Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FIQIH USHUL FIQIH

KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH

Dosen pengampu : Ibu Enny Nazrah Pulungan, M.Ag

Disusun Oleh :

KELOMPOK 5

NUR USWATUN HASANAH (0301222084)

NADIA ADININGRAT (0301221018)

DIO ANUGRAH PRATAMA (0301221014)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan juga inayah-Nya sehingga kita masih diberikan
karunia hidup. Tidak lupa sholawat serta salam kita curahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW beserta keluarga ataupun para sahabat dan para umat-Nya yang
setia pada ajarannya sampai akhir zaman.

Keberhasilan pembuatan makalah ini pun dibantu dan berkat dorongan kerja
sama dari pihak pemakalah yang menjadikan hal ini sebagai motivasi agar bisa
menyelesaikan makalah yang berjudulkan “Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah” makalah ini
diselesaikan guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.

Ucapan terima kasih kepada Ibu Enny Nazrah Pulungan, M.Ag selaku
dosen pada mata kuliah Fiqih Ushul Fiqih yang telah memberikan arahan kepada
kami sehingga kami dapat menerapkan apa saja yang telah diajarkan.

Informasi ini pun kami dapat dari berbagai sumber yang telah kami rangkum
agar menjadi kesatuan yang kompleks, dan mudah dipahami oleh pembaca. Dan
kami sangat berharap agar pembuatan makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan
khususnya kami sebagai pemakalah. Tidak luput dari ketidaksempurnaan maka
kami masih memerlukan saran dan kritik yang membangun dengan harapan
makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Medan , 21 Maret 2023

Pemakalah Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2

BAB II 3

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fiqhiyyah 3


B. Kaidah-Kaidah Dasar Fiqhiyyah 4

BAB III 16

PENUTUP

A. Kesimpulan 16
B. Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi
umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-
batas boleh tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan
perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk
ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-
rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun
tradisi-tradisi yang baik.

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut


adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan
untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya,
seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali-Imran ayat 32,
yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), taatilah Allah dan Rasul-
Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir”. Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah
Nabi itu sebagai umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan
berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama
dalam penyelesaian-penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung
maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum.

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup (way of life) mengandung ajaran yang


sempurna dan lengkap, sekalipun memang terkadang di dalamnya hanya
dijelaskan prinsip-prinsip atau dasar-dasarnya saja.

Prinsip-prinsip ajaran tersebut lebih lanjut ditafsirkan dan dirinci oleh


Sunnah Nabi, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun dalam bentuk
persetujuannya terhadap perbuatan atau prilaku sahabat-sahabatnya. Pertanyaan

1
yang muncul: Apakah masih diperlukan kaidah-kaidah fiqh, padahal sudah ada
AlQur’an dan Sunnah yang telah menjelaskan aturan-aturan yang dapat
dipedomani dalam perbuatan atau tindakan? Untuk melengkapi pertanyaan
yang ada berikut akan diuraikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu kaidah fiqhiyyah?
2. Bagaimana kaidah-kaidah fiqhiyyah itu?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian kaidah fiqhiyyah.
2. Untuk mengetahui apa saja kaidah dasar fiqhiyyah serta dasar
hukum kaidah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengetian Kaidah Fiqhiyyah

Ahmad warson mengatakan bahwa kaidah bisa berarti al-asas (dasar


atau pondasi), al-Qahun (peraturan dan kaidah dasar), al-mabda` (prinsip),
dan Al-nasaq (metode atau cara).
Sesuai dengan Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

َ ‫ّللاه به ْن َيا نَ هه ْم ِمنَ ْالقَ َوا ِع ِد فَخ ََّر‬


‫علَ ْي ِه هم‬ ٰ ‫قَ ْد َم َك َر الَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم فَا َ تَى‬
َ‫ث ََل يَ ْشعه هر ْون‬‫ب ِم ْن َح ْي ه‬ ‫ف ِم ْن فَ ْوقِ ِه ْم َواَ ٰتٮ هه هم ْال َعذَا ه‬ ‫س ْق ه‬َّ ‫ال‬

"Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan


tipu daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari
pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan
siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari." (QS.
An-Nahl 16: Ayat 26)
Menurut bahasa kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan
dengan masalah hukum.
Menurut istilah kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk dalam
kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan
hukum ushul fiqh. Sebab, meski bersifat umum, obyek kajian kaidah fiqh
adalah perbuatan manusia yang menjadi subyek hukum (mukallaf). 1
Ambil contoh, kaidah "tidak ada pahala kecuali dengan niat" adalah
ketentuan hukum atas perbuatan manusia bahwa ia tidak memperoleh
pahala kecuali jika ia meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hal ini berbeda dengan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh yang
diketahui berdasarka kaidah-kaidah ushul, sebab obyek materialnya adalah

1
Mif Rohim, Buku Ajar Qawaid Fiqhiyyah, (Jombang: LPPM UNHASY Tebuireng, 2019 ), hal.4

3
dalil syar'i dengan segala kondisinya dan hukum beserta berbagai
kondisinya.

