Anda di halaman 1dari 16

Hukum Lingkungan (Pertemuan ke-1)

Rencana Pembelajaran dan Sejarah Hukum Lingkungan

A. Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Hukum Lingkungan


Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Hukum Lingkungan
merupakan susunan topik pelajaran yang akan diselesaikan dalam
satu semester yang meliputi materi pembelajaran, buku dan dokumen
rujukan dalam proses pembelajaran serta target yang diinginkan dalam
proses pembelajaran.

Mata kuliah Hukum Lingkungan akan diajarkan secara online


dengan pola 14/14 yang artinya kuliah akan dilakukan secara online
secara penuh dalam satu semester.

Yang harus dilakukan mahasiswa dalam kuliah online Hukum


Lingkungan adalah:
1. mencermati video pembelajaran,
2. memahami modul pembelajaran,
3. mengikuti forum diskusi,
4. mempelajari materi pengayaan (membaca link pembelajaran),
5. menyelesaikan kuis,
6. menyelesaikan tugas.

Keenam kewajiban tersebut dilakukan setiap minggu sepanjang


semester. Pembelajaran akan dibuka dan dimulai pada hari Senin dan
akan diakhiri pada hari Jumat/Sabtu/Minggu sesuai dengan kondisi di
lapangan. Mahasiswa diharapkan mencermati kapan waktu terakhir
(due date atau cut off date untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban
khususnya kuis dan tugas.

Gambar 1: Kewajiban Mahasiswa dalam Kuliah Online

1
Adapun 14 materi yang akan diajarkan selama satu semester
adalah sebagai berikut:
1. Sejarah Hukum Lingkungan
2. Hukum Tata Lingkungan
3. Hukum Pencemaran Lingkungan
4. Analisis Dampak Lingkungan
5. Baku Mutu Lingkungan
6. Audit Lingkungan
7. Sengketa lingkungan hidup
8. ADR Menurut UU Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
9. Penyelesaian lingkungan hidup secara administrasi negara
10. Penyelesaian lingkungan hidup secara perdata
11. Penyelesaian lingkungan hidup secara pidana
12. Pembangunan berwawasan lingkungan
13. Jaminan hukum terhadap 3 akses
14. Pembangunan dan kebijakan

Gambar 2: Materi Pembelajaran

Keempat belas topik tersebut akan dibahas dan diperjelas dalam


bentuk modul, video pembelajaran dan link (tautan) pengayaan. Modul,
video pembelajaran dan link (tautan) pengayaan tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk berpartisipasi dalam forum diskusi,
menjawab kuis dan menyelesaikan tugas.

2
Gambar 3: Konsepsi Pembelajaran

Output atau target yang diharapkan dari masing-masing topik


adalah mahasiswa mampu memahami dan mengerti makna dari
masing-masing topik yang diajarkan dan mampu memberikan
pendapat terkait topik tersebut dengan merujuk pada peraturan dan
pengetahuan terkait hukum lingkungan.

B. Sejarah Hukum Lingkungan


Dibawah ini disajikan tulisan Koesnadi Hardjasoemantri dan Harry
Supriyono yang merupakan modul pembelajaran tentang Sejarah
Perkembangan Hukum Lingkungan.

1. Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Lingkungan

Hukum Lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda


yang perkembangannya baru terjadi pada kurang dari dua
dasawarsa akhir ini.

Hukum Lingkungan dibedakan antara Hukum Lingkungan


Modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment
oriented law dan Hukum Lingkungan klasik yang berorientasi
kepada penggunaan lingkungan atau use oriented law.

Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan


norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan
tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan
kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar

3
dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi
sekarang maupun generasi-generasi mendatang.

Sebaliknya Hukum Lingkungan klasik menetapkan ketentuan


dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin
penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan
dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai
hasil semaksimal mungkin dan dalam jangka waktu yang sesingkat-
singkatnya.

Hukum Lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan


sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari
lingkungan itu sendiri. Dengan demikian, lebih banyak berguru
kepada ekologi.

