnya

berkaitan dengan fungsi, manfaatnya, sebab munculnya,

2. Epistemologi,tujuan filsafat dengan bagaimana seseorang bisa

menghasilkan pengetahuan cara berfikir tertentu

3. Metodologi,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan cara seseorang bisa menghasilkan

pengetahuan tertentu

4. Estetika,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan baik buruknya suatu realitas

5. Etika, tujuan Filsafat yang berkenaan dengan nilai keindahan suatu perilaku

6. Logika, Filsafat yang berkenaan dengan valid atau tidak valid suatu pernyataan atau

pemikiran yang diambil menggunakan kesimpulan.

b) Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ilmuwan

Pendidikan adalah proses dimana seseorang mendapatkan suatu pengajaran, proses

pembelajaran yang outputnya adalah adanya perubahan baik dalam hal pengetahuan, perilaku,

ketrampilan, keahlian, atau cara pandang terhadap sesuatu. Pendidikan bertujuan agar siswa

didik maupun mahasiswa atau orang yang didik menunjukkan suatu perubahan yang signifikan

dalam hidupnya untuk bisa melakukan sesuatu yang dituju dengan benar.

Berikut penjelasan ilmuwan yang berbicara dan menyatakan teorinya tentang filsafat

pendidikan islam. Diantaranya adalah:

22
1. Pendidikan Islam ialah pendidikan Islami, pendidikan yang mempuny karakteristik dan

sifat keislaman, yaitu pendidikan yang didirikan dan dikembangkan di atas dasar ajaran

Islam menurut Muammad As-Said.

2. Menurut Fatah Yasin mengutip pendapat dari HM. Arifin, ilmu pendidikan Islam

merupakan teori, konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan yang berdasarkan

Islam.

3. Menurut Sudiyono, pendidikan Islam sebagian ada yang menitikberatkan pada segi

pembentukan akhlak anak, sebagian lagi menuntut pendidikan teori dan praktik, dan

sebagian lainnya menghendaki terwujudnya kepribadian muslim, dan lain-lain.

Berikut adalah penjelasan mengenai hakikat pendidikan islam :

c) Filsafat Pendidikan Islam Berdasar Nilai Dasar Islam

Cara pandang atau dasar-dasar yang mengenai bagaimana islam melalukan proses

pendidikan baik secara formal ataupun informal itulah yang dimaksud dengan filsafat

pendidikan islam secara umum. Filsafat ilmu pendidikan islam pada dasarnya hanya

mengedepankan beberapa aspek yang menjadi penenganan dalam prosesnya.

Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M. Yakni krisis

keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma'rifah, baik yang empiris maupun yang

rasional.

Periode ini menandai perubahan orientasi Al-Ghazali, yang memilih melakukan ritual

sufistik untuk mencapai ketenangan hati. Al-Ghazali menjelaskan dalam otobiografinya

mengapa ia.

23
meninggalkan karir cemerlang dan berpaling ke tasawuf. Hal itu kemudian ia jelaskan

bahwa kesadarannya meyakinkan dia bahwa tidak ada cara untuk mendapatkan pengetahuan

sejati dan ketenangan hati kecuali melalui sufisme.

Kesadaran Al-Ghazali ini juga bisa berkaitan dengan kritiknya terhadap filsafat Islam.

Bahkan, penolakannya terhadap filsafat Islam bukan merupakan sebuah kritisisme dari sudut

pandang theologi orthodoks saja. Pertama, sikap Al-Ghazali terhadap filsafat terlihat

ambivalen. Pada satu sisi, Al-Ghazali menerima beberapa bagian dari filsafat, seperti ilmu alam

dan logika. Al-Ghazali berusaha menguasai filsafat untuk kemudian melakukan kritikan

terhadapnya.

Pentingnya kritiknya tersebut terletak pada demonstrasi filosofisnya yang menyatakan

argumen --argumen yang dikemukakan para filosofof metafisis tidak dapat bertahan dalam

pengujian. Namun di sisi lain, ia juga dipaksa mengakui bahwa kepastian-kepastian agama

seperti kebenaran wahyu, alam gaib, dan kenabian tidak dapat diperoleh dengan pembuktian

nalar.

Pencarian kebenaran Al-Ghazali ini kemudian dilakukan selama 10 tahun di menara

masjid Damaskus. Setelah melakukan suluk sufinya, pemikiran Al-Ghazali yang sebelumnya

banyak dihiasi dengan argumentasi teologis dan filsofis mendapatkan warna baru dengan

sentuhan sufistik. Hal ini semakin melengkapi konstruk rancang bangun pemikirannya. Atas

kecemerlangannya, julukan hujjatul Islam disematkan kepada Al-Ghazali sebagai apresiasi

karya-karyanya yang sangat ensiklopedis.

Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studi tentang

sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta menulis berbagai kitab dalam bidang falsafah,

batiniyyah, fiqh dan lain-lain. Namun, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu

ia meninggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih kurang dua

24
tahuh. Dalam masa ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah dan beribadah serta

beri'tikaf di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid pada waktu siang hari. Lalu ia

berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada Allah.

Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H,

19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin.

Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan

makam penyair besar Firdausi.

25
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1 Biografi Imam Al-Ghazali

Al ghazali, Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad al-Thusi al-Ghazali. lahir pada tahun 450 H/1058 M, di desa Thus, wilayah

Khurasan, Iran. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya tukang pintal benang,

Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah

Ghazali (satu Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.

Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini ia belajar ilmu fiqh

pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani. Setelah itu, ia belajar

di Jurjan pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqh.

Al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain

Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab fiqh, retorika, logika dan juga

ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya. Dan setelah Imam Al-Juwaini meninggal

tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan

Nizhamu’I-Muluk Perdana Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas di

sebelah Kota Naisabur dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham Al-Muluk. Di sini,

Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya

dalam mengalahkan para ulama setempat dalam munazharah.

2 Al-Ghazali Seorang Filosof

Polemik Al-Ghazali dengan para filosof, yang ia tuliskan dalam karyanya yang terkenal,

Tahafut al-Falasifah membuat sebagian orang memandang bahwa Al-Ghazali adalah orang

26
yang anti filsafat, anti rasio, dan seorang ulama orthodoks semata. Dari sini kemudian Al-

Ghazali banyak mendapat kecaman karena dituding sebagai seorang yang bertanggung jawab

memundurkan capaian intelektual umat Islam. Dalam buku tersebut Al-Ghazali menerangkan

kelemahan-kelemahan argumentasi para filosof. Apakah mungkin satu karya yang mengkritik

filsafat dapat disebut sebagai buku filsafat? Al-Ghazali sendiri beberapa kali kesempatan

mengatakan bahwa tujuannya menulis buku tersebut memang untuk merobohkan bangunan

filsafat. Lantas apakah mungkin pengarang seperti ini dapat digolongkan sebagai seorang

filosof,

3 Corak Tasawuf Al-Gazali

Yang menarik dalam sejarah hidup Al-Gazali adalah kehausannya akan segala macam

pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat sesuatu.

Al-Gazali tidak percaya akan kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat

indrawi dan axioma. Akan tetapi akhirnya, terhadap kedua macam pengetahuan itu pun, ia tidak

mempercayainya. Ia berada dalam keragu-raguan terhadap kedua pengetahuan itu. Namun

sikap keragu-raguannya itu hanya berlangsung 2 bulan saja kemudia ia bisa sembuh dari

keragu-raguan itu bukan karena dalil melainkan karena cahaya Tuhan yang dilimpahkan-Nya

dalam hatinya. Cahaya inilah yang menjadi kunci dari segala pengtahuan bagi Al-

Gazali.setelah Al-Gazali mendapatkan cahaya tersebut maka membuka fase kehidupan baru

bagi Al-Gazali dimana tasawuf mendapat tempat seluas-luasnya pada dirinya.

4 Pemikiran Al-Ghazali

1. Epistimologi

Pada mulanya Al-Gazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang bisa

dilihat dengan mata tetapi kemudian ternyata panca indra juga berdusta. Contohnya bayangan

27
rumah, kelihatannya tak bergerak padahal terbukti bayangan itu berpindah tempat. Demikian

juga dengan bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan

bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Al-Ghazali kemudian tidak mempercayai alat

indra lagi, kemudian ia meletakkan kepercayaannya kepada akal. Namun, ia juga tidak percaya

kepada akal karena pada saat bermimpi orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul,

namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.

2. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama

karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan

bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti

mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

4. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya

dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori

tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan

tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf

Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh

kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-

sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

5 Karya-Karya Dan Pandangan Al-Ghazali

Dalam mempelajari ilmu filsafat baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof

Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang

bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang banyak argumen

filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil

28
Aristoteles tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan

tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun

menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata,

tidak nyatsa.