B. Kaidah- Kaidah Dasar Fiqhiyyah

1. Segala sesuatu tergantung tujuannya (niat) ِ َ‫ِب ِمق‬


(‫اص ِدهَا‬ ‫) ْاْل ه هم ه‬
‫ور‬
a. Penjelasan Kaidah

‫ ْاْل ه هم ه‬ini memiliki makna yaitu segala sesuatu yang


ِ َ‫ور بِ ِمق‬
Kaidah ‫اص ِدهَا‬
berkaitan dengan perbuatan manusia mulai dari perkataan sampai pada
tingkah laku manusia tersebut, semuanya digantungkan kepada niat daripada
orang yang melakukan perbuatan. Karena suatu niat itu sangat penting untuk
melihat bagaimana kualitas atau makna perbuatan seseorang.

Berdasarkan kaidah tersebut, baik pahala maupun dosa sangat


bergantung pada niat seseorang. Ulama fiqh sepakat bahwa apabila seseorang
berniat akan melakukan suatu perbuatan baik namun belum mampu untuk
menunaikannya disebabkan sebuah masyaqqah atau keadaan tertentu, maka
ia akan tetap mendapat pahala. Dalam konteks lain, ulama fiqh juga sepakat
bahwa seseorang akan mendapat dosa jika salah dalam niat.

Misalnya apabila ada orang yang berkunjung ke rumah saudaranya lalu


orang tersebut mengobrol dengan saudaranya, maka ia akan mendapatkan
pahala ibadah apabila berkunjungnya ke rumah saudara itu ia niatkan untuk
bersilaturrahmi. Namun apabila ia berkunjung ke rumah saudaranya dengan
niat untuk menggunjing orang lain maka ia dan saudaranya akan mendapat
dosa. Oleh karena itu sebaiknya melakukan segala sesuatu dengan niat yang
baik semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Misal yang lainya, suatu pekerjaan yang halal bisa jadi haram karena
niatnya, seperti haramnya seorang bercampur dengan istrinya, karena ia
berniat untuk zina.2

2
Sokon Saragih, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2022) hal.203

4
b. Dasar hukum kaidah
1) Al- Quran

ْ َ‫طأْ ت ه ْم ِبه ۙ َو ٰل ِك ْن َّما تَعَ َّمد‬


ۙ ‫ت قهله ْوبه هك ْم‬ َ ‫ح فِ ْي َم ۤا اَ ْخ‬
ٌ ‫ْس َعلَ ْي هك ْم هجنَا‬
َ ‫َو لَي‬
‫ّللاه َغفه ْو ًرا َّر ِح ْي ًما‬
ٰ َ‫َو َكا ن‬

“Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 5)

‫ت قهلهوبه هك ْم‬
ْ ‫س َب‬ ِ ‫ف أَ ْي َمانِ هك ْم َولَ ِك ْن يه َؤ‬
َ ‫اخذه هك ْم ِب َما َك‬ ِ ‫اخذهكه هم هللاه باللغو‬
ِ ‫َل يه َؤ‬

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud


(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu." (QS. Al-Baqarah: 225)

2) Hadis

‫َت ه ِْج َرتْهه‬ ْ ‫ و ِإ َّنما ِل هك ِل ْام ِريءٍ َما ن ََوى فَ َم ْن َكان‬,ِ‫بالنيَّات‬ ِ ‫ِإ َّن َما ْاْل َ ْع َما هل‬
‫َت ه ِْج َرتههه ِلده ْنيَا‬ ‫سو ِل ِه فَ ْج َرتْهه إِلى هللاِ َو َر ه‬
ْ ‫سو ِل ِه و َم ْن َكان‬ ‫إلى هللاِ َو َر ه‬
‫صيبهها أَو ا ِْم َرأَةٍ يَ ْن ِك هح َها فَ ِه ْج َرتههه‬
ِ ‫يه‬
‫إلَى َما هَا َج َر ِإلَيْه‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya
seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barang siapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah
dan Rasul-Nya. Siapayang hijrahnya karena mencari dunia atau karena
wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
(HR.Bukhari dan Muslim).