Dengan orientasi kepada lingkungan ini maka Hukum


Lingkungan modern memiliki sifat utuh-menyeluruh atau
komprehensif-integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat
dan wataknya yang luwes, sedang sebaliknya Hukum Lingkungan
klasik bersifat sektoral, serba kaku, dan sukar berubah
(Danoesapoetro, 1980: 35-36).

Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan


(Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan
alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang
lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup
pengelolaan lingkungan. Dengan demikian, hukum lingkungan
merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.
Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan
(privaatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan
(staatsrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan kepidanaan
(strafrechtelijk milieurecht), sepanjang bidang-bidang hukum ini
memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup.

Menurut Prof. Koesnadi, Hukum Lingkungan di Indonesia


dapat meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
 Hukum Tata Lingkungan (HTL), mengatur penataan
lingkungan hidup guna mencapai keselarasan hubungan antara
manusia dan lingkungan hidup, baik lingkungan hidup fisik
maupun lingkungan hidup sosial budaya. Bidang garapannya
meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran serta
masyarakat, tata cara peningkatan upaya pelestarian
kemampuan lingkungan, tata cara penumbuhan dan
pengembangan kesadaran masyarakat, tata cara perlindungan
lingkungan, tata cara ganti kerugian, dan pemulihan lingkungan

4
serta penataan keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum Tata Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis
bagi penataan lingkungan hidup yang dapat mencakup segi
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Ia mengatur
tatanan kegunaan dan penggunaan lingkungan untuk berbagai
keperluan melalui tata cara konkret dalam rangka melestarikan
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang.
 Hukum Perlindungan Lingkungan, merupakan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan yang
berkaitan dengan lingkungan biotis.
 Hukum Kesehatan Lingkungan adalah hukum yang
berhubungan dengan kebijaksanaan di bidang kesehatan
lingkungan, dengan pemeliharaan kondisi air, tanah dan udara,
dan pencegahan kebisingan.
 Hukum Pencemaran Lingkungan, misalnya dalam kaitan
dengan pencemaran oleh industri.
 Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional, dalam
kaitannya dengan hubungan antarnegara.
 Hukum Sengketa Lingkungan, misalnya dalam kaitannya
dengan penyelesaian masalah ganti kerugian.

Aspek-aspek tersebut di atas dapat ditambah dengan aspek-


aspek lainnya sesuai dengan kebutuhan perkembangan
pengelolaan lingkungan hidup di masa-masa yang akan datang
(Hardjasoemantri, 1999: 36-42).
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari
gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar
kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa
lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu
ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.

Perkembangan yang berarti yang bersifat menyeluruh dan


menjalar ke berbagai pelosok dunia dalam bidang peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup terjadi setelah
adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia di
Stockholm, yang berlangsung pada tanggal 5-16 Juni 1972.

Di dalam menghadapi Konferensi PBB tersebut, Indonesia


menyusun Laporan Nasional yang didasarkan atas pembicaraan
dalam Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan
Pembangunan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Bandung
pada tanggal 15-18 Mei 1972.

Dalam seminar ini telah disampaikan makalah tentang


“Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia:
Beberapa Pikiran dan Saran” oleh Prof Dr. Mochtar

5
Kusumaatmadja, S.H., L.L.M., yang merupakan pengarahan yang
nyata tentang pengembangan peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup di Indonesia.

Perkembangan lebih lanjut mengenai pengaturan lingkungan


hidup telah ditingkatkan dengan diadakannya sebuah pertemuan
internasional di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 28 Oktober - 6
November 1981 yang disebut Ad Hoc Meeting of Senior
Government Officials Expert in Environmental Law.

Salah satu hasil pertemuan tersebut menyatakan bahwa


hukum lingkungan merupakan alat penting untuk pengelolaan
lingkungan secara layak dan untuk perbaikan kualitas kehidupan.

Perkembangan yang sangat penting adalah diadakannya KTT


Bumi di Rio de Janeiro pada tanggal 3 – 14 Juni 1992 yang telah
menghasilkan Deklarasi Rio de Janeiro, Agenda 21, kesepakatan
tentang Prinsip-prinsip Kehutanan serta Konvensi
Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Perubahan Iklim.

