ANANG DWIATMOKO
2006494842
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Abstrak iii
Bab I Pendahuluan ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 2
C. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ...................... 2
D. Metode Penelitian .............................................................. 10
Bab II Pembahasan ................................................................................ 13
A. Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU X/2012 .................................................................. 13
B. Kapasitas Legislasi Dewan Perwakilan Daerah
Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU X/2012 .................................................................. 17
Bab III Penutup ......................................................................................... 24
A. Kesimpulan ................................................................... 24
B. Saran ................................................................................ 24
Daftar Pustaka 26
ii
ABSTRAK
Dewan Perwakilan Daerah atau DPD merupakan lembaga negara yang hadir
sebagai amanat reformasi dan buah transformasi utusan daerah di era pra
reformasi. Dengan keberadaan DPD, sistem parlemen yang semula unikameral
berubah menjadi weak bicameralism dengan esensi menyuarakan aspirasi
rakyat di daerah melalui kapasitas legislasi yang dimiliki. Bertolak dari
putusan Mahkamah Konstitusi atau MK Nomor 92/PUU-X/2012, majelis
hakim menafsirkan kembali secara utuh bunyi konstitusi termasuk
mendasarkan pada original intent pembentukan DPD dan menyatakan
inkonstitusional beberapa pasal yang mereduksi kapasitas legislasi DPD.
Kapasitas legislasi DPD diposisikan sebagaimana seharusnya dan sedikit
dikuatkan dari semula terabaikan dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dari Putusan MK tersebut berbuah lahirnya Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang merupakan Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang juga amanat Pasal 22A konstitusi dengan menyertakan konsep
substansial paradigma baru pada proses legislasi. Namun demikian, kapasitas
DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya masih terasa belum optimal
karena level keterlibatannya yang justru tidak sampai pada tahap persetujuan
bersama. Ketika law making process yang semula tripartit antara DPR, DPD
dan Presiden, berubah strukturnya saat pembahasan masuk pada babak yang
lebih penting yakni pengambilan persetujuan bersama dimana DPD tidak lagi
terlibat karena kapasitas legislasi kembali ke DPR dan Presiden sebagaimana
dibunyikan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1 Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1
Permohonan judicial review oleh DPD yang diajukan pada 8 Oktober
2012, tercatat dalam Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2012. Pengujian dilakukan dengan menggunakan batu uji Pasal 20 ayat
(2), Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 terhadap beberapa pasal
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekaligus Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Mahkamah Konstitusi selaku the guardian of constitution sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki telah memutus perkara dan
membacakan putusannya pada tanggal 27 Maret 2013 yang lantas
dijadikan instrumen penguatan lembaga DPD khususnya dalam
pembentukan undang-undang.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis hendak menelaah isu
yang ada dalam bentuk karya tulis dengan judul “Telaah Kapasitas Dewan
Perwakilan Daerah Dalam Legislasi Nasional (Refleksi Satu Dekade Atas
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya telah dijelaskan
penulis, maka rumusan masalah yang akan diangkat dan menjadi fokus
penulis ialah sebagai berikut :
1. Bagaimana analisa terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 atas
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sekaligus Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
2. Bagaimana dampak Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap
kedudukan Dewan Pemerintahan Daerah dalam legislasi nasional saat
ini? Apakah DPD bisa disebut sebagai lembaga legislasi dengan adanya
Putusan MK dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?
2
Kata kedaulatan (sovereignity) dalam literatur ilmu hukum atau
ilmu politik dimaknai sebagai kekuasaan yang tertinggi dalam negara.
Sarjana asal Prancis yang hidup pada abad XVI bernama Jean Bodin
menginterpretasikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi untuk
menentukan hukum dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli,
abadi, dan tak terbagi-bagi.3 Hal senada diungkapkan Sri Soemantri
yang menyatakan bahwa sesuatu yang paling tinggi di dalam negara
adalah kedaulatan. Jadi kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan
tertinggi dan tidak di bawah kekuasaan yang lain.4
Sebutan kedaulatan seringkali ditemukan pada berbagai macam
pengertian dan masing-masing memiliki perbedaan yang prinsipil.
Misalnya pengertian kedaulatan apabila ditafsirkan dalam perspektif
hukum internasional yang sering dipandang dalam hubungan ekstern
atau hubungan antar negara, sedangkan dalam perspektif hukum tata
negara dipandang dalam hubungan intern yaitu hubungan negara ke
dalam.5 Teori kedaulatan intinya berkaitan dengan kekuasaan
penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan hal itu, ada 2 (dua) hal
yang menjadi fokus perhatian, yaitu kesatu, siapa yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara; dan kedua, apa
saja yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi.6
Jakarta, h. 143.
6 Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
Theory of Law and State (Ne York: Russel and Russel, 1971), Nusamedia, Bandung h. 382.
8 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan
3
hambatan terciptanya keadilan dalam pemerintahan. Persoalan lain
yang mungkin muncul apabila pemerintahan terlalu dominan, antara
lain melalui pembentukan peraturan perundang-undangan,
pelaksanaan pemerintahan bahkan peradilan, maka potensi
kesewenang-wenangannya akan semakin tinggi. Atas hal tersebut
dampaknya ialah akan muncul ketidakadilan di masyarakat.