Al Munqidz Min Adl Dlall (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah

perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam

ilmu serta jalan mencapai Tuhan.

f. Al Ma'rif Al 'Aqliyyah ( yang artinyapengetahuan yang rasional).

g. Misykat Al Anwr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlq tashawuf.

h. Minhaj Al 'bidn (yang artinya jalan mengabdikan diri pada Tuhan).

i. Al Iqtishd f Al I'tiqd (moderasi dalam akidah).

j. Ayyuh Al Walad ( yang artinya wahai anak).

6 Pemikiran Filsafat Imam Al Ghazali

Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam masalah pendidikan.Orientasi pendidikan

yang seharusnya bisa dicapai Mempengaruhi cara pandang proses pendidikan itu sebagaimana

mestinya . Perlu diketahui bagaimana bahwa pendidikan islam sebagai langkah untuk

menghasilkan pelajar atau peserta didik yang sesuai dengan goal islam.

1. Pengertian filsafat pendidikan Islam

Menurut Dr. Dardiri, mengatakan di dalam dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan

Logika, disebukan bahwa cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut :

a. Metafisika, tujuan filsafat dengan membongkar hal-hal yang ada di luar objek. Misalnya

berkaitan dengan fungsi, manfaatnya, sebab munculnya,

29
b. Epistemologi,tujuan filsafat dengan bagaimana seseorang bisa

menghasilkan pengetahuan cara berfikir tertentu

c. Metodologi,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan cara seseorang bisa menghasilkan

pengetahuan tertentu

d. Estetika,tujuan Filsafat yang berkenaan dengan baik buruknya suatu realitas

e. Etika, tujuan Filsafat yang berkenaan dengan nilai keindahan suatu perilaku

f. Logika, Filsafat yang berkenaan dengan valid atau tidak valid suatu pernyataan atau

pemikiran yang diambil menggunakan kesimpulan.

3. Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ilmuwan

Berikut adalah penjelasan mengenai hakikat pendidikan islam :

a) Filsafat Pendidikan Islam Berdasar Nilai Dasar Islam.

b) Filsafat Pendidikan Islam Menurut Ilmuwan.

d) Filsafat Pendidikan Islam Berdasar Nilai Dasar Islam.

B. Saran

Berangkat dari kesimpulan-kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang di ajukan oleh

peneliti, yakni sebagai berikut :

1 Ahli hukum islam

Secra umum, konsep pemimpin ideal dari imam al-ghzali masih relevan dengan

perkembangan zaman dan sejatinya dapat di kontekstualisasikan dan di implementasikan

dalam hukum positif di indonesia. Hal ini demi tujuan agar negara semakin berkembang

maju dan rakyat semakin sejah tera. Oleh karena itu, perlu di upayakan mengelaborasi
30
lebih jauh dan mengusulkan kriteria pemimpin idea pemandangan imam al-ghzali untuk

dapat di terima dan dimasukan dalam hukum positif indonesia, yaitu dalan sarat dan

kriteria calon presiden maupun syarat dan kriteria maupun saran calon kepala daerah.

31
DAFTARPUSTAKA

Abdullah, A. (2002). Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan. Al-

Ghazali. (1990). Ihya ‘Ulumuddin, terj. Moh Zuhri. (Jilid I). Semarang: CV.

Asy-Syifa’

-------------- (t.t.). Ihya ‘Ulumuddin, (Jilid I). Beirut: Dar al-Kitab al-Islam

-------------- (t.t.). Ihya ‘Ulumuddin, (Jilid I). Masyhadul Husnaini

-------------- (1988). Bidayah al-Hidayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah

-------------- (2019). Ayyuhal Walad. Solo: Pustaka Arafah

-------------- (2002). Al-Rissalah al-Laduniyah dalam Samudera Pemikiran AlGhazali.

Yogyakarta: Pustaka Sufi

Al-Jamaly, M. F. (1986). Filsafat Pendidikan dalam Alquran. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Al-Rasyidi. (2005). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Ciputat Press Group.

At-Tuwanisi, A.J.A.F. (2002). Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta

Anshari, E. S. (1983). Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.

Arief, A. (2002). Pengantar Ilmu Penddidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers

Arifin. (1993). Kapita Selekta Pendidikan Islam (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara

Asrori, M. (1996). Etika belajar bagi Penuntut Ilmu. Surabaya: Al-Miftah

Basil, S. (1990). Al-Ghazali Mencari Makrifah. Jakarta: Pustaka Panjimas

Dakir. (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Daudy, A. (1989). Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

32
Fujiawati, F.S. (2016). Pemahaman Konsep Kurikulum dan Pembelajaran dengan Peta Konsep

bagi Mahasiswa Pendidikan Seni. Jurnal Pendidikan dan Kajian Seni, 1, 16-28.

33

Anda mungkin juga menyukai