Dosen Pengampu:
Holis, S.H.I., M.H.I.
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah Lima Kaidah Fiqh Asasi dengan
lancar tanpa ada kesulitan sedikit pun.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Holis, S.H.I., M.H.I.
selaku Dosen Pengampu kami yang telah memberikan arahan kepada kami
sehingga kami dapat menerapkan semua yang telah diajarkan beliau guna untuk
menyempurnakan makalah yang kami selesaikan ini.
Ucapan terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada teman-teman
yang telah berjuang dengan keras untuk menyelesaikan makalah ini. Semoga
makalah kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan masih banyak sekali
kekurangannya sehingga kami masih memerlukan kritik dan saran yang
membangun guna untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
Kesimpulan ........................................................................................................ 26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok,
juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu
masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa di
bawah satu kaidah. Berhubung hukum fiqih cakupannya luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan
khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam
pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui
kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam
menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali
Qawaid atau kaidah. Secara bahasa berarti prinsip–prinsip dasar atau beberapa
asas dari segala sesuatu. Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam
dalam suatu masalah. Secara istilah Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip–
prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang
mendalam dari dalil–dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan.
Maka, Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat
penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit
orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum
muslim untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih
pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan.
Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa
menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi,
sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-
1
problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih
baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang kaidah fiqh pertama ? األمور بمقاصدها
2. Bagaimana penjelasan tentang kaidah fiqh kedua ? اليقين ال يزال بالشك
3. Bagaimana penjelasan tentang kaidah fiqh ketiga ? ال ضرر وال ضرار
4. Bagaimana penjelasan tentang kaidah fiqh keempat ? المشقة تجلب التيسير
5. Bagaimana penjelasan tentang kaidah fiqh kelima ? العادة محكمة
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penjelasan tentang kaidah fiqh
pertama األمور بمقاصدها
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penjelasan tentang kaidah fiqh
kedua اليقين ال يزال بالشك
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penjelasan tentang kaidah fiqh
ketiga ال ضرر وال ضرار
4. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penjelasan tentang kaidah fiqh
keempat المشقة تجلب التيسير
5. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penjelasan tentang kaidah fiqh
kelima العادة محكمة
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah yang
Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), 34.
2
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), (Jombang:
LPPM UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), 36.
3
2. Dasar Hukum Kaidah
Kaidah ini diambil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. di
antaranya adalah sebagai berikut.3
a) Al-Qur’an
ْاب الدُّ ْن َيا نُؤْ ت ِٖه مِ ْن َه ۚا َو َم ْن ي ُِّرد ِ َو َما َكانَ ِلنَ ْف ٍس ا َ ْن ت َ ُم ْوتَ ا اِال ِب ِاذْ ِن ه
َ ّٰللا ِك ٰتبًا ُّم َؤج ًاًل ۗ َو َم ْن ي ُِّردْ ثَ َو
َشك ِِريْن سنَ ْج ِزى ال ه ٰ ْ اب
َ االخِ َر ِة نُؤْ ت ِٖه مِ ْن َها ۗ َو َ ث َ َو
“Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
(dunia) itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi
balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145)
b) Hadits
ُسو ِل ِه ف ِهجْ َرتُه َ َِت هِجْ َرتُهُ إلى هللا
ُ ور ْ ت وإِناما ِل ُك ِِّل امريءٍ ما ن ََوى فَ َم ْن كَان
ِ إِنا َما األع َمال بالنِِّياا
ُص ْيبُها أو امرأةٍ يَ ْن ِك ُح َها ف ِه ْج َرتُهُ إلى ما هَا َج َر إلي ِه
ِ َت هِجْ َرتُهُ ِلدُ ْنيَا ي
ْ س ْو ِل ِه و َم ْن كَان
ُ ور
َ ِإلى هللا
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan yang telah
diniatkan. Bagi setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang
diniatkannya. Karena itu barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah
dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Barang
siapa yang hijrahnya karena dunia, yang akan didapatkannya atau
karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai
dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dari Umar Ibn Khattab)
3
Ibid, 36.
4
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: CV. Amanah, 2019),
55.
4
Kaidah ini berkaitan mengenai sahnya suatu perbuatan ada yang
disepakati ulama tentang niat sebagai syaratnya umpamanya shalat dan
tayamum; ada juga yang masih dipeselisihkan umpamanya niat wudhu.
Dalam hal ini ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menganggapnya wajib
(rukun), sedangkan ulama Hanafiyah menganggapnya sunnah
mu’akkadah. Ini berarti, ada niat maka berwudhu mendapat pahala,
tetapi bila tanpa niat maka berwhudu tidak berpahala sekalipun shalat
yang dilakukan adalah sah. Ulama Hanabilah menganggapnya syarat
sah.
b) طأْ فِي ِه ُمبْطِ ل
َ ط فِ ْي ِه التا ْع ِي ْي ُن فَ ْال َخ
ُ َما يُ ْشت ََر, artinya “Dalam perbuatan yang
disyaratkan menyatakan niat (ta’yin) maka kesalahan pernyataan dapat
membatalkan perbuatan tersebut.”
