Anda di halaman 1dari 20

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM BAGI

PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3


(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 178/PDT.G/LH/2019/PN BLB)

Aat Andini1, H. Slamet Supriyatna, M. Rikhadus Djoka2

ABSTRAK

Banyaknya kasus tentang pencemaran lingkungan yang sering terjadi adalah


pencemaran air akibat limbah B3. Pertanggung jawaban hukum dari segi perdata
bagi perusahaan dalam pengelolaan limbah B3 pada Putusan Perkara Nomor
178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb yaitu mengganti kerugian lingkungan hidup kepada
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sejumlah Rp.
4.255.400.000,00 (empat milyar dua ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu
rupiah) secara tunai melalui Rekening Kas Negara. Penyelesaian hukum antara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan PT. Kamarga Kurnia
Textile Industry melalui pengadilan berdasarkan Putusan Perkara Nomor
178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb terkait gugatan ganti kerugian akibat pencemaran
lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Kamarga Kurnia Textile Industry
dengan cara membuang hasil limbah B3 ke sungai Cibaligo yang dihasilkan dari
kegiatan usahanya.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban, Perbuatan Melawan Hukum, limbah B3

ABSTRACT

The number of cases of environmental pollution that often occurs is water


pollution due to B3 waste. Legal liability from a civil perspective for companies
in B3 waste management in Case Decision Number 178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb,
namely to compensate for environmental losses to the Ministry of Environment
and Forestry of the Republic of Indonesia in the amount of Rp. 4,255,400,000.00
(four billion two hundred fifty five million four hundred thousand rupiah) in cash
through the State Treasury Account. Legal settlement between the Ministry of
Environment and Forestry and PT. Kamarga Kurnia Textile Industry through the
court based on Case Decision Number 178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb related to the
claim for compensation due to environmental pollution carried out by PT.
Kamarga Kurnia Textile Industry by disposing of B3 waste into the Cibaligo river
which is generated from its business activities.

Keywords: Accountability, Unlawful Acts, B3 waste

1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
2
Dosen Pembimbing I dan II Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

i
PENDAHULUAN

Substansi hukum lingkungan mencakup sejumlah ketentuan-ketentuan


hukum tentang dan berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi
masalah-masalah lingkungan hidup. Tentang pembidangan dalam hukum
lingkungan, tampaknya di antara para sarjana tidak terdapat kesamaan
pendapat.3Beberapa indikasi pencemaran telah terjadi di beberapa tempat di
Indonesia, beberapa kasus-kasus sengketa lingkungan diselesaikan melalui proses
pengadilan dan sebagian lain diselesaikan melalui proses mediasi.4
Diantara banyaknya kasus tentang pencemaran lingkungan yang
membahayakan lingkungan itu sendiri dan kehidupan manusia, hewan juga
tumbuhan. Yang paling sering terjadi adalah pencemaran air. Air bersih harus
mempunyai standar B3 yaitu tidak berwarna, berbau, dan beracun. Pencemaran air
adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari
kemurniaannya. Banyak air tawar tercemar berat oleh sisa-sisa pembuangan
kotoran cairan pembuangan limbah rumah tangga dan limbah industri ke dalam
sungai.5 Limbah industri sangat berbahaya karena banyak kandungan zat-zat yang
berbahaya bagi makhluk hidup. Karena adanya kandungan zat berbahaya ini juga
menyebabkan air di sungai tercemar dan dilarang untuk di konsumsi oleh
makhluk hidup. Kebutuhan akan sumber daya alam yang berasal dari lingkungan
merupakan hak makhluk hidup yang harus dipertahankan untuk mendapat
perlindungan terhadap adanya gangguan dari luar.6
Salah satunya limbah yang berpotensi merusak lingkungan yaitu Limbah
B3, seperti yang terjadi di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat. Perseroan Terbatas
PT Kamarga Kurnia Textile Industry merupakan salah satu perusahaan di Kota
Cimahi Jawa Barat yang merupakan badan hukum yang salah satu kegiatan
usahanya dibidang perindustrian berupa industri tekstil dan lembaran kain
sintesis/kain keras dan Pengelolaan bahan baku tekstil serta proses pencelupan
dan pemutihan, pertenunan dan penyempurnaan serta kegiatan usaha terkait,
indstri garment dan pakaian jadi serta kegiatan usaha yang berkaitan. Dalam
beroperasinya kegiatan industri Perseroan Terbatas PT Kamarga Kurnia Textile
Industry ini, tim pengawasan lapangan yang di tugaskan dari Kepala Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPHLD) Provinsi Jawa Barat melakukan
pengawasan di lokasi pengolahan limbah dan dari hasil tersebut memperoleh fakta
hukum ditemukannya Limbah B3 berupa sludge cair IPAL yang dihasilkan dari
kegiatan perusahaan PT Kamarga Kurnia Textile Industry ini dengan kondisi
dimasukan ke tangki dan kemudian di akhiri dengan dibuang ke sungai Cibaligo.
3
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Lingkungan, Yogyakarta, Gadjahmada University Press,
1986, hlm. 12
4
Tentang pembahasan kasus-kasus sengketa lingkungan yang diselesaikan melalui proses
pengadilan, periksa Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun,
(Surabaya: Airlangga University Press, 2003), hlm. 159-164. Tentang pembahasan kasus-kasus
sengketa lingkungan yang diselesaikan melalui mediasi, periksa Mas Achmad Santosa, Takdir
Rachmadi dan Siti Megadianty Adam, Mediasi Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengalaman,
(Jakarta: ICEL, 1998)
5
Nunung Nurhayati, Pencemaran Lingkungan, Bandung, Yrama Santoso, 2013, hlm. 32
6
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 185.

