Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS HUKUM KASUS KEBAKARAN HUTAN OLEH PT.

BUMI MEKAR
HIJAU DIKAITKAN DENGAN ASAS STRICT LIABILITY (Studi Kasus Sengketa
Perdata Nomor: 24/Pdt.G/2015/PN.Plg)

Latar Belakang
Kebakaran Hutan di wilayah Sumatera Selatan mengakibatkan banyak kerugian di berbagai
bidang. Salah satunya kasus kebakaran hutan pada lahan milik PT. Bumi Mekar Hijau dan
dibawa ke jalur hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan
telah diputus di Pengadilan Negeri bahwa PT. Bumi Mekar Hijau tidak terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum, Namun pada tingkat banding PT. Bumi Mekar Hijau dijatuhi
hukuman ganti rugi dengan menggunakan pendekatan asas tanggung jawab mutlak.

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim dalam kasus ini telah menerapkan asas
perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata. Hakim
menganggap tidak ada kerugian yang terjadi akibat kebakaran ini karena tidak terjadi
kepunahan atau kerusakan ekologis yang ditimbulkan sehingga tanah masih dapat ditanami
lagi, dan tidak adanya kesengajaan dari PT. Bumi Mekar Hijau untuk membuka lahan dengan
cara membakar lahan, karena kapan terjadinya kebakaran dan siapa pelakunya tidak diketahui
maka perbuatan melawan hukum tidak dapat dibuktikan. Analisis dan perbandingan dua
putusan tersebut kasus kebakaran hutan yang diajukan Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan terhadap PT. Bumi Mekar Hijau adalah pihak tergugat dalam hal ini PT. Bumi
Mekar Hijau dikenakan tuntutan ganti rugi atas kebakaran yang terjadi pada lahan yang
dikelolanya merujuk pada Pasal 88 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal tersebut juga sudah terlaksanakan
dengan adanya putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/ PDT/2016/PT.PLG yang
menghukum pihak tergugat PT. Bumi Mekar Hijau membayar biaya ganti rugi sebesar Rp.
78.502.500.000.00 (tujuh puluh delapan milyar limaratus dua juta limaratus ribu rupiah).
Selain dari hal ganti rugi pihak PT. Bumi Mekar Hijau tidak dikenakan sita jaminan maupun
pencabutan izin usaha.
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup

Latar Belakang
Keberadaan industri membawa dampak positif terhadap perekonomian. Namun bersma
berjalannya proses produksi, akan menghasilkan pula produk buangan yang disebut sebagai
limbah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tanggung jawab dari perusahaan di
mana dalam kasus ini adalah PT Surabaya Industrial Estate Rungkut terhadap pencemaran
limbah di lingkungan sekitar perusahaan.

Pembahasan
Mengacu pada analisis yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, diketahui bahwa dalam
kasus pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT SIER, tanggung jawab yang
diberikan oleh korporasi hanya dapat muncul ketika telah adanya gugatan dengan bukti kuat
di muka peradilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
unsur strict liability dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang merubah frasa “tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan” dalam Pasal 88 UndangUndang No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana frasa tersebut merupakan ciri
utama suatu unsur pokok dari asas strict liability.36 Penghapusan frasa tersebut menjadikan
tanggung jawab korporasi yang melakukan perbuatan pencemaran limbah B3 atau
perusakanlingkungan berdasarkan pada kesalahan (liability based on fault). Hingga saat ini
tidak terdapat gugatan yang diajukan kepada PT SIER sehingga pencemaran lingkungan yang
diduga terjadi akibat kebocoran limbah IPAL PT SIER ini tidak menyebabkan munculnya
tanggungjawab PT SIER terhadap masyarakat. Apabila di kemudian hari terdapat gugatan
dengan bukti kuat yang menyebabkan PT SIER dianggap bersalah atas pencemaran
lingkungan yang terjadi, maka sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah dan teguran,
denda sebagai uang paksa, denda administratif berupa “sanksi administratif berupa denda”,
pencabutan persetujuan, dan pencabutan perizinan berusaha dapat dijatuhkan kepada PT
SIER.
PENYELESAIAN KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAWASAN
INDUSTRI BERBASIS PENINGKATAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT DI
KOTA SEMARANG

Latar Belakang
Pencemaran lingkungan hidup dan degradasi kualitas enfiromental terjadi di antara penyebab
pelanggaran implementasi peraturan lingkungan oleh industri, yang memiliki peran penting
di era globalisasi dan otonomi daerah, karena saat ini, walaupun tidak semuanya harus
terdegradasi ke industri karena Individu, masyarakat dan bahkan negara-negara juga
berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Akibat dari semua ini, di kawasan industri
masih jauh dari harapan.

