Anda di halaman 1dari 17

Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi

Arum Atmawikarta

*)

Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman kita
bersama tentang pentingnya peranan investasi kesehatan dalam
pembangunan ekonomi. Sumber utama dari tulisan ini berasal dari
Konferensi Regional Anggota Parlemen Tentang Laporan Komisi
Makroekonomi dan Kesehatan yang diselenggarakan oleh World Health
Organization (WHO) di Bangkok, Thailand pada tanggal 15 17
Desember 2002. Konferensi ini diikuti oleh para anggota parlemen yang
berasal 9 negara, yaitu Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Maldives,
Myanmar, Nepal, Sri Lanka, dan Thailand.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Dunia Tentang Pembangunan Sosial
(The World Summit For Social Development) di Copenhagen tahun 1995
telah
dilakukan
pembahasan
dengan
tema
difokuskan
pada
penanggulangan
kemiskinan,
penciptaan
lapangan
kerja
dan
kesetiakawanan sosial. Dengan latar belakang ini, selanjutnya para
Menteri Kesehatan membicarakan tentang peranan kesehatan dalam
pembangunan berkelanjutan, pada pertemuannya yang ke-13 bulan
September 1995. Para Menteri Kesehatan sangat menyadari tentang
keterkaitan antara kemiskinan dengan kesehatan.
Selanjutnya, telah diterbitkan monografi tentang kaitan antara
kemiskinan dan kesehatan sebagai issu regional di Asia Tenggara pada
bulan Juli tahun 1997. Monografi tersebut antara lain menyimpulkan
bahwa kebijakan makroekonomi seharusnya diarahkan untuk menjamin
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial secara beriringan.
Analisis membuktikan bahwa penanggulangan kemiskinan dan
peningkatan status
kesehatan memerlukan kerangka kebijakan
makroekonomi yang kondusif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang cepat dan berkeadilan.
Pada pertemuan mereka pada tahun 1997, para Menteri Kesehatan
mengadopsi Deklarasi Tentang Pembangunan Kesehatan di Regional Asia
Tenggara untuk Abad ke-21. Pada pertemuan tersebut, mereka
menyatakan pendiriannya bahwa kesehatan adalah merupakan inti atau
pusat untuk pembangunan dan kesejahteraan. Mereka menyadari bahwa
terdapat hubungan yang sangat erat antara kemiskinan dengan
kesakitan, dan membuat komitmen diantara mereka untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan bagi penduduk miskin sebagai prioritas yang paling
tinggi.
Selanjutnya, dalam Deklarasi tentang Kesehatan Masyarakat di
Calcutta, pada bulan November 1999 antara lain meneguhkan komitmen
bahwa penangulangan kemiskinan, dan keadilan sosial, yang merupakan
*

Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH adalah Direktur Kesehatan dan Gizi
Masyarakat, BAPPENAS-red
)

Halaman 1

elemen utama untuk mewujudkan kesehatan bagi semua. Dengan


demikian, keterkaitan antara kesehatan dan pembangunan telah disadari
oleh para pemimpin kesehatan dan pembuat kebijakan di regional Asia
Tenggara.
Laporan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan (selanjutnya disebut
Komisi)
pada bulan Desember 2001 menekankan pentingnya
pembangunan manusia sebagai sentral pembangunan.
Keterkaitan Antara Kesehatan dan Pembangunan
Laporan Komisi, menganalisis berbagai hubungan keterkaitan
antara kesehatan dengan pembangunan ekonomi yang dapat diterangkan
melalui berbagai mekanisme. Berikut ini akan diuraikan pembahasan
terhadap tiga fokus area, yaitu pertama, kesehatan dan pembangunan,
kedua, kesehatan dan kemiskinan, dan ketiga, pendekatan dari aspek
demografi.
Pertama, Kesehatan dan Pembangunan.
Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga,
kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk
belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan
lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan
yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara sedang
berkembang, dimana proporsi terbesar dari angkatan
kerja masih
bekerja secara manual. Di Indonesia sebagai contoh, tenaga kerja lakilaki yang menderita anemia menyebabkan 20% kurang produktif jika
dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki yang tidak menderita anemia.
Selanjutnya, anak yang sehat mempunyai kemampuan belajar lebih baik
dan akan tumbuh menjadi dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga
yang sehat, pendidikan anak cenderung untuk tidak terputus jika
dibandingkan dengan keluarga yang tidak sehat.
Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik
merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan,
pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan berhasilnya tinggal
landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat didukung oleh
terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan
penyakit dan peningkatan gizi. Hal ini antara lain terjadi di Inggris
selama revolusi industri, Jepang dan Amerika Selatan pada awal abad ke20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan Asia Timur pada permulaan
tahun 1950-an dan tahun 1960-an.
Informasi yang paling mengagumkan adalah penelusuran sejarah
yang dilakukan oleh Prof. Robert Fogel, yang menyatakan bahwa
peningkatan ketersediaan jumlah kalori untuk bekerja, selama 200 tahun
yang lalu mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan pendapatan per
kapita seperti terjadi di Perancis dan Inggris. Melalui peningkatan
produktivitas tenaga kerja dan pemberian kalori yang cukup, Fogel

Halaman 2

memperkirakan bahwa perbaikan gizi memberikan kontribusi sebanyak


30% terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di Inggris.
Bukti-bukti makroekonomi menjelaskan bahwa negara-negara
dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, mengahadapi
tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan
jika dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan
pendidikannya. Pada Tabel 1 dibawah ini ditunjukkan tingkat
pertumbuhan dari beberapa negara sedang berkembang pada periode
1965-1994. Pengelompokan negara-negara tersebut didasarkan atas
tingkat pendapatan dan angka kematian bayi (sebagai proksi dari seluruh
keadaan penyakit pada tahun 1965). Tabel tersebut menjelaskan di
negara-negara dengan tingkat angka kematian bayi yang rendah
menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode
tertentu.