Sebagai contoh, ada seseorang yang akan menunaikan shalat
dzuhur, tetapi dengan ta’yin niat shalat ashar, atau seseorang
menunaikan puasa qadha` dengan ta’yin niat puasa sunnah. Maka
kesalahan semacam ini membuat tidak sahnya shalat atau puasa yang
dilakukannya. Karena menurut hukum Islam, ada tuntutan ta’yin niat
yang fungsinya membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang
lain.
c) عيانَهُ َو أَ ْخطأْض اُر
َ ص ْيًلً إِذَا ُ ض لَهُ ُج ْملَةً َوالَ يُ ْشت ََر
ِ ط ت َ ْعيِ ْينُهُ ت َ ْف ُ َما يُ ْشت ََر, artinya
ُ ط التاعَ ُّر
“Perbuatan disyaratkan ta’arrudh niat secara global dan tidak
disyaratkan ta’yin niat secara rinci, bila ta’yin niatnya salah maka
berbahaya.”
Umpamanya seorang shalat di rumah sendiri, padahal dia shalat
di rumah orang lain maka shalat seseorang tersebut adalah sah. Sebab
niat shalat telah dilakukan sedangkan yang keliru hanya pernyataan
tempat. Pernyataan tempat ini tidak ada kaitannya dengan niat shalat
baik secara global maupun terperinci.
d) طأ ْ لَ ْم َيض ُُّر
َ عيانَهُ َو أَ ْخ ِ ض لَهُ ُج ْملَةً َوالَ ت َ ْف
َ صيًلً ِإذَا ُ ال يُ ْشت ََر
ُ ط الت ا َع ُّر َ َما, artinya “Suatu
perbuatan yang baik secara keseluruhan atau secara terperinci, tidak
5
disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata
keliru, maka tidak berbahaya.”
Contohnya, ada seorang imam yang shalat dan meniatkan bahwa
makmumnya adalah Hasan, padahal yang menjadi makmumnya adalah
Husen, maka shalatnya tetap sah. Sebab meniatkan siapa yang menjadi
makmumnya itu tidaklah disyaratkan.
ِ َعلَى نِيا ِة الق
e) اضى ِ َضعٍ َواحِ ٍد َوه َُو اليَمِ ي ُن ِع ْندَ الق
َ َ اضى فَإِناها َ ِاصدُ اللا ْفظ
ِ علَى نِيا ِة ال اًلفِظِ إِالا فِي َم ْو ِ َ َمق,
artinya “Tujuan ucapan tergantung pada niat orang yang
mengucapkan, kecuali dalam satu tempat, yaitu sumpah di hadapan
Qadhi. Dalam hal ini, maksud lafadz adalah menurut niat Qadhi.”
Seandainya ada seseorang yang sedang shalat mengucapkan atau
membaca suatu ayat yang mengandung pengertian tertentu dengan tidak
ada maksud lain kecuali membaca ayat, maka jelas diperbolehkan.
Tetapi jika dimaksudkan untuk memberitahukan atau memerintahkan
kepada orang lain supaya melakukan sesuatu, maka shalatnya batal.
Umpamanya, orang yang shalat tersebut membaca ayat udkhula bi
salamin aminin (QS. Al-Hijr: 46), dengan tujuan memerintahkan orang
lain (tamu) untuk masuk, atau seorang yang sedang shalat membaca ayat
ya yahya khuz al-kitab bi quwwah (QS. Maryam: 12), dengan tujuan
menyuruh seseorang bernama yahya mengambil buku kitab, maka
shalat seseorang tersebut hukumnya batal.
f) َو ْال َم َبانِى ِاص ِد َو ْال َمعاَنِى الَ ل ِْْل َ ْلفَظ
ِ َال ِعب َْرة ُ فِي ْالعُقُ ْو ِد ل ِْل َمق,
ْ artinya “Yang
dipertimbangkan dalam transaksi adalah maksud dan makna, bukan
lafal dan bentuk ucapan.”
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa yang diprioritaskan
untuk dipertimbangkan dalam suatu transaksi adalah maksud dan niat,
bukan semata-mata lafal atau ucapan. Oleh karena itu, tidak sah
berpegang dengan zahir ucapan, apabila telah jelas berbeda dari maksud
dan niat seseorang.
