Anda di halaman 1dari 32

ILMU FIQIH

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Fikih
Dosen Pengampu : Dr. H. Fenny Rahman HS, M.Pd

Di susun oleh :
Annida Fitriyyah
(20211011041)

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AL IHYA KUNINGAN
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa
syari’ah yang mudah, penuh rahmat dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan
akhirat.
Makalah yang berjudul Ilmu Fiqih disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Pengantar Ilmu Fiqih serta sebagai wawasan tambahan mengenai klasifikasi ilmu fiqih,
sumber-sumber fiqih, kidah-kaidah fiqih, metode ilmu fiqih dan prinsip dasar fiqih.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Fenny Rahman HS, M.Pd
selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqih yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang kami tekuni.
Akhirnya, kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih ada kekurangan
maka saran dan kritik selalu kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Mudah-mudahan
makalah ini memberikan manfaat dan mendapat ridha Allah swt. Aamiin.

Kuningan, 03 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II
PEMBAHASAN 3
A. Klasifikasi Ilmu Fiqih 3
B. Sumber-sumber Fiqih 7
C. Kaidah-kaidah Fiqih 13
D. Metode Ilmu Fiqih 15
E. Prinsip Dasar Fiqih 22
BAB III
PENUTUP 29
A. Kesimpulan 29
B. Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling terkeanl atau dikenal
oleh masyarakat. Ini terjadi karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, dan itu
terjadi dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, manusia itu selalu berhubungan dengan
fiqih.
Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu mak fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-
hal. Ilmu al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia dan juga
termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh manusia, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru
bisa atau seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui
ibadah seperti dalam melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Fiqih selalu menyertai seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari mulai dari bangun
tidur hingga tidur kembali dan selalu menyertai semua kegiatan seorang muslim. Jadi fiqih
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam terutama dalam mengarahkan apa dan
bagaimana seorang muslim bertindak dan melakukan kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sederhana, fiqih bisa dipahami sebagai hasil dari pemikiran manusia tentang
sesuatu hal yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Dari pengertian
diatas, dapat dipahami bahwa fiqih merupakan penjabaran yang lebih rinci dari tentang
syari’ah untuk memudahkan dalam mengamalkan syari’at. Adapun ruang lingkup yang dikaji
fiqih meliputi hubungan manusia dengan Allah swt yang biasa disebut dengan ibadah dan
hubungan manusia dengan sesamanya atau yang biasa disebut dengan muamalah.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang digunakan untuk membatasi pembahasan materi yang dibahas
dalam pembuatan makalah ini. Adapun yang dipakai penulis dalam penyusunan makalah ini
adalah :
1. Apa saja klasifikasi Ilmu Fiqih ?
2. Apa saja sumber-sumber Ilmu Fiqih ?
3. Apa saja kaidah-kaidah Fiqih ?
4. Apa saja metode yang digunakan Ilmu Fiqih ?
5. Apa saja prinsip dasar Fiqih ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui klasifikasi Ilmu Fiqih
2. Mengetahui sumber-sumber Ilmu Fiqih
3. Mengetahui kaidah-kaidah Fiqih
4. Mengetahui metode yang digunakan Ilmu Fiqih
5. Mengetahui prinsip dasar Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kasifikasi Ilmu Fiqih
Sebagaimana diketahui, fiqih merupakan kumpulan aturan yang meliputi berbagai hal
perbuatan manusia. Tidak hanya berupa aturan mengenai semua hubungan manusia dalam
urusan pribadinya sendiri, tetapi juga semua hubungan manusia dengan manusia lain, bahkan
dalam hubungannya sebagai umat dengan umat lainnya.
Para ulama masa dahulu telah mencoba mengadakan pembidangan Ilmu Fiqih ini. Ada
yang membaginya menjadi tiga bidang yaitu Ibadah, Muamalah dan Uqubah. Ada pula yang
membaginya menjadi empat bidang yaitu Ibadah, Muamalah, Munakahah dan Uqubah.
Dalam uraian ini penulis membagi pembidangan Ilmu Fiqih menjadi dua bagian besar
yaitu : Bidang Fiqih Ibadah Mahdhah, yaitu aturan yang mengatur hubungan muslim dengan
Allah swt. dan Bidang Fiqih Muamalah dalam arti yang luas. Bidang Fiqih muamlah dalam arti
yang luas ini dibagi lagi menjadi :
1) Bidang Al Ahwal Al Syakhshiyyah
2) Bidang Fiqih Muamalah (dalam arti yang sempit), Al Ahkam Al Madaniyah
3) Bidang Fiqih Jinayah
4) Bidang Fiqih Qadh’a
5) Bidang Fiqih Siyasah, yang meliputi :
a. Siyasah Dusturiyah atau hubungan rakyat dan pemerintah
b. Siyasah Dawliyah atau hukum Internasional
c. Siyasah Maaliyah atau hukum ekonomi
Dilihat dari sisi lain : hukum keluarga , hukum perdata, hukum acara perdata dan hukum
perdata Internasional termasuk ke dalam ruang lingkup hukum privat atau Al Qanun al Khas.
Sedangkan hukum pidana, hukum acara pidana dan fiqih siyasah termasuk kedalam hukum
publik atau Al Qanun Al ‘am.
1. Bidang Fiqih Ibadah
Al Qur’an dalam surat Al Dzariyat ayat 56 menyatakan :
َ ‫ت ْال ِج َّن َوااْل ِ ْن‬
‫س اِاَّل لِيَ ْعبُ ُدوْ ِ@ن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali semata-mata untuk beribadah kepada-Ku”
Berangkat dari ayat diatas, jelas sekali bahwa manusia dalam hidupnya mengemban
amanah ibadah, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun alam dan
limgkungannya.
Pengaturan manusia dengan Allah telah diatur dengan secukupnya, terutama sekali dalam
Sunnah Nabi, sehingga tidak mungkin berubah sepanjang masa. Hubungan manusia dengan
Allah merupakan ibadah yang langsung dan sering disebut dengan Ibadah Mahdhah.
Penggunaan istilah bidang Ibadah Mahdhah dan bidang Ibadah Ghair Mahdhah, tidaklah
dimaksudkan untuk memisahkan kedua bidang tersebut, tetapi hanya membedakan yang
diperlukan dalam sistematika pembahasan ilmu.
Bidang Fiqih Ibadah ini meliputi :
1) Pembahsan thaharah, baik thaharah dari najis maupun thaharah dari hadas, yaitu wudhu,
mandi dan tayamum. Shalat : dengan segala macma rukun dan tata cara shalat serta hal-
hal yang berhubungan dengan shalat, termasuk didalamnya shalat jenazah.
2) Pembahasan sekitar zakat. Tentang wajib zakat, harta yang wajib dizakati, nisab, haul
dan mustahik zakat serta zakat fitrah.
3) Pembahasan sekitar shiyam, puasa wajib dan sunnah, rukunnya dan hal-hal lain sekitar
shiyam.
4) Pembahasan tentang itikaf, cara dan adab susila ber-itikaf .
5) Pembahasan tentang ibadah haji. Dibicarakan tentang hukum dan syarat-syarat haji,
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dan yang ditinggalkan pada waktu melakukan
ibadah haji dan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah haji.
6) Pembahasan sekitar jihad, dibicarakan tentang hukumnya, cara-caranya, syarat-syaratnya,
tentang perdamaian, tentang harga ghanimah, fay dan jizyah.
7) Pembahasan tentang sumpah, macam-macam sumpah, kafarah sumpah dan lain-lain
sekitar sumpah.
8) Pembahasan tentang nazar, macam-macam nazar dan akibat hukum nazar.
9) Pembahasan tentang kurban, hukumnya, macamnya binatang untuk kurban, umur
binatang yang dikurbankan, dan jumlahnya serta hukum tentang daging kurban.
10) Pembahasan tentang sembelihan, yang meliputi : binatang yang disembelih, cara-cara
yang menyembelih binatang dan syarat-syaratnya.
11) Pembahasan tentang berburu, hukum berburu, dan hal-hal yang berkenaan dengan
binatang yang diburu.
12) Pembahan tentang aqiqah untuk siapa, waktu aqiqah dan hukum dagingnya.
13) Pembahasan tentang makanan dan minuman, dibicarakan tentang yang halal dimakan dan
yang haram dimakan.
Sistematika diatas adalah sitematika dari Ibn Rusyd didalam kitabnya Bidayah al
Mujtahid wa nihay’ah al Muqtasid. Tidak semua kitab sama persis sistematikanya, adakalanya
pembahasan tentang jihad masuk dalam bidang jinayah. Ketidaksamaan penyusunan
sistematika antara lain disebabkan perbedaan tinjauan dan penekanan terhadap masalah
tertentu.
2. Bidang Muamalah dalam Arti Luas
a. Bidang al Ahwal al Syakhsiyah
Bidang al Ahwal al Syakhsiyah atau hukum keluarga yaitu yang mengatur hubungan
antar suami istri, anak dan keluarganya. Pokok kajiannya meliputi : a). Fiqih Munakahat, b).
Fiqih Mawaris, c). Washiyat dan d). Wakaf. Tentang wakaf ini ada kemungkinan masuk
bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang meewakafkan, ada kemungkinan masuk al
akhwal al syakhsiyah apabila wakaf itu wakaf dzuri yaitu wakaf untuk keluarga.
1. Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya.
Pembahasan Fiqih Munakahat meliputi topik-topik hukum nikah meminang akad nikah,
wali nikah, saksi nikah, mahar, wanita yang haram dinikahi baik haram karena nasab,
mushaharah, radha’ah dan hadanah. Soal-soal yang berkaitan dengan putusnya
pernikahan, dengan ‘idah, ruju’, hakamain, ila, dzihar, lian, nafkah, dan ihdadyaitu
berkabung dan masa berkabung.
2. Mawaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta
warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap warisan, bagaimana cara
pembagiannya masing-masing. Fiqih Mawaris disebut juga ilmu Faraidh, karena
berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.
Pembahasan Fiqih Mawaris meliputi masalah-masalah tazhij yaitu pngurusan mayat,
pembayaran utang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta. Dibahas pula tentang
halangan-halangan mendapat warisan dan lain sebagainya.
3. Wasiat adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada
orang lain atau lembaga tertentu, sedangkan pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia
meninggal dunia.
Dalam wasiat dibicarakan tentang orang yang berwasiat serta syarat-syaratnya, tentang
orang yang diberi wasiat dan syarat-syaratnya dan bagaimana hukumnya apabila yang
diberi wasiat itu membunuh pemberi wasiat. Dibicarakan pula tentang harta yang
diwasiatkan dan bagaimana apabila yang diwasiatkan itu berupa manfaat, serta
hubungan antara wasiat dan harta waris.
4. Wakaf adalah penyisihan sebagaian harta benda yang kekal zatnya dan mungkin
diambil manfaatnya untuk maksud kebaikan.
Dalam kitab-kitab fiqih dikenal adanya wakaf dzuri (keluarga) dan wakaf khairi yaitu
wakaf untuk kepentingan umum, dibahas pula tentang orang yang mewakafkan serta
syarat-syaratnya, barang yang diwakafkan dan syarat-syaratnya orang yang menerima
wakaf dan syarat-syaratnya, shigat atau ucapan yang mewakafkan dan syarat-syaratnya.