1
Bahwa undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang menghasilkan limbah B3. Hal ini diatur dalam Pasal 88 Undang-
Undang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 88 menyatakan :
“Setiap orang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawan mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Berdasarkan dengan hukum lingkungan, tanggung jawab yuridis
pencemaran lingkungan menurut hukum perdata adalah kewajiban membayar
ganti rugi kepada penderita, yang dilanggar hak nya atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.7 Perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup
dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan
Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang dibahas dalam
penulisan skripsi ini yaitu mengenai pertanggung jawaban hukum dari segi
perdata bagi perusahaan dalam pengelolaan limbah B3 dan penyelesaian hukum
dalam kasus pencemaran lingkungan hidup.

TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian rumusan masalah tersebut di atas, untuk mengetahui dan


memahami mengenai pertanggung jawaban hukum dari segi perdata bagi
perusahaan dalam pengelolaan limbah B3 dan penyelesaian hukum dalam kasus
pencemaran lingkungan hidup.

METODE PENELITIAN

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan
merupakan penelitian hukum lengkap tentang keadaan hukum mengenai
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum bagi perusahaan dalam
pengelolaan limbah B3. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian antara lain undang-undang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang secara deduktif dimulai
analisis terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
terhadap permasalahan di atas atau suatu putusan pengadilan yang sudah inkracht.
Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang dilakukan dengan
menganalisis aturan-aturan hukum yang tekait dengan objek penelitian.
7
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT. Alumni, 2006, Bandung, hlm
324.

2
Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan
dengan peraturan lain dan implementasi pasal-pasalnya dalam praktiknya juga
dalam putusan pengadilan dan bagaimana hakim bisa memutuskan perkara
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum bagi perusahaan dalam
pengelolaan limbah B3.
Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah
terkumpul, kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode
deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan
dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan
menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini,
sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan.

PEMBAHASAN

Hasil Penelitan Pada Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup Oleh PT


Kamarga Kurnia Textile Industry Studi Putusan Nomor
178/Pdt.G/LH/2019/PN BLB
Diketahui PT. Kamarga Kurnia Textile Industry merupakan badan hukum
yang salah satu kegiatan usahanya dibidang perindustrian berupa industri tekstil
dan lembaran kain sintesis/kain keras dan Pengolahan bahan baku tekstil serta
proses pencelupan dan pemutihan, pertenunan dan penyempurnaan serta kegiatan
usaha terkait, industri garment dan pakaian jadi serta kegiatan usaha yang
berkaitan, menghasilkan limbah berbahaya dan beracun (B3). Pada tanggal 8 Juli
2011 Tim Pengawasan Lapangan yang ditugaskan berdasarkan Surat Perintah
Tugas Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi
Jawa Barat No. 660.1/825/II tanggal 8 Maret 2011, melakukan pengawasan di
lokasi pengolahan limbah PT. Kamarga Kurnia Textile Industry, dimana dari hasil
pengawasan diperoleh fakta hukum yaitu ditemukannya Limbah B3 berupa sludge
cair (slurry) IPAL yang dihasilkan dari kegiatan usaha PT. Kamarga Kurnia
Textile Industry dalam kondisi dibuang langsung ke sungai Cibaligo tanpa melalui
proses IPAL terlebih dahulu (bypass) dan terhadap sludge cair yang dibuang
langsung ke sungai cibaligo tersebut diambil sampelnya dan diuji di UPT.
Laboratorium Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Pemerintah
Kabupaten Bandung.
Lampiran 1 Tabel 2 Daftar Limbah B3 dari Sumber Yang Spesifik
Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disebut dengan “PP No. 85/1999”), diatur
mengenai Limbah dari hasil Industri Tekstil dengan Kode D213 sebagai berikut:
Kode Jenis Kode Sumber Asal/Uraian Pencemara
Limba Industri/Kegiata Kegiata Pencemara Limbah n Utama
h n n n
D213 Tekstil 1. 1711/ 5. Proses 9.Sludge dari Logam
1722 finishing IPAL berat

3
2. 1721/ tekstil mengandung (terutama
1722 6. Proses logam berat As, Cd, Cr,
3. 1723/ dyeing 10. Pelarut Pb, Cu, Zn)
1729 bahan bekas Hidrokarbo
4. 1810/ tekstil (cleaning) n
1820 7. Proses 11. Fire terhalogena
printing retardant si (dari
bahan (Sb/senyaw proses
tekstil a brom dressing
8. IPAL Organik dan
yang finishing)
mengola Pigmen, zat
h effluen warna dan
proses pelarut
kegiatan organic
Tensioactiv
e
(surfactant)

Berdasarkan lampiran 1 Tabel 2 Daftar Limbah B3 dari Sumber Yang


Spesifik PP No. 85/1999 maupun Anggaran Dasar PT. Kamarga Kurnia Textile
Industry, kegiatan industri tekstil PT. Kamarga Kurnia Textile Industry yang
berasal dari proses finishing tekstil, proses dyeing bahan tekstil, serta IPAL yang
mengolah air limbah dari proses produksi menghasilkan sludge IPAL yang
berkategori Limbah B3.
Terkait kegiatan industri tekstil, berbagai bahan kimia dan pewarna yang
digunakan sebagian akan melekat pada produk (kain) sebagian lagi akan terbuang
sebagai sisa suatu kegiatan dan/atau usaha yang dikategorikan sebagai Limbah
B3. Limbah B3 tersebut khususnya air limbah harus diolah menggunakan instalasi
pengolah air limbah (IPAL) menghasilkan air limbah yang sudah terolah sehingga
memenuhi bakumutu dan padatan sludge IPAL yang untuk industri tekstil
(Mercerizing, Scouring, Bleachingdan Dyeing) dikategorikan sebagai Limbah B3.
Namun karena PT. Kamarga Kurnia Textile Industry membuang air limbah secara
langsung ke sungai, komponen pencemar yang terkandung dalam air limbah yang
seharusnya tertangkap dalam IPAL dalam bentuk sludge yang dikategorikan
sebagai Limbah B3 justru terbuang langsung ke sungai.
Menurut Ahli Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) Ir.
Eddy Soentjahjo, MT, seharusnya sludge IPAL cair yang dikenal sebagai slurry
IPAL (dengan dry solid = DS sekitar 4%) yang mengendap di bagian bawah alat
presedimentation basin, Clarifier I (proses kimia), Clarifier II (proses biologi)
dan/atau bak-bak lain dalam proses IPAL dikumpulkan dalam bak penampung
slurry dan selanjutnya slurry tersebut dikentalkan dalam alat thickener hingga DS
mencapai sekitar 10%. Usai melalui thickener, slurry tersebut siap diumpankan ke
alat sludge dewatering untuk diperas keluar airnya hingga kandungan DS
mencapai sekitar 30% sehingga menjadi cake yang bisa dengan mudah dipegang
tangan. Limbah cair hasil overflow alat thickener dan hasil perasan alat sludge