6
ظ ْالخ ا
g) َاص َ ظ العَا ام َوالَتُعَ ِ ِّم ُم اللا ْف
َ ص اللا ْف ِ ِ ْالنِياةُ فِي ْاليَم, artinya “Niat dalam
ِّ ِ ين ت ُ َخ
ُ ص
sumpah mengkhususkan lafadz ‘amm, tidak meng-umum-kan lafadz
khash.”
Dari kaidah di atas maka dipahami bahwa seseorang bersumpah
tidak akan berbicara dengan manusia dengan manusia, tetapi yang
dimaksud adalah Hasan, maka sumpah seseorang tersebut hanya berlaku
pada Hasan, tidak kepada semua manusia.
5
Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), 76.
6
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), (Jombang:
LPPM UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), 78-79.
7
kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti
tidak ada keraguan lagi.
Syak Sesuatu yang membingungkan, sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada.
Dzan Dugaan kuat, seseorang yang berada di antara dua perkara
yang mana ia dapat menguatkan atau dapat mentarjihkan
salah satu di antara keduanya.
Wahm Dugaan lemah, suatu keraguan pada diri seseorang
terhadap suatu perkara dengan persangkaan yang lemah
atau salah.
7
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LKPU) Banjarmasin, 2015), 69-70.
8
4. Kaidah Furu’iyyah (Cabang)
Dari kaidah induk اليقين ال يزال بالشك, terdapat beberapa kaidah
furu’iyyah, yaitu sebagai berikut.8
ِ علَى َما ك
a) َان َ َصل بَقَا ُء َما َكان َ ْ , artinya “Hukum asal adalah tetap apa yang
ْ اال
telah ada atas yang telah ada.”
Umpamanya seseorang makan sahur merasa ragu apakah sudah
terbit fajar atau belum, maka puasa seorang tersebut dianggap sah,
karena menurut hukum asal diberlakukan keadaan waktunya belum
terbit fajar.
b) ص ُل بَ َرائَةُ ال ِذِّ ام ِة َ ْ artinya “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari
ْ اال,
tanggung jawab.”
Umpamanya seorang terdakwa tidak mau bersumpah, maka
tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut hukum asalnya,
seseorang itu bebas dari tanggungan atau beban. Yang harus
bersumpah adalah pendakwa.
c) ص ُل ال َعدَ ُم َ ْ artinya “Hukuman asal adalah tidak adanya sesuatu.”
ْ اال,
Contohnya apabila ada pertengakaran antara pembeli dan
penjual tentang adanya cacat barang yang diperjual belikan. Bila
pembeli ingin mengembalikan barang yang sudah dibeli atau ingin
diganti dengan alasan cacat, maka penjual dapat menolak keinginan
pembeli tersebut. Karena menurut asalnya barang tersebut tidak cacat,
cacat itu baru datang kemudian. Ini tampaknya mengajarkan kepada
pembeli untuk berhati-hati sebelum membeli.
َ اإلبَا َحةُ َحتاى يَدُ ُّل الدا ِل ْي ُل
d) علَى التا ْح ِر ِيم ِ ِص ُل فِي األ َ ْشيَاء ْ artinya “Hukum asal
ْ َاال,
sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.”
Umpamanya ada seekor hewan yang sulit ditentukan
keharamannya, karena tidak ditemukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang
dapat dikategorikan hewan haram, maka hukumnya halal dimakan.
8
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: CV. Amanah, 2019),
67.
9
َ اإلبَا َحةُ َحتاى يَدُ ال الدا ِل ْي ُل
e) علَى الت ا ْح ِر ِيم ِ ت ِ َص ُل فِي ْال ُمعَا َمًل
ْ َ ْاال, artinya “Hukum asal
semua muamalah adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.”
Kaidah di atas bersumber dari sabda Rasul, riwayat al-Bazzar
dan ath-Thabrani, yang berbunyi: “Apa yang dihalalkan Allah, maka
hukumnya halal, dan apa yang ia haramkan maka hukumnya haram,
dan apa yang didiamkannya maka hukumnya dimaafkan. Maka
terimalah dari Allah pemanfataan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak
melupakan sesuatu apapun.” Hadits ini mengandung makna bahwa
apa saja yang belum ditunjuki oleh dalil yang jelas tentang halal-
haramnya, maka hendaklah dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu
mubah.
ِ علَى
f) اإلبَا َح ِة ِ ص ُل فِي ْال ِعبَادَا
َ ت الت ا ْح ِري ُم َحتاي يَدُ ُّل ْ artinya “Hukum asal semua
ْ َاال,
ibadah adalah haram hingga ada dalil yang menunjukkan
kebolehannya.”
Kaidah ini dipegangi oleh Mazhab Hanafi, sedangkan kaidah
sebelumnya dipegangi oleh Mazhab Syafi’i. Dua kaidah yang tampak
bertentangan ini sebenarnya dapat dikompromikan, yaitu: Bahwa
kaidah yang dipegangi Mazhab Syafi’i tersebut diterapkan dalam
bidang mu’amalah, sedangkan kaidah yang dipegangi oleh Mazhab
Hanafi diterapkan dalam bidang ibadah.