Sejalan dengan gerakan kepedulian lingkungan hidup sedunia


yang ditandai dengan disepakatinya berbagai deklarasi dan
konvensi internasional tersebut di atas, Indonesia telah
menunjukkan komitmennya yang cukup tinggi, khususnya dalam
rangka pengembangan Hukum Lingkungan Nasional. Dalam
hubungan ini, diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

Hidup merupakan tonggak sejarah baru bagi pembangunan


hukum lingkungan nasional, mengingat dengan undang-undang ini
berarti Indonesia menganut Hukum Lingkungan modern.

Dipandang dari sudut sifatnya maka peraturan perundang-


undangan sampai diterbitkannya Undang-undang No. 4 Tahun
1982 merupakan produk-produk hukum yang berorientasi kepada
penggunaan lingkungan atau use oriented law. Dengan
diundangkannya Undang-undang No. 4 Tahun 1982 dimulailah
suatu tahap baru, yaitu pengembangan peraturan perundang-
undangan yang diarahkan kepada produk-produk hukum yang
berorientasi kepada lingkungan itu sendiri atau environment
oriented law.

2. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Global


Sejalan dengan perkembangan teknologi yang menimbulkan
adanya sifat ambivalen dari perkembangan itu sendiri yang di satu

6
sisi dapat menimbulkan kemajuan dan kesejahteraan manusia,
tetapi di sisi lain dapat menjadikan lingkungan rusak, misalnya
pemakaian tenaga nuklir yang dapat menghasilkan limbah
radioaktif yang membahayakan, isu mengenai pemanasan bumi,
lapisan ozon. Maka, terjadilah kesadaran serta komitmen bersama
mengenai perlunya pengelolaan lingkungan secara global.

Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup dimulai dari


kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan
peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970)” guna merumuskan strategi
“Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)”. Pembicaraan
tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari
Swedia, disertai saran untuk dijajaki kemungkinan guna
menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai
lingkungan hidup manusia.

 Konferensi Stockholm
Kebijakan global pengelolaan lingkungan hidup ditetapkan
pertama kali dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup
Manusia (United Nations Conference on the Human Environment)
yang diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972,
diikuti oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau. Soviet Uni
dan negara-negara Eropa Timur telah memboikot konferensi ini
sebagai reaksi terhadap ketentuan yang menyebabkan beberapa
negara tidak diundang dengan kedudukan yang sama dengan
peserta-peserta lain, antara lain Republik Demokrasi Jerman.

Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972,


Konferensi mengesahkan hasil-hasilnya berupa:
a. deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas
Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm
Declaration;
b. rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri
dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi
tentang Perencanaan dan Pengelolaan Permukiman Manusia;
c. rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang
menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut di atas, terdiri
dari Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan
Hidup (UN Environment Program = UNEP); Sekretariat, yang
dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif; Dana Lingkungan
Hidup; dan Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.
Dalam suatu resolusi khusus, Konferensi menetapkan tanggal
5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia”. Atas tawaran
Kenya, sekretariat UNEP ditempatkan di Nairobi.

7
Pada Sidang Umum PBB tahun 1972, semua keputusan
Konferensi disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No. 2997
(XXVII) pada tanggal 15 Desember 1972.

Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan


Hukum Lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik
pada taraf nasional, regional maupun internasional. Keuntungan
yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian
dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan
Stockholm Declaration sebagai referensi bersama.

Sekalipun hasil dari Deklarasi Stockholm tidak mengikat


langsung karena merupakan soft law (berbeda dari Konvensi yang
hasilnya mengikat langsung karena merupakan hard law), tetapi
pengaruh dari Deklarasi Stockholm besar sekali terutama bagi
Indonesia. Asas-asas lingkungan yang semula diperkenalkan
dalam Deklarasi Stockholm sebanyak 26 asas, kemudian diperbarui
dalam Deklarasi Rio de Janeiro menjadi 27 asas. Asas lingkungan
dapat dilihat dalam GBHN Bab III huruf B ayat 10 TAP MPR No. IV
Tahun 1973 yang berbunyi sebagai berikut.
Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam
Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian … tersebut
harus diupayakan agar tidak merusak …, dilaksanakan dengan
kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi yang akan datang (D. Silalahi, 2001: 33).