4
dewatering tersebut seharusnya semuanya dikembalikan ke dalam bagian awal
sistem pemroses IPAL.
Hakim menyatakan Tergugat bertanggungjawab mutlak (strict liability)
dan mengganti rugi atas kerugian akibat kegiatan usaha Tergugat yang
menghasilkan limbah B3 dan mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup dan
menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian lingkungan hidup kepada
Penggugat sejumlah Rp.4.255.400.000,00 (empat milyar dua ratus lima puluh
lima juta empat ratus ribu rupiah) secara tunai melalui Rekening Kas Negara:
Bank: Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan
Nomor Rekening: 122-00-0792373-6
Atas Nama: BPN 182 Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup
Kode Akun: 425829-Pendapatan Denda/Kompensasi Di Bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

Pertanggung jawaban Hukum Dari Segi Perdata Bagi Perusahaan Dalam


Pengelolaan Limbah B3
Masalah pencemaran lingkungan hidup ini akhir-akhir ini biasanya sering
dilakukan oleh perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Perusahaan
yang melakukan pencemaran biasanya adalah perusahaan tekstil. Pencemaran
perusahaan tekstil biasanya dalam bentuk pencemaran air, dimana kebanyakan
permasalahan perusahaan tekstil ini terdapat pada limbah cairnya. Pencemaran
lingkungan hidup sampai saat ini masih susah dan jarang sekali dapat
terselesaikan dengan baik.
Berdasarkan fakta hukum pada Putusan Perkara Nomor
178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb, diketahui bahwa izin-izin yang telah dimiliki pihak
PT. Kamarga Kurnia Textile Industry dalam kegiatan usahanya dibidang
perindustrian berupa industri tekstil dan lembaran kain sintesis/kain keras dan
Pengolahan bahan baku tekstil serta proses pencelupan dan pemutihan, pertenunan
dan penyempurnaan serta kegiatan usaha terkait, industri garment dan pakaian jadi
serta kegiatan usaha yang berkaitan, antara lain:
1. Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/ Ketua Badan
Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 142/T/INDUSTRI/1995 tanggal 13
Maret 1995 tentang Pemberian Izin Usaha Industri dimana pada Diktum
Pertama disebutkan bahwa bidang usaha PT. Kamarga Kurnia Textile Industry
adalah Industri Perajutan, Pencelupan dan Penyempurnaan Tekstil.
2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 78 Tahun 2007 tanggal 16
Februari 2007 tentang izin Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Kepada PT Kamarga Kurnia Textile Industry.
3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
No. AK.885/Menlhk/Setjen/PLB.3/11/2016 tanggal 29 November 2016
tentang Izin Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun untuk
Kegiatan Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Atas Nama PT
Kamarga Kurnia Textile Industry.
Terkait kegiatan industri tekstil yang menggunakan berbagai bahan kimia
dan pewarna dalam proses produksi, sebagian bahan kimia dan pewarna tersebut

5
akan melekat pada produk (kain) sebagian lagi akan terbuang sebagai sisa suatu
kegiatan dan/atau usaha atau dikenal sebagai limbah. Limbah tersebut khususnya
air limbah harus diolah dengan baik dan benar menggunakan Instalasi Pengolah
Air Limbah (IPAL) menghasilkan air limbah yang sudah terolah sehingga
memenuhi baku mutu dan padatan atau sludge yang untuk industri tekstil (yang
berasal dari proses Mercerizing, Scouring, Bleaching dan Dyeing) dikategorikan
sebagai Limbah B3.
Berdasarkan pada hukum kekekalan massa, maka kegiatan usaha PT.
Kamarga Kurnia Textile Industry yang bergerak di industri tekstil, seharusnya
menghasilkan limbah yang selanjutnya diolah melalui IPAL dimana dari hasil
pengelolaan IPAL menghasilkan air limbah yang memenuhi baku mutu air limbah
sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan dan padatan
atau sludge yang dikategorikan sebagai Limbah B3. Semakin bagus kualitas air
limbah yang dihasilkan dari pengelolaan IPAL maka semakin banyak padatan
atau sludge yang dihasilkan.
Pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Kamarga Kurnia
Textile Industry berdasarkan Tim Pengawasan Lapangan yang ditugaskan
berdasarkan Surat Perintah Tugas Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat No. 660.1/825/II tanggal 8 Maret 2011,
melakukan pengawasan di lokasi pengolahan limbah PT. Kamarga Kurnia Textile
Industry pada tanggal 8 Juli 2011 dimana dari hasil pengawasan diperoleh fakta
hukum yaitu ditemukannya Limbah B3 berupa sludge cair IPAL yang dihasilkan
dari kegiatan usaha PT. Kamarga Kurnia Textile Industry dalam kondisi di-bypass
ke sungai (hasil uji lab terlampir). Diketahui bahwa kegiatan usaha PT. Kamarga
Kurnia Textile Industry yang bergerak di bidang industri penyempurnaan kain
mulai dari proses perajutan, pencelupan, percetakan, serta proses pakaian jadi
(garment) menghasilkan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I 1 Tabel 2 Daftar Limbah B3 dari
Sumber Yang Spesifik PP No. 85/1999.
Terkait air limbah PT. Kamarga Kurnia Textile Industry yang diambil dari
saluran bypass yang dibuang langsung ke media lingkungan Sungai Cibaligo
tanpa melalui proses IPAL, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 1
angka 13 dan 14 Jo. Pasal 20 ayat (1), (2) huruf a dan b UUPLH, mengatur
sebagai berikut:
Pasal 1 angka 14 yang berbunyi bahwa “pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Angka 13 yang
berbunyi, bahwa “baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsure pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup”. Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi,
bahwa “penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku
mutu lingkungan hidup.” ayat (2) huruf a dan b: “Baku mutu lingkungan hidup
meliputi baku mutu air, baku mutu air limbah.