Pengembangan akan teori pemisahan kekuasaan dan pembagian
kekuasaan dilakukan pemikir politik barat seperti John Locke dan
Montesquieu. Kedua tokoh inilah yang kemudian menjadi pelopor
pemikiran untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan
dalam kegiatan ketatanegaraan. John Locke mengawali pemikiran
tentang adanya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan untuk
menghindari absolutisme pemerintahan yang terpusat. Setengah abad
kemudian, konsep Trias Politica Montesquieu barulah muncul melalui
buku L’esprit de Lois (1748) dengan pemikiran yang berisi pemisahan
kekuasaan. Pemikiran Montesquieu dengan pemikiran Locke memiliki
dasar inti yang sama, yaitu untuk menghindari terjadinya pemusatan
kekuasaan pemerintahan yang berpotensi besar menghasilkan
kesewenang-wenangan dalam pemerintahan.
Teori pemisahan kekuasaan secara ideal diartikan bahwa dalam
menjalankan fungsi atau kewenangannya, cabang negara mempunyai
ekslusifitas yang tidak boleh dijamah cabang kekuasaan lainnya.
Namun dalam perkembangannya muncul kritikan akan konsep
tersebut bahwa hal yang tidak mungkin untuk secara tegas
memisahkan cabang kekuasaan negara dengan cabang-cabang lainnya.
Oleh karena yang paling mungkin dilakukan ialah memisahkan
kekuasaan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara, bukan
memisahkannya secara ketat yang terlihat seperti tidak ada hubungan
sama sekali.9 Istilah separation of power, distribution of power atau
division of power menurut Jimly bukanlah hal yang jauh berbeda. 10
Bahkan Jimly mengutip pandangan Hood Phillips yang menurutnya,
kata separation of powers dengan distribution of power dapat saling
bertukar tempat.11 Peter L. Strauss cenderung mempersamakan
distribution of power dengan checks and balances yang mana konsep
tersebut ditujukan sebagai usaha membangun relasi konstitusional
dalam rangka mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Checks and
balances lebih menekankan pada upaya membangun mekanisme
balancing untuk saling mengontrol satu sama lain diantara kekuasaan
negara. Namun demikian checks and balances hanya dapat diterapkan
sepanjang mempunyai landasan konstitusional untuk mencegah
9 Saldi Isra, 2018, Pergeseran Fungsi Legislasi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 42.
10 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, op.cit., h. 19.
11 Ibid.
4
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-
cabang kekuasaan negara.12
Disamping dua teori yang telah dikemukakan di atas, dalam
penelitian ini penulis menggunakan beberapa kerangka konseptual
sebagai batasan pembahasan dan menjadi pedoman dalam alur penulisan.
Kerangka konseptual tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Bentuk Parlemen Bikameral
Sistem unikameral dan sistem bikameral merupakan format
dasar suatu parlemen dalam implementasi ketatanegaraan. Menurut
Jimly Asshidiqie, sistem unikameral terdiri dari satu kamar, sedangkan
bikameral mempunyai dua kamar yang masing- masing mempunyai
fungsi sendiri-sendiri. Dua model parlemen tersebut dapat
dikembangkan dimanapun berabad-abad lamanya.13 Tipe parlemen
unikameral tidak mengenal adanya 2 (dua) badan terpisah seperti
adanya DPR dan Senat atau Majelis Rendah dan Majelis Tinggi. Masih
menurut Jimly Asshidiqie, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam
sistem unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam
struktur negara. Isi aturan terkait fungsi dan tugas parlemen
unikameral beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara lain,
namun pada pokoknya serupa yakni secara kelembagaan fungsi
legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan
tertinggi yang dipilih oleh rakyat. 14
Bicameral parliament terbagi atas 2 (dua) kamar atau majelis
yaitu kamar pertama atau majelis rendah dan kamar kedua atau majelis
tinggi. Nomenklatur tersebut tidak otomatis menunjukkan derajat
posisi atau tingkat kewenangan.15 Kamar pertama merupakan kamar
perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung dan diwakilkan melalui
partai politik dalam parlemen, sedangkan kamar kedua merupakan
perwakilan tertentu atau khusus, yang biasanya digunakan untuk
perwakilan teritorial, fungsional, kelas sosial, etnis, dan sebagainya
sesuai dengan tujuan konstitusi. Pada umumnya berbagai konstitusi
negara di dunia memfungsikan kamar kedua sebagai suatu kamar
perwakilan wilayah dan tidak sedikit negara yang menyebut dengan
Senat.16
Berdasarkan pendapat Arend Lijphart, pembagian parlemen
bikameral terdiri atas bikameral kuat (strong) dan bikameral lemah
(weak/soft) yang diurai dalam 3 (tiga) ciri. Pertama, kekuasaan yang
diberikan secara resmi oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut.
5
Umumnya memiliki pola dimana kamar kedua cenderung subordinat
terhadap kamar pertama. Kedua, kepentingan politik tidak hanya
tergantung dari kekuasaan formalnya, namun juga bagaimana metode
seleksi mereka. Kamar pertama dipilih lewat pemilu, namun anggota
kamar kedua sebagian besar dipilih secara tidak langsung atau
biasanya di bawah tingkatan dari pemerintah nasional. Kamar kedua
yang tidak dipilih secara langsung minim legitimasi demokratis,
sehingga pengaruh politik yang sebenarnya diberikan kepada yang
memilihnya (popular election) sedangkan pemilihan secara langsung
kamar kedua mungkin dapat mengimbangi beberapa tingkat untuk
kekuasaan yang dibatasi. Ketiga, ditunjukkan adanya perbedaan tajam
antara 2 (dua) kamar dalam legislatif bikameral di mana kamar kedua
mungkin dipilih dari rumpun yang berbeda atau sebagai perwakilan
minoritas tertentu atau khusus. 17
Ciri yang pertama dan kedua, yaitu berkaitan kekuasaan formal
dan legitimasi demokratis dari kamar kedua dimana potensial
menghasilkan sifat bikameral yang simetris dan asimetris. Kamar yang
simetris jika kekuasaan yang diberikan konstitusi sama atau sedikit
berbeda sedangkan kamar yang asimetris berlaku sebaliknya.