ِ ِيرهُ ِبأ َ ْق َر
g) ب زَ َمنِ ِه ُ ث ت َ ْقد
ٍ ص ُل فِي ُك ِِّل َحا ِد َ ْ artinya “Hukum asal setiap peristiwa
ْ اال,
penetapan hukumnya menurut masa yang terdekat dengan
kejadiannya.”
Dari kaidah ini maka dapat dipahami kasus sebagai berikut,
yaitu: “Pada suatu saat ada seorang dokter melakukan operasi
kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalam
rahimnya. Operasi tersebut ternyata sukses, dengan berhasilnya sang
dokter mengeluarkan bayi dalam kandungan itu, dan dapat hidup
selama beberapa hari. Tetapi seminggu kemudian bayi tersebut
ditakdirkan Allah meninggal dunia. Berdasarkan kaidah di atas, maka
10
dalam kasus semacam ini, sang dokter diminta pertanggung jawaban
berupa keterangan logis atas kematianya, umpamanya tentang teknis
penangannya. Sebab ada kemungkinan, bahwa kematiannya
disebabkan sebab-sebab lain yang lebih dekat dengan peristiwa
kematianya. Hal ini dikecualikan, manakala ada tanda-tanda lain
yang dilakukan orang lain dan waktunya lebih dekat dengan kematian
sang bayi”.
h) ُص ُل أَناهُ لَ ْم يَ ْفعَلُه
ْ َ شيْئا ً أَ ْم الَ فَ ْاأل
َ َم ْن شَكُّ أ َ ْفعَ َل, artinya “Barang siapa ragu-ragu
apakah yang mengerjakan sesuatu atau tidak, maka menurut asalnya
ia dianggap tidak melakukannya.”
Berdasarkan kaidah ini, maka dapat dipahami bahwa apabila
seseorang ragu-ragu dalam pelaksanaan shalat, apakah ia mengerjakan
i’tidal atau tidak, maka ia hendaklah mengulangi pekerjaannya. Sebab,
ia dianggap seakan-akan tidak atau belum mengerjakannya.
i) علَى ْالقَ ِل ْي ِل ِ َم ْن تَيَقانَ ْال ِف ْع َل َو شَكا فِي ْالقَ ِل ْي ِل اَ اوال َكث, artinya “Barang siapa
َ ِير ُح ِ ِّم َل
telah yakin melakukan perbuatan dan ragu tentang banyak atau
sedikitnya, maka (perbuatan itu) dibawa kepada yang sedikit.”
Berdasarkan kaidah ini, maka: Debitur yang berkewajiban
mengangsur uang yang telah disepakati bersama kreditur merasa ragu
apakah angsuran yang telah dilakukan itu enam kali atau tujuh kali,
maka harus dianggap baru mengangsur enam kali. Karena, yang sedikit
itulah yang sudah diyakini.
j) ص ُل فِي ْال َكًلَ ِم ال َح ِق ْيقَ ِة َ ْ artinya “Hukum asal dalam pembicaraan adalah
ْ اال,
yang hakiki.”
Tegasnya, kaidah ini mengandung pengertian bahwa manakala
terjadi perbedaan penafsiran ungkapan yang dijadikan pedoman adalah
penafsiran berdasarkan arti hakikat dari lafaz itu sendiri. Umpamanya
ada seseorang mengatakan: “Saya mewakafkan harta milik saya
kepada anak-anak saya.” Dalam hal ini, maka apabila ada di antara
cucunya yang menggugat, dengan maksud bahwa harta wakaf itu juga
menjadi haknya, maka gugatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab,
11
menurut arti hakikat perkataan “anak” terbatas pada anak kandung dari
pihak yang berwakaf, tidak termasuk cucunya.
9
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), (Jombang:
LPPM UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), 101.
10
Ibid, 103.
12
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya.” (QS. Al-Baqarah: 173)
b) Hadits
علَي ِه ّٰللاُ َو َم ْن ش اَق ش اَق ا
َ ُّٰللا ض ارهُ ا َ ار َم ْن
َ ض ار ِ َض َر َر َوال
َ ض َر َ َال
“Tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan, barang siapa yang
memudharatkan maka Allah akan memudharatkan dan siapa saja
menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.” (HR. Imam Malik)
مِ ْن ُحس ِْن إِ ْسًلَ ِم ْال َم ْرءِ ت َْر ُكهُ َماالَ يَ ْعنِ ْي ِه
“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: Jika dia
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR.
Tirmidzi)
11
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: CV. Amanah,
2019), 89.