Menyeluruh (integral) dalam arti memperhatikan segala aspek,


memperhatikan sektor-sektor yang terkait dengan sumber daya
alam, yaitu air, hutan, migas, ikan di laut. Undang-undang kita
sudah mengatur pengelolaannya berdasarkan peraturan dalam
sektor.

Dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan


datang, pilihannya apakah sumber alam Indonesia akan dihabiskan
sekarang atau tidak.

 World Conservation Strategy

Pada tahun 1980, International Union for the Conservation of


Nature and Natural Resources (IUCN), bersama-sama dengan
United Nations Environment Program (UNEP) dan World Wildlife
Fund (WWF), menerbitkan World Conservation Strategy (WCS)
dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan konservasi, meliputi
pengelolaan sistem produksi yang ecologist tepat dan
pemeliharaan kelangsungan hidup dan keanekaragamannya.

8
Maksud WCS adalah untuk mencapai 3 tujuan utama dari
konservasi sumber daya hayati, yaitu:
a. memelihara proses ekologi yang esensial serta sistem
penyangga kehidupan;
b. mengawetkan keanekaragaman jenis;
c. menjamin pemanfaatan secara lestari spesies serta
ekosistemnya.

Ketentuan khusus tercantum dalam Section 11 dari WCS


tentang tindakan hukum yang diperlukan untuk melaksanakan
kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional,
yaitu suatu komitmen untuk mengkonservasikan sumber daya
hayati negara perlu ditetapkan dalam undang-undang dasar atau
instrumen hukum lainnya yang sesuai. Komitmen tersebut perlu
menyatakan kewajiban negara untuk mengkonservasi sumber daya
hayati dan sistem yang meliputinya, yaitu hak warga negara akan
lingkungan yang stabil dan beraneka ragam, dan tanggung jawab
warga negara terhadap lingkungan tersebut.

Perlu ada perundang-undangan khusus yang ditujukan kepada


pencapaian tujuan konservasi, baik oleh pemanfaatan secara
lestari dan perlindungan sumber daya hayati maupun oleh sistem
penunjang kehidupan. Perundang-undangan konservasi secara
komprehensif perlu menetapkan ketentuan tentang perencanaan
penggunaan tanah dan air dan perlu mengatur baik dampak
langsung terhadap sumber daya, seperti eksploitasi dan
penggusuran habitat maupun dampak tidak langsung, seperti
pencemaran atau introduksi dari spesies yang eksotik. Selain
daripada itu, peraturan tersebut perlu meliputi pula ketentuan
tentang pelaksanaan evaluasi ekosistem, analisis mengenai
dampak lingkungan dan tindakan-tindakan lainnya untuk menjamin
dimasukkannya pertimbangan ekologi ke dalam pembuatan
kebijaksanaan.

WCS merupakan pernyataan transisi, tidak dimaksudkan


sebagai kerangka definitif untuk pembangunan berkelanjutan.

Berbagai masalah yang mendesak tentang berbagai isu


pembangunan belum dicantumkan, di antaranya mengenai sebab-
sebab pembangunan yang tidak maju serta eksploitasi dan
degradasi lingkungan.

 Pertemuan Montevideo

Kemajuan lebih lanjut diperoleh dengan diadakannya Ad Hoc


Meeting of Senior Government Official Expert in Environmental Law

9
di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 28 Oktober-6 November
1981. Pertemuan internasional dalam bidang hukum lingkungan ini
adalah untuk pertama kalinya diadakan.

Pertemuan ad hoc tersebut diadakan untuk membuat


kerangka, metode, dan program yang meliputi upaya-upaya tingkat
internasional, regional, dan nasional guna pengembangan serta
peninjauan berkala hukum lingkungan dan guna memberi
sumbangan kepada persiapan dan pelaksanaan komponen Hukum
Lingkungan dalam System wide Medium Term Environment
Program UNEP. Pertemuan tersebut telah menghasilkan
kesimpulan dan rekomendasinya yang sangat berarti bagi
perkembangan Hukum Lingkungan.