Sementara ciri yang ketiga memberikan pengaruh kepada komposisi
parlemen bikameral, yaitu congruent dan incongruent.18 Komposisi
congruent menunjukkan adanya keanggotaan yang sama dari
parlemen, sementara yang lain menggambarkan susunan yang tidak
sama, contohnya kamar pertama dipilih melalui pemilihan langsung
dan yang kedua melalui pengangkatan, dan variasi perbedaan lain. 19
Pilihan bikameral dalam lembaga perwakilan rakyat dapat
menghindari monopoli proses legislasi sebagaimana pandangan C.F
Strong yang mengutip pendapat Lord Bryce bahwa kamar kedua atau
second chamber memiliki 4 (empat) fungsi yaitu revision of legislation,
initiation of noncontroversial bills, delaying legislation of fundamental
constitutional importance so as to enable the opinion of the nation to be
adequately expressed upon it, dan public debate.20 Oleh karena itu,
lembaga legislatif 2 kamar memungkinkan untuk mencegah
pengesahan undang-undang yang cacat atau ceroboh.21
2. Legislasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Makna legislasi dekat dengan istilah pembuatan undang-
undang. 22 Dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, Jimly
17 Ibid.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 C.FStrong, 1975, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of
their History and Existing Form (London: Sidwick & Jackson Limited). h. 177.
21 Dahlan Thaib, 2003, Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga
UUD 1945), Jurnal Hukum, No. 23 Vol. 10. Mei 2003, h. 88.
22 Anton M. Moeliono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
6
Asshiddiqe menguraikan fungsi legislasi dalam 4 bentuk kegiatan yang
dimulai dari prakarsa pembuatan undang-undang (legislative
initiation), pembahasan rancangan undang-undang atau RUU (law
making process), hingga proses persetujuan atas pengesahan RUU (law
enactment approval), serta pemberian persetujuan baik pengikatan,
ratifikasi bahkan dokumen hukum yang mengikat lainnya.23
Adapun peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum
yang fundamental dalam civil law system dan negara-negara yang
menggunakan sistem tersebut. Salah satu tandanya yaitu peraturan
perundang-undangan ditempatkan sebagai sumber hukum utama
dalam kehidupan bernegara.24 Peraturan perundang-undangan
berdaya paksa dan berlaku mengikat secara umum. Setiap individu
maupun badan atau lembaga yang melanggar akan diberikan sanksi.25
Kata perundang-undangan (Indonesia), wetgeving (Belanda),
legislation (Inggris), Gezetsgebung (Jerman) biasanya diartikan sebagai
seluruh hal menyangkut undang-undang sehingga lingkupnya sangat
luas mencakup sistemnya, rancangannya, proses pembuatannya,
sosialisasinya, penafsirannya, pengujiannya, penegakannya,
hirarkhinya dan sebagainya. 26 Perundang-undangan mempunyai
makna beragam, bukan hanya meliputi undang-undang namun juga
diartikan sebagai proses pembentukan peraturan negara, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Selain itu perundang-
undangan juga termasuk hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik
yang ada di pusat maupun di daerah. 27
Elemen terpenting dari peraturan perundang-undangan tidak
hanya menyangkut bagian pengaturannya namun juga proses
pembentukannya (the important part of legislation is not only the
regulatory aspect but the law-making process itself) seperti yang
diutarakan Crabbe.28 Dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-
undangan terutama berkaitan dengan landasan dan asas-asas yang
berkaitan dengan materi muatan, menjadi penting diperhatikan
sebagai hakekat dari penyusunan peraturan perundang-undangan
yang baik.29
Maria Farida berpendapat bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik harus mengikuti asas-asas
23 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, op.cit., h. 34.
24 Ahmad Redi, 2018, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 1.
25 Ibid.
26 Jumadi, 2017, Dasar dan Teknis Pembentukan Perundang-Undangan, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 1.
27 Ibid.
28 VCRAC Crabbe, 1994, Legislative Drafting, Cavendish Publishing Limited, London, h. 4.
29 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang
7
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai suatu
pedoman.30 Selanjutnya Burkhardt Krems mendalilkan bahwa
pembentukan peraturan berkaitan dengan isi peraturan (Inhalt der
Regelung), bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung),
metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der
Regelung), serta prosedur dan proses pembentukan peraturan
(Verfahren der Ausarbeitung der Regelung). Asas-asas hukum itulah
kemudian digunakan di dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. 31
3. Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi konstitusional sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Melalui penegakan hukum dan
keadilan kemudian fungsi tersebut dikhususkan lagi untuk
menegakkan supremasi konstitusi sehingga berbeda dengan fungsi
Mahkamah Agung.32 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dalam
Penjelasan Umumnya menyebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional
tertentu guna menjaga konstitusi sehingga bertanggung jawab dalam
pelaksanaannya. Maksud lain dari eksistensi MK yaitu sebagai koreksi
terhadap lika-liku ketatanegaraan akibat tafsir ganda atas konstitusi. 33
Permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
didasarkan pada aturan Pasal 51 ayat (3) UU MK. Permohonan tersebut
dapat meliputi permohonan uji formal dan uji materiil. Permohonan uji
materiil karena pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan UUD
1945 sementara permohonan uji materiil karena muatan dalam ayat,
pasal dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 34
4. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi
Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu
berdasarkan pertimbangan konstitusional merupakan kewenangan
yang dimiliki MK sesuai fungsi yang dijalankan. Setiap Putusan MK
dengan sendirinya adalah penafsiran terhadap konstitusi. Setidaknya
terdapat 5 (lima) fungsi yang melekat pada eksistensi MK dan
kewenangannya, yakni sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the
30 Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta, h. 252.