b. Bidang Fiqih Muamalah (dalam Arti Sempit) Al Ahkam Al Madaniyah


Bidang ini membahas tentang jual beli (bayi), membeli barang yang belum jadi, dengan
disebutkan sifat-sifatnya dan jenisnya (sallam) gadai, kapailitan (taflis), pengampunan (hajru),
perrdamaian (al-sulh), pemindahan utang (al-hiwalah), jaminan utang, perseroan dagang
(syarikah), perwakilan (wikalah), titipan, pinjam meminjam, merampas atau merusak harta
orang lain, hak membeli paksa, memberi modal dengan bagi untung, penggarapan tanah (al
muzaroah musaqoh), sewa menyewa, mengupah orang untuk menemukan barang yang hilang,
membuka tanah baru dan barang temuan.
Apabila kita lihat sistematika pembahasan Hukum Perdata yang terdiri dari : hukum
orang pribadi dan hukum keluarga, hukum benda dan hukum waris, hukum perikatan, bukti
dan kadaluwarsa, maka materi-materi tersebut dalam hukum Islam terdapat dalam al akhwal al
syakhsiyah, muamalah dan qadha. Oleh karena itu tidak tepat mempersamakan bidang fiqih
muamalah dengan hukum perdata. Bahkan ada sebagian materi hukum perdataoleh para ulama
dibahas dalam kitab Ushul Fiqih, seperti subjek hukum atau orang mukallaf. Sistematika
hukum perdata seperti juga halnya sistematika fiqih, bukanlah suatu hal yang mutlak yang
tidak bisa diubah lagi. Sebab sistematika itu dibuat oleh para ahli sesuai dengan perkembangan
ilmu itu sendiri.
c. Bidang Fiqih Jinayah atau Al Ahkam Al Jinayah
Fiqih Jinayahadalah fiqih yang mengatur cara-cara menjaga dan melindungi hak Allah.
Hak masyarakat dan hak individudari tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan menurut
hukum.
Adapun materi Fiqih Jinayah meliputi pembunuhan sengaja, semi sengaja dan kesalahan
disertai dengan rukun dan syaratnya. Sanksi pembunuhan, kemudian dibahas tentang
penganiayaan sengaaj dan penganiayaan tidak disengaja, pembuktiannya, sanksinya,
perzinahan, unsurnya, sanksinya, pembuktiannya, pelaksanaan hukuman, hapusnya hukuman
zina. Menuduh zina (qadzaf), minuman keras, pencurian, pembegalan (al hirabah),
pemberontakan (al baghyu), murtad,
Ada satu hal lagi yang belum dibahassecara mendalam oleh Dr. Abdul Kadir Audah yaitu
tentang jarimah takzir yang telah dibahas oleh Dr. Abdul Aziz Amir secara luas dalam bukunya
al-Taizir fi al-Syari’ah al-Islamiyah yang meliputi : Ta’zir terhadap jarimah qishash, diyat dan
jarimah hudud yang tidak memenuhi persyaratan untuk dijatuhi hukuman qishash, diyat atau
had. Takzir terhadap saksi palsu, spionase, uang suap, penghinaan, tidak melaksanakan
amanah, dan lain sebagainya.
Pengertian takzir adalah sanksi yang dibuat oleh Ulil Amri yang memiliki daya preventif
dan represif yang diancamkan kepada kejahatan-kjahatan hudud, qishash dan diyat yang tidak
memenuhi syarat, kejahatan yang ditentukan didalam al Qur’an dan Hadits yang ditentukan
didalam Al Qur’an dan Hadits yang tidak disebutkan sanksinya seperti penghinaan, tidak
melaksanakan amanah, dan kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk
kemaslahatan umum, seperti aturan lalu lintas.
d. Bidang Qadha atau Al Ahkam Al Murafaat
Fiqih Qadha ini membahas tentang proses penyelesaian perkra di pengadilan. Oleh
karena itu, unsur pokok yang dibahas adalah tentang hakim, putusan yang dijatuhkan, hak yng
dilanggar, penggugat dalam kasus perdata atau penguasa dalam kasus pidana dan tergugat
dalam kasus perdata atau tersangka dalam kasus pidana.
Pembahasan selanjutnya antara lain : syarat-syarat seorang hakim dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan hakim; Tentang pembuktian, seperti pengakuan, keterangan dan saksi,
sumpah, qarinah, keputusan hakim yang mujtahid, keputusan hakim mutabi, keputusan hakim
dengan mengikuti mazhab tertentu, keputusan haruslah adil, gugatan terhadap hak yang
dilanggar haruslah jelas, kedudukan yang sma antara tergugat dan penggugat, kedua-duanya
harus didengar keterangannya.
e. Bidang Fiqih Siyasah
Fiqih Siyasah membahas tentang hubungan antara seorang pemimpin dengan yang
dipimpinnya atau antara lembaga-lembaga kekuasaan didalam masyarakat dengan rakyatnya.
Oleh karena itu, pembahasan fiqih siyasah ini luas sekali, yang meliputi antara lain : 1).
Siyasah Dusturiyah yang membahas tentang hubungan rakyat dengan pemerintahnya 2).
Siyasah Maliyah yang membahas tentang perekonomian dalam masyarakat 3). Siyasah
Dauliyah yang membahas tentang hubungan-hubungan Internasional baik dalam keadaan
perang maupun dalam keadaan damai.
Fiqih Siyasah ini tampak mulai mendapat perhatian kembali setelah dunia Islam lepas
dari penjajahan dan dibahas baik oleh ulama-ulama di Mesir seperti : Diauddin al Rays, Abu
Zahrah, Yusuf Musa, Abdul Kadir Audah, atau di Pakistan seperti Muhammad Iqbal, Abdul
‘Ala al Maududi atau juga di Indonesia seperti Z.A Ahmad dan Hasby Ash-Shiddieqy.
B. Sumber-Sumber Fiqih
1. Al Qur’an
Pengertian Al Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Al Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan
bentuk mashdar dari kata qara’a yang bias dimasukkan pada wazan fu’lan yang berarti bacaan
atau apa yang tertulis padanya, maqru’ seperti terdapat dalam surat Al Qiyamah : 17-18 :