 World Commission on Environment and Development


Perkembangan lebih lanjut dalam pengembangan
kebijaksanaan lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World
Commission on Environment and Development, disingkat WCED.
WCED dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memenuhi
keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan
dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Brundtland (Norwegia) dan Dr.
Mansour Khalid (Sudan). Keanggotaan WCED mencakup pemuka-
pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana,
Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brasilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia,
dan Indonesia (Prof. Dr. Emil Salim) Sekretariat Jenderal WCED
berkedudukan di Geneva.
Tugas WCED adalah sebagai berikut.
a. Mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan
menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan
sesudahnya.
b. Mengajukan cara-cara supaya keprihatinan lingkungan dapat
dituangkan dalam kerja sama antarnegara untuk mencapai
keserasian antara kependudukan, sumber daya alam,
lingkungan, dan pembangunan.
c. Mengajukan cara-cara supaya masyarakat internasional dapat
menanggapi secara lebih efektif pola pembangunan
berwawasan lingkungan.
d. Mengajukan cara-cara masalah lingkungan jangka panjang
dapat ditangkap dalam agenda aksi untuk dasawarsa
pembangunan.
Dalam melaksanakan tugas ini WCED diminta bertukar pikiran
dengan masyarakat ilmuwan, kalangan pecinta lingkungan,
kalangan pembentuk opini, kalangan generasi muda yang bergerak
di bidang lingkungan, dan mereka yang berminat dengan
pembangunan berwawasan lingkungan. Begitu pula diharapkan

10
pandangan Pemerintah khususnya melalui Governing Council
UNEP, pandangan pemimpin nasional, formal dan informal serta
tokoh-tokoh internasional. WCED diharapkan meningkatkan
hubungan dengan badan-badan antarpemerintah di luar sistem
PBB.
WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari
enam sudut peneropongan sebagai berikut.
a. Keterkaitan (interdependency).
b. Berkelanjutan (sustainability).
c. Pemerataan (equity).
d. Security dan Risiko Lingkungan.
e. Pendidikan dan Komunikasi.
f. Kerja sama Internasional.

 Caring for the Earth


Caring for the Earth (CE) diterbitkan dengan tujuan utama
untuk membantu memperbaiki keadaan masyarakat dunia, dengan
menetapkan dua syarat. Pertama, untuk menjamin komitmen yang
meluas dan mendalam pada sebuah etika baru, yaitu etika
kehidupan berkelanjutan dan mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam
praktik. Hal yang lain adalah untuk mengintegrasikan konservasi
dan pembangunan, yaitu konservasi untuk menjaga agar kegiatan-
kegiatan kita berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan
pembangunan untuk memberi kesempatan kepada manusia di
mana pun guna menikmati kehidupan yang lama, sehat, serta
memuaskan.

CE menyatakan bahwa masyarakat yang berkelanjutan dapat


dicapai apabila dikaitkan dengan sembilan prinsip yang digariskan,
yaitu menghargai dan memelihara komunitas kehidupan,
meningkatkan kualitas kehidupan manusia, mengkonservasi
vitalitas, dan keanekaragaman bumi dengan mengkonservasikan
sistem penunjang kehidupan ekologis dan menjamin
keanekaragaman hayati serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya yang dapat diperbarui, meminimumkan penipisan sumber
daya yang tidak dapat diperbarui, mengubah perilaku dan
perbuatan pribadi, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
memelihara lingkungannya sendiri, menyediakan kerangka kerja
nasional untuk mengintegrasikan pembangunan dan konservasi,
serta menciptakan kerja sama global untuk mencapai keberlanjutan
global.

 Konferensi Rio de Janeiro


Konferensi Rio diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi
Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan
keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992.