31 Burkhardt Krems seperti dikutib A Hamid S Attamimi dalam Peranan Keputusan Presiden RI
8
constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human
rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector
of democracy).35
Pasal 56, Pasal 64, Pasal 70, Pasal 77, dan Pasal 83 UU MK
menyebutkan 3 macam amar putusan MK yaitu, permohonan tidak
dapat diterima, permohonan dikabulkan dan permohonan ditolak. 36
Selain ketiga jenis tersebut, MK dalam perkembangannya juga
memunculkan jenis-jenis amar putusan yang lain seperti: 37
a. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional), yaitu
putusan menyatakan bahwa UU yang diuji dianggap tidak
bertentangan dengan UUD 1945 jika ditafsirkan sesuai dengan
penafsiran MK dalam putusan.
b. Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional),
yaitu putusan atas pasal yang dimohonkan diuji dinyatakan
inkonstitusional apabila syarat yang ditetapkan MK dalam putusan
tidak dipenuhi. Pasal tersebut menjadi konstitusional apabila syarat
yang ditetapkan dalam Putusan MK dipenuhi oleh addressat
putusan MK tersebut.
c. Penundaan Keberlakuan Putusan, yakni putusan MK ditunda
pemberlakuannya untuk memberi ruang perubahan aturan yang
bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum mengigkat sampai waktu tertentu
karena pertimbangan kemanfaatan.
d. Perumusan Norma dalam Putusan, yakni putusan yang dibuat guna
mengatasi inkonstitusionalitas penerapan suatu norma sehingga
sifatnya sementara sampai pembentuk undang-undang
menetapkan atau merevisi undang-undang terkait.
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis,
sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode
atau cara tertentu. Sistematis berarti berdasarkan suatu sistem,
sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan
dalam suatu kerangka tertentu. Khusus mengenai penelitian hukum
Soerjono Soekanto, mengartikan sebagai suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang
9
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu dengan menganalisisnya. 38
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, penelitian ini
merupakan penelitian hukum (legal research). Menurut Sugeng Istanto,
penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan
khusus pada ilmu hukum. 39 Tipe penelitian yang dipakai dalam
penulisan proposal ini adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif mencakup
penelitian terhadap asas-asas hukum, sistimatika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 40
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber data penelitian hukum dibedakan dalam dua
jenis, data primer dan data sekunder. Dalam penelitian hukum, data
sekunder mencakup : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier.41 Bahan-bahan hukum diperlukan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sesuai dengan klasifikasi di
atas, bahan-bahan hukum dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum primer adalah data yang diperoleh dari
lapangan dokumen resmi yang berupa Putusan Mahkamah
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Dewan Perwakilan Daerah. Bahan hukum primer ini
digolongkan kedalam bahan yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh negara. Dalam penelitian ini akan digunakan
peraturan perundang-undangan dan putusan antara lain sebagai
berikut :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Tahun
2012;
5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
b. Bahan Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah data yang diperoleh dari studi
kepustakaan dengan menelaah berbagai macam bacaan yang
10
berkaitan dengan obyek kajian seperti, buku, artikel, karya ilmiah,
jurnal, media cetak, majalah, dan bahan-bahan lain yang berkaitan
dengan permasalahan dalam karya ilmiah ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan karakter metode pengumpulan data dan bahan
atau data yang akan dikumpulkan, maka metode pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Hal
ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, yang mengatakan
bahwa penelitian hukum normatif dapat dibatasi pada penggunaan
studi dokumen atau bahan pustaka utamanya pada data sekunder. 42
Dalam penelitian hukum normatif pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan metode
tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.
Berdasarkan itu, maka alat pengumpulan bahan yang akan digunakan
dalam penelitian ini berupa studi kepustakaan.
11
BAB II
PEMBAHASAN
43 Saldi Isra, 2021, Lembaga Negara Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional,
Rajawali Pers, Depok, h. 316.