5
‫ ِنيَّةه ْال همؤْ ِمن َخي ٌْر ِم ْن َع َم ِل ِه‬.

"Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya." (HR. Thabrani).

2. Kemudratan itu dapat dihilangkan (‫يهزان‬ ‫) الض ََّر هر‬


a. Penjelasan Kaidah

Kaidah ‫الض ََّر هر يهزان‬ ini memiliki pengertian bahwa kemudharatan


yang terjadi harus dihilangkan. Kaidah tersebut juga berarti bahwa segala
sesuatu yang mendatangkan bahaya hendaknya dihilangkan. 3

Izzuddin Ibn Abd al-Salam mengatakan bahwa tujuan syariah itu adalah
untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Dengan kata lain,
kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid
al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan
kemudharatan atau setidaknya meringankannya.
Kaidah tersebut di atas sering diungkapkan dengan hadits nabi yang
diriwayatkan dari berbagai jalur sanad:

ِ ‫لأَض َْر َر َو ََل‬


‫ض َرار‬
“Tidak boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan”

Di kalangan ulama ada perbedaan mengenai perkataan dharar dan


dhirar antara lain:

a) Al-Husaini memberikan arti dharar dengan “bagimu ada manfaat


tapi bagi tetanggamu ada madarat”. Sedangkan Ibrahim Muhammad
Mahmud al-Hariri, al-Madkhal Ila al-Qawa’id Fiqhiyyah dhirar
diartikan dengan, “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain
(tetangga) memudaratkan”.4
b) Ulama yang lain memberikan arti dharar dengan membuat
kemudharatan dan dhirar diartikan membawa kemudharatan di luar

3
Ibrahim Muhammad Mahmud Al-Hariri, Al-Madkhal Ila Al-Qawaid Fiqhiyyah Al-Kulliyyah,
hal.92
4
Ali Ahmad, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Al-Nadwi, hal.88

6
ketentuan syariah. Dari sini para fuqaha menetapkan asas hukum
umum dalam hubungan bertetangga, bahwa kebebasan tetangga
dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan
tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak
tetangganya. 5

Berdasarkan ketetapan para fuqaha tersebut, apabila seseorang


menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan
ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut maka
orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan
untuk mencegah tersebut, namun ia tidak dapat dipaksa untuk
melenyapkannya. Akan tetapi, jika langkah menepis bahaya tersebut sudah
tidak memungkinkan, sementara hal itu menyangkut manfaat-manfaat yang
pada dasarnya merupakan keniscayaan, misalnya penutupan akses matahari
dan udara secara total bagi pihak tetangga, maka ia dapat dipaksa untuk
melenyapkan hal yang menyebabkan bahaya tersebut.6

Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk


menghilangkan hak miliknya yang berpotensi menyebabkan kemudharatan
bagi orang lain (tetangga) jika memang ia lebih dulu ada sebelum si tetangga
tersebut tinggal.
Misalnya jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping
industri milik negara yang telah berdiri sebelum ia menempati atau
membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan
industri tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Namun,
apabila berkaitan dengan kemudharatan umum (bahaya sosial), maka di sini
tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau
baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contoh:
siapapun yang membangun tenda besar di akses jalan umum, maka ia dapat
diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu lama.

5
Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1963) hal.88
6
Nash Muhammad Wasil dan Abdul Aziz, Qawaid Fiqhiyyah ( Jakarta : Amzah, 2013), hal.19

7
b. Dasar Hukum Kaidah
1) Al-Qur’an

‫ض َّل ِإذَا ا ْهتَدَ ْيت ه ْم‬


َ ‫ض ُّر هك ْم ِم ْن‬
‫ََل َي ه‬
"Tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (QS. Al- Ma'idah: 105)

َ‫ّللاه ََل يه ِحبُّ ْال هم ْف ِسدِين‬


َّ ‫َو‬
"Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat
kerusakan."(QS. Al-Ma'idah: 64).