1965)

Tabel 1: Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita, 1965-1994


( Didasarkan atas Pendapatan dan Angka Kematian Bayi,

Angka
Kematian
Bayi (AKB),1965
Tahun
Dasar
Pendapatan, 1965
GDP < US$ 750
GDP US$ 750-1500
GDP US$ 1500-3000
GDP US$ 3000-6000
GDP > US$ 6000

AKB<
50

AKB
100

5.9
2.8
1.9

3.7
3.4
1.8
1.7
-0.5

50- AKB
150
1.0
1.1
1.1
0.3
-

100- AKB
150

>

0.1
-0.7
2.5
-

Sumber: WHO-SEAR, 2002

Terdapat korelasi yang kuat antara tingkat kesehatan yang baik


dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara statistik diperkirakan
bahwa setiap peningkatan 10% dari angka harapan hidup (AHH) waktu
lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 0.30.4%
pertahun, jika faktor-faktor pertumbuhan lainnya tetap. Dengan
demikian,
perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara negaranegara maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negaranegara sedang berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah
sekitar 1.6%, dan pengaruh ini akan terakumulasi terus menerus.
Peningkatan kesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah
panjangnya usia sangatlah penting. Dalam membandingkan tingkat
kesejahteraan antar kelompok masyarakat, sangatlah penting untuk
melihat angka harapan hidup, seperti halnya dengan tingkat pendapatan
tahunan. Di negara-negara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap
individu memiliki rata-rata hidup lebih lama, dengan demikian secara
ekonomis mempunyai peluang untuk untuk memperoleh pendapatan lebih
tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih panjang, cenderung
untuk menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan dan
menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan investasi akan

Halaman 3

meningkat,
ekonomi.

dan

pada

gilirannya

akan meningkatkan

pertumbuhan

Peranan kesehatan diantara berbagai faktor pertumbuhan ekonomi


dapat digambarkan dalam Diagram 1 dibawah ini. Dalam diagram
tersebut dapat dilihat, pembangunan ekonomi disatu fihak, merupakan
fungsi dari kebijakan dan institusi (kebijakan ekonomi, pemerintahan
yang baik, dan penyediaan pelayanan publik), dan faktor masukan
(sumber daya manusia, teknologi, dan modal perusahaan) dilain fihak.
Kesehatan mempunyai peranan ekonomi yang sangat kuat terhadap
sumber daya manusia dan modal perusahaan melalui berbagai
mekanisme seperti digambarkan.
Diagram 1: Kesehatan Sebagai Masukan Untuk Pembangunan Ekonomi

Kebijakan ekonomi
Pemerintahan yang baik
Penyediaan pelayanan publik
Sumberdaya manusia, termasuk:
Pendidikan, pelatihan, perkembangan
Fisik dan kognitif
Kesehatan
Teknologi, termasuk:
Pengetahuan ilmiah yang relevan
untuk menghasilkan inovasi dalam
difusi ekonomi dalam negeri dengan
menggunakan teknologi dari luar
Modal perusahaan, termasuk:
Investasi yang pasti dalam peralatan,
organisasi dan kerjasama karyawan,
peluang investasi untuk menarik
modal

Pertumb
uhan
ekonomi
:
Pertumb
uhan
GNP
perkapit
a,

Kesehatan yang buruk akan memberikan pengaruh buruk terhadap


pertumbuhan ekonomi, hal ini antara lain terjadi di sub-Sahara Afrika dan
Asia Selatan. Beban berat yang diakibatkan oleh penyakit dan pengaruh
gandanya terhadap produktivitas, kependudukan, dan pendidikan
mempunyai peranan dalam kinerja ekonomi yang buruk dan kronis di
negara-negara Afrika. Studi terbaru yang dilakukan oleh Bloom dan
Sachs, menemukan bahwa lebih dari setengahnya dari keterbelakangan
pertumbuhan di negara-negara Afrika jika dibandingkan dengan dengan
negara-negara di Asia Timur, secara statistik dapat diterangkan oleh
beban berat akibat penyakit, kependudukan, dan geografis jika
dibandingkan dengan variabel-variabel tradisional dari ekonomimakro
Halaman 4