ۚ ٗ‫ا َِّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهٗ َوقُرْ ٰانَهٗ ۚ فَا ِ َذا قَ َر ْأ ٰنهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ ٰانَه‬
Artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannyam maka ikutilah bacaannya
itu.”
Adapun definisi Al Qur’an secara terminologi, menurut sebagian besar ulama Ushul
Fiqih adalah sebagai berikut :
‫كالم هللا تعالى المنزل على محمد صلى هللا عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواتر المكتوب بالمصاحف المتعبد‬
‫بتالوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بالسورة الناس‬
Artinya :
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah,
tertulis dalam mushaf; dimulai dari surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An Nas.
Contoh Dalil Alqur’an Menjadi Sumber Hukum
Q.S Al Baqarah ayat 2 :
َ‫ْب ۛ فِ ْي ِه ۛ هُدًى لِّ ْل ُمتَّقِ ْي ۙن‬ َ ِ‫ٰذل‬
َ ‫ك ْال ِك ٰتبُ اَل َري‬
Artinya : “Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa,”
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur’an ada tiga macam yaitu :
1) Hukum-hukum I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan
kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para Rasulullah dan
kepada hari akhir.
2) Hukum-hukum Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak.
Manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
3) Hukum-hukum ‘Amaliyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Hukum-hukum amaliah ini ada dua macam yaitu mengenai ibadah dan muamalah dalam
arti luas.
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam al Qur’an yang berkaitan dengan
bidang ibadahdan bidang al akhwal al syakhsiyah disebut lebih terperinci dibanding dengan
bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memrlukan
tuntunan yang lebih banyak dari Allah swt. Dalam hal ibadah dan pembinaan keluarga. Dari
pengalaman sejarah, manusia sering menyeleweng menjadi orang-orang yang menganggap
makhluk menjadi Tuhannya atau menyekutukan Tuhan. Hal ini adalah sesat dan perlu
diluruskan. Sedangkan keluarga adalah unsur terkecil dari masyarakat dan akan memberi
warna kepada masyarakat yang akan dibentuk.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum itu Al Qur’an bisa
diterapkan dalam berbagai macam masyarakat dan terhadap berbagai macam kasus sepanjang
zaman. Jadi, hukum-hukum yang bersifat umum itu memiliki daya fleksibilitas yang tinggi
dalam menghadapi berbagai macam perubahan masyarakat. Sedangkan perincian dari hukum-
hukumyang bersifat umum ini diserahkan kepada ijtihad para mujtahid, kemudian para ulil
amri, hasil ijtihad mana yang akan diterapkan sesuai dengan kemaslahatan masyarakatnya.
Dengan demikian hukum Islam memberikan peluang kepada masyarakat manusia untuk
berubah, maju dan dinamis, namun perubahan , kemajuan dan kedinamisannya harus tetap
dalam batas-batas prinsip-prinsip umumnya, prinsip-prinsip umum tersebut merupakan
pengarah menuju masyarakat yang baik yang ada dalam maghfirah dan ridho Allah swt.
Prinsip umum itu antara lain Tauhidullah, persaudaraan, persatuan dan keadilan.
Kebijaksanaan Al Qur’an dalam menetapkan hukum menggunakan prinsip-prinsip :
1. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan
2. Menyedikitkan tuntutan
3. Bertahap dalam menerapkan hukum
4. Sejalan dengan kemaslahatan manusia

2. As Sunnah
Arti sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa ditemukan dalam sabda Rasulullah saw yang artinya :
“Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima
pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.”
Secara terminologi sunnah menurut ulama ahli Ushul Fiqih adalah segala yang
diriwayatkan oleh Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan yang diberkaitan
dengan hukum. Seperti telah dijelaskan bahwa ayat-ayat Al Qur’an pada umumnya bersifat
kulli. Penjelasan-penjelasan lebih jauh dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan dalam Al
Sunah.
Oleh karena itu ada sunnah fi’liyah, sunnah qauliyah dan sunnah taqririyah. Sunnah
yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut,
tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.
Al Sunnah menjadi hujah, bisa dijadikan sumber hukum karena :
a. Allah menyuruh untuk taat kepada Rasulullah. Taat kepada Rasulullah adalah juga berarti
taat kepada Allah.
b. Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al Qur’an, seperti dijelaskan dalam
Firman Allah :
‫هّٰللا‬
َ ‫َم ْن يُّ ِط ِع ال َّرسُوْ َل فَقَ ْد اَطَا َع‬
"Barangsiapa yang mentaati Rasulullah sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (Q.S An
Nisa : 80)
c. Ijma Sahabat dan dibuktikan pula oleh Hadits Muadz bin Jabal yang menerangkan urutan-
urutan sumber hukum.
Adapun sebabnya Al Sunnah menjadi sumber hukum yang kedua adalah :
a. Wurudl Al Qur’an qath’I seluruhnya, sedangkan Al Sunnah banyak yang wurudlnya
dhanni.
b. Al Sunnah merupakan penjelasan terhadap Al Qur’an, yang dijelaskan sudah barang tentu
menempati tempat yang pertama, dan penjelasannya menempati tempat yang kedua.
c. Urutan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang menempatkan Al Sunnah
pada tempat yang kedua.
Adapun fungsi Al Sunnah terhadap Al Qur’an dalam huku adalah :
a. Al Sunnah berfungsi sebagai penjelas, memrinci yang mujmal mengkhususkan yang
umum. Seperti cara-cara shalat yang disebutkan dalam Sunnah, beberapa barang yang
wajib dizakati dan membatasi wasiat maksimal sepertiga harta.
b. Hukumnya sudah disebut dalam Al Qur’an kemudian Al Sunnah menguatkannya dan
menambahkannya. Seperti dalam kasus lian yang sudah dijelaskan dalam Al Qur’an
kemudian Sunnah menyebutkan wajibnya bercerai antara suami istri yang melakukan lian.
c. Al Sunnah memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al Qur’an seperti
keharaman memadu seorang wanita dengan bibinya, haramnya memakan binatang yang
bertaring.
Singkatnya hukum-hukum yang disebut dalam Al Sunnah, prinsip-prinsip umumnya dan
dasar pokoknya terdapat dalam Al Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi ta’arudl
(bertentangan) antara hukum-hukum dalam AL Sunnah dengan hukum-hukum dalam Al
Qur’an.
Adapun perbuatan-perbuatan Rasulullah yang merupakan khususiyat Rasulullah seperti
beristri lebih dari empattidak bisa dijadikan dasar hukum.
Seperti halnya Al Qur’an, Sunnah pun dalam penerapannya menganut prinsip-prinsip
tidak menyulitkan, menyedikitkan tuntutan dan pembebanan, bertahap dalam penerapan dan
sejalan dengan kemaslahatan manusia.
3. Ijma
Ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah saw atas sesuatu hukum syara dalam suatu kasus tertentu. Dari definisi
tersebut bisa ditarik beberapa pengertian tentang Ijma yaitu :
a. Terdapat beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan baru bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid.
b. Harus ada kesepakatan diantara mereka.
c. Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatannya misalnya Qodli
dengan keputusannya atau dengan perkataannya, misalnya denagn fatwanya.
d. Kebulatan penadapat orang-orang yang bukan mujatahid tidaklah disebut ijma.
Kemungkinan Ijma
Tentang kemungkinan adanya ijma terdapat perbedan pendapat dikalangan para ulama.
Ada yang mengatakan ijma dengan definisi tersebut diatas telah terjad dengan memberikan
contoh seperti memberikan 1/6 bagian warisan kepada nenek, dihijabnya ibnu ibni (cucu laki-
laki dari anak laki-laki) oleh anak laki-laki, saudara-saudara sebapak mempunyai status
mengganti saudara-saudara seibu sebapak. Batalnya pernikahan muslimah dengan nonmuslim.
Semua ini adalah ijam pada masa sahabat. Adapun ulama-ulama yang mengatakan tidak
mungkin terjadi ijma dengan alasan :
1. Kita sulit menentukan siapa yang disebut mujtahid itu.
2. Dengan tersebarnya para mujtahid diseluruh alam islami tidak mungkin mengumpulkan
mereka.
3. Tidak mungkin seorang mujtahid tidak berubah pendiriannya.
4. Tidak mungkin para mujtahid sepakat atas satu hal yang didasarkan kepada dalil yang
sifatnya dhani.
‘Abd al Wahab Khallaf membri komentar tentang masalah adnay kemungkinan ijma ini
sebagai berikut : “Ijma dengan definisi tersebut di atas memang tidak mungkin terjadi
apabilamasalahnya diserahkan kepada perorangan. Akan tetapi ijma bisa terjadi apabila
permasalahannya diserahkan kepada pemerintah yaitu dengan cara : setiap pemerintah
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk sampai ketingkat
mujtahid. Kemudian diberikan kewenangan-kewenangan kepada orang yang telah memenui
syarat ijtihad tadu untuk berijtihad. Dengan demikian setiap pemerintah mengatahui syarat-
syarat mujtahid bangsanya dan mengetahui bagaimana pendapatnya dalam suatu kasus
tertentu. Apabila setiap pemerintah telah mengetahui pendaapt para mujtahidnya, serta ada
kesepakatan dengan para mujtahid dari seluruh pemerintah di dunia Islam tentang hukum
suatu kasus tertentu, maka inilah ijma. Dan atas hukum yang telah ijma inii, seluruh kaum
muslimin wajib mengikutinya.
Sehubungan dengan ijma ini Prof. hasbi memberi komentar : “jika kita perhatikan benar-
benar cara Abu Bakar dan Umar menjalankan ijma, kita mendapat kesan, bahwa ijma ketika
itu tidak lain dari hasil permusyawaratan yang dilakukan oleh mereka yang dipandang dapat
mewakili rakyat atas perintah kepala negara.
Kalau kita lihat permasalahan-permasalahan yang timbul sekarang, ternyata ada masalah-
masalah yang sifatnya nasional, regional dan internasional. Pendapat ‘Abd al Wahab Khallaf
dan Prof. Hasbi ini tampaknya cukup realistis untuk dilaksanakan. Karena consensus para
ulama untuk pegangan umat dan untuk kepastian hukum adalah tetap sangat penting.
Macam-macam Ijma
Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma, maka Ijma bisa dibagi kepada
beberapa bagian :
1) Ijma al Ummat, ijma inilah yang dimaksud dengan definisi pada awal pembahasan ini.
2) Ijmaush Sahabat yaitu persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap sesuatu urusan.
3) Ijma Ahl Al Madinah yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Madinah terhadap suatu
kasus. Ijma ini bagi Imam Malik adalah hujjah.
4) Ijma Ahl Al Kuffah, ijma ini dianggap hujjah oleh Imam Abu Hanifah.
5) Ijma al Khulafa al Arba’ah, ijma ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar
hadits :
َ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنّتِي َو ُسنَّ ِة ْال ُحلَفَا ِء‬
َ‫الر ِش ِد ْين‬