2) Hadis

‫ض َّرهه هللا َو َم ْن ش ََّق ش ََّق هللا عليه‬ َ ‫َلض َرار َم ْن‬


َ ‫ض هر‬ ِ ‫اضر َر َو‬
َ
"Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang
memudaratkan maka Allah akan memudaratkannya dan siapa saja
yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.” (HR.
Imam Malik).

‫شق شَقَ هللاه َعلَ ْي ِه‬ َ َ‫ض ْر أ‬


‫ض َّرهه هللا به و َم ْن ه‬ َ ‫ َم ْن‬.
"Barang siapa yang memudaratkan (orang lain) maka Allah akan
memudaratkannya dan barang siapa yang menyusahkan (orang
lain), maka Allah akan menyusahkannya."(HR. Bukh ari Muslim).

3. Tradisi dapat menjadi hukum (ٌ‫ح َّك َمة‬


َ ‫دَة ه هم‬ ‫) العَا‬
a. Penjelasan kaidah

Kaidah ٌ‫ ال َعا دَة ه هم َح َّك َمة‬ini memiliki arti bahwa di suatu keadaan, adat
dapat dijadikan pijakan untuk menentukan hukum ketika tidak ditemukan
dalil syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Sebelum
Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat
baik di dunia Arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat

8
kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap
oleh masyarakat tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas
dasar kesadaran masyarakat tersebut.7

Pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama
sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus
berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu
masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau
kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran
yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang
bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai
salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.8

Abu Ishak al-Syathibi (w. 790 H) menyatakan bahwa dilihat dari sisi
bentuknya dalam realitas, adat dapat dibagi dua:

 Pertama, al-‘adah al-‘ammah (adat kebiasaan yang umum), yaitu


adat kebiasaan manusia yang tidak berbeda karena perbedaan waktu,
tempat, dan keadaan seperti kebiasaan untuk makan, minum,
khawatir, kegembiraan, tidur, bangun, dan lain-lain.
 Kedua, adat kebiasaan yang berbeda karena perbedaan waktu,
tempat, dan keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian, rumah, dan lain-
lain. 9

Secara bahasa, al-‘adah diambil dari kata al-‘awud (‫العود‬ (atau al-

mu'awadah (‫( المؤدة‬yang artinya berulang ( ‫ التكرار‬.(Oleh karena itu, tiap-


tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan

7
Ahmad Djazuli, hal.78
8
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam ( Kulliyah Al-Khamsah), ( Malang: UIN MAaliki
Press, 2010), hal.203
9
Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari`ah, (Kairo: T.pn), hal.297

9
sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum
dinamakan adat.

Kesimpulannya bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu
dapat dijadikan sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam
(hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak
atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau
mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak
bisa mematahkan sebuah adat.

Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat (tidak
bertentangan dengan syari'at, tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak
menghilangkan kemashlahatan, telah berlaku pada umumnya orang muslim.

b. Dasar hukum kaidah ini yaitu:


1) Al-Qur’an

ِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي هك ْم ِفى‬


ٍ‫الدي ِْن ِم ْن َح َرج‬
"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan". (QS. Al-Hajj 22: Ayat 78)

2) Hadis

ِ َ‫الو ْزنه َو ْزنه أ ْه ِل َم َّكة‬


‫والم ْكيان مكيال أهل المدينة‬ َ
"Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli
Mekkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli
Madinah". (HR. Abu Dawud)

Ukuran berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan ahli


Mekkah, karena kebiasaan penduduk Mekkah adalah pedagang. Sedangkan
ukuran kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh
penduduk Madinah, karena kebanyakan mereka bergerak di bidang
pertanian. Maksudnya, apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut

10
yang dipakai pada zaman nabi. Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang
jinayah:

Dalam hal ini sebagaimana hukum Islam yang menjadi adat


masyarakat Aceh. Apabila terjadi khalwat ataupun perzinahan, maka pelaku
keduanya akan dicambuk dan di arak keliling kampung sebagai pelajaran
bahwa ini perbuatan yang tidak patut di tiru. Maka pemerintah tidah boleh
melarangnya karena ini sudah menjadi adat yang berkembang di masyarakat
tersebut.