dan politik pemerintahan. Sebagai contoh, tingginya angka prevalensi


penyakit malaria menunjukkan hubungan yang erat dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen atau lebih setiap tahunnya.
Kedua, Kesehatan dan Kemiskinan
Berbagai indikator kesehatan di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah jika dibandingkan dengan negara-negara
berpendapatan tinggi, memperlihatkan bahwa angka kesakitan dan
kematian secara kuat berkorelasi terbalik dengan pendapatan, seperti
terlihat dalam Tabel 2 dibawah ini. Studi lain dilakukan oleh Bank Dunia
yang membagi keadaan kesehatan antara kelompok penduduk
berpenghasilan tinggi dan rendah pada negara-negara tertentu. Sebagai
contoh, tingkat kematian anak pada quantil termiskin di Bolivia dan Turki
diperkirakan
empat kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat
kematian pada quantil terkaya. Dengan demikian kebijakan yang
diarahkan untuk menanggulangi penyakit malaria dan kekurangan gizi
secara langsung merupakan implementasi dari kebijakan mengurangi
kemiskinan.
Komitmen global untuk meningkatkan status kesehatan secara jelas
dicantumkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium
Development Goals-MDGs). Tujuan pembangunan milenium tersebut
antara lain: (1) menurunkan angka kematian anak sebesar
dua
pertiganya pada tahun 2015 dari keadaan tahun 1990; (2) menurunkan
angka kematian ibu melahirkan sebesar tiga perempatnya pada tahun
2015 dari keadaan 1990; dan (3) menahan peningkatan prevalensi
penyakit HIV/AIDS dan penyakit utama lainnya pada tahun 2015. Tujuan
pembangunan milenium difokuskan terhadap pengurangan kemiskinan
pada umumnya dan beberapa tujuan kesehatan pada khususnya,
sehingga terdapat keterkaitan antara upaya keseluruhan penurunan
kemiskinan dengan investasi di bidang kesehatan.
Tabel 2: Angka Harapan Hidup Dan Tingkat Kematian, Menurut Tingkat
Kemajuan Pembangunan Negara (1995-2000)
Tingkat
Pembangunan
Negara

Penduduk
(1999)
Juta

Rata-rata
Pendapata
n Tahunan
(US$)

Angka
Harapan
Hidup
(Tahun)

Angka
Kematian
Bayi (Per1000)

Sangat
Terbelakang

643

296

51

100

Angka
Kematian
Anak
Balita
(Per-1000)
159

Pendapatan
Rendah

1777

538

59

80

120

Pendapatan
MenengahBawah

2094

1200

70

35

39

Pendapatan
MenengahAtas

573

4900

71

26

35

Halaman 5

Pendapatan
Tinggi

891

25730

78

Sub-Sahara
Afrika

642

500

51

92

151

Sumber: Human Development Report 2001, Table 8, and CMH Calculation using World
Development Indicators of the World Bank

Beberapa alasan meningkatnya beban penyakit pada penduduk


miskin adalah: Pertama, penduduk miskin lebih rentan terhadap penyakit
karena terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi serta
kecukupan gizi. Kedua, penduduk miskin cenderung enggan mencari
pengobatan walaupun sangat membutuhkan karena terdapatnya
kesenjangan yang besar dengan petugas kesehatan, terbatasnya sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan terbatasnya pengetahuan
untuk menghadapi serangan penyakit.
Konsekuensi ekonomi jika terjadi serangan penyakit pada anggota
keluarga
merupakan bencana jika untuk biaya penyembuhannya
mengharuskan menjual aset yang mereka miliki atau berhutang. Hal ini
akan menyebabkan keluarga jatuh kedalam kemiskinan, dan jika tidak
bisa keluar dari hal ini akan mengganggu tingkat kesejahteraan seluruh
anggota keluarga bahkan generasi berikutnya. Serangan penyakit yang
tidak fatal dalam kehidupan awal akan mempunyai pengaruh yang
merugikan selama siklus hidup berikutnya. Pendidikan secara luas
dikenal sebagai kunci dari pembangunan, tetapi masih belum dihargai
betapa pentingnya kesehatan anak dalam pencapaian hasil pendidikan.
Kesehatan yang buruk secara langsung menurunkan potensi kognitif dan
secara tidak langsung mengurangi kemampuan sekolah. Penyakit dapat
memelaratkan keluarga melalui menurunnya pendapatan, menurunnya
angka harapan hidup, dan menurunya kesejahteraan psikologis.
Ketiga, Pendekatan Aspek Demograf
Hal yang paling merugikan, namun kurang diperhatikan, biaya yang
tinggi dari kematian bayi dan anak dapat ditinjau dari aspek demografi.
Keluarga miskin akan berusaha mengganti anaknya yang meninggal
dengan cara memiliki jumlah anak yang lebih banyak. Jika keluarga
miskin mempunyai banyak anak maka keluarga tersebut tidak akan
mampu melakukan investasi yang cukup untuk pendidikan dan kesehatan
untuk setiap anaknya. Dengan demikian, tingginya beban penyakit pada
keluarga yang memiliki banyak anak akan menyebabkan rendahnya
investasi untuk kesehatan dan pendidikan untuk setiap anaknya.
Bukti empiris tentang adanya hubungan antara tingkat fertilitas
dengan tingkat kematian anak adalah sangat kuat. Negara-negara yang
memiliki angka kematian bayi kurang dari 20, mempunyai angka ratarata tingkat fertilitas (Total Fertility Rate) sebesar 1.7 anak. Negaranegara dengan tingkat kematian bayi diatas 100 mempunyai angka ratarata tingkat fertilitas 6,2 anak. Pola ini menuntun pengertian kita bahwa
negara-negara yang mempunyai tingkat kematian bayi yang tinggi
mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk tercepat di dunia dengan
segala konsekwensinya.
Halaman 6