44 Lihat Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 h. 6-7.
45 Ibid.
46 Ibid.
47 Ibid.
12
dalam pengajuan dan pembahasan Daftar Inventaris Masalah sebagai
”inti” pembahasan RUU dihilangkan.48 Kewenangan dalam
pembahasan RUU tetap dilaksanakan walau tanpa keterlibatan DPD
dan DPD dengan kewenangannya dirugikan karena setiap RUU yang
terkait dengan substansi DPD, justru bukan dibahas oleh fraksi namun
dibahas oleh alat kelengkapan DPR dan Presiden yang diwakili oleh
menteri yang ditunjuk sementara DPD diwakili oleh alat
kelengkapannya.49
DPD memiliki beberapa dalil yang mendukung
permohonannya dalam Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 dengan
bersumber dari konstitusi UUD 1945. Melalui Pemilihan Umum para
anggota DPD dipilih oleh rakyat, sama halnya dengan mekanisme
pemilihan bagi anggota DPR dan Presiden sehingga kedudukannya
sejajar dan memiliki wewenang konstitusional tersendiri. Adapun
dalam UUD 1945, DPD sebagai lembaga negara telah diberikan
kewenangan konstitusional untuk dapat mengajukan RUU tertentu
yang berkaitan dengan bidang DPD seperti diatur dalam Pasal 22D ayat
(1) UUD 1945. DPD juga diberi kewenangan konstitusi untuk ikut
membahas RUU tersebut sama halnya dengan DPR dan Presiden. 50
Pokok Permohonan DPD pada Perkara Nomor 92/PUU-
X/2012 pada intinya terkait kewenangan DPD untuk “Dapat
Mengajukan” RUU tertentu sebagaimana dijamin di dalam Pasal 22D
ayat (1) UUD 1945, dan kewenangan DPD untuk “Ikut Membahas” RUU
tertentu sebagaimana dijamin Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Rincian
pasal-pasal yang diujikan oleh DPD selaku Pemohon digambarkan
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Pasal Yang Diujikan DPD Dalam Perkara Nomor 92/PUU-X/2012
Undang-Undang Pasal Batu Uji UUD 1945
Undang-Undang Nomor 27 Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf Pasal 20 ayat (2),
Tahun 2009 tentang e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 Pasal 22D ayat (1)
Majelis Permusyawaratan ayat (1) huruf d dan huruf e, dan ayat (2)
Rakyat, Dewan Perwakilan Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal
Rakyat, Dewan 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal
Perwakilan Daerah, dan 146 ayat (1), dan 147 ayat (1),
Dewan Perwakilan Rakyat ayat (3), ayat (4), dan ayat (7),
Daerah Pasal 150 ayat (3), ayat (4)
huruf a, dan ayat (5), Pasal 151
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154
ayat (5)
48 Ibid.
49 Ibid.
50 Lihat Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 h. 8-9.
13
Undang-Undang Nomor 12 Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat
Tahun 2011 tentang (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat
Pembentukan Peraturan (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23
Perundang-Undangan ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan
ayat (2), 46 ayat (1), Pasal 48
ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat
(3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat
(2) huruf c dan huruf d, Pasal 68
ayat (3), ayat (4) huruf a, dan
ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf
a dan huruf b, dan ayat (3),
Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2)
14
dapat diartikan sebagai hak dan/atau keweangan, sama halnya dengan
bunyi Pasal 5 ayat (1). Dengan demikian kedudukan DPD dan DPR
setara juga dengan kedudukan Presiden pada Pasal 5 ayat (1) tersebut,
yakni untuk mengajukan RUU tertentu yang berkaitan dengan daerah.
Kedua, kewenangan DPD membahas RUU. Pada frasa “ikut membahas”,
harus dimaknai DPD ikut membahas RUU tertentu sesuai
kewenangannya bersama DPR dan Presiden. Pembahasan RUU dari
DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.
Ketiga, kewenangan DPD ikut menyetujui RUU. Kewenangan DPD
tersebut, haruslah dimaknai sejalan dengan kehendak awal (original
intent) pada saat pembahasan pembentukan DPD pada Perubahan
Ketiga UUD 1945, yakni menegaskan bahwa DPD ikut membahas RUU
tertentu tanpa ikut memberi persetujuan. Keempat, keterlibatan DPD
dalam penyusunan Prolegnas. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU
Nomor 11 Tahun 2012, perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program
pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem
hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam
Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak
terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat
mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk
mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD
1945. Dengan demikian, DPD haruslah dilibatkan dalam penyusunan
Prolegnas. Kelima, kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap
RUU. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot
kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. DPD diartikan memiliki
otoritas memberikan pertimbangan namun tidak terlibat dalam
pembahasan karena kewenangan ada pada DPR dan Presiden untuk
menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan dari DPD baik
sebagian atau seluruhnya.
Berdasarkan amar putusan yang telah dibacakan Majelis
Hakim, maka Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 termasuk
conditionally unconstitutional. Pasal-pasal tersebut menjadi
konstitusional apabila syarat yang ditetapkan dalam Putusan MK
dipenuhi oleh addressat putusan MK. Sebagai contoh pada Pasal 18
huruf g UU Nomor 11 Tahun 2012, yang menurut MK perlu
ditambahkan redaksi “...., dan rencana strategis DPD”. Selain itu
terdapat juga nomenklatur kelembagaan DPD yang tidak turut disebut
seperti dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 43, dan Pasal 48 UU
Nomor 11 Tahun 2012.
Dalam putusan MK juga disebutkan conditionally constitutional
atau putusan konstitusional bersyarat dimana sesuai putusan, DPD
diberi kewenangan sama dengan DPR dan Presiden. Salah satunya
melalui peran DPD dalam penyusunan Prolegnas tidak dapat
disamakan lagi dengan peran alat kelengkapan DPR karena
bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Dalam kesimpulan
15
putusan, MK yang menyatakan seluruh ketentuan yang mereduksi atau
mengurangi kewenangan DPD dalam UU MD3 dan UU P3, baik yang
dimohonkan atau tidak namun bertalian dengan kapasitas DPD harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu apabila terdapat
ketidaksesuaian dengan apa yang telah ditafsirkan MK maka juga
dianggap bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi. 53
Perwakilan Daerah Dalam Proses Legislasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012), Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa 2014.