Pembahasan
Hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa penyelesaian kasus pencemaran
lingkungan hidup oleh DLH Kota Semarang dalam menangani laporan pencemaran
lingkungan adalah melakukan verifikasi lapangan dan pemberian sanksi administrasi berupa
teguran tertulis sampai dengan Paksaan Pemerintah sesuai Pasal 76-83 UUPPLH. Bentuk
penyelesaian kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup kawasan industri Kota
Semarang berbasis peningkatan pembangunan berkelanjutan yang mengacu kepada tiga pilar
dalam sustainable development yang pada dasarnya seimbang, yakni ekonomi, keadilan
(sosial) masyarakat dan ekologi.
ANALISIS HUKUM PENINDAKAN BAGI PELANGGARAN DAN
PENYALAHGUNAAN LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI
UNDANGUNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Latar Belakang
Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui sanksi apakah yang akan diberikan
kepada pelanggar dan penyalahgunaan lingkungan hidup baik perseorangan atau badan
hukum perusahaan dan bagaimanakah para penegak hukum dalam menindak para perusak
lingkungan hidup di mana dengan metode penelitian hukum normative.

Pembahasan
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
merupakan hukum yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta
peningkatan ketahanan lingkungan. Selain itu hukum lingkungan adalah keseluruhan
peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan
terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu
sanksi oleh pihak yang berwenang.
2. Tindakan hukum yang diberikan terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan
terdiri dari aspek administrasi, aspek perdata, aspek pidana.sanksi administratif terdiri atas
teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, pencabutan izin
lingkungan, sanksi perdata dan sanksi pidana. Sedangkan terhadap penyelesaian sengketa
lingkungan hidup sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dilakukan di luar
dan dalam pengadilan, Penegakan hukum lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 dapat dilakukan secara preventif dan secara represif dan ditujukan langsung
untuk mencegah terjadlnya perusakan dan atau pencemaran lingkungan.
Analisis Hukum Pertanggung Jawaban Izin Pengelolaan Limbah PT. Antam terhadap
Dampak Kerusakan Lingkungan Pantai Pomalaa

Latar Belakang
Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis pengelolaan limbah PT. Antam sesuai dengan
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup. Untuk menganalisis pertanggungjawaban izin
pengelolaan limbah PT. Antam yang berdampak pada kerusakan pantai Pomalaa. Hukum
administrasi lingkungan adalah bagian dari pengembangan sebuah teori (ilmu) yang sangat
relevan terhadap pemecahan isi hukum yang diangkat, sehingga dapat dipastikan bahwa
eksistensi hukum administrasi adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari substansi
hukum administrasi negara itu sendiri.

Pembahasan
Pengelolaan limbah PT. Antam belum sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014
dengan, prinsip-prinsip 1. Asas Manfaat, 2. Asas Keadilan, 3. Asas Keadilan Ekologis, 4.
Asas Keseimbangan, 5. Asas Keberpihakan Kepada Kepentingan Bangsa, 6. Asas
Partisipatif, 7. Asas Transparansi, 8. Asas Akuntabilitas, 9. Asas Keberlanjutan dan
berwawasan lingkungan. Pertanggung jawaban izin pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag
B3 Antam tidak transparan dimana pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka tidak memperoleh
data tentang jumlah produksi nikel beserta jumlah produksi limbah slagyang dihasilkan.
Tidakada data rutin yang dilaporkan kepada Pemkab Kolaka baik di Dinas Lingkungan Hidup
maupun di Dinas perindustrian terkait jumlah tonase atau kubikasi limbah slag B3. Apabila
yang bertanggung jawab dalam tindak hukum adalah pengurus atau pemberi perintah dalam
kegiatan korporasi tersebut, maka pengurus atau pemberi perintah yang dalam hal ini adalah
orang perorangan dapat dijatuhi dengan pidana penjara dan denda sebagai bentuk
pertanggungjawaban hukum, inilah yang dinamakan Vicarious Liability
(pertanggungjawaban pengganti). Sanksi pidana dumping limbah tanpa izin diatur dalam
Pasal 104 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Latar belakang
Tindak pidana pencemaran lingkungan hidup semakin meningkat. Salah satu cara untuk
mengatasi hal tersebut dengan memberikan sanksi pidana yang berat kepada pelaku tindak
pidana pencemaran lingkungan hidup guna memberikan efek jera kepada pelaku, adapun
yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan hidup.