‫التَّ ْيس ه‬
4. Kesulitan menimbulkan kemudahan (‫ِير‬ ‫) المشقَّةه تَ ْج ِل ه‬
‫ب‬
a. Penjelasan kaidah
Apabila suatu hukum terdapat kesusahan atau kesulitan dalam
penunaian dan pelaksanannya, baik kepada badan, jiwa, atau harta seorang
mukallaf, maka hukum itu diringankan sehingga tidak menyusahkan lagi.
Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah rukhsah.
Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta'ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran seperti terdapat dalam firman
Allah :

‫َوتَ ْح ِم ْل أَثْقَالَ هك ْم إلَى بَلَ ٍد لَّ ْم تَ هكونهوا بَا ِل ِغي ِه ِإ ََّل ِبشِقَ ْاْل َ ْنفه ِس‬
"Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak
sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang
memayahkan) diri." (QS. An-Nahl:7)

Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di


dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim
disebutkan:

‫ِإ َّن الَّ ِذيْنَ يهسر‬


“Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan dari kata ‘usyrun”. 10

10
M. Shiddiq bin Ahmad, Al-Wajiz fi Idhah Al-Qawaid, (Beirut : Muassah Al-Risalah, 1983),
hal.129

11
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek
hukum), maka syariah meringankankannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

Dalam ilmu Fiqh, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu


setidaknya ada tujuh macam, yaitu:

1) Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh Qasar shalat, buka


puasa, dan meninggalkan shalat Jum’at.
2) Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air,
shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan ramadhan dengan
kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai
terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
3) Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka
akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena
bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan
barang orang lain karena dipaksa.
4) Lupa (al-nisyan) misalnya seorang lupa makan dan minum pada waktu
puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura
lupa.
5) Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena
tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak
dikenai sanksi. Seorang wakil yang tidak tahu bahwa yang di wakilkan
kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak hukum, misalnya pailit
maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang
mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur ‘alaih (dilaranhg
melakukan tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada kaidah
lain bahwa ketidak tahuan tentang hukum tidak bias diterima di negeri
Muslim, dalam arti kemungkinan untuk tahu telah ada.
6) Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan

12
mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang di butuhkan dalam
pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.
7) Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil,
orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang
berhubungan dengan palaku ini disebut unsur pema’af, termasuk di
dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa.11

b. Dasar hukum kaidah ini antara lain:


1) Al-Qur’an

‫سا ا ََِّل هو ْسعَها‬


ً ‫ّللاه نَ ْف‬
ٰ ‫ف‬ ‫ََل يه َك ِل ه‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”. (QS. Al-Baqarah: 286 )

2) Hadis

‫الذين يهس هْر أ َ َحبُّ الذِينَ ِإلَى هللاِ ْال َحني ِفيَّةه الس َّْم َحةه‬

"Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang benar
dan mudah". (HR. Bukhari)

c. Contoh penerapan kaidah ini di bidang ubudiyah:


Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu
melaksanakan shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika
tidak mampu dengan duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup
berisyarat ketika ruku’ dan sujud.

5. Keyakinan tidak hilang karena adanya keraguan ( ‫) ْاليَ ِقينه َْلَيْزَ ا هل با لك‬
a. Penjelasan kaidah

Kaidah ‫ْال َي ِقينه َْلَيْزَ ا هل با لك‬ ini memiliki makna yaitu semua hukum
yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan, itu tidak dapat dipengaruhi

11
Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2016), hal.56

13
oleh adanya keraguraguan yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang
merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa
menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah


tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan,
baik kemantapan hati itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan
yang mantap atau baru sekedar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak
dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keraguraguan pada saat
pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam
kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda
tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu hal yang sudah diyakini. 12
Menurut bahasa yakin berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan di
dalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan yakin yang artinya
pengetahuan dan merupakan lawan dari syak. 13
Menurut As-Suyuthi menyatakan yakin adalah “sesuatu yang tetap dan
pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti
yang mendukungnya”.

Menurut Abu al-Baqa’ dalam al-Kulliyat bahwa yakinialah pegangan


yang kuat, mantap, dan tetap serta menepati kenyataan. Yakin di sini juga
merupakan penjelasan mengenai ilmu yang tetap teguh dalam hati,
disebabkan ketetapannya berdasarkan sebab tertentu.

Menurut Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an


yang dimaksud yakin ialah tetapnya suatu kefahaman beserta tetapnya
hukum. Yakin merupakan sifat yang lebih tinggi daripada ma’rifat sejalan
dengan istilah ilmu al-yakin bukan ma’rifat al-yakin. Ilmu al-yakin sendiri
berarti ilmu yang tidak ada keraguan lagi. Baik ilmu maupun yakin memiliki
sedikit perbedaan, yang mana perbedaan antara keduanya terletak pada
ketetapan. Ilmu berupa pegangan terhadap sesuatu yang diketahuinya atas

12
H. Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, ( Malang : UIN-MALIKI PRESS, 2010),
hal.76
13
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, hal. 457

14
dasar kepercayaan. Sedangkan yakin dan keyakinan berupa tenang dan
mantapnya jiwa terhadap apa yang diketahui.