11
Sebuah Panitia Persiapan UNCED (the United Nation
Conference on Environment and Development) telah dibentuk
untuk mengkoordinasikan berbagai masukan dari badan-badan
PBB, pemerintah-pemerintah serta lembaga-lembaga
nonpemerintah, dan untuk mengidentifikasikan tujuan bersama
serta kegiatan-kegiatan konkret yang akan diajukan kepada kepala-
kepala pemerintah untuk diterima. Empat pertemuan Panitia
Persiapan telah diadakan, sebuah proses yang dimulai dengan
pertemuan yang pertama di Nairobi pada bulan Agustus dan
September 1990.

Rio bukanlah semata-mata konferensi negara-negara. Akan


tetapi, juga konferensi rakyat. Bersamaan dengan konferensi resmi,
di Flamingo Park yang letaknya berdekatan dengan tempat
konferensi resmi, diadakan pertemuan yang disebut The ’92 Global
Forum, yang diikuti kurang lebih 10.000 orang yang mewakili 9.000
organisasi dan telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung.

Global Forum menyediakan berbagai kegiatan yang


diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
asosiasi-asosiasi yang meliputi International Forum of NGO’s and
Social Movement, Open Speakers Forum, dan pertemuan
kelompok-kelompok agama.

UNCED telah berhasil mencapai konsensus mengenai


beberapa bidang yang sangat penting, yang dituangkan dalam
berbagai dokumen dan perjanjian sebagai berikut.
a. The Rio de Janeiro Declaration on Environment and
Development yang menggariskan 27 prinsip fundamental
tentang lingkungan dan pembangunan.
b. Nonlegally Binding Authoritative Statement of Principles for a
Global Consensus on the Management, Conservation and
Sustainable Development of all Types of Forest (Forestry
Principles).
Prinsip-prinsip kehutanan ini merupakan konsensus
internasional yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek
pengelolaan, aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan
pengembangan, bersifat tidak mengikat secara hukum dan
berlaku untuk semua jenis atau tipe hutan.
c. Agenda 21 merupakan rencana kerja global yang pertama kali
disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan
berkelanjutan, meliputi berbagai isu ekonomi, sosial dan
lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari
semua negara di dunia.

12
Agenda 21 Indonesia memberikan serangkaian pandangan dan
inspirasi yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan
pada setiap tingkatan pembangunan di Indonesia, sedemikian
rupa sehingga lembaga-lembaga pemerintah, swasta, dan
masyarakat luas lainnya dapat memanfaatkan dokumen ini
sebagai referensi bagi penyusunan perencanaan dan program-
program jangka pendek dan panjang dalam menghadapi pasar
bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan. Dokumen ini
secara komprehensif dan terperinci mengungkapkan kaitan
antara pembangunan ekonomi dan sosial, serta memberikan
“paradigma baru” bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan
di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, Agenda 21 Indonesia dapat dijadikan


sebagai suatu advisory document yang mencakup aspek
kebijakan, pengembangan program, dan strategi yang meliputi
hampir seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial,
ekonomi, dan lingkungan.
d. The Framework Convention on Climate Change, yang memuat
kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas
rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai
kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut.
e. The Convention on Biological Diversity (Konvensi
Keanekaragaman Hayati), yang memberikan landasan untuk
kerja sama internasional dalam rangka konservasi spesies dan
habitat.
f. Dalam Pasal 1 Konvensi ini dinyatakan tentang tujuannya, yaitu
melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil
dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika melalui
akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang
relevan, serta pembiayaan yang cukup dan memadai.
g. Asas dalam Pasal 3 menyatakan bahwa negara memiliki
kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai
dengan kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baik di dalam
maupun di luar wilayah negaranya. Indonesia telah meratifikasi
Konvensi ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1994 pada
tanggal 1 Agustus 1994.

Berdasarkan prinsip ke-24 Deklarasi Stockholm yang


menganjurkan pemerintah-pemerintah untuk mengadakan
negosiasi dan membuat perjanjian internasional di bidang

13
lingkungan, komunitas internasional mulai bersungguh-sungguh
bekerja ke arah tersebut.