“Kamu wajib mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahku” (H.R
Ahmad, Abu Daud dan At Turmudzi)”
6) Ijma Asyaykhayni yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum,
ijma ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadis yang diriwayatkan oleh At
Turmudzi :
‫اِ ْقتِدُوا بِالَّ ِذ ْينَ بَ ْع ِدى اَبِى بَ ْك ٍر َو ُع َم َر‬
“Ikutlah/teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”
7) Ijma al Itrah yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahlul bait.
Ditinjau dari cara terjadinya dalam martabatnya ijma ada dua macam :
1) Ijma al Sharih yaitu ijma dengan tegas persetujuan dinyatakan baik dengan ucapan
maupun dengan perbutaan. Jumhur telah sepakat bahwa ijma sharih itu merupakan hujjah
secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menetangnya. Apabila telah terjadi ijma
pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang dan
menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi.
2) Ijma Sukuti yaitu ijma dengan tegas persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid sedang
sebagian lainnya diam, tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang. Ijma sukuti
telah dipertentangkan kehujjahannya dikalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak
memandang ijma sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma. Diantara
mereka adalah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam
berbagai pendapatnya.
Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul Fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma adalah sah dijadikan
sebagai landasan hukum sebagaimana firman Allah Q.S An Nissa ayat 115 :
ࣖ ‫ص ْيرًا‬ ْ ‫ق ال َّرسُوْ َل ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْاله ُٰدى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر َسبِ ْي ِل ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ نُ َولِّ ٖه َما تَ َو ٰلّى َونُصْ لِ ٖه َجهَنَّ ۗ َم َو َس ۤا َء‬
ِ ‫ت َم‬ ِ ِ‫َو َم ْن يُّ َشاق‬
Artinya : “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan
yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu
seburuk-buruk tempat kembali.”

4. Qiyas
Banyak takrif qiyas yang dikemukakan para ulama, sesuai dengan pengamatan dan
tinjauannya masing-masing. Kalau kita perhatikan unsur-unsur qiyas yaitu : ashal, cabang,
hukum asal dan illat hukum.
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengn yang sejenisnya. Salah satu definisi qiyas adalah proses penyingkapan kesamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash dengan suatu hukum yang
disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.
Unsur-unsur/Rukun Qiyas
1) Ashal yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan, dalam
istilah ushul fiqih disebut Al Ashlu atau Al Maqis Alih atau Al Musyabah Bihi.

Ashal ini harus berupa nash, yaitu Al Qur’an, Al Sunnah atu Ijma. Disamping itu ashal ini
juga harus mengandung illat hukum.
2) Cabang yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu yang diqiyaskan. Dalam
istilah ushul fiqih disebut Al Fa’ru, Al Maqis atau Al Musyabah. Untuk cabang ini harus
memenuhi syarat :
- Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri.
- Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashal.
- Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashal.
- Hukum cabang sama dengan hukum ashal.
3) Hukum ashal yaitu hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi
hukum pada cabang. Untuk hukum ashal harus dipenuhi syarat-syarat :
- Hukum ashal harus merupakan hukum yang amaliah.
- Hukum ashal harus ma’qul al ma’na, artinya pensyariatannya harus rasional.
- Hukum ashal bukan hukum yang khusus. Hukum yang khusus seperti dilarang
menikah bekas istri Nabi.
- Hukum ashal masih tetap berlaku. Apanila hukum ashal sudah tidak berlaku lagi
misalnya sudah dimansukh maka tidak bisa dijadikan hukum ashal.
4) Ilat hukum yaitu suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah
dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum ini harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
- Illat itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindrai. Tanpa diketahui
dengan jelas adanya illat, kita tidak dapat mengqiyaskan.
- Illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti dapat dipastikan
wujudnya pada cabang.
- Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam arti illat tadi merupakan
penerpan hukm untuk mencapai maqasidu syari’ah.
- Illat bukan sifat yang hanya terdapat pada ashal, sebab apabila sifat itu hanya terdapat
pada ashal tidak mungkin dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah
tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain.
- Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nash-lah yang didahulukan.
Pembagian Illat
Ditinjau dri segi di’i’tibarkan atau tidaknya illat hukum oleh pembuat syara, ada 4
macam illat hukum :
1) Munasib Muatstsir yaitu munasib yang ditujukan oleh syar’i bahwa itulah illat hukum dan
hukum adalah atsarnya, oleh karen itu disebut al Munasib al Muatstsir .
2) Al Munasib Al Mula’im ialah munasib yang tidak di’i’tibarkan syara dengan dzatnya,
tetapi ada dalil lain baik nash atau ijma yang menunjukkan bahwa munasib tersebut adalah
illat hukum.
3) Munasib Mulgha yaitu sesuatu yang sepintas lalu menimbulkan persangkaan bahwa hasil
tersebut menimbulkan hikmah, tetapi ada dalil syara bahwa munasib tersebut tidak diakui
syara dan dilarang syara.
4) Al Munasib Al Mursal yaitu sesuatu yang jelas bagi mujtahid bahwa menetapkan hukum
asasnya mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi tidak ada dalil yang menunjukkan secara
terperinci bahwa syara melarang atau memperbolehkannya, soal ini di kalangan ahli Ushul
disebut dengan al Mashlahah al Mursalah.

C. Kaidah-kaidah Fiqih
Sesungguhnya secara rinci materi fiqih itukembali kepada ratusan kaidah fiqih, namun
yang penting diketahui ada lima kaidah fiqih yang dianggap oleh sebagian ulama yang menjadi
dasar dan prnsip umum dari seluruh materi fiqih. Kaidah-kaidah itu adalah :

ِ ‫)اَاْل ُ ُموْ ُر بِ َمقَا‬


1) Setiap perkara itu menurut maksudnya (‫ص ِدهَا‬

Dasar kaidah:
َ ‫اب ال ُّد ْنيَا نُؤْ تِ ِه ِم ْن َها َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو‬
‫اب اآْل َ ِخ َر ِة نُؤْ تِ ِه ِم ْن َها‬ َ ‫ َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو‬         ·
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat.
ِ ‫إنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬         ·
‫ت‬
Artinya: segala perbuatan tergantung pada niat.