16
politik legislasi DPD ternyata masih bersifat limitatif.56 Limitasi
kapasitasnya terlihat dari tingkatan kewenangan legislasi DPD untuk turut
serta mengajukan RUU sekaligus terlibat penuh dalam fase pembahasan
atau pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II atas RUU tertentu sebagaimana
kaidah dalam Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945. 57 Putusan majelis Hakim
Konstitusi masih menyisakan persoalan mendasar terkait penguatan
politik legislasi DPD karena belum terlihatnya konstruksi penafsiran
hukum yang progresif, sistematis dan holistik. Tahapan “persetujuan
rancangan undang-undang menjadi undang-undang” ialah puncak dari
sebuah proses legislasi yang kemudian dapat diukur berhasil atau tidaknya
law making process.58
Begitu juga dalam penafsiran frase “ikut membahas rancangan
undang-undang” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang bermakna, DPD
memiliki kewenangan konstitusional untuk membahas sebuah rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah secara keseluruhan, mulai dari
tahap pembahasan awal hingga akhir menurut tingkat-tingkat
pembicaraan yang diatur dalam undang-undang. Oleh karenanya, tahapan
pembahasan awal hingga akhir dimaksud seharusnya termasuk di
dalamnya persetujuan atas RUU yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari tahapan pembahasan. 59
Berikut pemaknaan fungsi legislasi dalam UUD 1945 paska Putusan
MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan perubahan UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Tabel 2
Kekuasaan Legislasi Dalam UUD 1945
Ketentuan Lembaga Kewenangan Legislasi
UUD 1945 Negara
Pasal 5 ayat (1) Presiden Mengajukan RUU
Presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR
undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
Pasal 20 ayat (1) DPR Membentuk UU
Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
56 King Faisal Sulaiman, Politik Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 1 Mei
2015 : 101-110.
57 Ibid.
58 Ibid.
59 Ibid.
17
Pasal 20 ayat (2) DPR dan • Pembahasan RUU
Setiap rancangan undang-undang dibahas Presiden antara DPR dan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. • Persetujuan
bersama RUU antara
DPR dan Presiden
Pasal 22D ayat (1) DPD DPD mengajukan RUU
Dewan Perwakilan Daerah dapat tertentu yang berkaitan
mengajukan kepada Dewan Perwakilan dengan daerah kepada
Rakyat rancangan undang-undang yang DPR
berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
Pasal 22D ayat (2) DPD • DPD ikut membahas
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas RUU tertentu yang
rancangan undang-undang yang berkaitan berkaitan dengan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat daerah
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan • DPD memberikan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber pertimbangan
daya alam dan sumber daya ekonomi kepada DPR atas
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat RUU APBN, Pajak,
dan daerah; serta memberikan Pendidikan, dan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Agama
Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara
dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
60Isharyanto, 2016, Teori Hukum Suatu Pengantar dengan Pendekatan Tematik, WR,
Yogyakarta, h. 126.
18
spirit awal dirumuskannya Pasal 20 dan Pasal 22D yang masing-masing
terdapat pada perubahan kedua dan ketiga dari UUD 1945. Berdasarkan
aspek historis tadi hakim menemukan keterbatasan kewenangan DPD.
Kewenangan DPD yang terbatas tersebut, pada dasarnya memang
sesuai dengan original intent pembahasan saat DPD hendak dibentuk
melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada kurun waktu 2000 sampai
2001. 61 Kedudukan unequal antara DPR dan DPD yang telah diartikan MK
melalui penafsiran originalism, sedianya hanyalah menjadikan DPD
sebagai co-legislator dari DPR. Menurut Jimly, sifat tugas DPD dalam
legislasi hanyalah menunjang tugas konstitusional DPR. 62
Merujuk pembagian bentuk parlemen menurut Lijphart, maka
perumus amandemen ketiga konstitusi sedianya mengkonstruksikan
secara politis ketidaksejajaran fungsi legislasi antara DPR dan lembaga
negara baru hasil transformasi utusan daerah, sehingga konsep parlemen
berubah menjadi bentuk bikameral yang lebih kearah weak bicameralism.
Konsep bentuk parlemen bikameral tersebut dianggap tidak umum,
namun ada di dalam praktek bernegara dimana kombinasi lembaga
dengan kewenangan yang amat terbatas dan memiliki legitimasi tinggi
(represent the odd combination of limited powers and hight legitimacy).63
Dengan ciri weak bicameralism yang melekat pada DPD, maka
pandangan Lord Bryce seperti yang diawal dijelaskan bahwa monopoli
legislasi dapat terhindarkan dengan tipe bikameral belum proven
sepenuhnya. DPD seolah-olah tak berdaya dengan kuasa DPR untuk
menyelesaikan rangkaian pembentukan UU bahkan yang menjadi
kewenangannya. Berbeda dengan bentuk parlemen seperti di Amerika
dengan House dan Senate-nya yang menurut Denny Indrayana cenderung
menunjukkan sistem bikameral yang ideal. Kongres Amerika Serikat yang
merupakan perpaduan strong bicameralism dan likely bicameralism
menunjukkan pembagian kewenangan dan saling kontrol guna
pelaksanaan fungsi parlemen tanpa saling merintangi.64
Amerika yang juga memiliki ciri serupa dengan Indonesia pada
sistem pemerintahan presidensial dan parlementer bikameralnya, jika
disandingkan maka akan didapati perbedaan yang signifikan. House of
Representative dan Senate di Amerika, tegas diatur kapasitas legislasinya
dalam konstitusi Amerika Serikat secara seimbang. Pembentukan undang-
undang di Amerika Serikat, haruslah melewati dan atas persetujuan kedua
Cetakan Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h.
139.
63 Stephen Sherlock, 2005, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy,
Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social
Sciences, Australian National University, h. 9.
64 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, op.cit., h. 273.