Ketika angka kematian anak menurun, disertai dengan turunnya


tingkat kesuburan, secara keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduk
juga menurun dan rata-rata umur penduduk akan meningkat. Ratio
ketergantungan penduduk juga akan menurun. Perubahan demografi ini
akan mendorong keseluruhan peningkatan GNP per kapita dan
pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya proporsi penduduk usia kerja
secara langsung meningkatkan GNP per kapita.
Memilih Intervensi Untuk Kesehatan Yang Lebih Baik
Di berbagai negara khususnya di negara-negara yang sedang
berkembang, ketersediaan sumber daya untuk mengatasi masalah
kesehatan sangat terbatas, oleh karena itu pemilihan alternatif intervensi
kesehatan yang cost-effective menjadi penting. Pada tahun 1978, melalui
Deklarasi Alma Ata tujuan kesehatan bagi semua telah disetujui oleh
seluruh negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health
Organization-WHO). Beberapa kesepakatan dalam deklarasi tersebut
adalah komitmen negara-negara anggota terhadap keadilan kesehatan,
lebih memfokuskan pelayanan kesehatan pencegahan (preventive) dan
peningkatan (promotive) dibandingkan dengan pengobatan (curative) dan
pemulihan (rehabilitative), meningkatkan kerjasama lintas sektoral, dan
meningkatkan partisipasi masyarakat.
Sampai saat ini beberapa komitmen tersebut belum dapat
diwujudkan. Sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah lebih
banyak mengalokasikan sumber daya untuk pelayanan kesehatan
pengobatan. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi alokasi,
penggunaan teknologi yang tidak tepat, dan inefisiensi teknis. Hanya
sedikit negara yang sukses mencapai kesehatan yang adil dan berhasil
menjalin kerjasama lintas sektor dan partisipasi masyarakat dengan
baik.
Menilai Status Kesehatan Penduduk
Status kesehatan penduduk biasanya dinilai dengan menggunakan
berbagai indikator yang secara garis besar dibagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, berisikan indikator yang menghitung jumlah
kematian yang terjadi selama periode tertentu. Contohnya adalah angka
kematian kasar (Crude Death Rate-CDR) dan angka kematian bayi (Infant
Mortality Rate-IMR). Kelompok penduduk yang mempunyai angka CDR
dan IMR yang rendah dikatakan mempunyai status kesehatan yang lebih
baik jika dibandingkan dengan kelompok penduduk yang angka CDR dan
IMR nya tinggi.
Kelompok
kedua,
berisikan
berbagai
indikator
yang
memperlihatkan jumlah orang yang menderita kecacatan akibat penyakit
tertentu. Contohnya adalah jumlah penderita AIDS, Tuberkulosis (TB),
Polio, dan sakit mental. Sama dengan kelompok pertama, kelompok
penduduk yang mempunyai jumlah penderita AIDS atau TB lebih sedikit

Halaman 7

dikatakan lebih sehat jika dibandingkan dengan kelompok penduduk yang


jumlah penderita penyakit tersebut lebih banyak.
Kedua kelompok indikator tersebut sayangnya tidak menjelaskan
kepada kita kapan kematian atau kecacatan terjadi, bagaimana tingkat
parahnya penyakit, dan berapa lama mereka menderita. Masyarakat
pempunyai nilai atau persepsi yang berbeda tentang hal-hal tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1993 kedua kelompok
indikator tersebut digabungkan kedalam satu indikator yang disebut
DALY ( Disability Adjusted Life Years ) untuk mengukur dengan lebih baik
status kesehatan penduduk. DALY menggambarkan jumlah tahun untuk
hidup sehat yang hilang sebagai akibat dari kematian dan kecacatan.
Satu DALY didefinisikan sebagai satu tahun yang hilang untuk hidup
sehat akibat dari kematian dan kecacatan. Penggunaan DALY dapat
digunakan untuk membandingkan kesehatan penduduk dari waktu ke
waktu atau membandingkan antara satu kelompok penduduk dengan
kelompok penduduk lain dengan lebih mudah dan sederhana.
Kesimpulannya, DALY mengukur beban yang ditimbulkan oleh penyakit
yang diakibatkan oleh kematian dan atau kecacatan yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Penggunaan indikator DALY dapat
dianalogikan dengan penggunaan indikator HDI (Human Development
Index) yang dikembangkan oleh UNDP yang merupakan indikator
komposit dari kesehatan, pendidikan dan tingkat pendapatan.
Komisi Makroekonomi dan Kesehatan dalam penyusunan
laporannya menggunakan DALY dan analisis manfaat biaya. Dalam
laporan tersebut satu DALY dinilai sebesar rata-rata pendapatan
perkapita dalam setahun.
Beban Penyakit Di Regional Selatan-Timur Asia
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah melakukan perhitungan
beban penyakit secara global (Global Burden of Disease-GBD) pada tahun
1999, 2000, dan 2001. Dalam GBD tersebut, penyakit dibagi dalam tiga
katagori besar yaitu penyakit menular (Communicable diseases), penyakit
tidak menular (Non-communicable diseases), dan kecelakaan (Injuries).
Pada Tabel 3
disajikan data perbandingan kehilangan DALY antara
Global dengan Regional Timur-Selatan Asia (South-East Asia RegionSEAR).
Tabel 3: Kehilangan Total DALY Dalam Tahun 1990 dan 1999-2001, pada
Tingkat Global dan SEAR (Dalam Juta)
Katagori
Penyakit
Penyakit
Menular
Penyakit
Tidak
menular

1990

1999

318

Global
615

277

622

SEAR
191
(31%)
156
(25%)

2000
Global
610
679

SEAR
184
(30%)
187
(28%)

2001
Global
616
673

SEAR
188
(31%)
177
(26%)

Halaman 8

Kecelakaan
TOTAL

534

201

1129

1438

65
(32%)
412
(28%)