6
Pengaturan tersebut di atas, didukung dengan fakta hukum bahwa saat
verifikasi IPAL, thickener PT. Kamarga Kurnia Textile Industry ditemukan dalam
kondisi rusak tak terpakai serta memiliki 1 unit alat dewatering (jenis plate &
frame) dalam kondisi tidak beroperasi, sehingga diduga semua padatan sludge
IPAL berkategori limbah B3 dan limbah cair hasil overflow dan perasan slurry
selalu dibuang ke sungai pada fase tersebut.
Tanggung jawab lingkungan merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksakan dan dibebankan kepada perusahaan yang melakukan pencemaran air.
Tanggung jawab ini dapat berupa penanggulangan, pemulihan fungsi lingkungan
maupun ganti rugi, sebagaimana dijelaskan dibawah ini,8
1. Tanggung Jawab terhadap Penanggulangan Pencemaran
Perusahaan tekstil berkewajiban dalam memelihara kelestarian lingkungan
terutama dalam hal buangan air limbah. Tanggung jawab ini di dasarkan pada
kewajiban perusahaan tekstil. Perusahaan tekstil juga mempunyai tanggung
jawab dalam hal penanggulangan, sesuai dengan Pasal 53 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menyatakan: “Setiap orang yang melakukan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Sosial
Responsibility/CSR).
Tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Sosial Responsibility/CSR)
lebih ditekankan kepada komitmen setiap perusahaan yang berdampak pada
lingkungan sebagai suatu kewajiban serta kontribusi terhadap kualitas
lingkungan hidup dan kualitas makhluk hidup sesuai dengan Pasal 74 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
menyatakan : “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan lingkungan”.
3. Tanggung Jawab terhadap Pemulihan Lingkungan.
Pemulihan terhadap fungsi lingkungan hidup dari pencemaran air oleh
perusahaan tekstil wajib dilakukan oleh perusahaan. Pemulihan ini dijadikan
sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengembalikan fungsi dari lingkungan
hidup. Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan: “Setiap orang
yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib
melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup”. Pemulihan fungsi
lingkungan ini bisa dilakuan dengan bebrapa tahap, sesuai dengan Pasal 54
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan: “Pemulihan fungsi lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. Pengehentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. Remediasi pemulihan fungsi lingkungan hidup diartikan sebagai upaya
8
Hukum Online, Konsep dan Praktik Strict Liability di Indonesia https:/
/www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d089548aabe8/konsep-dan- praktikstrict-liability-
di-indonesia/, Diakses Pada Hari Selasa, Tanggal 6 Juli 2021, Pukul 23.20 WIB.

7
pengembalian fungsi lingkungan hidup dari pencemaran untuk
memperbaiki dari segi mutu lingkungan.
c. Rehabilitasi pemulihan fungsi lingkungan hidup diartikan sebagai upaya
pemulihan fungsi lingkungan hidup untuk mengembalikan nilai, fungsi,
dan manfaat lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan
lahan, memberikan perlindungan dan memperbaiki ekosistem.
d. Restorasi pemulihan fungsi lingkungan hidup diartikan sebagai upaya
pemulihan fungsi lingkungan hidup untuk menjadikan lingkungan hidup
atau bagian-bagian dari fungsi lingkungan dapat berfungsi kembali
sebagaimana semula sebelum terjadi pencemaran. Restorasi yang bisa
dilakukan jika media yang tercemarnya sungai adalah salah satunya
dengan cara pengerukan dasar sungai. Pengerukan dasar sungai ini
dilakukan karena limbah cair jika dibiarkan akan mengendap, endapan
inilah yang akan menyebabkan pendangkalan air sungai.
e. Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi”.
4. Tanggung Jawab terhadap Ketentuan Baku Mutu Air Limbah.
Baku mutu limbah merupakan ambang batas kadar pencemar pada air limbah
yang akan dilepaskan ke media air. Ketaatan perusahaan tekstil terhadap
ketentuan baku mutu lingkungan khsusnya baku mutu air limbah.
5. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability) terhadap Asas Pencemar Membayar.
Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam pencemaran air yaitu
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pelaku pencemar tanpa harus ada
pembuktian, kesengajaan dan kealpaan. Tanggung jawab mutlak ini
didasarkan kepada dampak kerugian akibat perbuatan pencemaran sehingga
ada kerugian yang dirasakan oleh pihak lain akibat dari pencemaran tersebut.
Asas Pencemaran membayar diartikan sebagai tanggung jawab pelaku
usaha dalam kegiatannya yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup wajib menanggung biaya dalam pemulihan lingkungan
hidup. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola B3, dan atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atau kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan ”.
Terhadap perbuatan PT. Kamarga Kurnia Textile Industry tersebut diatas,
maka dapat diminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability) Atas Pencemaran
Lingkungan Hidup Akibat Limbah B3 Yang Dihasilkan Dari Kegiatan Usaha PT.
Kamarga Kurnia Textile Industry. Bahwa UUPPLH menganut prinsip tanggung
jawab mutlak (strict liability) terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
menghasilkan Limbah B3.
Hal ini diatur dalam Pasal 88 UUPPLH yang menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan

8
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UUPPLH tersebut
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 88 UUPPLH, yaitu “yang dimaksud dengan
“bertanggung jawab Mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia (KLHK), sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan
ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan
sampai batas tertentu”.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagaimana dimaksud
dalam Penjelasan Pasal 88 UUPPLH dipertegas kembali dalam KKMA 36/2013
yaitu Bab IV : “Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan” bagian D
(Pembuktian) angka 1 huruf b butir 3) dan 4) khusus mengenai penerapan dan
pembuktian strict liability, yaitu sebagai berikut (dikutip):
a. Pembuktian penerapan strict liability (Tanggung Jawab Mutlak)
1) Yang perlu dibuktikan adalah bahwa pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan PT. Kamarga
Kurnia Textile Industry yang menggunakan B3 atau menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3 atau menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup.
2) Beban pembuktian dalam penerapan asas strict liability:
1) Dalam prosedur ini, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) tidak perlu membuktikan
adanya unsur kesalahan. PT. Kamarga Kurnia Textile Industry dapat
lepas dari tanggung jawab apabila kerugian atau kerusakan yang terjadi
akibat perbuatan pihak lain;
2) Pembuktian dengan prinsip strict liability harus dimintakan oleh pihak
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
(KLHK) dan termuat dalam surat gugat pihak Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK);
3) Strict Liability bukan pembuktian terbalik. Pembuktian bukan untuk
kesalahannya. Walaupun sudah melakukan semua upaya sesuai
peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, tetap harus bertanggung
jawab.”
Oleh karena kegiatan usaha PT. Kamarga Kurnia Textile Industry di
bidang industri tekstil yang menghasilkan Limbah B3 mengakibatkan
pencemaran lingkungan hidup maka PT. Kamarga Kurnia Textile Industry harus
bertanggung jawab mutlak (strict liability) terhadap pencemaran lingkungan
hidup yang terjadi maupun kerugian lain yang telah ditimbulkannya.
Tanggung jawab mutlak sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan
konsep pertanggung jawaban hukum dari segi perdata bagi perusahaan dalam
pengelolaan limbah B3 harus membayar ganti rugi. Ganti rugi yang dimaksud
berdasarkan jenis kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

9
hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dapat digolongkan menjadi:
1. Kerugian karena dilampauinya Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagai akibat
tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air
limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah B3,
2. Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup, meliputi biaya verifikasi lapangan, analisa laboratorium,
ahli dan pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup,
3. Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup,
4. Kerugian ekosistem,
5. Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup diatur bahwa penghitungan kerugian
lingkungan hidup harus dilakukan oleh:
1. Ahli di bidang pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hukum dan/atau
valuasi ekonomi lingkungan hidup,
2. Ahli ditunjuk oleh Pejabat Eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung
jawab di bidang penataan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup
Pusat atau Pejabat Eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah,
3. Ahli telah melakukan penelitian dan/atau telah berpengalaman;
Penghitungan ganti kerugian yakni sejumlah Rp.4.255.400.000,00 (empat
milyar dua ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu rupiah) apabila
dihubungkan dengan bukti T-20 dan bukti T-21 berupa kalkulasi kerugian
lingkungan akibat pencemaran air limbah PT. Kamarga Kurnia Textile Industry
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 26 Oktober
2015 dan tanggal 27 November 2015 dan Bukti T-18 atau Bukti T-30 berupa
Notulensi Pertemuan Negosiasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
terhadap PT. Kamarga Kurnia Textile Industry tanggal 10 November 2015
diketahui bahwa telah ada kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat mengenai
jumlah hari kerja (hari produksi) PT. Kamarga Kurnia Textile Industry mulai
tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 dan telah pula dilakukan kalkulasi
kerugian lingkungan sejumlah Rp.4.255.400.000,00 (empat milyar dua ratus lima
puluh lima juta empat ratus ribu rupiah), pertemuan negosiasi tersebut dihadiri
oleh Tergugat, Ahli Air Limbah, Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, dan
Direktorat Penyelesaian Lingkungan yang mewakili Penggugat, penghitungan
ganti kerugian sejumlah Rp.4.255.400.000,00 (empat milyar dua ratus lima puluh
lima juta empat ratus ribu rupiah) juga didukung oleh Bukti T-23, Bukti T-24,
Bukti T-25, Bukti T-26, Bukti T-27, Bukti T-28, Bukti T-29, Bukti T-31, dan
Bukti T-32 yang kesemuanya berupa Notulensi Pertemuan Negosiasi
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup antara Penggugat, Tergugat, Ahli Air
Limbah, dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi.

