HUKUM PERJANJIAN
“Kuasa Khusus : Kuasa Direksi (Akta Notaris) Dalam Kontrak Jasa Konstruksi”
Disusun oleh:
Nama : M. GHAZALI
NIM : P2B220045
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis kuasa khusus: kuasa direksi dalam
kontrak jasa konstruksi. Dalam penelitian ini, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif yaitu, dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka
atau data sekunder. Penelitian ini mengkaji norma hukum positif yang berupa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar hukum Pasal 1792 dan pasal 1819 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 103 UU Perseroan Terbatas No. 5 Tahun 2007, UU Jasa
Konstruksi dan Kontrak Jasa Konstrusksi beserta dengan UU Jabatan Notaris. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa Direktur tidak dapat menunjuk pihak ketiga maupun direktur
lain untuk mewakili dirinya (dengan surat kuasa sekalipun), kecuali sudah ditetapkan secara
tegas dalam anggaran dasarnya. Ketika anggaran dasar menetapkan bahwa takkala seorang
direktur berhalangan dapat digantikan oleh direktur lain tanpa perlu dibuktikan, maka notaris
tidak perlu meminta adanya surat kuasa dari direktur yang berhalangan tersebut.
kata kunci: Kuasa Khusus, pasal 1792KUHPerdata, pasal 1819 KUHPerdata perjanjian, Pasal
103 UU Perseroan Terbatas No. 5 Tahun 2007, UU Jasa Konstruksi dan Kontrak
Jasa Konstrusksi, UU Jabatan Notaris.
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
sebagai keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain;
Sementara ruang lingkup pekerjaan konstruksi sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/ atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Jadi jasa
konstruksi ini meliputi semua pekerjaan konstruksi mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan pengawasan.
Regulasi Sektor jasa konstruksi saat ini telah hadir dan diimplementasikan oleh seluruh
stakeholder sektor jasa konstruksi. Secara terperinci berikut adalah beberapa regulasi di sektor
jasa konstruksi :
a. Undang-Undang No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi
Beberapa catatan pengaturan dari UU No 18/1999 adalah sebagai berikut:
1) Definisi jasa konstruksi yang memberikan ruang lingkup jasa konstruksi yang sangat
luas, menimbulkan permasalahan tersendiri. Hampir seluruh pekerjaan infrastruktur
dimasukkan ke dalam jasa konstruksi tersebut, dari mulai yang dikenal dan biasa
melayani publik seperti jembatan, waduk, bangunan sampai dengan jaringan listrik dan
transmisi telekomunikasi.
2) Pasal 8 yang mengatur pelaku usaha yang berbentuk badan usaha. Sementara untuk
perseorangan pengaturannya terdapat dalam pasal 9. Pasal-pasal ini sangat penting
mengingat pasal-pasal inilah yang menjadi dasar bagi munculnya persyaratan
sertifikasi kompetensi badan usaha dan profesi .
3) Pengaturan peran masyarakat dalam jasa konstruksi juga mempengaruhi, karena
dengan pengaturan inilah lahir LPJK dengan kontroversi yang melingkupinya.
Pengaturan ini muncul dalam beberapa pasal antara lain pasal 31, 32 dan 33. Pasal-
pasal ini menimbulkan konflik dalam implementasinya. Untuk forum jasa konstruksi,
tidak ada masalah berarti mengingat fungsi forum tersebut tidak signifikan dalam
implementasi pengaturan jasa konstruksi.
4) Peran forum tidak lebih sekedar memberikan masukan kepada berbagai pihak yang
terkait dengan pengaturan sektor jasa konstruksi. Keterlibatan pelaku usaha dalam
3
forum ini juga tidak memiliki konsekuensi yang besar terhadap munculnya penggunaan
forum untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha
yang sehat karena fungsinya yang tidak begitu strategis.
4
4. Tanpa mengurangi tanggung jawab Direksi, Direksi berhak untuk perbuatan
tertentu mengangkat seorang atau lebih kuasa dengan syarat yang ditentukan oleh
Direksi dalam suatu surat kuasa khusus.