183
1471

54
(30%)
425
(29%)

179
1468

54
(30%)
419
(29%)

Sumber: WHO-SEAR, 2002

Pada tabel tersebut dapat dilihat secara global pada tahun 1999
kehilangan total DALY sekitar 1.438 juta. Untuk regional Asia TimurSelatan pada kehilangan total DALY pada tahun 1999, 2000, dan 2001
berturut-turut sekitar 412, 425, dan 419 juta. Pada regional tersebut,
terjadi beban ganda dalam masalah kesehatan yaitu
disatu fihak
menghadapi masalah penyakit menular (seperti AIDS, TB, dan Malaria)
dilain fihak menghadapi penyakit tidak menular (misalnya Kanker,
Hipertensi, dan Diabetes).
Komisi telah mengidentifikasi tujuh penyebab utama kematian
yang dialami di negara-negara berpendapatan rendah (pendapatan
pertahun sekitar US$ 300) yaitu: HIV/AIDS, Malaria, Tuberkulosis/TB,
infeksi menular pada anak, masalah kesehatan ibu dan bayi, kekurangan
zat gizimikro, dan penyakit akibat merokok.
Komisi tersebut mengarahkan agar dilakukan intervensi langsung
terhadap tujuh penyebab utama kematian tersebut, dan intervensi
tersebut dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan dasar seperti
Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan jaringannya agar lebih dekat
pelayanannya terhadap penderita, disebut dengan sistem Dekat Dengan
Klien-DDK (Close to Client-CTC)
Sebagian besar kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan
intervensi esensial tersebut tidak memerlukan teknologi canggih atau
tenaga kesehatan dengan keahlian tinggi seperti tersedia di Rumah Sakit.
Dibawah ini disampaikan beberapa intervensi esensial yang diperlukan
untuk menangani berbagai penyakit penyebab utama kematian yaitu
sebagai berikut.
1.

HIV/AIDS: Ubah kebiasaan hidup, contohnya hanya melalukan


hubungan intim dengan satu partner, gunakan kondom, gunakan
transfusi darah yang aman, gunakan jarum suntik yang aman.

2.

Malaria: Gunakan kelambu yang telah dicelup dengan insektisida,


lakukan manajemen kasus yang baik.

3.

Tuberkulosis: Manajemen kasus yang lebih baik melalui DOTS


(Directly Observed Treatment Short-course)

4.

Penyakit infeksi menular pada anak: Imunisasi, penggunaan oralit


atau larutan gula garam

5.

Gangguan kesehatan ibu dan bayi: Pertolongan persalinan oleh


tenaga terlatih, imunisasi ibu dengan tetanus-toksoid

6.

Kekurangan zat gizimikro: Yodisasi garam, pemberantasan penyakit


cacing pada anak sekolah

Halaman 9

7.

Penyakit akibat tembakau: Larangan iklan rokok, naikan pajak


rokok.

Meningkatkan Keadilan Melalui Pentargetan Penduduk Miskin


Yang Lebih Baik
Memilih intervensi dengan biaya efektif seperti yang telah
diuraikan diatas tidak akan secara otomatis meningkatkan keadilan
pelayanan kesehatan. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
tingkat penggunaan (utilisasi) pelayanan kesehatan secara optimal dan
mempengaruhi status kesehatan yaitu hambatan geografik, pembiayaan,
dan sosio-antropologis. Dengan melaksanakan sistem DDK diharapkan
akan menghilangkan hambatan geografis. Untuk mengatasi hambatan
keuangan dianjurkan untuk melaksanakan sistem asuransi kesehatan
untuk menggantikan sistem pembayaran pelayanan kesehatan langsung.
Asuransi kesehatan, diluar asuransi swasta komersial akan mencegah
keluarga jatuh kedalam keadaan melarat. Komisi juga menganjurkan
diterapkannya skema skala kecil pembiayaan kesehatan yang berasal dari
masyarakat (Di Indonesia dikenal dengan Dana Sehat), sebagai
manifestasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Hambatan sosio-antropologi berkaitan dengan bagaimana tanggapan dari
sistem kesehatan terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat,
dan seberapa besar jarak ekonomi dan budaya antara pengguna dan
penyedia pelayanan kesehatan.
Apa Yang Harus Diperbuat : Sumberdaya Yang Diperlukan
Komisi Makroekonomi dan Kesehatan telah memberikan kontribusi
yang sangat penting dalam mendemontrasikan keterkaitan antara
peningkatan kesehatan dengan pembangunan ekonomi. Komisi mencatat
bahwa ada beberapa jenis penyakit yang memberikan kontribusi yang
tinggi terhadap memburuknya keadaan kesehatan, dan terdapat
intervensi yang efektif
untuk mencegah dan mengobati penyakit
tersebut.
Hal ini menggambarkan bahwa banyak keuntungan yang dapat
diraih oleh negara-negara berkembang jika pencegahan dan pengobatan
lebih diarahkan terhadap penangulangan penyakit- penyakit tersebut.
Komisi memberikan beberapa rekomendasi tentang langkahlangkah yang harus ditempuh untuk meningkatkan intervensi tersebut.
Tantangan-tantangan bagi negara-negara di regional Selatan dan Timur
Asia untuk menerapkan rekomendasi ini dan menjabarkannya dalam
paraktek, akan menjawab beberapa tujuan yang ditetapkan oleh Komisi.
Tingkat Pengeluaran Kesehatan Di Negara-Negara Berpendapatan
Rendah
Intervensi esensial yang diperlukan untuk mengurangi tingkat
kematian di negara-negara berpendapatan rendah tidaklah mahal, tetapi
tidak juga gratis. Komisi telah memperkirakan biaya yang diperlukan
Halaman 10

untuk melakukan intervensi esensial di negara-negara berpendapatan


rendah adalah kurang dari US$ 1.200 per orang per tahun. Paket
intervensi dan target serta cakupan intervensi disajikan dalam Tabel 4.
Sebagai contoh, diperkirakan cakupan DOTS untuk pengobatan TB akan
meningkat dari 44% dari pasien tang terinfeksi menjadi 60% pada tahun
2007, dan 70% pada tahun 2015.