10
Kemudian diketahui bahwa berdasarkan fakta yang tidak terbantahkan
yakni pada saat Majelis Hakim melakukan Pemeriksaan Setempat pada tanggal 3
Desember 2019 didukung Bukti T-88 berupa Undangan Sosialisasi dan Publikasi
Satgas Citarum Harum Sektor 21 dari KODAM III Siliwangi Satgas Citarum
Harum Sektor 21 yang ditujukan kepada Tergugat tanggal 9 Januari 2020, Bukti
T-89 berupa Daftar Hadir Publikasi dan Sosialisasi dengan tema “Satu Hari
Bersama Dansektor 21 di PT. Kamarga Kurnia Textile Industry” tanggal 14
Januari 2020, dan Bukti T-90 berupa Foto Dokumentasi Kegiatan Acara
Publikasi dan Sosialisasi dengan tema “Satu Hari Bersama Dansektor 21 di PT.
Kamarga Kurnia Textile Industry” tanggal 14 Januari 2020, Tergugat telah
melakukan pengolahan limbah melalui IPAL yang baik dan sesuai dengan aturan
yang berlaku, sehingga menunjukkan bahwa Tergugat telah beritikad baik dalam
mendukung program Pemerintah dalam menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup, akan tetapi perbuatan Tergugat pada tahun 2011 sampai dengan 2014 yang
tidak mengelola limbah hasil kegiatan usahanya yang melebihi baku mutu
sebagaimana Bukti P-32 dan Bukti P-6.B, tetap harus dipertanggungjawabkan
oleh Tergugat.
Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat sudah selayaknya Tergugat
dihukum untuk membayar kerugian lingkungan sejumlah Rp. 4.255.400.000,00
(empat milyar dua ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu rupiah) karena
perhitungan nilai tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai jumlah hari
kerja (hari produksi) dan perhitungan Ahli Ir. Eddy Soentjahjo, M.T. yang ikut
hadir pada Pertemuan Negosiasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
terhadap PT. Kamarga Kurnia Textile Industry.
Pertanggung jawaban hukum dari segi perdata bagi perusahaan dalam
pengelolaan limbah B3 berdasarkan Putusan Perkara Nomor 178/Pdt.G/LH/
2019/PN.Blb yaitu Tergugat bertanggungjawab mutlak (strict liability) dan
mengganti rugi atas kerugian akibat kegiatan usaha Tergugat yang menghasilkan
limbah B3 dan mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup. Kemudian
menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian lingkungan hidup kepada
Penggugat sejumlah Rp. 4.255.400.000,00 (empat milyar dua ratus lima puluh
lima juta empat ratus ribu rupiah) secara tunai melalui Rekening Kas Negara
Bank Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan dengan Nomor Rekening
: 122-00-0792373-6, atas Nama : BPN 182 Direktorat Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup dengan Kode Akun : 425829-Pendapatan Denda/Kompensasi
Di Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penyelesaian Hukum Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup

Dalam berbagai kasus yang menyangkut masalah lingkungan, biasanya


Korporasi merupakan subyek paling dominan sebagai dalang yang menyebabkan
terjadinya penurunan mutu lingkungan hidup di suatu wilayah atau lingkungan
masyarakat tertentu. Hal ini tidak terlepas dari kegiatan korporasi yang
mengeksploitasi sumber daya alam dalam jumlah besar sebagai salah satu faktor
produksi untuk menunjang operasional yang secara langsung atau tidak langsung

11
dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat sekitar. Hal ini tentu bisa
menjadi pemicu timbulnya sengketa antara korporasi dan masyarakat.
Apabila terjadi sengketa dibidang lingkungan hidup, proses
penyelesaiaanya diatur dalam Pasal 1 butir 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),
(UUPPLH) mengatur bahwa: “sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau
telah berdampak pada lingkungan hidup.” Pasal 84 UUPPLH menyatakan:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela
oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu atau para pihak yang bersengketa.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian lingkungan
hidup bersifat sukarela dan lebih menenkankan penyelesaian diluar pengadilan,
artinya para pihak yang bersengketa dapat memilih forum penyelesaian sengketa
lingkungan hidup apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan dan proses
penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat dilakukan jika proses penyelesaian
sengketa diluar pengadilan (mediasi) telah dilakukan dan tidak bisa berhasil
menyelesaikan permasalahan.
Dalam Pasal 85 UUPPLH, bahwa dalam menyelesaikan sengketanya, bisa
melalui jalur luar pengadilan atau jalur pengadilan. Dalam UU menyatakan bahwa
penyeleseaian sengketa akan lebih didahulukan untuk menggunakan mekanisme
diluar pengadilan, dan secara damai. Mekanisme pengadilan akan digunakan
apabila mekanisme diluar pengadilan tidak mencapai kesepakatan bersama.
1. Penyelesaian sengketa diluar Pengadilan
Mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan memiliki berbagai
macam jenis dan tahapannya:
a. Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah)
secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya
diterima oleh para pihak tersebut. Negosiasi merupakan proses upaya
untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan
komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan
bernuansa, sebagaimana manusia itu sendiri.
b. Mediasi
Mediasi adalah upaya menyelesaikan sengketa (lingkungan) melalui
perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari
bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Mediasi, Mediasi
merupakan intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak
ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan
bagian dari kedua belah pihak, yang bersifat netral. Pihak ketiga ini
mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk
membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai

12
kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah
persengketaan.
c. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari bentuknya di Indonesia
dikenal dua macam lembaga arbitrase, yaitu arbitrase institusional dan
arbitrase ad. hoc. Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sifatnya
permanen dan melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang
menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses
arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, dan
pengangkat para arbiter.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (1) UUPPLH:
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan (Litigasi)
Penyelesaian sengketa melalaui pengadilan adalah suatu proses beracara
biasa. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat juga digunakan oleh
pihak yang memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tetapi dengan
satu syarat bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan itu dinyatakan
tidak berhasil mencapai kesepakatan.9 Upaya penyelesaian sengketa melalui
jalur pengadilan dapat melalui aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana:
a. Aspek hukum perdata
Dalam aspek hukum perdata, pencemar dan/ atau perusak lingkungan
wajib membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu (Pasal
34 UUPLH). Pada saat melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
penyelesaian tindakan tertentu itu.
Penyelesaian sengketa dalam aspek hukum perdata berupa ganti rugi
umumnya didasarkan atas:
1) Tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian sebagaimana tercantum dalam
Pasal 243 KUHPerdata
Jika dalam kegiatan usaha/industri terjadi pencemaran, perusakkan
lingkungan maka penyelesaian sengketa secara litigasi dalam aspek
hukum perdata adalah harus dipenuhi kewajiban dari perencana
usaha/pengusaha sesuai perjanjian yang berupa ganti rugi sesuai
dengan maksud dari Pasal 243 KUHPerdata.
9
Sukanda Husin, Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia, (Malang: Sinar Grafika,
2009), hlm. 104-105.