Dalam ketentuan Anggaran Dasar tersebut, disebutkan bahwa direksi hanya boleh
diwakili oleh Direktur Utama (Dirut) dan Direktur Keuangan. Artinya, ketika menghadap
sebagai pihak dalam akta, kedua-duanya harus hadir untuk menandatangani akta tersebut agar
kewenangan bertindaknya sah mewakili PT. Namun, ketentuan tersebut masih memungkinkan
bahwa salah satu dari Direktur Utama atau Direktur Keuangan untuk tidak hadir dan digantikan
oleh direktur lainnya (jadi, dapat disimpulkan bahwa ada lebih dari 2 orang direktur dalam
perusahaan tersebut). Dalam kasus ketika salah satu diantara keduanya berhalangan, maka
Anggaran Dasar menentukan bahwa direktur lain harus menggantikannya. Bagaimana kalau
kedua-duanya tidak dapat hadir atau berhalangan:
1. Apakah Direktur Utama dan Direktur Keuangan dapat memberikan surat kuasa kepada
direktur lain atau pihak ketiga untuk mewakili keduanya?
2. Apakah Direktur Utama dan Direktur Keuangan masing-masing dapat memberikan surat
kuasa kepada satu orang yang sama untuk mewakili Direksi PT?
Dalam hal direksi hanya terdiri atas satu orang direktur, maka akan timbul kesulitan
untuk menentukan apakah kewenangan direktur tersebut sebagai pribadi direktur atau dalam
jabatannya mewakili direksi. Dari kacamata pihak ketiga, tentu tindakannya dianggap mewakili
direksi. Dalam kondisi ini, ketika sang direktur berhalangan dan kemudian membuat surat kuasa,
tentu surat kuasa yang dimaksudnya tersebut bukan kuasa dari pribadi direktur, melainkan surat
kuasa dalam kapasitasnya sebagai direksi. Jadi, surat kuasa tersebut harus dimaknai sebagai
Kuasa Direksi, bukan Kuasa Direktur sebagai pribadi. Notaris, dalam hal ini, harus menerima
bahwa pihak yang menghadap memang sah mewakili direksi dan sekaligus berwenang mewakili
PT.
Kondisinya agak berbeda ketika direksi terdiri atas lebih dari satu orang direktur dengan
ketentuan anggaran dasar seperti yang telah disebutkan di atas. Ketika anggaran dasar
menyebutkan bahwa yang berwenang mewakili adalah Direktur Utama dan Direktur Keuangan,
dan ketika salah satu (bukan keduanya) berhalangan, maka tanpa harus dibuktikan kepada pihak
ketiga (artinya tidak diperlukan adanya surat-surat, termasuk juga surat kuasa sekalipun), satu
5
orang direktur lainnya dapat menggantikan posisi direktur yang berhalangan tersebut. Dalam hal
ini, direktur yang berhalangan tidak perlu membuat surat kuasa karena memang sudah
“dikuasakan” oleh anggaran dasar. Ketika keduanya, yaitu Direktur Utama dan Direktur
Keuangan secara bersama-sama berhalangan sekaligus, maka sebenarnya anggaran dasar tersebut
secara implisit menyatakan bahwa keduanya tidak boleh diwakilkan dengan menunjuk direktur
lain ataupun orang lain. Ketentuan tersebut memang sengaja ditetapkan agar tidak sembarangan
pihak yang dapat mewakili PT. Hal yang dapat dilakukan ketika keduanya berhalangan adalah
dengan memanfaatkan ketentuan ayat (4) Pasal 14 tersebut di atas, yaitu dengan membuat Surat
Kuasa Direksi atau lazim disebut Kuasa Direksi, bukan Kuasa Direktur (yang di sini berarti
kuasa dibuat oleh masing-masing direktur, dengan surat kuasa terpisah, yang menunjuk orang
yang sama atau orang yang berbeda untuk mewakili mereka).
Memang, kelihatannya ada kontradiksi hukum antara ketentuan ayat (3) dan (4) Pasal 14
tersebut di atas. Ketentuan ayat (3) menyatakan bahwa “kalau berhalangan,…,” maka salah satu
direktur yang berhalangan akan digantikan oleh direktur lainnya. Sebaliknya, ketentuan ayat (4)
membolehkan dibuatnya surat kuasa. Kalau disimak lebih dalam, bukankah surat kuasa itu jelas
merupakan bukti (nyata) tertulis kalau “direktur sedang berhalangan“? Jadi, kalau direktur
sedang berhalangan, bukankah kita harus kembali merujuk ayat (3) tersebut? Artinya, ketentuan
ayat (3) sebenarnya melarang adanya kuasa, sedangkan ketentuan ayat (4) membuka jalan
adanya kuasa. Aneh, tetapi nyata.