13
Atas ketiga kaidah ini, maka dipahami bahwa seseorang dalam
keadaan kelaparan hanya diperbolehkan memakan bangkai, babi, dan
anjing hanya sekedar menutupi kelaparannya, tidak dibenarkan sampai
berlebih-lebihan dan terus menerus. Sebab manakala ia telah kenyang
maka alasan kebolehan memakan yang haram itu tidak ada lagi. Contoh
lain penggunaan vaksin imunisasi yang bercampur benda najis boleh
dilakukan oleh dokter karena sangat penting untuk kesehatan, selama
belum ada atau kesulitan mencari yang tidak bercampur benda najis.
َ َ َما َجازَ ِلعُذْ ٍر ب, artinya “Sesuatu yang boleh karena uzur, menjadi
e) ط َل بِزَ َوا ِل ِه
tidak boleh lantaran telah hilangnya uzur.”
الض َار ُر الَ يُزَ ا ُل ِبال ا, artinya “Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan
f) ظ َر ِر
dengan kemudharatan yang lain.”
Atas dasar ini, maka seseorang yang terpaksa, umpamanya sangat
butuh dengan makanan, tidak boleh makan makanan milik orang lain
yang juga terpaksa atau sangat butuh dengan makanan itu. Juga tidak
dibenarkan seseorang yang ingin menyelamatkan diri dengan
menyelamatkan diri dengan mengambil alat milik seseorang yang juga
ingin menyalamatkan diri.
g) ِح
ِ صا ل ِ علَى َج ْل
َ ب ال َم َ دَ ْر ُء ْال َمفا َ ِس ِد ُم َقدَ ُم, artinya “Menolak kerusakan harus
didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.”
Umpamanya berkumur-kumur (madhmadhah) ketika sedang
berpuasa. Satu segi mengandung kemaslahatan untuk membersihkan
mulut, tetapi di sisi lain mengandung kerusakan yaitu membahayakan
atau membatalkan ibadah puasa. Maka berdasarkan kaidah ini, yang
yang terbaik untuk dilakukan adalah tidak berkumur-kumur, untuk
menghindari batalnya puasa.
h) َ ض َررا ً با ِْرتِكا َ ِن أَ َخ ِفِّ ِهما َ ِي أ َ ْع
َ َ ظ ُم ُهما َ َان ُر ْوع َ ض َم ْف
ِ سدَت َ ِإذا َ ت َ َع, artinya “Apabila ada
َ ار
dua kerusakan berlawanan, maka haruslah dipelihara yang lebih berat
mudharatnya dengan melakukan yang lebih ringan dari keduanya.”
Kaidah ini menjelaskan bahwa manakala ada sesuatu perbuatan
yang mengandung dua kemafsadatan atau kerusakan, maka hendaklah
14
dipilih mana yang lebih ringan. Atas dasar kaidah ini maka pembedahan
perut mayat perempuan hamil dapat dilakukan, manakala diyakini
bahwa bayi yang masih dalam perut tersebut hidup. Dalam hal ini,
kemudharatan yang paling ringan yang dilakukan dari dua
kemudharatan: membedah perut mayat dan membiarkan bayi dalam
perut meninggal dunia.
َت أَ ْوخَا ا
i) ًصة ْ عا امةً كاَن ْ artinya “Kebutuhan itu
َ ال َحا َجةُ تُن اَز ُل ُم ْن ِزلَةَ الض ُار,
َ ِورة
ditepatkan pada tempat darurat, baik kebutuhan itu bersifat umum atau
khusus.”
Kaidah ini menjelaskan bahwa hajat (kebutuhan mendesak) dapat
disamakan dengan keadaan darurat. Atas dasar kaidah ini, maka
seseorang laki-laki boleh berhadapan dengan perempuan (bukan
mahram) dalam pergaulan hidup sehari-hari, umpamanya dalam jual
beli, proses belajar-mengajar, bekerja di kantor. Karena semua ini
adalah kebutuhan yang diperlukan dalam pelayanaan dan pembinaan
masyarakat
j) َاص ِلدَ ْف ِع الض َار ِر ْال َعا ِ ِّم
ُّ يُت َ َح ام ُل الض َار ُر ْالخ, artinya “Kemudharatan yang bersifat
khusus harus ditanggung untuk menghindari kemudharatan yang
bersifat umum.”
Umpamanya seorang penguasa boleh membuat aturan hukum
kebolehan membeli secara paksa bahan komoditi yang ditimbun oleh
sebagian pedagang, padahal barang tersebut dibutuhkan oleh
masyarakat umum.