Adapula yang mengartikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang


membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu
dalam arti tidak ada keraguan lagi. 14

b. Dasar hukum kaidah


1) Al-Qur’an

ٰ ‫شيْـًٔا اِ َّن‬
َ‫ّللا‬ ِ ‫الظ َّن ََل يه ْغنِ ْي ِمنَ ْال َح‬
َ ‫ق‬ َّ ‫ظنًّا ا َِّن‬
َ ‫َو َما يَتَّبِ هع اَ ْكثَ هرهه ْم ا ََِّل‬
َ‫َع ِل ْي ٌم ۢبِ َما يَ ْفعَله ْون‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
2) Hadis

،‫َي ٌء أَ ْم ََل‬
ْ ‫ش ْيئًا فَأ َ ْش َك َل َعلَ ْي ِه أَخ ََر َج ِم ْنهه ش‬ ْ ‫ِإذَا َو َجدَ أ َ َحدهكه ْم فِي َب‬
َ ‫طنِ ِه‬
‫ص ْوتًا أَ ْو يَ ِجدَ ِري ًحا‬
َ ‫فَ ََل يَ ْخ هر َج َّن ِم ْن ْال َمس ِْج ِد َحتَّى يَ ْس َم َع‬

“Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu diperutnya, lalu


ia ragu apakah telah keluar (angin/kentut) atau tidak, janganlah
sekali-kali ia keluar dari masjid, hingga ia mendengar suara atau
mencium bau.” (HR. Muslim)

َ‫دَ ْع َما يَ ِر ْيبهكَ ِإلَى َما َلَ يَ ِر ْيبهك‬


"Tinggalkan apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang
tidak meragukanmu". (HR. An-Nasa`i)

14
Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, (Beirut : Darul Qalam, 1998), hal.358

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kaidah berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qahun (peraturan dan
kaidah dasar), al-mabda` (prinsip), dan Al-nasaq (metode atau cara).
Kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk dalam kategori ketentuan-
ketentuan hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh.
Sebab, meski bersifat umum, obyek kajian kaidah fiqh adalah perbuatan
manusia yang menjadi subyek hukum (mukallaf).
2. Dasar kaidah fiqhiyyah ada lima, yaitu: segala sesuatu tergantung
tujuannya (niat), kemudratan itu dapat dihilangkan, tradisi dapat
menjadi hukum , esulitan menimbulkan kemudahan, yakin tidak hilang
karena adanya keraguan.

B. Saran

Diharapkan dengan diselesaikannya makalah ini dapat membantu para


pembaca untuk memahami kaidah-kaidah fiqhiyyah. Demikian dalam
pembuatan makalah ini pemakalah sadar bahwasanya tentu masih banyak
banyak kekurangan didalamnya. Mari tingkatkan literasi guna untuk memenuhi
pertanyaan yang banyak muncul pada pikiran dan dihati.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari`ah, (Kairo: T.pn), hal.297


Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, (Beirut : Darul Qalam, 1998), hal.358
Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2016), hal.56
Ali Ahmad, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Al-Nadwi, hal.88
Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, ( Malang : UIN-MALIKI PRESS,
2010), hal.76
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam ( Kulliyah Al-Khamsah), ( Malang:
UIN MAaliki Press, 2010), hal.203
Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1963)
hal.88
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, hal. 457
Ibrahim Muhammad Mahmud Al-Hariri, Al-Madkhal Ila Al-Qawaid Fiqhiyyah
Al-Kulliyyah, hal.92
M. Shiddiq bin Ahmad, Al-Wajiz fi Idhah Al-Qawaid, (Beirut : Muassah Al-
Risalah, 1983), hal.129
Mif Rohim, Buku Ajar Qawaid Fiqhiyyah, (Jombang: LPPM UNHASY
Tebuireng, 2019 ), hal.4
Nash Muhammad Wasil dan Abdul Aziz, Qawaid Fiqhiyyah ( Jakarta : Amzah,
2013), hal.19

17

Anda mungkin juga menyukai