19
kamar. Dengan kata lain, the power of legislation berada pada Parlemen
Amerika Serikat atau The Congress of The United States of America sebagai
joint session antara Senate atau majelis tinggi (upper house) yang
merupakan perwakilan teritorial dan House of Representatif atau majelis
rendah (lower house). Kewenangan legislasi pada kedua majelis atau kamar
ini relatif seimbang dimana dalam menjalankan peran fungsi legislasi,
keduanya memiliki kesempatan untuk memeriksa seluruh rancangan
undang-undang sebelum disampaikan kepada Presiden.65
Tidak jauh berbeda adalah parlemen di Inggris yang menerapkan
sistem bikameral. Inggris merupakan negara dengan parlemen tertua di
dunia. Parlemen Inggris atau Parliament of The United Kingdom terdiri dari
House of Lords atau majelis tinggi dan House of Commons atau majelis
rendah.66 Keduanya masing-masing mewakili kelompok fungsional dan
kelompok politik.
Tahapan pembahasan rancangan undang-undang di Inggris atau
dikenal parliamentary stages ditentukan prioritasnya berdasarkan
pertimbangan keseimbangan program legislasi pada masing-masing
“House” yang ditentukan oleh departemen.67 Dalam proses pembahasan,
sebelum diserahkan ke Ratu Inggris untuk pemberian persetujuan berupa
Royal Assent, konsep undang-undang harus terlebih dahulu disetujui dan
disepakati oleh kedua kamar yang dalam prosesnya melalui tahapan “ping-
pong” atau bolak balik dari dan ke House of Lords dan House of Commons.68
Dengan demikian, kedua contoh perbandingan baik Amerika dan Inggris
memang mencirikan strong bicameralism, kedua kamar parlemen memiliki
keseimbangan dalam pembahasan rancangan undang-undang, berbeda
dengan keberadaan DPD pada konsep sistem bikameral di Indonesia.
Dari Putusan MK dan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011, maka
terdapat perubahan substansi mendasar dalam kapasitas legislasi DPD
dalam pembentukan undang-undang. Beberapa perubahan dijelaskan
secara ringkas sebagai berikut:
1. Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang
semula hanya dilaksanakan DPR dan Presiden, saat ini berdasarkan UU
Nomor 15 Tahun 2019 penyusunan Prolegnas menjadi dilaksanakan
baik oleh DPR, DPD dan Presiden.
2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, maka DPD dapat
mengajukan RUU tertentu yang menjadi kewenangannya disertai
Naskah Akademik berdasarkan Prolegnas yang telah ditetapkan.
Usulan RUU tertentu tadi diserahkan dari Pimpinan DPD kepada
Pimpinan DPR.
20
3. Berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, maka DPD selain
berhak mengajukan RUU tertentu yang menjadi kewenangannya, juga
ikut serta dalam membahas RUU tersebut yang kedudukannya setara
dengan DPR dan Presiden di dalam membahas suatu RUU tertentu
berkaitan dengan daerah atau berkenaan dengan substansi UU pada
Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Pembahasan dilakukan mulai dari
pembahasan tingkat I dan pembahasan tingkat II.
4. Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2019, dari yang sebelumnya tidak
diatur, kini DPD, DPR dan Pemerintah ikut melaksanakan pemantauan
dan peninjauan terhadap UU yang telah berlaku.
Dengan Putusan MK dan perubahan UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, kapasitas DPD dalam proses legislasi memang
menjadi bertambah. Namun demikian, kapasitas DPD dalam menjalankan
fungsi legislasinya masih terasa belum optimal karena level
keterlibatannya yang tidak sampai pada tahap persetujuan bersama.
Ketika proses yang semula tripartit antara DPR, DPD dan Presiden, justru
berubah saat pembahasan telah masuk dalam tingkatan yang lebih penting
yakni pengambilan persetujuan bersama dimana DPD tidak lagi terlibat
karena kapasitas legislasi kembali ke DPR dan Presiden sebagaimana
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.69 Berdasarkan pertimbangan dalam
putusan, MK justru menegaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 20
ayat (2) tersebut, hanya DPR dan Presiden yang berhak memberi
persetujuan atas semua rancangan undang-undang. 70
Selain itu, masih terdapat celah dari fungsi legislasi hasil Putusan MK,
dimana tidak adanya kuasa DPD untuk menyetujui atau tidak menyetujui
RUU tertentu yang menjadi kewenangan DPD sesuai Pasal 22D ayat (1)
UUD 1945. RUU bidang tertentu yang lebih khusus berkaitan dengan
daerah, masih dapat dilakukan pembahasan bahkan persetujuan oleh DPR
dan Pemerintah meskipun DPD menyampaikan Pendapat Mini sesuai
dengan kewenangannya. Artinya kontribusi DPD yang memang sesuai
dengan kewenangannya seolah-olah bukanlah hal penting dan patut
menjadi pertimbangkan DPR dan Pemerintah. 71
Wakil Ketua Komite I DPD bahkan mengutarakan, penguatan DPD
perlu dilakukan dengan membuka komunikasi politik dengan DPR. Agenda
loby dan komunikasi politik dengan fraksi-fraksi di DPR harus fokus pada
terwujudnya bikameral yang setara. Selanjutnya DPD dan DPR haruslah
duduk bersama untuk merumuskan dan menentukan instrumen yang
diperlukan untuk mewujudkan bikameral setara tersebut khususnya
69 Ibid., h. 306.
70 Saldi Isra, Lembaga Negara Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional, op.cit.,
h. 107.