Menurut As-Suyuthi, kaidah fiqh ini masuk dalam berbagai persoalan fiqh; baik fiqh
ibadah, maupun mu'amalah.
Dalam fiqih jinayah ada perbuatan yang sengaja dan ada pula yang tidak disengaja,
misalnya pembunuhan, pelukaan atau pemukulan. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang
dilakukan dengan niat. Sedangkan yang tidak disengaja tidak ada niat. Dalam fiqih muamalah,
setiap akad yang diucapkan dengan kata-kata kinayah (kiasan), maka keabsahannya
dikembalikan kepada niat, yaitu apa yang dimaksud atau diniatkan oleh si pelaku tersebut.
Bahkan sering diucapkan dengan tegas, tetapi maksudnya lain. Seperti “Saya pinjamkan
barang ini kepadamu selama sebulan dengan bayaran sekian”. Dalam hal ini meskipun yang
diucapkan pinjaman, tetapi karena ada bayaran, maka yang dimaksud mestilah sewa-
menyewa.
ِّ ‫)اَ ْليَقِيْنُ اَل يُ َزا ُل بِال َّش‬
2) Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan (‫ك‬
Contohnya : Apabila ia yakintelah berwudhu, kemudian sesudah lama dtang
keraguanapakah sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebalinya :
Apabila ia yakin belum wudhu sebelumnya, sesudah lama timbul keraguan apakah sudah
wudhu atau belum, maka ia tetap dalam keadaan berhadats.
3) Kesukaran itu mendatangkan kemudahan (‫) اَ ْل َم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَّ ْي ِس َر‬
Contoh untuk kaidah ini banyak sekali diantaranya, boleh batal puasa apabila bepergian,
adanya aturan jama dan qasar dalam shalat, adanya aturan shalat bagi yang sakit dan lain
sebagainya. Dalam muamalah boleh melakukan jual beli untuk barang-barang yang tidak
seberapa harganya tanpa ijab qabul. Apabila tidak ada saksi yang betul-betul adil boleh
menggunakan saksi yang kurang keadilannya. Apabila tidak bisa dijatuhkan hukuman had
karena tidak memenuhi syarat, maka dijatuhkan hukuman ta’zir.
4) Kemudharatan itu harus dihilangkan (‫)الض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َ
Kaidah ini mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari
kemudharatan tersebut. Contohnya : seperti makan barang yang haram karena terpaksa, tidak
ada makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Adanya aturan al khiyar dalam
muamalah. Adanya kebolehan membela diri dalam jinayah. Membuka aurat sesuai yang
diperlukan untuk pengobatan penyakit yang membahayakan kepada jiwa.
Syarat-syarat penting yang harus diperhatikan agar tidak melampaui batas dalam
menerapkan kaidah ini adalah : 1. Kemudharatan itu benar-benar terjadi bukan diperkirakan
akan terjadi 2. Dalam keadaan darurat yang dibolehkan itu hanya sekadarnya saja 3.
Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lain yang sama tingkatannya.
Tidak boleh orang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati
karena kelaparan.
5) Adat itu bisa ditetapkan sebagai hukum ( ٌ‫) اَ ْل َعا َدةُ ُمحْ َك َمة‬
Misalnya menentukan waktu terpendek atau terpanjang dari haid, menentukan cacatnya
barang yang diperjual belikan dalam kasus Khiyar al Ayb . hakim tidak boleh menerima
hadiah, kecuali dari orang yang telah biasa memberikan hadiah kepadanya dan tidak boleh
lebih dari hadiah yang biasa diberikan.
D. Metode Ilmu Fiqih
Dalam istilah ilmu Ushul Fikih metode penemuan hukum dipakai dengan
istilah ”istinbath”,  yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan
kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. Imam Al-Ghazali dalam
kitabnya”Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan judul ”Thuruqul Istitsmar”. Jika
dilihat tujuan mempelajari Ushul Fikih maka password yang paling penting dalam
mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah
cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.

Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-


cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-
kaidah Ushuliyah lainnya. Ahli Ushul Fikih menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan
hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah  dan
kaidah lughawiyah.
1. Kaidah syar‟iyyah.

Kaidah syar‟iyyah  ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟ dalam menetapkan


hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek huku (mukallaf). Selanjutnya perlu juga
diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan
dalil, tujuan penetapan hukum dan sebaginya.

2. Kaidah lughawiyah.

Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun uslub-


nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum. Kaidah ini
berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul
dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.

Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam
dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fikih. Usha memperoleh ketentuan
hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat
dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau
Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung
dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum
ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.

Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami
bahasa dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki pengetahuan
bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan. Dari sinilah dapat
diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari
oleh setiap orang yang ingin berijtihad.

Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi

1. Metode bayani (hermaneutika)

Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan
hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses mencari
kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan
komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian
makna (al-tablig). Dalam perkembangan hukum bayani atau setidaktidaknya mendekati sebuah
metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang
bermakna “mengartikan‟, “menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai
penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang
maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu
proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih
jelas/konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari
pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal
dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm ta’wil dan ilm al
bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam
wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟
ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al Quran” sebagaimana padanan kata
dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam
wacana ilmu keislaman adalah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa
Arab; fassara  atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi
(penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.

Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering kali disinonimkan


pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟. Al-Tafisr berkaitan dengan
interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-ta’wil lebih merupakan isnterprestasi
dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsiran metaforis
terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk menyingkap sesuatu yang
samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau
sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan
gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis.

Hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni
menginprestasikan (the art pf interprestation) “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian
memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek
yang ditafsirkan. Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta
hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun
berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik
menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan
kontekstualisasi.

Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan


hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang
memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini
dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para
yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis
atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata
berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan
paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji
hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna
dan/atau para pencari keadilan.

Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna


sekaligus: Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks
hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan
isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan
semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi
dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran
spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-
kaidah dan fakta-fakta.
2. Metode ta’lili

Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum yang bertumpu
pada penentuan ‘‘illah-‘‘illah hukum (suatu yang menetapkan adanya hukum) yang terdapat
dalam suatu nash.

Berkembangnya corak penalaran tak’lili ini karena didukung oleh suatu kenyataan
bahwa nash Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian
di iringi dengan penyebutan ‘‘illah-‘‘illah hukumnya. Atas dasar ‘‘illah yang terkandung di
dalam suatu nash permasalahan-permasalahan hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid
pemecahanyya melalui penalaran terhadap ‘‘illah yang ada dalam nash tersebut. Dalam
perkembangan pemikiran ushul fikih, yang termasuk dalam corak penalaran ta’lili ini adalah
metode qiyas dann istihsan, dimana uraian dari kedua hal tesebut yaitu:

Qiyas

Secara etimologi kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan arti qiyas menurut terminologi  terdapat beberapa
definisi yang berbeda-beda, diantaranya:

Pertama:  AL-Ghazali dalam al-Mustasfa memberikan definisi qiyas yaitu


menanggungkan sesuatu yang di kehendaki kepada sesuatu yang di ketahui dalah hal penetapan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum pada keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum/sifat atau peniadaan hukum/sifat.

Kedua:  Muhammad abu zahrah mendfinisikan Menghubungkan sesuatu perkara yang


tidak ada nash tentang hukum nya kepada perkara lain yang ada nash hukum nya karena
keduannya berserikan dalam ’’illah hukum nya.

Ketiga: Ibn as-Subki dalam kitabnya jam’u al-Jawami memberikan definisi qiyas adalah
menghubungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan
dalam ‘‘illah hukum nya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).

Dari penafsiran di atas dapat di definisikan qiyas adalah pempersamakan peristiwa


hukum yang tidak di terntukan hukum nya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang telah
ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukum nya sama dengan hukum yang ditentukan nash.

Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa sema hukum syara’ yang dibawa oleh nash itu,
disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan kepentingan manusia, bukan tanpa tujuan.
Apabila hukum-hukum itu termasuk kategori yang takterdapat jalan bagi akal mencari
kemaslahatan yang detail yang perlu diwujudkan oleh penetapannya sseperti hukum ibadah,
maka hukum ini disebut dengan ta’abbudi yang diharuskan pelaksanaanya pelaksanaannya
menurut ketentuan yang dibwa oleh nash. Tetapi apabila hukum-hukum yang
dibawa nash termasuk kategori terdapat peluang akal mencari kemaslahatan yang menjadi
tujuan dan ‘‘illah yang melandasinya, maka subjek hukum (mukallaf) melaksanakannya atau
memperlakukannya pada semua peristiwa hukum yang dicakup oleh nash itu dan para mujtahid
berkewajiban mengetahui maslahat yang menjadi tujuansyara’ menetapkannya serta
mengetahui ‘illah hubungan itulah terwujudnya maslahat. Sehingga apabila dihadapkan kepada
mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari peristiwa yang disebutkan nash dan mereka
mendapatkan kejelasan bahwa didalamnya terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan
hukum nya oleh nash karena maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.

Adapun cara mengetahui ‘illah ada beberapa macam diantaranya dengan nash itu
sendiri yaitu apabila nash–nash Alquran atau hadis telah menunjukan bahwa ‘illah hukum nya
adalah sifat yang disebut nash–nash itu sendiri, maka sifat yang disebut itulah yang menjadi
‘illah hukum nya dan disebut manshushah’alaihi.  Mengqiyaskan hukum suatu dengan hukum
yang ‘illah hukum nya telah disebutkan oleh nash itu sendiri, pada hakikatnya adalah
menetapkan hukum sesuatu pada nash.  Dallalah nash (penunjukan nash) bahwa sifat yang
disebutkan oleh nash adalah ‘illah hukum nya itu, kadang-kadang sharihah (jelas sekali) atau
secara Ima (Isyarat). Syarihah ialah dalalah lafadz nash kepada ‘illah hukum dengan
penunjukan secara jelas sekali disebutkan: ‘illah-nya adalah demikian atau sebabnya demikian.

contoh hadis yang mengqiyaskan perbuatan hukum:

‫اليرث القا تل‬:

“si pembunuh tidak mewarisi orang yang di bunuhnya”

Hadis ini menunjukan (hukum) terhalangnya kewarisan pada peristiwa hukum (waris
yang membunuh pewarisnya). Maka apabila dengan Ijtihadnya seorang mujtahid sampai
kepada kesimpulan bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan oleh syara’ menetapkan
hukum “tidak mendapat hak waris seseorang yang mempercepat sesuatu sebelum waktu dan
terhalangnya seorang pelaku pidana kejahatan mendapatkan hasil (akibat hukum) dari
kejahatannya, serta sampai pula kepada kesimpulan ‘illah yang jelas dijadikan syara’ sebagai
hubungan hukum (bet rekking recht) berupa pembunuhan karena didalamnya menghubungkan
halangan warisan dengan sebab pembunuhan itulah terwujudnya kemaslahatan tersebut.