Pembahasan
Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan hidup
adalah sesungguhnya pelaku sudah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana pencemaran lingkungan hidup sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
Namun, penjatuhan pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tidak sesuai dengan ketentuan
pidana yang dirumuskan dalam Pasal 98 ayat (1) UUPPLH yang dijeratkan kepada terdakwa
dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Yang artinya pidana penjara dan pidana denda
bersifat kumulatif. Tetapi dalam Putusan Nomor 18/Pid.Sus-LH/2016/PN Klk, hakim hanya
menjatuhkan pidana denda tanpa disertai dengan pidana penjara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (1) UUPPLH, sehingga tidak memberi efek jera kepada pelaku.
PEMBERIAN SANKSI BERUPA PEMULIHAN LINGKUNGAN AKIBAT
PERTAMBANGAN BATU BARA OLEH KORPORASI (ANALISIS PUTUSAN PN.
NOMOR 526/PID.SUS-LH/2017/PNTG)
Latar Belakang
Penerapan sanksi pidana terhadap perusakan lingkungan di bidang pertambangan bertujuan
untuk mengetahui Pemulihan lingkungan hidup pasca pertambangan oleh korporasi dan untuk
mengetahui sanksi pidana terhadap korporasi dalam pemulihan lingkungan pasca
pertambangan.
Pembahasan
Dalam kaitannya dengan pihak yang bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana
pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan oleh korporasi, dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam hal ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan
hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberataan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali
dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Hal tersebut menjelaskan yaitu ada
dua pihak yang bertanggungjawab yaitu, pengurus dan korporasi. Pemulihan lingkungan
hidup akibat pertambangan diatur dalam UUPLH yaitu mengenai ketentuan sanksi
administrasi berupa paksaan pemerintah terhadap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan
untuk penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan. Selain itu UU Minerba menjelaskan bahwa, pada tahap IUP Eksplorasi
perusahaan pertambangan diwajibkan memenuhi reklamasi dan pascatambang serta ada
jaminan Reklamasi dan Dana Pascatambang. Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan
lebih khusus diatur dalam Peraturan pemerintah nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi
dan Pascatambang yang wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.
Jaminan reklamasi ditempatkan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka
dalam jangka panjang paling lama 30 hari setelah rencana kerja dan anggaran biaya tahap
eksplorasi disetujui. Penempatan jaminan reklamasi tidak menghilangkan kewajiban
pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan rekalamasi. Jaminan pascatambang ditetapkan
setiap tahun dalam bentuk deposito berjangka pada bank pemerintah. Penempatan jaminan
pascatambang tidak menghapuskan kewajiban pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi untuk melaksanakan pascatambang. Reklamasi dan pascatambang pada
IPR, pemerintah kabupaten/kota wajib menyusun reklamasi dan rencana pascatambang
berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Urgensi Penerapan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai Kontrol Dampak
terhadap Lingkungan di Indonesia

Latar Belakang
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana urgensi penerapan Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) sebagai kontrol dampak terhadap lingkungan di Indonesia. Terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, faktor utama yang harus menjadi
fokus perhatian adalah terkait dengan perizinan, karena faktor perizinan dapat dijadikan
pegangan bagi pelaku usaha yang akan mengelola lingkungan. Perizinan lingkungan
dikaitkan dengan keharusan memperoleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Statute approach dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini.