71 Enny Nurbaningsih, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
21
terkait fungsi legislasi dengan opsi berupa usulan amandemen terbatas
UUD 1945 atau melalui cara yang lainnya. 72
Adapun Saldi Isra menekankan bahwa penguatan DPD melalui
cabang kekuasaan yudikatif sudah dilakukan dengan Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2012. Putusan MK yang telah final tersebut, mengikat secara
umum dan setara dengan undang-undang, oleh karenanya haruslah
dilaksanakan. Namun, apabila dalam pelaksanaan menemui permasalahan,
maka kewenangan penyelesaiannya ada pada cabang kekuasaan yang
lain.73
Dengan mendekati umur putusan bersejarah yang hampir sedekade
ini, proses legislasi yang menjadi kapasitas dari DPD setidaknya telah
diatur dan berjalan dengan lebih baik. Ketentuan terkait Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan telah diperbarui melalui Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 yang juga sebagai amanat langsung Pasal 22A konstisusi
dengan menerapkan konsep substansial paradigma baru yang diputuskan
oleh Majelis Mahkamah Konstitusi sembilan tahun yang lalu. Namun
demikian, kapasitas legislasi merupakan pokok dari keberadaan lembaga
legislatif khususnya DPD, sehingga untuk memperkuat DPD sebagai
lembaga negara yang memiliki legitimasi tinggi, maka kapasitas legislasi
DPD dalam law making process harus jelas dan tidak parsial seperti saat ini.
72 dpd.go.id, Fernando Sinaga: Bikameral yang setara harus menjadi fokus agenda komunikasi
politik DPD dengan DPR, https://dpd.go.id/Fberita/detail/fernando-sinaga-bikameral-yang-
setara-harus-menjadi-fokus-agenda-komunikasi-politik-dpd-ri-dengan-dpr, diakses pada
tanggal 4 November 2021.
73 Saldi Isra, Hakim Mahkamah Konstitusi, disampaikan dalam Bimbingan Teknis Hukum Acara
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 mendudukkan DPD dalam posisi
yang sejajar dengan DPR dan Presiden hanya dalam kewenangan
pembentukan undang-undang khususnya terkait substansi yang
disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 dari mulai penyusunan
Prolegnas hingga Pembahasan Tingkat I dan Tingkat II. Beberapa Pasal
dalam UU MD3 dan UU P3 yang mereduksi kewenangan legislasi DPD
dinyatakan inkonstitusional dan dimaknai sesuai dengan penafsiran
MK (conditionally constitutional). Dalam memutus perkara yang batu
ujinya Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
hakim MK menafsirkan berdasarkan original intent pembentukan DPD
yang pada prinsipnya sebagai co-legislator dari DPR sehingga
menggambarkan sistem parlemen di Indonesia sebagai weak
bicameralism.
2. Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 berdampak pada bertambahnya
kapasitas legislasi DPD yang sekaligus sebagai pondasi bagi lahirnya
UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Kedua instrumen hukum baik Putusan MK dan UU Nomor
15 Tahun 2019 tersebut, mengubah kapasitas DPD menjadi pihak yang
terlibat di dalam penyusunan Prolegnas, memiliki kewenangan
mengajukan RUU dengan substansi tertentu sebagaimana kaidah Pasal
22D ayat (1) UUD 1945, serta terlibat penuh dalam fase pembahasan
Tingkat I dan Tingkat II atas RUU tertentu namun tanpa adanya
kewenangan dalam memberikan persetujuan. Selain itu DPD bersama
dengan DPR dan Pemerintah diberi kewenangan baru untuk
melaksanakan pemantauan dan peninjauan terhadap UU yang telah
berlaku.
B. Saran
Dari pembahasan dan kesimpulan yang telah disampaikan di atas,
maka terdapat saran-saran sebagai berikut:
1. Bahwa Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan UU Nomor 15 Tahun
2019 masih menyisakan persoalan mendasar bagi kapasitas legislasi
DPD, yakni belum optimalnya keterlibatan DPD yang tidak sampai pada
tahap persetujuan bersama dan pengesahan karena kapasitas legislasi
kembali kepada kewenangan DPR dan Presiden sebagaimana
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Sementara disisi lain, dalam
23
rancang bangun legislasi suatu undang-undang, idealnya mencakup
proses persetujuan yang merupakan ultimate authority lembaga
legislatif dalam law making process atau proses pembentukan undang-
undang. Dengan demikian, perlu adanya komunikasi dan kesepakatan
politik interkameral antara DPR dan DPD khususnya apabila DPD tidak
setuju atas rumusan substansi dalam RUU tertentu. Mekanisme yang
bisa dilakukan yakni melalui komunikasi dan rekomendasi dari DPD ke
fraksi atau komisi di DPR sebelum diagendakannya Sidang Paripurna
persetujuan atas suatu RUU bidang tertentu. Dengan demikian, aspirasi
daerah melalui suara dari DPD sebagai regional representation dapat
tersampaikan dan tidak dikalahkan oleh kepentingan politik.
2. Apabila dimungkinkan untuk dibuatkan instrumen hukum untuk
menjembatani mekanisme tersebut di atas. Hal tersebut langkah
praktis apabila gagasan Amandemen Kelima UUD 1945 masih
membutuhkan waktu yang panjang atau setidaknya menunggu sampai
adanya political will dari DPR karena keterikatan dengan Pasal 37 UUD
1945.
24
Daftar Pustaka
Buku:
25
Jumadi, Dasar dan Teknis Pembentukan Perundang-Undangan, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2017.
Kelsen, Hans. Teori Hukum tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan dari
General Theory of Law and State (Ne York: Russel and Russel, 1971),
Nusamedia, Bandung, 2013.
Jurnal:
26
Subardi, Aldis Ruly, Iwan Rachmad Soetjiono, Warah Atikah. Kewenangan
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Legislasi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 92/PUU-X/2012), Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa
2014, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan:
Putusan:
27