Tabel 4: Cakupan Pelayanan Esensial Yang Harus Ditingkatkan


(Didasarkan atas cakupan pelayanan Tahun 2002)
2002

2007

2015

TB

44%

60%

70%

Malaria
Pengobatan
Pencegahan

31%
2%

60%
50%

70%
70%

HIV
Pencegahan (Diluar sektor Kesehatan)
Pencegahan (Dalam Sektor Kesehatan

10-20%
1- 10%

70%
40%

80%
70%

Perawatan Untuk Infeksi Oportunistik

6-10%

40%

70%

Imunisasi
BCG/DPT/Polio/Hepatitis B
Campak

75%
68%

90%
80%

90%
90%

Perawatan Balita
Infeksi Saluran Nafas
Diare

59%
52%

70%
70%

80%
80%

Pelayanan Kesehatan Ibu


Ante Natal Care (ANC)

65%

80%

90%

45%

80%

90%

20%

80%

80%

Pertolongan Persalinan Oleh


Tenaga Terlatih
Kebijakan Pengawasan Merokok
(iklan, pajak, konsumen)
Sumber: WHO-SEAR, 2002

Untuk mencapai peningkatan cakupan pelayanan seperti tercantum


pada Tabel 4 diatas, pada tahun 2007 diperlukan tambahan biaya US$ 14
per orang per tahun di negara-negara berpendapatan rendah, dan US$
22 per orang per tahun di negara-negara sangat miskin sebagai
tambahan dari pembiayaan kesehatan pada tahun 2002. Dengan kondisi
pengeluaran kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah
sebanyak US$ 21 per orang maka total pengeluaran pada tahun 2007
Halaman 11

menjadi US$ 34 dan menjadi US$ 38 pada tahun 2015. Tingkat


pengeluaran ini masih kasar sebagai angka minimum per orang yang
diperlukan untuk melakukan intervensi esensial. Perkiraan ini cukup
rasional jika dibandingkan dengan pengeluaran biaya kesehatan di
negara-negara maju yang besarnya lebih dari US$ 2000 per orang per
tahun. Namun disadari bahwa peningkatan biaya yang diharapkan
dinegara-negara berpendapatan rendah masih cukup tinggi mengingat
daya beli masyarakatnya masih rendah. Pembiayaan khusus diperlukan
diantara negara-negara tertentu tergantung dari epidemiologi penyakit
dan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Sekitar US$ 30-45 harus berasal dari pengeluaraan publik, untuk
dua alasan: Pertama, untuk memenuhi pelayanan publik (misalnya
pemberantasan penyakit infeksi menular), dimana individu kurang
mendapatkan insentif terhadap proteksi untuk dirinya sendiri, dan
Kedua, untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan dimana mereka tidak cukup memiliki uang.
Komisi sadar bahwa dengan pengeluaran publik sekitar US$ 30
45, belum banyak yang dilakukan guna peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan seperti halnya pelayanan komprehensif dinegara-negara maju.
Perkiraan ini adalah biaya minimal sitem kesehatan untuk menangani
penyakit infeksi menular dan pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi yang
merupakan proporsi terbesar untuk menghindari kematian di negaranegara berpendapatan rendah. Dengan memberikan intervensi pelayanan
kesehatan yang efektif akan meningkatkan kemampuan daerah untuk
menanggapi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat sebagai pra
kondisi untuk meningkatkan askes penduduk miskin terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan umum.
Peningkatan Biaya dan Manfaat Makroekonomi
Peningkatan biaya yang besar bagi intervensi kesehatan esensial
akan menyebabkan penurunan secara bermakna beban penyakit di
negara-negara berkembang. Perkiraan terbaik dari pengaruh pelayanan
kesehatan adalah menurunnya angka kematian total di negara-negara
berkembang akibat penyakit infeksi menular dan kesehatan ibu yang
rendah sekitar 8 juta per tahun pada tahun 2015, yang hal ini berasosiasi
dengan penurunan sekitar 330 juta DALYs. Perkiraan penurunan angka
kematian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 : Angka Kematian Dibawah Usia 60 Tahun, Dibandingkan Ada
Tidaknya Intervensi, Tahun 19982020
1998
Tahun
Dasar
Grup 1

13,956,9
96

2010
Tanpa
Dengan
Interven Interven
si
si
13,255,5 5,155,62
30
5

2020
Tanpa
Dengan
Interven Interven
si
si
12,671,0 4,593,47
00
9

Halaman 12

Infeksi dan
kurang gizi
Gangguan
Kesehatan
Ibu
Infeksi
Saluran
Nafas
Gangguan
Kesehatan
Perinatal