Beberapa konvensi ataupun perjanjian internasional yang


menetapkan kerangka internasional dalam rangka menangani
masalah lingkungan dan telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia, yaitu (Harry Supriyono, 2004: 2-3) sebagai berikut:

 Perlindungan Atmosfer
a. The Vienna Convention for the Protection of the Ozone
Layer 1985 beserta Protokol Montreal, diratifikasi dengan
Keppres No. 23 tahun 1992.
b. United Nations Framework Convention on Climate Change
1992. Konvensi Perubahan Iklim ini diratifikasi dengan
Undang-undang No. 6 Tahun 1994.

 Perlindungan Laut
a. International Convention for the Prevention of Pollution from
Ships 1973 dan Protocol 1978 yang berhubungan dengan
Konvensi tentang Pencemaran Laut yang berasal dari
Kegiatan Kapal (Marpol from Ships 73/78), diratifikasi
dengan Keppres No. 46 Tahun 1986.
b. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage 1969. (CLC 1969) dan International Convention on
the Establishment of an International Fund for Compensation
of Oil Pollution Damage (1971). Kedua Konvensi ini
diratifikasi dengan Keppres No. 18 Tahun 1978 dan Keppres
No. 19 Tahun 1978.
c. Protocol of 1992 to Amend the International Convention on
Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, diratifikasi
dengan Keppres No. 52 Tahun 1999
d. United Nations Convention on the Law of the Sea, diratifikasi
dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985.

 Konservasi Alam dan Cagar Budaya


a. The Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES 1973). Konvensi ini
diratifikasi dengan Keppres No. 43 Tahun 1978.
b. United Nations Convention on Biological Diversity 1992,
diratifikasi dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1994.
c. Convention for the Protection of the World Cultural and
National Heritage 1972, diratifikasi dengan Keppres No. 26
Tahun 1989.
d. International Tropical Timber Agreement 1994, diratifikasi
dengan Keppres No. 4 Tahun 1995.

14
e. International Plant Protection Convention, diratifikasi dengan
Keppres No. 2 Tahun 1977 dan Keppres No. 49 Tahun 1983.
f. Asean Agreement on the Conservation of Nature and
Natural Resources, diratifikasi dengan Keppres No. 26
Tahun 1986.

 Perlindungan Ekosistem
a. Convention on Wetlands of International Importance
Especially as Waterfowl Habitat, diratifikasi dengan Keppres
No. 48 Tahun 1991.
b. The United Nations Convention to Combat Desertification,
diratifikasi dengan Keppres No. 135 Tahun 1998.

 Pengelolaan Bahan Beracun dan Berbahaya


a. Basel Convention on the Control of Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and their Disposal 1989,
diratifikasi dengan Keppres No. 61 Tahun 1993.
b. Convention on the Prohibition of the Development,
Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and
Toxin Weapons on Their Destruction, diratifikasi dengan
Keppres No. 58 Tahun 1991.
c. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material,
diratifikasi dengan Keppres No. 49 Tahun 1986.
d. Convention on Early Notification of a Nuclear Accident,
diratifikasi dengan Keppres No. 81 Tahun 1993.

Beberapa prinsip yang mengikat secara hukum (soft law) pada


Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio de Janeiro, selanjutnya juga
mempunyai implikasi penting bagi perundang-undangan di
Indonesia. Terbentuknya UU No. 4 Tahun 1982 atau UULH di
Indonesia, yang diperbarui dengan UU No. 23 Tahun 1997 atau
UUPLH merupakan salah satu peristiwa penting, baik dilihat dari
sudut pembangunan nasional Indonesia maupun dari sudut
pembinaan hukum nasional.

Daftar Referensi:

Akib, Muhammad. (2013). Politik Hukum Lingkungan: Dinamika dan


Refleksinya dalam Produk Hukum Otonomi Daerah. Depok.
Rajawali Pers
Husin, Sukanda. (2009). Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.
Jakarta. Sinar Grafika.

15
Rahmadi, Takdir. (2018). Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia. (Cet.7).
Depok. PT RajaGrafindo Persada
Supramono, Gatot.(2013). Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
http://pn-ponorogo.go.id/joomla/index.php/artikel-umum/49-
perkembangan-hukum-lingkungan-di-indonesia diunduh 27 agustus
2019

16

Anda mungkin juga menyukai