Sedangkan asas qiyas adalah menta’lilkan hukum nash, Ta’lil hukum nash maksudnya


ialah menyatakan asas yang dijadikan landasan oleh syara’ menetapkan hukum nya pada nash.
Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa Syari’ah tidaklah menetapkan sesuatu hukum secara
kebetulan tanpa sebab yang menuntutnya dan tanpa maslahat yang menjadi sasarannya.

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagai istimbath ta’lili merupakan
upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta’lili
harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan maqashid asy-syari’ah baik yang berkaitan
dengan kemasyarakatan, ekonomi, politik dan moral. Pertimbangan maqashid asy-syariah
menjadikan metode qiyas lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan hukum.
Istihsan

Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh para alim ulama,
meskipun dalam kenyataanya, semua ulama menggunakannya, para ulama menggunakannya
secara praktis. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat
sesuatu yang lebih baik atau mengikuti suatu yang lebih baik.

Sedangkan secara istilah menurut ahli ushul dari kalangan Hanafiah, Malikiah dan
Hanabilah dalam mendefinisikan istihsan adalah berpindah dari suatu ketentuan terhadap
beberapa peristiwa hukum kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan
hukum dari ketentuan yang lain, menyisihkan hukum dari ketentuan hukum umum yang
mencakupnya ataupun mentakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum. Sedangkan
dari ulama ushul yaitu perpindahan dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekwensi
dari suatu dalil syara; terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain
terhadapnya, karena disebut sebagai sanad istihsan, maka sebenarnya istihsan itu adalah
mentarjihkan /mengumpulkan suatu dalil dari dalil yang menentangnya disebabkan adanya
murajjih/faktor yang mengunggulkannya yang diakui (mu’tabar-respectable).

Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan
menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu menggunakan
qiyas, dalam bentuk hukum kulli atau dalam kaidah umum, sebagai gantinya ia menggunakan
dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih kuat. Atau nash yang ditemukannya atau
urf yang berlaku, atau keadaan darurat atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena
dengan cara itulah seorang mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak
mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.

3. Metode istislahi

Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-
prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis. Artinya kemaslahatan yang
dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber
hukum terssebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat
atau hadis secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan
pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.

Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran istihlahi ini tampak dalam
beberapa metode ijtihad,antara lain dalam metode al-mashlahah  al-mursalah dan saddudz-
dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak penalaran istihlahi dengan kedua metode tersebut.

Al-mashlahah al-mursalah

Secara etimologi mashlahah  barasal dari kata shaluha di gunakan untuk menunjukan


jika sesuatu atau seorang menjadi baik, tidak korupsi, benar, adil,shalih, jujur atau secara
alternatif untuk menunjukan keadaan yang mengandung kebajikan-kebajikan tersebut. ketika
dipergunakan dengan bersama preposisi Li, shaluha akan memberikan pengertian kesserasian,
dalam pengertian rasionalnya maslhahah berarti sebab, cara atau suatu yang bertujuan baik. Ia
juga berarti sesuatu permasalahan atau bagian dari urusan yang menghasilkan kebaikan yang
dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.

Dalam pengertian secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama yang
ketika di analisis hakikatnya sama yakni:

Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang


mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat dari mashlahah  adalah
memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’ dalam  penetapan hukum itu ada lima yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Sedang menurut Asy-syatibi mengartikan mashlahah  dari dua pandangan yaitu dari


terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’
kepada mashlahah. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataannya berarti “sesuatu yang
kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang
dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah seccara mutlak”.  Sedangkan dari tergantungnya
tuntutan sayara’ kepada mashlahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan
hukum syara’ untuk menghasilkannya Allah menuntut manusi untuk berbuat. 

Adapun mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam


bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan bahwa ia merupakan bagian
dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas secara etimologi maupun
secara terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam
bentuk kata dasar ketiga,yaitu ‫ رسل‬dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya sehingga
menjadi ‫ ارسل‬yang secara bahasa berarti terlepas, jika di hubungkan dengan
kata mashlahah maksudnya adalah terlepas dari boleh atau tidaknya dilakukan. Sedang
menurut istilah yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada
pula petunjuk syara’ yang menolaknya.

Saddudz-dzara’i (dzari’ah)

Secara harfiah Saddudz-dzara’i terdiri atas dua kata yakni sad yang berarti penghalang


atau sumbat dan dzariah  yang artinya jalan. Oleh karenanya Saddudz-dzara’i dimaksudkan
sebagai menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau
maksiat. Tujuan penetapan melalui metode ini adalah untuk memudahkan tercapainya
kemaslahatan dan jauh kemungkinan memudahkan terjadinya kerusakan. Metode ini disebut
sebagai metode preventif mencegah sesuatu sebelum terjadinya suatu yang tidak diinginkan.
Keberadaan dzariah  ini dilandaskan pada Alquran misalnya pada firman Allah:

ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَقُولُوا َر‬


‫اعنَا َوقُولُوا ا ْنظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”,
tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”“ (QS al-baqarah: 104)

Larangan ini di turunkan disebabkan ucapan “Raa`ina”, oleh kaum yahudi digunakan


untuk mencaci Nabi. Maka kaum muslimin dilarang mengucapkannya untuk menghindartakan
timbulnya dzari’ah. Metode ini tidak hanya bersifat menghindarkan kerusakan
namun dzari’ah  juga untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan inilah yang
menjadi parameter prinsib digunakannya dzari’ah.  jika kerusakan lebih besar dari manfaatnya
maka hukum terhadap hal itu melalui dzari’ah akan menjadi dilarang.

4. Metode Istishab

Menurut ulama fikih istishab berarti apa yang ada pada masa lalu dipandang masih ada
pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus menetapkan apa yang telah ada dan
meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil yang mengubahnya.

‫ما ثبت بزمانويحكم ببقا ئه‬

“Apa yang telah diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama belum ada dalil
yang mengubahnya).”

Alasan penggunaan istishab sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i hukum-hukum


syara’ berlaku sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Abu
zahrah mencotohkan dengan minuman anggur yang memabukan yang haram berdasarkan
syara’, namun jika kemudian minuman anggur itu  berubah wujud sehingga unsur yagn
memabukan itu hilang, misalnya menjadi cuka, maka hilang pulalah keharamnnya.

Istishab ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara.


Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum, misalnya
ketika terdapat perkara yang tidak ada nash  hukum nya (setelah melalui proses ijtihadiah)
maka akan ditetapkan kebolehannya dengan berdasarkan pada kaidah:

‫ان االصل فى االثياءاالبا حة‬

“sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”

Kaidah ini diambil dari nash  yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah menaklukan apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Dan sesuatu yang ada di bumi
tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan bagi manusia kecuali apabila sesuatu
diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang atas mereka maka suatu itu
tidaklah diperuntutkan bagi mereka.
Dari pemaparan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep penemuan hukum oleh Juris
Islam terutama dipelopori aliran system hukum  terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu
peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-katanya guna
direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena
dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau
hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya, maka metode penemuan hukum
dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata
terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang pada bunyi teks.

Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena
memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang timbul
dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena
ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya. Hal ini
berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru persoalan fikih
merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fikih ibadah dan mu‟amaliyah.