13
2) Perbuatan melawan hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi ”Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Pasal ini terkait dan menjadi ketentuan dalam penyelesaian
sengketa lingkungan secara litigasi yang dalam aspek hukum perdata.
Kaitannya adalah jika ada suatu perbuatan melanggar hukum/melawan
hukum secara perdata penyelesaiannya adalah dengan ganti rugi.
Pada kasus perdata, prinsip yang digunakan pada umumnya adalah
proses pembuktian kesalahan dari pencemar dibebankan pada korban
pencemaran atau penggugat. Dengan demikian penggugat baru akan
memperoleh ganti rugi jika ia berhasil membuktikan adanya unsur
kesalahan dari pihak pencemar / tergugat. Kesalahan merupakan unsur
yang menentukan pertanggungjawaban, dengan demikian jika tidak
terbukti bersalah, maka tidak ada kewajiban membayar ganti kerugian.
Selanjutnya penjelasan Pasal 35 UUPPLH menyebutkan bahwa
tanggung jawab mutlak atau strict liability berarti unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh penggugat. Tanggung jawab mutlak ini
merupakan "lex specialis" dari perbuatan melanggar hukum pada
umumnya, yaitu liability based on fault. Dengan demikian prinsip
tanggung jawab mutlak tidak diperlakukan secara umum pada semua
kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan / atau perusakan
lingkungan hidup
b. Aspek Hukum Pidana
Pasal 41 UUPPLH mengisyaratkan bahwa pidana penjara dan denda
dapat dikenakan secara bersamaan bagi pencemar dan/ atau perusak
lingkungan hidup, baik secara melawan hukum atau sengaja, maupun
karena kealpaan. Namun perlu dikemukakan bahwa hukum pidana
hendaknya didayagunakan dengan memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu
jika:10
1) Sanksi bidang hukum lain, yakni sanksi administratif, dan sanksi
perdata serta upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan setelah diupayakan tidak efektif/tidak akan efektif.
2) Tingkat kesalahan pelaku relatif berat.
3) Akibat perbuatannya relatif besar.
4) Perbuatannya menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Diutamakannya sanksi perdata dibanding dengan sanksi pidana
merupakan hal yang wajar karena melihat lebih dulu "akibat" yang
ditimbulkan mulai dari ringan sampai paling berat dari suatu pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup. Delik lingkungan yang diatur dalam
Pasal 41-47 UUPLH adalah delik material yang menyangkut penyiapan

10
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm.
26-27.

14
alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara perbuatan pencemar
dan tercemar.
Pemberian sanksi tegantung besar atau kecilnya akibat yang
ditimbulkan yang berdasar atas:
1) Bentuk dan besarnya ganti rugi
2) Mengenai tindakan tertentu atas denda dalam upaya tindak pemulihan.
Dalam pembahasan ini, telah terjadi pencemaran lingkungan hidup
yang dilakukan pihak PT. Kamarga Kurnia Textile Industry dengan cara
dimasukan ke tangki dan kemudian diakhiri dengan dibuang ke sungai
Cibaligo yaitu Limbah B3 berupa sludge cair IPAL yang dihasilkan dari
kegiatan perusahaan PT Kamarga Kurnia Textile Industry.
Hal ini berdasarkan, verifikasi pihak Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan pada tanggal 7 Maret 2014 atas kegiatan usaha PT
Kamarga Kurnia Textile Industry dimana dari hasil verifikasi ditemukan
fakta sebagai berikut:
1. Tidak ditemukan adanya flow meter pada inlet;
2. Ditemukan kondisi Flow meter outlet dalam keadaan tidak aktif serta
tidak adanya pencacatan / log book mengenai volume air yang keluar
ke lingkungan (namun jumlah air yang di recycle memiliki log book).
3. Pada kawasan IPAL tidak dijumpai adanya sludge khusus pengolahan
BOD, sludge hanya disirkulasi antara bak ke bak yang lain;
4. Ditemukan adanya tembok penghalang setinggi 3 Meter yang
dibelakangnya ada elbow by pass dalam kondisi tertutup menggunakan
dop pvc;
5. Pada IPAL tidak memiliki cooling tower sebagai pendingin, air limbah
hanya diputar dalam kolam sekat 6 dengan volume 2500 m3;
6. Pada lokasi IPAL tidak dijumpai adanya clarifier;
7. Dijumpai ada 4 bak aerasi, 2 diantaranya memiliki membrane UF
(belum semua terpasang), semua liquor di ke 4 bak aerasi berwarna
hitam.
8. Di lokasi dijumpai adanya alat penangkap sludge IPAL tipe plate and
frame dan thickener, namun dalam kondisi tidak aktif atau rusak.
Akibat dari perbuatan PT. Kamarga Kurnia Textile Industry
melakukan pencemaran lingkungan hidup dengan cara membuang limbah
B3 langsung ke sungai Cibaligo, pihak Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri sebagai bentuk
penyelesaian hukum melalui litigasi dibidang perdata mengenai ganti
kerugian akibat pencemaran lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah
B3.
Penyelesaian hukum melalui litigasi secara perdata dalam kasus
pencemaran lingkungan hidup terkait tidak melaksanakan pengelolaan
limbah B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan berdasarkan
Putusan Perkara Nomor 178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb, Majelis Hakim
memutus dan menyatakan,
1. Menyatakan Tergugat bertanggung jawab mutlak (strict liability) dan
mengganti rugi atas kerugian akibat kegiatan usaha Tergugat yang