9,073,05
9
491,185

8,903,93
5
360,720

2,849,25
9
203,645

8,763,00
0
252,000

2,804,16
0
87,400

2,101,80
2

2,175,87
3

718,038

2,080,00
0

686,400

2,101,80
2

1,815,00
1

1,384,68
2

1,576,00
0

1,015,51
9

Sumber: WHO-SEAR, 2002

Jika terjadi peningkatan status kesehatan yaitu meningkatnya


angka harapan hidup di negara-negara berpendapatan rendah sebesar
0.5 tahun selama 19 tahun, katakanlah dari 59 tahun menjadi 68 tahun,
maka pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dapat mencapai sekitar
0.5% per tahun.
Peningkatan Biaya Kesehatan
Analisis perkiraan biaya untuk meningkatkan cakupan intervensi
pelayanan kesehatan yang esensial telah dilakukan terhadap 49 kegiatan
prioritas di 89 negara miskin. Intervensi ini telah diidentifikasi sebagai
kunci keberhasilan untuk menangani keadaan kesehatan bagi penduduk
miskin. Perluasan kegiatan ini didasarkan atas tingkat cakupan yang akan
dicapai pada tahun 2007 dan 2015 dengan data dasar tahun 2002.
Analisa biaya direncanakan untuk memperkirakan tambahan biaya
yang diperlukan untuk perluasan pelayanan yang didasarkan atas kondisi
saat ini. Biaya yang diperlukan untuk memperluas kegiatan pelayanan
kesehatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6: Peningkatan Biaya Intervensi Kesehatan


Total Pengeluaran Kesehatan

Semua Negara
Asia Selatan

Biaya Inkremental

2002
(Tahun
dasar)
106.1
(3.7%)

2007

2015

2007

2015

162.8
(4.5%)

200.3
(3.9%)

25
(0.7%)

46
(0.9%)

36.0
(4.9%)

51.4
(5.7%)

59.8
(4.8%)

7
(0.8%)

11
(0.9)

Catatan: Biaya dalam Juta US$, Angka dalam kurung adalah % dari GNP, Berdasarkan 8
Negara Asia Selatan

Halaman 13

Mobilisasi Sumberdaya Dalam Negeri Yang Lebih Besar Untuk


Kesehatan
Tidak cukupnya tingkat pengeluaran biaya kesehatan, adalah
sebagai refleksi dari kemiskinan. Ketika suatu negara mempunyai GNP
sekitar US$ 500 per orang per tahun, walaupun pengeluaran kesehatan
sebanding dengan 5% dari GNP maka jumlahnya sekitar US$ 25 per
orang per tahun. Terdapat 1,8 miliar penduduk hidup di negara-negara
yang pendapatan per kapitanya kurang dari US$ 500, dan terdapat 350
juta penduduk yang hidup di negara-negara tersebut dengan pengeluaran
biaya kesehatan kurang dari US$ 25 per orang per tahun. Tidak ada satu
pun negara dengan pendapatan US$ 500 atau kurang per tahun
mempunyai pengeluaran US$ 30 per orang per tahun untuk kesehatan.
Dan tidak ada satu negara pun yang pemerintahnya mengeluarkan US$
20 per orang per tahun untuk pengeluaran publik untuk kesehatan.
Negara-negara termiskin didunia ditandai dengan teramat
rendahnya pengeluaran biaya untuk kesehatan dibanding dengan standar
negara-negara berpendapatan tinggi. Walaupun seandainya negaranegara miskin tersebut mengalokasikan sumber daya dalam negeri lebih
banyak untuk kesehatan hal ini tidak akan memecahkan masalah
mendasar: negara-negara miskin tidak memiliki sumber daya biaya yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakatnya. Dengan perkiraan US$ 30 40 per kapita untuk
pelayanan esensial, jumlah ini akan menyerap sekitar 10% dari GNP dari
negara miskin tersebut, jauh dari sumber daya dalam negeri yang dapat
dimobilisasikan.
Komisi telah menguji secara hati hati peningkatan sumber daya
dalam negeri, terutama sumber daya biaya yang dapat dimobilisasi untuk
kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah. Berkaitan dengan
sumber daya sektor publik, kemampuan untuk meningkatkan anggaran
kesehatan tentu akan berbeda antar negara hal ini dipengaruhi oleh
struktur ekonomi, kemampuan mengumpulkan pajak, kemampuan bayar
hutang, dan banyak faktor lainnya. Masih terdapat beberapa kasus
dimana pengeluaran publik untuk kesehatan yang sangat rendah
mungkin dapat dimobilisasi,
tetapi komitmen politik sangat sulit
diperoleh.
Jika masyarakat secara tegas dapat dibedakan secara
geografis maupun etnis, pemerintah cenderung memilih untuk
mengalokasikan untuk kelompok minoritas daripada untuk kelompok
penduduk yang luas. Begitu pula halnya jika terdapat diskriminasi yang
merugikan terhadap perempuan yang bertanggung jawab terhadap
perawatan kesehatan keluarga, seringkali perhatian menjadi kurang
terhadap kelompok miskin secara keseluruhan.
Dapat juga terjadi pengeluaran kesehatan seringkali menjadi tidak
efisien atau bahkan percuma. Keadaan ini terutama terjadi akibat
pengeluaran langsung untuk kesehatan oleh orang miskin guna
memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas rendah dan pengobatan
Halaman 14