E. Prinsip Dasar Fiqih

Al Qur’an sebagai dasar agama Islam memuat beberapa macam perilaku orang
mukallaf. Pertama: perilaku vertikal yaitu urusan manusia dengan Tuhannya (Ibadah), kedua:
perilaku horisontal yaitu urusan manusia dengan manusia (Mu’amalah). Maka, fiqh sebagai
produk dari Al-Quran ikut serta mengatur perilaku-perilaku tersebut.
Kaidah atau prinsip-prinsip dalam fiqh menghimpun seluruh persoalan fiqh. Menurut
Imam An-Nadwi prinsip-prinsip fiqh adalah dasar-dasar fiqh yang mencakup berbagai hukum-
hukum syari'ah dari berbagai bab pembahasan fiqh. Dengan berlandasan pada Al Quran dan As
Sunnah, maka lahirlah lima prinsip universal yang menjadi rujukan permasalahan-
permasalahan Fiqh ( baik Fiqh Ibadah maupun Muamalah ). Imam As Suyuthi dalam
kitabnya Al-Asybah wannadzoir menyebutkan: agama islam dibangun atas lima dasar/asas,
maka fiqhpun dibangun atas lima dasar, yaitu:
ِ ‫اأْل ُ ُمور بِ َمقَا‬ (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
1.   ‫ص ِدهَا‬
Dasar kaidah:
َ ‫اب ال ُّد ْنيَا نُؤْ تِ ِه ِم ْن َها َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو‬
‫اب اآْل َ ِخ َر ِة نُؤْ تِ ِه ِم ْن َها‬ َ ‫َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو‬
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat.
ِ ‫إنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ت‬
Artinya: segala perbuatan tergantung pada niat.

Menurut As-Suyuthi, kaidah fiqh ini masuk dalam berbagai persoalan fiqh; baik fiqh
ibadah, maupun mu'amalah.
Contoh dalam fiqh ibadah: Seseorang yang melakukan shalat dua raka'at misalnya,
maka perbuatan shalat tersebut tergantung pada niat di dalam hatinya; apakah untuk shalat
fardhu; atau sunnah; qashar atau penuh, sunnah tertentu atau sunnah muthlak. Semua
tergantung pada niat yang ada di hati pelaku.
Contoh dalam persoalan mu'amalah: Seseorang yang mengarnbil barang temuan. Jika ia
mengambil dengan niat menyimpannya untuk dicarikan pemiliknya dan dikembalikan
kepadanya, maka berlaku `yad al-amanah' atau penguasaan karena kepercayaan. Sehingga, jika
terjadi kerusakan pada barang tersebut yang tidak ia sengaja, maka tidak diminta menanggung
kerusakan tersebut. Tetapi jika niat mengambilnya untuk memiliki, maka yang berlaku
adalah `yad adh-dhaman' atau penguasaan yang harus ditanggung. Sehingga, ia berkewajiban
untuk menanggung segala kerusakan yang terjadi pada barang yang diambilnya, apapun sebab
yang menimbulkan kerusakan tersebut.

2. ِّ‫ (ا ْليَقِين اَل يُزَ ال بِالشَّك‬keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keraguan).
Dasar kaidah ini:
‫وتا أو‬hh‫مع ص‬hh‫تى يس‬hh‫رف ح‬hh‫دث فال ينص‬hh‫إن الشيطان ليأتى أحدكم وهو فى صالته فيأخذ بشعرة من دبره فيمدها فيرى أنه أح‬
‫يجد ريحا‬

Artinya: Sesungguhnya setan akan mendatangi salah satu kalian dalam sholatnya. Kemudian
setan mengambil rambut dari duburnya (musholli) dan memanjangkannya, sehingga ia
melihat bahwa dirinya berhadats. Maka janganlah berpaling, sampai mendengar suara atau
menemukan bau.

Contoh dalam permasalahan ibadah: Apabila seseorang meyakini dirinya dalam


keadaan suci, kemudian muncul keraguan bahwa dirinya berhadats, maka ia dalam keadaan
suci. Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah mencapai tiga atau empat rokaat, maka
tiga rokaat yang dianggap karena lebih diyakini
Contoh dalam permasalahan muamalah. Seorang penjual mobil menyatakan kepada
pembeli bahwa mobil yang dijualnya dalam kondisi yang baik, kemudian si pembeli
membelinya. Di lain hari pembeli komplin dan menyatakan bahwa terdapat cacat pada mobil
tersebut. Maka, ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si penjual.

َ ‫ا ْل َم‬ ( masyaqqot / kesulitan menarik kemudahan).


ِ ‫شقَّة ت َْجلِب التَّ ْي‬
3. ‫سير‬
Dasar kaidah:
ْ ‫س َر َواَل يُ ِري ُد بِ ُك ُم ا ْل ُع‬
‫س َر‬ ْ ُ‫يُ ِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ا ْلي‬
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
 ‫ج‬ ِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد‬
ٍ ‫ِّين ِمنْ َح َر‬
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
َّ ‫بُ ِع ْثتُ ِبا ْل َحنِيفِيَّ ِة ال‬   :‫سلَّ َم‬
‫س ْم َح ِة‬ َ ‫َوقَا َل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Artinya: Rosulullah SAW bersabda “Aku diutus dengan membawa agama yang mudah“

Contoh dalam masalah ibadah: Seseorang yang tidak mampu melaksanakan sholat
fardlu dengan berdiri, maka ia diperbolehkan melakukannya dengan duduk. Jika tidak bisa,
maka boleh dengan tidur miring dan seterusnya.
Jika tidak menemukan air untuk dipakai berwudlu’, atau kesulitan menggunakan air
sebab sakit, maka boleh mengganti wudlu’ dengan tayammum.
Contoh dalam mu’amalah: Jika seorang perempuan yang tengah melaksanakan
perjalanan, dan ia tidak menemukan wali untuk menikahkannya, maka ia boleh menentukan
orang laki-laki sebagai walinya.

4.   ‫ض َرر يُزَ ال‬


َّ ‫ال‬ ( madlarrat harus dihilangkan ).
Dasar kaidah:
ِ ‫سدُوا فِي اأْل َ ْر‬
‫ض‬ ِ ‫َواَل تُ ْف‬
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
َ ‫سلَّ َم { اَل‬
ِ ‫ض َر َر َواَل‬
} ‫ض َرا َر‬ َ ‫قَ ْوله‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Artinya: Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain).

Contoh dalam ibadah: Ketika seseorang ingin pergi ke masjid untuk melaksanakan
sholat jum’at, sementara di jalan ada perampokan dan dikhawatirkan keselamatannya, maka
diperbolehkan baginya untuk sholat di rumah.
Contoh dalam muamalah: Seorang pembeli boleh melaksanakan khiyar sebab
ditemukannya cacat pada barang yang dijual. Boleh bagi laki-laki maupun perempuan untuk
merusak pernikahan sebab adanya cacat

5. ٌ‫ا ْل َعادَة ُم َح َّك َمة‬ ( kebiasaan bisa dijadikan hukum ).


Dasar kaidah:
ِ ‫ُخ ِذ ا ْل َع ْف َو َو ْأ ُم ْر بِا ْل ُع ْر‬
ْ ‫ف َوأَ ْع ِر‬
َ‫ض َع ِن ا ْل َجا ِهلِين‬
Artinya:Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.

َ ‫سنًا فَ ُه َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح‬


} ٌ‫سن‬ ْ ‫سلَّ َم { َما َرآهُ ا ْل ُم‬
َ ‫سلِ ُمونَ َح‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫لِقَ ْولِ ِه‬
Artinya: segala hal yang dipandang baik oleh orang muslim, maka disisi Allahpun baik.

Contoh dalam ibadah:  Ketentuan minimal dan maksimalnya masa haid, nifas bagi
perempuan tergantung pada kebiasaan.
Contoh dalam muamalah: Pembayaran makanan dilakukan setelah selesai
makan.   Penggunaan ATM dalam bertransaksi.

Lima prinsip diatas merupakan prinsip pokok bagi fiqh baik ibadah maupun
mu’amalah. Jika kita ambil garis besar dari prinsip diatas, maka bisa kita fahami bahwa
masing-masing fiqh ibadah maupun mu’amalah memiliki prinsip dan karakteristik yang
berbeda.

Prinsip Fiqh Ibadah


Fiqh ibadah mempunyai beberapa prinsip tersendiri yang membedakannya dari fiqh
mu’amalah, prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1) ‫األصل في العبادات التعبد‬
Prinsip dasar ibadah adalah ta'abbud (penghambaan kepada Allah). Dalam arti
menjalankan perintah dan menjahui larangan Allah apa adanya tanpa mempertanya-
kan illat, hikmah dan maslahahnya. Allah SWT berfirman:
َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ا ْل ِجنَّ َواإل ْن‬
‫س إِال لِيَ ْعبُدُو ِن‬
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku.