15
kemudahan antara lain: sedang dalam perjalanan, sakit, keadaan terpaksa,
lupa, ketidaktahuan, sesuatu yang sulit dihindari, dan kurang mampu
bertindak hukum.12
Kesulitan dibagi menjadi 3, yaitu:
(1) Al-Masyaqqah Al-Azhimah (kesulitan yang sangat berat),
(2) Al-Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang dipertengahan, tidak
sangat berat juga tidak sangat ringan), dan
(3) Al-Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqah ada
tujuh macam, yakni:
(1) Takhfih isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk
penghapusan,
(2) Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan,
(3) Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian,
(4) Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan,
(5) Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan,
(6) Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, dan
(7) Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang
dilakukan.
12
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), (Jombang:
LPPM UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), 98.
13
Ibid, 85-86.
16
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
ض ِع ْيفًا ِ ْ َع ْن ُك ْم ۚ َو ُخلِق
َ اال ْن
َ سا ُن َ ِّّٰللاُ ا َ ْن يُّ َخف
َ ِف ي ُِر ْيدُ ه
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu karena manusia
dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28)
b) Hadits
ُاَل ِدِّ ْي ُن يُسْر اَ َحبُّ اال ِدِّيْنَ اِلَى هللاِ ْال َحنِ ْي ِفياةُ الا ْم َحه
“Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang benar
dan mudah.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.)
يَ ِس ُِّر ْو َاوالَت ُ َع ِس ُِّر ْوا
“Mudahlah dan jangan mempersukar.” (HR. Bukhari dari Anas ra.)
14
Ibid, 88-98.
17
Misalnya, pada waktu sedang turun hujan, kita berjalan-jalan,
maka tidak mungkin terhindar dari percikan air hujan yang mengenai
pakaian. Adapun dalam percikan itu kemungkinan ada najis atau
kotoran. Maka dengan sulitnya hal tersebut menyebabkan dimaafkan.
ِ ط ِب ْال َم َعا
d) صى ُ َص َال تُنَا
ُ الرخ
ُ , artinya “Keringanan itu tidak dikaitkan dengan
kemaksiatan.”
Umpamanya, berbuka puasa adalah keringanan bagi seseorang
yang bepergian jauh, namun tujuannya bukan untuk maksiat. Tetapi
apabila mulai awal bepergian dengan niat maksiat atau hal-hal yang
tidak baik, maka keringanan itu tidak berlaku baginya.
ِ ار ِإلَى الم َج
e) از ُ صَ ُت ال َحقِيقَةُ ي
ْ ِإذَا تَ َعذا َر, artinya “Apabila suatu kata sulit diartikan
dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya
kepada arti kiasannya.”
Contohnya ada seseorang bersumpah tidak akan transaksi jual
beli. Dengan sumpahnya ini, ketika ia mewakilkan transaksi jual beli
tersebut kepada orang lain, maka ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya dan tidak wajib membayar kafarat. Hal ini karena
perkataannya diberlakukan sesuai dengan makna hakikatnya, yaitu
transaksi jual beli yang ia lakukan sendiri. Namun jika seseorang yang
kebiasaan hidupnya memerintahkan, mewakilkan, atau bahkan
dilayani oleh orang lain dalam kebutuhan sehari-harinya, seperti
seorang raja, kepala suku, pemimpin pemerintahan, maka ia dianggap
melanggar sumpahnya jika mewakilkan kepada orang lain.
f) إِذَاتَعَ از َر إِ ْع َما ُل الك ًََل ِم يُ ْه َم ُل, artinya “Apabila sulit mengamalkan suatu
perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan.”
Misalnya ada seseorang yang mengaku bahwa bayi yang
ditemukan sebab hilang itu adalah anaknya. Setelah dilakukan tes
DNA, ternyata orang tersebut tidak memiliki kesamaan garis
keturunan dengannya. Oleh karena itu, perkataan orang tersebut tidak
diakui.
18
ِ يُ ْغتَف َُر فِي الدا َو ِام َما َال يُ ْغتَف َُر فِ ْي, artinya “Bisa dimaafkan pada
g) ِاإل ْبتِدَاء
kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya.”
Contohnya adalah larangan shalat sunnah ketika iqomah
dikumandangkan. Seseorang yang hendak mengerjakan shalat sunnah
ketika iqomah sudah dikumandangkan ini tidak dianjurkan. Namun,
apabila seseorang memulainya sebelum iqomah, lantas pada saat
iqomah ia sampai pada bilangan rakaat kedua maka hendaknya
dilanjutkan hingga salam.
h) اإل ْبتِدَاءِ َما َال يُ ْغتَف َُر فِ ْي الدا َو ِام
ِ يُ ْغتَف َُر فِي, artinya “Dimaafkan pada permulaan
tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.”
Umpamanya ada seseorang yang minum minuman keras
sebelum masuk Islam. Meskipun telah muallaf, ia tetap minum
minuman keras karena itu sudah menjadi kebiasaannya sebelum masuk
Islam. Dalam hal ini, ia dimaafkan sebab ketidaktahuannya. Namun
setelah tahu bahwa minuman keras dalam agama Islam itu dilarang dan
haram hukumnya, maka seketika ia harus meninggalkan dan
menghentikan kebiasaan lamanya yakni minum minuman keras.