15
menghasilkan limbah B3 dan mengakibatkan pencemaran lingkungan
hidup;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian lingkungan
hidup kepada Penggugat sejumlah Rp.4.255.400.000,00 (empat milyar
dua ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu rupiah) secara tunai
melalui Rekening Kas Negara:
Bank: Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan
Nomor Rekening: 122-00-0792373-6
Atas Nama: BPN 182 Direktorat Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup
Kode Akun: 425829-Pendapatan Denda/Kompensasi Di Bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
Diketahui pertimbangan Majelis Hakim dalam menyatakan Tergugat PT.
Kamarga Kurnia Textile dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara mutlak
(strict liablity) dikarenakan terbukti melakukan kegiatan usaha yang menghasilkan
limbah B3 dan mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup berdasarkan
ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi bahwa setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Kerugian sebagaimana dimaksud tersebut, akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup
antara lain:
1. Kerugian karena dilampauinya Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagai akibat
tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah,
emisi, dan/atau pengelolaan limbah B3,
2. Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup, meliputi biaya verifikasi lapangan, analisa laboratorium,
ahli dan pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup,
3. Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup,
4. Kerugian ekosistem,
5. Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Berdasarkan fakta yang tidak terbantahkan yakni pada saat Majelis Hakim
melakukan Pemeriksaan Setempat pada tanggal 3 Desember 2019 didukung Bukti
berupa Undangan Sosialisasi dan Publikasi Satgas Citarum Harum Sektor 21 dari
KODAM III Siliwangi Satgas Citarum Harum Sektor 21 yang ditujukan kepada
Tergugat tanggal 9 Januari 2020. Bukti lainnya berupa Daftar Hadir Publikasi dan
Sosialisasi dengan tema “Satu Hari Bersama Dansektor 21 di PT. Kamarga Kurnia
Textile Industry” tanggal 14 Januari 2020, dan berupa Foto Dokumentasi
Kegiatan Acara Publikasi dan Sosialisasi dengan tema “Satu Hari Bersama
Dansektor 21 di PT. Kamarga Kurnia Textile Industry” tanggal 14 Januari 2020,
Tergugat telah melakukan pengolahan limbah melalui IPAL yang baik dan sesuai

16
dengan aturan yang berlaku, sehingga menunjukkan bahwa Tergugat telah
beritikad baik dalam mendukung program Pemerintah dalam menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup, akan tetapi perbuatan Tergugat pada tahun 2011
sampai dengan 2014 yang tidak mengelola limbah hasil kegiatan usahanya yang
melebihi baku mutu, tetap harus dipertanggungjawabkan oleh Tergugat.
Menurut penulis, terhadap PT. Kamarga Kurnia Textile Industry juga
dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana berdasarkan ketentuan:

Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan
denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak
Rp.10.000.000.000.
Pasal 99
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Akan tetapi, dikarenakan korporasi tidak dapat dikenakan pidana penjara
sehingga dapat dibebankan tanggung jawab pidananya kepada Direksi yang
tugasnya mengurus dan mengelola PT. Kamarga Kurnia Textile Industry termasuk
didalamnya mengelola limbah B3 sebelum dibuang ke sungai. Hal ini, agar
korporasi-korporasi yang melakukan pengelolaan limbah B3 agar tidak
mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup

PENUTUP

Kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu:


1. Pertanggung jawaban hukum dari segi perdata bagi perusahaan dalam
pengelolaan limbah B3 adalah pertanggung jawaban mutlak (strict liability)
dikarenakan ada kerugian yang dirasakan oleh pihak lain. Bentuk pertanggung
jawaban mutlak berdasarkan Putusan Perkara Nomor
178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb, dimana akibat PT. Kamarga Kurnia Textile
Industry telah melakukan pencemaran lingkungan hidup dengan tidak
mengelola limbah B3 sesuai peraturan perundang-undang, Majelis Hakim
menghukum PT. Kamarga Kurnia Textile ganti kerugian lingkungan hidup
kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
sejumlah Rp. 4.255.400.000,00 (empat milyar dua ratus lima puluh lima juta
empat ratus ribu rupiah) secara tunai melalui Rekening Kas Negara.
2. Penyelesaian hukum dalam kasus pencemaran lingkungan hidup dapat
dilakukan dengan penyelesaian sengketa diluar Pengadilan dengan tahapan
negosiasi, mediasi, arbitrase. Selain itu penyelesaian sengketa melalui jalur

17
pengadilan (litigasi) dengan aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana.
Pada penelitian ini, penyelesaian hukum antara Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dengan PT. Kamarga Kurnia Textile Industry melalui
litigasi berdasarkan Putusan Perkara Nomor 178/Pdt.G/LH/2019/PN.Blb
terkait gugatan ganti kerugian akibat pencemaran lingkungan hidup yang
dilakukan oleh PT. Kamarga Kurnia Textile Industry dengan cara membuang
hasil limbah B3 ke sungai Cibaligo yang dihasilkan dari kegiatan usahanya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Lingkungan, Yogyakarta, Gadjahmada


University Press, 1986.

Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.


Surabaya: Airlangga University Press, 2003.

Mas Achmad Santosa, Takdir Rachmadi dan Siti Megadianty Adam, Mediasi
Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengalaman, Jakarta: ICEL, 1998.

Nunung Nurhayati, Pencemaran Lingkungan, Bandung, Yrama Santoso, 2013.

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT. Alumni,
2006, Bandung.

Sukanda Husin, Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia. Malang: Sinar


Grafika, 2009.

Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Dokumen Perusahaan,


UU No. 8 Tahun 1997.

, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009.

18
, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, PP No. 18 Tahun 1999.

C. Internet

Hukum Online, Konsep dan Praktik Strict Liability di Indonesia https:/


/www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d089548aabe8/konsep-
dan- praktikstrict-liability-di-indonesia/, Diakses Pada Hari Selasa,
Tanggal 6 Juli 2021, Pukul 23.20 WIB.

19

Anda mungkin juga menyukai