Pembahasan
kedudukan AMDAL dalam pengelolaan Lingkungan hidup sangat penting dan strategis
karena merupakan instrumen pencegahan pencemaran lingkungan yang menentukan mutu
lingkuangan melalui mekanisme pengujian dokumen seperti AMDAL dan UKL-UPL.
Selanjutnya penerapan AMDAL juga menjadi sistem yang menjaga stabilitas tujuan
perusahaan; Penyimpangan terhadap prosedur penerapan AMDAL sebagai syarat perizinan
memiliki mekanisme penegakan hukum yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan
pidana. Di antara ketiga bentuk penegakan hukum yang tersedia, penegakan hukum
administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum terpenting. Hal ini karena penegakan
hukum administrasi lebih ditunjukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan
perusakan lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk
menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.
PEMBERIAN IZIN LINGKUNGAN TERHADAP KEGIATAN USAHA YANG
WAJIB MEMILIKI ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN DITINJAU DARI
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Latar Belakang
Izin lingkungan berdasarkan Undang-Undang Tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah syarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau
kegiatan. Berfungsi sebagai instrumen pencegahan kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan milik makhluk hidup, substansi, energi dan/atau komponen lain yang
tercemar oleh aktivitas manusia yang lebih besar dari kualitas standar lingkungan hidup yang
ditetapkan. Pengendalian diperlukan untuk memantau insiden pencemaran lingkungan hidup.
Pengendalian atau pengendalian lingkungan hidup singkat adalah rangkaian kegiatan yang
secara langsung maupun tidak langsung oleh Pejabat Pengendali Lingkungan Hidup (PPLH)
untuk mengetahui, memastikan, dan menentukan tingkat kepatuhan penjamin usaha dan/atau
kegiatan yang diatur dalam lisensi evironmental dan peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Perizinan merupakan wujud keputusan
pemerintah dalam hukum administrasi negara.

Pembahasan
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yaitu kajian mengenai dampak
besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha dan/atau
kegiatan. Izin merupakan “Keputusan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara”. Penetapan
perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan
kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta
membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Izin lingkungan dengan izin
usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lainnya. Dalam proses
penyusunan AMDAL, baik UU Cipta Kerja maupun UU PPLH sama-sama mengatur
mengenai keterlibatan masyarakat. Namun, ketentuan dalam UU Cipta Kerja mempersempit
definisi masyarakat. Masyarakat yang dimaksud dalam UU PPLH adalah masyarakat yang
terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan dalam proses Amdal, sedangkan dalam UU Cipta Kerja, masyarakat yang
dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak langsung.
PENENTUAN SUBJEK HUKUM PADA PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN (ANALISIS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1363 K/PID.SUS/2012)

Latar Belakang
Penegakan hukum lingkungan sudah memperkenalkan korporasi sebagai subjek hukum.
Namun dalam pelaksanaannya masih terbilang belum secara tegas dilakukan. Hal ini
dikarenakan masih kakunya paradigma berpikir penegak hukum terkait konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi yang dihadapkan pada ketentuan sanksi dan
pembuktian kesalahan tindak pidana.

Pembahasan
Baik tanggung jawab korporasi dan tanggung jawab orang perorangan sudah cukup jelas
diatur di dalam peraturan yang ada. Pemisahan secara tegas terhadap pelaku tindak pidana
baik itu korporasi maupun orang perorangan telah nyata, tinggal bagaimana perubahan
tersebut diikuti oleh paradigma penegak hukum sebagai pelaksana dari suatu peraturan. Jika
melihat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 1363 K/Pid.Sus/2012 ini sepertinya adanya
suatu kelemahan dari majelis hakim dalam menentukan apa dan siapa subjek hukum yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perusakan dan pencemaran lingkungan akibat
dari kebakaran lahan areal perkebunan. Kesalahan diawal sangat menentukan bagaimana
putusan yang akan dibuat. Inkonsistensi ini dapat mengakibatkan terampasnya hak kebebasan
seseorang yang berujung pada kriminalisasi personal. Kesalahan dalam penentuan subjek
hukum dalam kejahatan tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1363 K/Pid.Sus/2012 sangat tidak sesuai dengan asas-asas yang
hidup serta tidak terwujudnya tujuan dari hukum itu sendiri. Selain daripada itu, kesalahan
dalam penentuan subjek hukum juga dapat digolongkan sebagai pembiaran terhadap tindak
pidana, sebab tidak menutup kemungkinan korporasi tetap melakukan hal yang sama dengan
pegawai yang berbeda. Sanksi yang memberi efek jera yang dialami oleh korporasi dirasa
dapat dijadikan acuan bagi korporasi lain untuk tidak melakukan hal kesalahan yang sama.
Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam Perma Nomor 13 Tahun
2016 kiranya dapat dijadikan pedoman dalam langkah awal penentuan subjek hukum apabila
berkaitan dengan sebuah korporasi. Penegak hukum harus mulai berani dan mencoba
melakukan penjeratan kepada korporasi yang melakukan kesalahan.

Anda mungkin juga menyukai