َ يُ ْغتَف َُر فِي الت ا َوابِع َما َال يُ ْغتَف َُر فِي, artinya “Dapat dimaafkan pada hal
i) غي ِْرهَا
yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya.”
Contohnya ada seseorang yang mewakafkan kebun yang di
dalamnya terdapat tanaman yang rusak. Hukum wakafnya tetap sah
meskipun di dalamnya terdapat tanaman yang rusak, karena tanaman
tersebut sifatnya mengikuti kebun yang diwakafkan.
19
artinya berulang ()التكرار. Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah
terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan
demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi Al-'Adah menurut Ibnu Nuzaim adalah “Sesuatu ungkapan
dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang
bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat.” 15
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari
Al-‘Adah, yaitu Al-‘Urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi
untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Pengertian Al-‘Urf secara
istilah yaitu “’Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-
ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum.”
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi
rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja
hijau.16
Kesimpulannya bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus
itu dapat dijadikan sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat Islam
(hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama
tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat
itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum,
sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat. Namun bukan berarti setiap
adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena suatu adat bisa diterima
jika memenuhi syarat-syarat (tidak bertentangan dengan syari'at, tidak
menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan,
telah berlaku pada umumnya orang muslim, tidak berlaku dalam ibadah
15
Ibid, 118.
16
Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jendral Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI, 2012), 204.
20
mahdah, dan ‘urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan
hukumnya.
17
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), (Jombang:
LPPM UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), 118.
18
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: CV. Amanah,
2019), 90-91.
21
“Perkara yang dianggap oleh kaum Muslimin baik, maka hal itu di sisi
Allah adalah baik. Dan perkara yang dianggap oleh kaum Muslimin
tidak baik, maka hal itu di sisi Allah adalah tidak baik pula.” (HR. Al-
Hakim dari Abdullah ra.)
19
Ibid, 125-134.
22
itu berada pada kedudukan syarat, sehingga dapat menyebabkan
gadainya batal? Menurut jumhur ulama muamalah itu tidak batal.
Namun, menurut Imam Qaffal gadaian tersebut batal.
d) شائِع الَ ِبالنااد ِِر ِ ال ِعب َْرة ُ ل ِْلغَ ِل,
ب ال ا ْ artinya “Adat yang diakui adalah yang
umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang
jarang terjadi.”
Misalnya dalam masalah persaksian. Seseorang tidak dapat
diterima persaksiannya di depan hakim sebab adanya permusuhan
dengan yang akan disaksikan. Kebiasaan seorang saksi yang demikian
tidak mungkin memberi kesaksian secara jujur disebabkan adanya
permusuhan.
ً ف ع ُْرفًا ك َْال َم ْش ُر ْوطِ ش َْر
e) طا ْ artinya “Sesuatu yang telah dikenal karena
ُ ال َم ْع ُر ْو,
‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat.”
Umpamanya orang yang menyewa truk untuk mengangkut
barang. Bagi penyewa, bebas menggunakan truk tersebut untuk
mengangkut barang apa saja yang ia kehendaki meskipun pada waktu
akad tidak disebutkan barang yang akan diangkut asalkan barang yang
diangkut sesuai dengan kapasitas truk semacam itu. Berkaitan dengan
berat barang yang diangkut ini mengacu kepada kebiasaan yang
berlaku di daerah tersebut.
f) ار ك َْال َم ْش ُروطِ بَ ْينَ ُه ْم ُ ْال َم ْع ُر, artinya “Sesuatu yang telah dikenal di
ِ وف بَيْنَ الت ُّ اج
antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka.”
Contohnya transaksi jual beli buah apel di daerah Malang. Jika
pembeli membeli buah apel dengan transaksi jual beli yang biasa
berlaku, maka harga buah apel sesuai harga yang berlaku di pasaran.
Akan tetapi jika pembeli membeli dengan cara memetik sendiri buah
apel dari pohonnya langsung, maka harganya lebih murah karena ini
merupakan syaratnya.
g) فِي َما تَثْبُتُ ِب ِه ْال َعادَة, artinya “Sesuatu yang kuat ditetapkan oleh adat
kebiasaan.”
23
Umpamanya yaitu masalah haid dan keluar mani bagi khunsa.
Seorang yang memiliki kelamin ganda (khunsa) dalam membedakan
mana yang lebih kuat antara kelelakiannya atau kewanitaannya harus
dibuktikan berulang kali. Salah satu tujuannya adalah agar dugaannya
kuat serta terhindar dari anggapan bahwa perkara tersebut terjadi
secara kebetulan.
h) الت ا ْعيِي ُن بِالعُ ْرفِ كَالَت َ ْعيِينَ بِالناص, artinya “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti
ketentuan berdasarkan nash.”
Misalnya dalam adat atau kebiasaan dalam penggunaan barang
sewa. Semisal orang menyewa mobil, maka keluarga, saudara, teman,
atau siapapun boleh ikut menaikinya karena sudah menjadi kebiasaan
setelah mobil itu di sewa sudah menjadi hak penuh bagi penyewa
dalam penggunaannya.
i) ًعادَةً ك َْال ُم ْمتَنِع َحقِيقَة ْ artinya “Sesuatu yang tidak berlaku
َ ال ُم ْمتَنِ ُع,
berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan.”
Umpamanya ada seseorang yang mengaku bahwa barang yang
dimiliki oleh orang lain itu barang miliknya. Namun ia tidak bisa
menjelaskan darimana asal barang tersebut diperoleh. Pengakuan
seseorang yang seperti ini tidak dapat diterima karena hal ini termasuk
suatu yang tidak mungkin berdasarkan kebiasaan yang terjadi,
sehingga secara nalar dihukumi sebagaimana sesuatu yang mustahil
terjadi.
ْ artinya “Arti hakiki ditinggalkan karena ada
j) ِال َحقِيقَةُ تُتْ َركُ بِدَالَلَ ِة العَادَة,
petunjuk arti menurut adat.”
Kaidah ini berkaitan dengan contoh penjual tidak boleh
membatalkan jual beli meskipun harganya naik atau menjual barang
yang sudah dibeli seseorang dengan uang muka kepada orang lain
karena memang jual beli tersebut belum terlaksana sepenuhnya. Dalam
kasus ini adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat jika setelah
sebagian harga barang tersebut dibayar oleh pembeli, maka dianggap
24
telah terjadi akad jual beli di antara keduanya. Oleh karena itu adat
dianggap sebagai petunjuknya.
k) َاإلذْ ِن اللَ ْفظِ ى
ِ اإلذْ ُن العُ ْرفِى ك,
ِ artinya “Pemberian izin menurut adat
kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan.”
Contohnya yaitu diperbolehkan seorang tamu memakan
makanan yang telah dihidangkan oleh tuan rumah, meskipun tuan
rumah tidak mempersilahkannya. Hal ini karena menurut adat atau
kebiasaan bahwa menghidangkan itu sama dengan mempersilahkan.
25
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah االمور بمقاصدهاmenjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-
ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud untuk melakukan sesuatu yang
disertai dengan pelaksanaannya. Dasar hukum kaidah ini bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadits Nabi Saw. Yaitu terdapat pada surah Ali Imran ayat 145 dan dalam
hadits riwayat Bukhari dari Umar Ibn Khattab.
اليقين ال يزال بالشكKaidah ini memiliki makna yaitu semua hukum yang sudah
berlandaskan pada suatu keyakinan, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keraguan
yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan
muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah
ada sebelumnya. Dasar hukum kaidah ini bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits
Nabi Saw. Yaitu terdapat pada surah Yunus ayat 36 dan dalam hadits riwayat
Muslim dari Abi Hurairah r.a.
ال ضرر وال ضرارKaidah ini memiliki pengertian bahwa kemudharatan yang
terjadi harus dihilangkan. Kaidah tersebut juga berarti bahwa segala sesuatu yang
mendatangkan bahaya hendaknya dihilangkan. Dasar hukum kaidah ini bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Yaitu terdapat pada surah Al-Baqarah ayat
173 dan 231 serta hadits riwayat Tirmidzi.
المشقة تجلب التيسيرKaidah ini menjelaskan bahwa apabila suatu hukum terdapat
kesusahan atau kesulitan dalam penunaian dan pelaksanaannya, baik kepada badan,
jiwa, atau harta seorang mukallaf, maka hukum itu diringankan sehingga tidak
menyusahkan lagi. Macam-macam kesulitan yang membawa kepada kemudahan
antara lain: sedang dalam perjalanan, sakit, keadaan terpaksa, lupa, ketidaktahuan,
sesuatu yang sulit dihindari, dan kurang mampu bertindak hukum. Dasar hukum
kaidah ini bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Yaitu terdapat pada
surah Al-Baqarah ayat 185 dan 286 serta hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah
r.a.
26
العادة محكمةMaksudnya, dalam suatu keadaan, adat dapat dijadikan pijakan
untuk menentukan hukum ketika tidak ditemukan dalil syar’i. Akan tetapi, tidak
semua adat dapat dijadikan sebagai pijakan hukum. Dasar hukum kaidah ini
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Yaitu terdapat pada surah An-
Nisa’ ayat 19 dan surah Al-A’raf ayat 199 serta hadits riwayat Al-Hakim dari
Abdullah r.a.
27
DAFTAR PUSTAKA
28