Segala sesuatu yang diperintah maupun dilarang Allah, pasti mengandung nilai
kemaslahatan bagi hambaNya. Contoh:
         Larangan Allah berupa makan babi.  Ilmu kedokteran mengetahui bahwa ada resiko besar
atas banyak macam penyakit. Babi diketahui sebagai inang dari banyak macam parasit dan
penyakit berbahaya.
         Larangan berzina. Perzinahan menyebabkan perwalian anak tidak bisa mengikuti pada
ayahnya. Dan hal ini akan berdampak pada kehidupan sosialnya.
         Perintah Allah untuk melaksanakan sholat tahajjud. Waktu malam hari adalah salah satu
waktu dikabulkannya doa.
ُ‫إِ َّن ِمنَ اللَّ ْي ِل َسا َعةً اَل يُ َوافِقُهَا َع ْب ٌد ُم ْسلِ ٌم يَسْأ َ ُل هّللا َ خَ ْيرًا اِاَّل أَ ْعطَاهُ إِيَّاه‬
Selain itu tahajjud memiliki energi positif bagi daya tahan tubuh seseorang, seperti:
Tahajjud mencegah pembekuan lemak, mencegah penyakit mata dll.
2) ‫إن هللا ال يعبد إال بما شرع‬
Ibadah kepada Allah harus dengan bentuk dan tata-cara yang ditetapkan dan ditentukan
oleh Allah sendiri. Amal ibadah dengan tata-cara dan bentuk dari hasil kreasi manusia adalah
bid’ah.
َ ‫ا لَ ْي‬h‫ َذا َم‬hَ‫ا ه‬hhَ‫َث فِ ْي أَ ْم ِرن‬
‫ َو‬h‫هُ َف ُه‬h‫س ِم ْن‬ َ ‫ د‬h‫ ( َمنْ أَ ْح‬: ِ‫ ْو ُل هللا‬h‫س‬ َ ِ‫عَنْ أُ ِّم ال ُمؤ ِمنِينَ أُ ِّم َع ْب ِد هللاِ عَائ‬
ِ ‫ َر‬- َ‫شة‬
ُ ‫ قَا َل َر‬: ْ‫ قَالَت‬- ‫ض َي هللاُ َع ْن َها‬
)ٌّ‫س َعلَ ْي ِه أَ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬ َ ‫ وفي رواية لمسلم ( َمنْ َع ِم َل َع َمالً لَ ْي‬،‫ رواه البخاري ومسلم‬ )ٌّ‫َرد‬
Setiap ibadah yang kita lakukan harus berdasarkan pada Al Quran, As Sunnah. Ijma’
maupun Qiyas. Ketika turun perintah sholat didalam Al Qur’an, dan al Quran tidak
menyebutkan tata cara pelaksanaannya, maka As Sunnahlah yang berperan dalam memberi
penjelasan mengenai hal tersebut. Sesuai sabda Nabi:
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”.

3) ‫العبرة في العبادات بالمباني والمعاني‬


Dalam Ibadah, format (dzohir) dan hakikat (bathin) harus berjalan seiringan. Shalat
misalnya, dimensi luarnya adalah gerakan-gerakan mulai dari mengangkat tangan, berdiri,
rukuk, sujud sampai pada menolehkan wajah ketika salam, dan bacaan-bacaan mulai dari do’a
iftitah, fatihah sampai pada salam. Sedangkan dimensi hakikatnya
adalah khusyû’ dan khudlû’ kepada Allah SWT.
َ‫ؤْ ِمنِين‬h‫انَتْ َعلَى ا ْل ُم‬h‫اَل ةَ َك‬h‫الص‬
َّ َّ ‫أَقِي ُموا‬hَ‫أْنَ ْنتُ ْم ف‬h‫إ ِ َذا ا ْط َم‬hَ‫وبِ ُك ْم ف‬hُ‫اذ ُك ُروا هَّللا َ ِقيَا ًما َوقُ ُعودًا َو َعلَى ُجن‬
َّ‫اَل ةَ إِن‬h‫الص‬ ْ َ‫صاَل ةَ ف‬ َ َ‫فَإ ِ َذا ق‬
َّ ‫ض ْيتُ ُم ال‬
‫ِكتَابًا َم ْوقُوتًا‬
Artinya: Selanjutnya, apabila kamu telah mneyelesaikan sholat(mu) ingatlah allah ketika
kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa
aman, maka laksanakanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, sholat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Prinsip Fiqh Mu’âmalah


Sebagaimana fiqh ibadah, fiqh mu’amalah pun memiliki beberapa prinsip dalam
pemberlakuan hukumnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1) ‫بناؤه على أساس المبادئ العامة‬
Fiqh mu’âmalah dibangun di atas prinsip-prinsip universal (al-mabâdi` al-âmmah), seperti
nilai-nilai keadilan (al-‘adâlah), kesetaraan (al-musâwah),     musyawarah (al-syûrâ),saling
membantu (al-ta’âwun), dan toleransi (al-tasâmuh).   Dengan basis prinsip-prinsip tersebut,
tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan. Dasar dalil prinsip
diatas adalah:
         Keadilan:
‫س أَنْ ت َْح ُك ُموا بِا ْل َعد ِْل‬ ِ ‫إِنَّ هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَنْ تُ َؤدُّوا اأْل َ َمانَا‬
ِ ‫ت إِلَى أَ ْهلِ َها َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا‬
         Saling membantu:
ِ ‫اونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َوا ْل ُع ْد َو‬
‫ان‬ َ ‫َوتَ َعا َونُوا َعلَى ا ْلبِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َواَل تَ َع‬
         Kesetaraan dan toleransi
َ ‫إنَّ هَّللا َ يَأْ ُم ُر بِا ْل َع ْد ِل َواإْل ِ ْح‬
َ‫سا ِن َوإِيتَا ِء ِذي ا ْلقُ ْربَى َويَ ْن َهى َع ِن ا ْلفَ ْحشَا ِء َوا ْل ُم ْن َك ِر َوا ْلبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬

         Musyawarah:
َ ‫صاَل ةَ َوأَ ْم ُر ُه ْم ش‬
َ‫ُورى بَ ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَا ُه ْم يُ ْنفِقُون‬ َّ ‫ست ََجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬
ْ ‫َوالَّ ِذينَ ا‬

2) ‫األصل فى المعامالت اإللتفات الى المعاني‬


Prinsip fiqh mu’âmalah adalah mengutamakan substansi daripada format. Dalam
transaksi jual beli, misalnya, sangat diperhatikan prinsip tarâdlin (suka sama suka) sebagai
substansi. Sedangkan ijab-qabul (peryataan verbal) tak lain adalah format yang
memanifestasikan tarâdlin. Dalam mu’âmalah dimensi luar bisa berubah sesuai dengan
perkembangan peradaban umat manusia.
ْ
ٍ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اَل تَأ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اض ِم ْن ُك ْم‬

3) ‫األصل فى المعامالت اإلباحة‬


Pada dasarnya mu’âmalât adalah diperbolehkan (al-ibâhah). Ini berarti, untuk
membolehkan suatu praktik mu’âmalah tidak diperlukan dalil yang membolehkannya, baik
nash Al-Quran maupun nash Al-Hadits, baik secara langsung maupun tidak langsung selama
tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini sesuai dengan kaedah yang berbunyi:
 ‫األصل في األشياء اإلباحة‬
Segala sesuatu selama tidak ada dalil yang mengharamkannya maka hukumnya boleh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu fiqih adalah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’I amali yang diambil
dari dalil-dalil yang tafsili yang terdapat dalam al qur’an, as sunnah, ijma dan qiyas.
Pada pokoknya yang menjadi objek pembahasan ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf
dilihat dari sudut hukum syara’ yang terbagi dalam dua kelompok besar yakni fiqih dalam
bidang ibadah dan fiqih dalam bidang Muamalah dalam arti luas.
Ada beberapa sumber hukum yang dijadikan sebagai dasar atau landasan ilmu fiqih
dalam mengambil sebuah keputusan hukum dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat
persoalan hukum diantaranya Al Quran, As sunnah, Ijma dan Qiyas.
Serta kaidah-kaidah fiqih yang dengan mengetahuinya kita dapat lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, lebih arif dalam menerapkan materi
fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat yang berbeda pula.
Meskipun kaidah-kaidah fiqih itu merupakan teori yang diciptakan ulama, tetapi kaidah fiqih
yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam alqur’an dan as sunnah.

Saran
Semoga dengan makalah ini, kita bisa lebih memahami tentang klasifikasi ilmu fiqih,
sumber-sumber ilmu fiqih, kaidah-kaidah fiqih, metode ilmu fiqih dan prinsip dasar fiqih.
Karena dengan pahamnya seseorang tentang fiqih, Insyaallah akan menambah kesempurnaan
dalam beribadah. Sehingga tidak goyah dan was-was dan yang paling penting adalah agar kita
tidak terprovokasi dalam isu-isu yang tidak jelas dasarnya, sehingga hablun minallah dan
hablun minannas yang baik dapat terwujud.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat kami harapkan. Karena
dengan saran dan kritik dari semuanya akan membantu kami dalam penulisan untuk kedepan.
Dan kami minta maaf dengan segala kekurangan yang ada, baik dari penyusunan,
penulisan dan kesalahan kata.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an
Djazuli, A. 2015. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenadamedia
http://iluzajhamim.blogspot.com/2014/10/prinsip-dan-karakteristik-fiqh.html
https://juraganberdesa.blogspot.com/2019/11/sebab-sebab-al-quran-menjadi-
sumber.html
https://juraganberdesa.blogspot.com/2019/12/ijma-sebagai-sumber-hukum-islam.html
https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2015/01/25/metode-penemuan-hukum-islam/
Syafei, Rachmat. 2018. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai