Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUM WAD’I DAN HUKUM TAKLIFI

Di Susun Oleh

Kelompok 12:

Munir 203090024
Moh fikri 203090033
Mutmainnah 203090034

Jurusan Akhwal Syakhsiyah


Fakultas Syari’ah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA PALU 2021


KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Segala Paji Dan Syukur Penulis Sampaikan Kehadirat Allah SWT. Shalawat Dan Salam
Juga Disampaikan Kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta Sahabat Dan
Keluarganya, Seayun Langkah Dan Seiring Bahu Dalam Menegakkan Agama Allah Dengan
Kebaikan Beliau Telah Membawa Kita Dari Alam Kebodohun Ke Alam Yang Berilmu
Pengetahuan.

Makalah Ini Menjelaskan Tentang Sumber Hukum Islam Yang Di Perselisihkan Ulama
Makalah Ini Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Dan Memberi Pemahaman Tentang Materi
Tersebut Kepada Para Pembaca.

Dalam Penulisan Makalah Ini, Penulis Menyadari Bahwa Makalah Ini Masih Jauh Dari
Kesempurnaan, Baik Dari Cara Penulisan, Maupun Isinya. Oleh Karena Itu Penulis Sangat
Mengharapkan Kritikan Dan Saran-Saran Yang Dapat Membangun Demi Kesempumaan
Makalah Ini.

Palu 25 november 2021

penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar …...……………………………………………………………………………………..……….. i


Daftar isi …..……………………………………………………………………………………………...……..…… ii
BAB I PENDAHULUA………………………………………………………………………………...……..…… 1
A. Latar Belakang …….………………………………………………………………………………..…… 1

B. Rumus Masalah …….………………………………………………………………………………….... 1

C. Tujuan Penulisan …….…………………………………………………………………………..…….. 1

BAB II PEMBAHASAN …….…………………………………………………………………………………… 2

A. Hukum Taklifi …………………………………………………………..…………………………………..……. 2


B. Hukum Wadh’i………………………………………………………...………………………………..…... 3

BAB III PENUTUP …….………………………………………………………………………………………… 7

A. Kesipulan ………….…………………………………………………………………………………...…. 7

B. Saran ……………………….………………………………………………………………...…………….. 7

DAFTAR PUSTAKA …………..………………………………………………………………………………… 8


iii

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan
pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-
hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Objek
pembahasan dari ushul fiqh itu sendiri adalah dalil-dalil syara’. Hukum syar’i ialah
khithab pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang
mukallaf. Yang mengandung suatu tuntutan atau pilihan yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Hukum syar’i
di bagi menjadi dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.
Pembahasan Ushul fiqih adalah seputar hukum, dalil-dalil dan
pembagiannya, teori pengambilan hukum dari dalil dan kode etik seorang
pengambil hukum. Rukun hukum ada empat yaitu : hakim, mahkum alaih, mahkum
fiih dan hukum itu sendiri. Dari sini hakim adalah salah satu rukun hukum dari
rangkaian rukun-rukun hukum. Persoalan tentng hakim adalah penting
Dalam makalah ini. Kami akan membahas tentang hukum wadh’i berikut
pembagiannya.
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kami simpulkan rumusan masalah


sebagai berikut :

1. Apa pengertian hukum taklifi?


2. Bagaimana pembagian hukum taklifi?
3. Apa pengertian hukum wadh’i?
4..      Bagaimana pembagian hukum wadh’i?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, berikut tujuan penulisannya :


1. Mengetahui pengertian hukum taklifi
2. Mengetahui pembagian hukum taklifi
3. Mengetahui pengertian hukum wadh’i
4. Mengetahui pembagian hukum wadh’i
BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Hukum Taklifi
a. Pengertian
Hukum taklifi ialah firman(titah) Allah yang berbentuk Tholab(tuntutan) dan
takhyir (pilihan) atas perbuatan. Pada umumnya ulama’ ushul fiqih mendefinisikan
hokum taklifi dengan “sesuatu yang mengandung perintah untuk berbuat atau tidak
berbuat ataupun untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat suatu
perbuatan”.
Hokum taklifi dinamai demikian karena hokum-hukumnya baik perintah, larangan
atau pilihan berkaitan secara langsung dengan perbuatan mukallaf.
b. Pembagian Hukum Taklifi
Secara terperinci, hokum taklifi dibagi lima sebagai berikut:
1. Wajib
Pada umumnya ulama’ushul fiqih menjelaskan, kata wajib secara etimologi
berarti tetap. Sedangkan secara terminology ialah perbuatan yang dituntut Allah
untuk dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti ( tidak boleh tidak)
dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala
dan jika ditinggalkan, maka ia dikenakan dosa.
2. Mandub
Secara etimologi mandub berarti sesuatu yang dianjurkan karena ia bersifat
penting. Sedangkan dari segi terminology, para ahli ushul fiqih
mendefinisikannya dengan berbagai ungkapan, antara lain :
a. Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menyerukan untuk melakukannya, tetapi
tidak memestikan untuk melaksanakannya.
b. Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ memberi pahala kepada pelakunya tetapi
tidak menimpakan dosa kepada orang yang tidak melakukannya.
c. Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ memerintahkan untuk mengerjakannya,
tetapi secara umum tidak mencela orang yang meninggalkan perintah itu.

3. Haram 2

Yang diamksud dengan haram ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menurut
mukallaf harus meninggalkannya ( melarang melakukannya) yang jika mukallaf
menjauhi larangan itu karena patut kepada Allah, maka ia akan diberi pahala
sedangkan jika melanggar larangan itu maka ia dinilai melakukan
pendurhakaan kepada Allah sehingga akan dikenai dosa dan ancaman siksa.
4. Makruh
Dari segi etimologi makruh berarti yang dibenci sedangkan dari segi
terminology ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menurut mukallaf untuk
meninggalkan perbuatan tersebut secara tidak mesti ( menganjurkan untuk
meninggalkannya) yang jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh
kepada Allah maka ia akan di beri pahala tetapi jika ia melanggar larangan itu
maka ia tidak dikenai dosa dan ancaman siksa.
5. Mubah
Dari segi etimologi mubah berarti melepaskan atau mengizinkan sedang dari
segi terminology yang dimaksud dengan mubah ialah Suatu perbuatan yang
Asy-Syari’ memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau
meninggalkannya, yang jika melakukan salah satunya tidak diberi pahala dan
tidak pula diancam dengan dosa dan siksa. Sebagian ulama’ lain mendefinisikan
mubah dengan : suatu perbuatan yang tidak diberi ujian atau celaan jika
mukallaf mengerjakan atau meninggalkannya. Menurut sebagian ulama’ hokum
mubah itu sendiri identic dengan halal dan jaiz (boleh).

B. Hukum Wadh’i
a. Pengertian
Hukum Wadh’i ialah firman (titah) Allah yang berbentuk ketentuan yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan
hokum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hokum Wadh’I sangat erat
kaitannya dengan hokum taklilfi, baik dalam bentuk sebab sehingga melahirkan
suatu musabbab suatu hokum taklifi atau dalam bentuk hokum syarat sehingga
dimungkinkan berlakunya masyruth suatu hokum taklifi ataupun dalam bentuk
halangan (mani’).

b. Pembagian Hukum Wadh’i


1. Sabab
Dari segi etimologi, sebab (sabab) berarti sesuatu yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminology ushul fiqih, sabab
ialah sesuatu yang dijadikan Asy-Syari’ sebagai pengenal terhadap adanya
hokum taklifi tertentu, yang jika ia ada maka hokum tertentu menjadi ada, dan
jika ia tidak maka hokum itupun menjadi tidak ada.
2. Asy-Syarth
Dari segi etimologi, Syarth (syarat) berarti sesuatu yang diperlukan untuk
adanya sesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminology ialah sesuatu yang
kepadanya bergantungkeberadaan sesuatu yang kedua, sedangkan sesuatu yang
pertama itu bukanlah merupakan sesuatu yang kedua itu, sementara ketiadaan
itu, sementara ketiadaan sesuatu yang kedua tidak mesti menyebabkan
ketiadaan sesuatu yany pertama.
3. Mani’
Dari segi etimologi, Mani’ berarti penghalang. Sedangkan dari segi terminology
yang dimaksud dengan mani’ ialah sesuatu yang Asy-Sri’ keberadaannya
menjadi ketiadaan hokum atau ketiadaan sebab maksudnya batalnya sebab itu,
sedangkan menurut ulama’ lainnya suatu ketentuan syara’ yang keberadaannya
menegaskan hokum kasual dari sebab atau menegaskan akibat hokum.
4. Al-azhimah dan Ar-rukhshoh
Adapun yang dimaksud dengan Al-azimah ialah suatuu ketentuan syara’ yang
sejak semula ditetapkan sebagai ketentuan yang berlaku secara umum. Sebagian
ulama’ ushul fiqih lainnya mendefinisikan Al-azimah dengan rumusan kalimat :
suatu ketentuan yang sejak semula disyariatkan sebagai ketentuan hokum yang
umum.

4
Adapun yang dimaksud dengan Ar-rukhsoh menurut sebagian ulama’ ushul fiqih
ialah hokum-hukum yang disyariatkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam
keadaan tertentu. Sebagian ulama’ ushul fiqih lainnya mendefinisikan ar-
rukhsoh dengan ketetapan hokum yang berlaku yang berbeda dengan dalil yang
umum karena adanya kesulitan/keberatan.

5. Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad


Yang dimaksud dengan Ash-Shihhah ialah suatu perbuatan yang telah memiliki
sebab, memenuhi berbagai rukun dan persyaratan syara’dan tidak terdapat
mani’ padanya. Kata kunci suatu perbuatan yang disebut sah ialah, terpenuhinya
semua kriteria yang dituntut dari suatu perbuatan yang disyariatkan, baik dalam
bidang ibadah maupun dalam muamalah.
Yang dimaksud dengan Al-Buthlan Menurut bahasa berarti batal, rusak dan
gugur hukumnya. Secara istilah ialah tindakan hukum yang bersifat syar’i
terlepas dari sasarannya, menurut pandangan syara’. Maksudnya, tindakan
hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh
syara’, sehingga apa yang dikehendaki oleh syara’ dari perbuatan tersebut lepas
sama sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun
atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan di laksanakan ketika ada
mani’(penghalang). Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah
(bathl). Misalnya : dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan
ibadah sholat harus memnuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang
seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau batal.
Yang dimaksud dengan Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya
sesuai syara’, tapi sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat
cacat perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari perintah as syaari’.
Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah yang ada hanya sah dan
batal saja.
5

Contohnya : orang kota berjual beli dengan orang dusun yang tidak mengetahui
harga kota.
Jual belinya secara asal adalah sah, tapi ada sifat dalam jual beli itu, di luar rukun
dan akad jual beli, yaitu pengetahuan ttg harga yang hanya diketahui salah satu
pihak, yang menyimpang dari syara’.
Akad yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup menyempurnakan apa yang
dianggap cacat.
6

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum taklifi ialah firman(titah) Allah yang berbentuk Tholab(tuntutan) dan takhyir
(pilihan) atas perbuatan. Pada umumnya ulama’ ushul fiqih mendefinisikan hokum taklifi
dengan “sesuatu yang mengandung perintah untuk berbuat atau tidak berbuat ataupun
untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat suatu perbuatan”.

Sedangkan hokum Wadh’I pada hakikatnya sangat erat kaitannya dengan hokum
taklilfi, baik dalam bentuk sebab sehingga melahirkan suatu musabbab suatu hokum taklifi
atau dalam bentuk hokum syarat sehingga dimungkinkan berlakunya masyruth suatu
hokum taklifi ataupun dalam bentuk halangan (mani’).

B. Saran

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak memiliki
kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya. Maka dari itu kami menerima semua
saran dan tanggapan yang teman-teman semua berikan.

Atas saran dan tanggapannya kami sebagai penyaji makalah mengucapkan terima
kasih, semoga apa yang ada didalam makalah ini dapat kita ambil manfaatnya dan dapat
kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari selama itu tidak bertentangan dengan agama
kita yakni Islam.
7

DAFTAR PUSTAKA

http://asyrofi19tuban.blogspot.com/2017/02/makalah-ushul-fiqih-hukum-wadhi-
dan.html
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-fasad-didalam-islam/119137
Dahlan, Abdur Rohman, Ushul Fiqh, Jakarta : Hamzah, 2014.

Anda mungkin juga menyukai