kurang tepat. Di China dan India sebagai contoh, penduduk miskin di


desa membayar langsung sekitar 85% palayanan kesehatannya untuk halhal yang tidak layak misalnya untuk pembelian obat yang tidak bermutu,
dan tenaga kesehatan yang kurang profesional dan tidak memiliki
lisensi.
Walaupun sebagian besar negara akan memobilisasi lebih banyak
biaya untuk kesehatan, tetapi sangatlah realistik untuk memperkirakan
bahwa meningkatnya pendapatan tidak akan lebih dari 1 2% dari GNP
dinegara-negara berpendapatan rendah. Sebagai pedoman indikatif,
diperkirakan bahwa rata-rata di negara berpendapatan rendah akan
meningkatkan pengeluaran biaya untuk kesehatan menjadi 1% dari GNP
pada tahun 2007 dan 2% pada tahun 2015. Bagi negara-negara dengan
pendapatan per kapita US$ 500, kenaikan $ 5 per kapita per tahun pada
tahun 2007 dan $ 10 pada tahun 2015 tidaklah cukup untuk menutupi
jurang antara biaya untuk pelayanan esensial dengan ketersediaan
sumber daya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan
memobilisasi sumber sumber dana dari luar negeri (donor) untuk dapat
menutupi kekurangan pembiayaan bagi negara-negara berpendapatan
rendah.
Strategi dasar untuk reformasi pembiayaan kesehatan di negaranegara berpendapatan rendah, Komisi menyarankan 6 langkah yaitu:
(1) meningkatkan mobilisasi pajak umum untuk kesehatan guna mencapai
1% dari GNP pada tahun 2007 dan 2% pada tahun 2015, (2)
meningkatkan bantuan dari negara donor untuk membiayai pengadaan
barang publik guna menjamin akses penduduk miskin terhadap
pelayanan kesehatan esensial, (3) mengalihkan pengeluaran langsung ke
sistem pra bayar, termasuk program pembiayaan masyarakat yang
didukung oleh pembiayaan publik jika memungkinkan, (4) menggali
inisiatif untuk membantu negara-negara sangat miskin (HIPC), (5)
mengatasi inefisiensi sumber daya pemerintah dan digunakan untuk
sektor kesehatan, (6) realokasi pengeluaran biaya publik dari
pengeluaran yang tidak produktif dan subsidi untuk sektor sosial agar
lebih fokus untuk penduduk miskin.
Menghilangkan Hambatan Non-Biaya Untuk Pelayanan Kesehatan
Sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah memerlukan
upaya khusus untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terutama untuk
menerapkan sistem DDK dan dukungan manajemen sangat diperlukan.
Komisi menilai secara detil berbagai hambatan non-finansial yang harus
diatasi, (lihat Tabel 7). Terdapat lima katagori hambatan yaitu sebagai
berikut: (1) pada tingkat keluarga dan masyarakat, (2) tingkat pelayanan
kesehatan, (3) tingkat kebijakan sektor kesehatan dan manajemen
strategik, (4) isu kebijakan publik, dan (5) karakteristik lingkungan.
Tabel 7: Katagorisasi Hambatan
Tingkat

Hambatan

Halaman 15

Keluarga dan Masyarakat

Terbatasnya permintaan untuk intervensi yang


efektif
Hambatan untuk menggunakan intervensi yang
efektif : fisik, biaya, sosial.

Pelayanan Kesehatan

Kurangnya dan tidak meratanya distribusi tenaga


profesional kesehatan;
Lemahnya bimbingan teknis, manajemen, dan
supervisi;
Tidak cukupnya alokasi obat dan alat kesehatan;
Terbatasnya peralatan dan infrastrutur (termasuk
laboratorium dan komunikasi) dan rendahnya
aksesibilitas pelayanan kesehatan.

Kebijakan Sektor
Kesehatan dan
Manajemen Strategik

Lemahnya dan tersentralisasinya sistem


perencanaan dan manajemen;
Lemahnya kebijakan obat dan peralatan
kesehatan;
Tidak memadainya regulasi kefarmasian dan
sektor swasta dan praktek industri;
Kurangnya kerjasama dan kemitraan dibidang
kesehatan antara pemerintah dan masyarakat
sipil;
Kurangnya insentif untuk menggunakan input
secara efisien dan tanggapan terhadap kebutuhan
pengguna;
Ketergantungan terhadap biaya dari donor
sehingga mengurangi fleksibilitas dan rasa
memiliki, kebijakan donor bertentangan dengan
kebijakan negara.

Kebijakan Publik Antar


Sektor
Karakteristik Lingkungan

Birokrasi pemerintahan
Terbatasnya ketersediaan infrastruktur
komunikasi dan transportasi
A. Belum terciptanya Good Governance
Korupsi, pemerintahan yang lemah, lemahnya
hukum;
Ketidak stabilan politik dan keamanan;
Prioritas yang rendah bagi sektor sosial;
Rendahnya akuntabilitas publik;
Terbatasnya kebebasan press.
B. Lingkungan Fisik
Keadaan iklim dan geografik sebagai
peredisposisi timbulnya penyakit;
Keadaan fisik yang menghambat palayanan
kesehatan

Halaman 16

Daftar Pustaka
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of
Parliamentarians on the Report of the Commission on
Macroeconomics and Health :Health and Development Regional
Initiatives, Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of
Parliamentarians on the Report of the Commission on
Macroeconomics and Health: Selecting Interventions For Better
Health Outcomes, Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of
Parliamentarians on the Report of the Commission on
Macroeconomics and Health: What needs to be done: Resources
to do the needful Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.

Halaman 17

Anda mungkin juga menyukai