6
Di dalam KUHP Perdata tersebut, pemberi kuasa wajib memenuhi setiap perjanjiaan yang
dibuat olehnya, tetapi pemberi kuasa tidak terikat kepada atas apa yang dilakukan penerima
kuasa di luar hal-hal yang dikuasakan kepadanya, kecuali jika pemberi kuasa telah menyetujui
adanya perjanjian yang dibuat dengan penerima kuasa. Sementara itu, penerima kuasa tidak
dapat melakukan hal-hal lain yang melampaui kuasanya. Seperti yang disebutkan sebelumnya
dasar hukum yang mengatur mengenai surat kuasa dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”). Pada dasarnya, penerima kuasa tidak
diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya seperti
yang dijelaskan dalam Pasal 1797 KUH Perdata yang isinya; “Penerima kuasa tidak boleh
melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan
suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara
pada keputusan wasit”.
7
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilaksanakan berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan,
manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, profesionalitas, kemandirian, keterbukaan,
kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan, serta
berwawasan lingkungan.
Secara umum materi muatan dalam Undang-Undang ini meliputi tanggung jawab dan
kewenangan; usaha Jasa Konstruksi; penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi; keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan konstruksi; tenaga kerja konstruksi; pembinaan;
sistem informasi Jasa Konstruksi; partisipasi masyarakat; penyelesaian sengketa; sanksi
administratif; dan ketentuan peralihan.
Kuasa direksi yang dibuat dihadapan Notaris yang telah dipaparkan sebelumnya jika
dihubungkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Isi perjanjian yang tidak halal atau tidak
diperbolehkan adalah yang bertentangan dengan hukum atau perundang-undangan, kesusilaan
dan ketertiban umum. Pada bagian uraian prestasi yang harus dilakukan oleh penerima kuasa
dalam akta kuasa direksi yang telah dipaparkan, ditemukan pertentangan dengan peraturan,
diantaranya: Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi (selanjutnya disebut Undang-Undang Jasa Konstruksi) juncto Pasal 53 ayat (3)
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengenai larangan untuk
mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama atau seluruh pekerjaan kepada pihak lain namun pada
akta memuat pengalihan seluruh pekerjaan kepada pihak lain.
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas bahwa Direksi adalah
organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan untuk
kepentingan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
berdasarkan kemampuan pribadinya untuk menjalankan perseroan. Tugas dan wewenang Direksi
merupakan tindakan hukum. Tindakan hukum berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat
hukum tertentu dan menciptakan hak dan kewajiban.25 Setiap pemberian kewenangan kepada
pejabat tertentu, tersirat di dalamnya pertanggungjawaban atas tindakan hukum dari pejabat yang
bersangkutan.26 Salah satu tindakan hukum yang dapat dilakukan direksi adalah memberi kuasa.
Keberhasilan dan/atau kegagalan operasional suatu perseroan sangat bergantung pada
kepengurusan direksi. Letak hubungan antara perseroan terbatas dan direksi bersifat hubungan
fiduciary (kepercayaan).27 Kepercayaan pemegang saham yang menyerahkan pengurusan
perseroan kepada direksi (fiduciary duties) dan karenanya menjadi kewajiban direksi untuk
8
menjalankan sebaik-baiknya pengurusan perseroan (duty of care).28 Direksi juga bebas untuk
mengambil keputusan sesuai pertimbangan bisnis dan kepercayaan yang dimilikinya,29 termasuk
mengambil keputusan untuk melakukan subkontrak pekerjaan.
d. UU Jabatan Notaris
Tugas Pokok Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa : Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang
untuk membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.” Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah
satu tugas jabatan Notaris yaitu: “Memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap/para
penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”.
Ketika seorang direktur menghadap kepada notaris untuk membuat akta notariil, maka
hal pertama yang perlu dilakukan oleh notaris adalah memastikan apakah direktur tersebut benar-
benar berwenang atau yang ditunjuk untuk mewakili perseroan terbatas. Notaris harus
memeriksa anggaran dasarnya, kalau ada berikut dengan segala perubahannya. Dari sana akan
dipastikan apakah seorang direktur cakap dan berwenang untuk mewakili perseroan.
GHS Lumbantobing menjelaskan 3 cara untuk menjadi penghadap dalam bukunya yang
berjudul Peraturan Jabatan Notaris. Pertama, dengan kehadiran sendiri, yaitu pihak yang
bertindak dan untuk kepentingan untuk dirinya sendiri. Kedua, dengan melalui atau dengan
perantaraan kuasa (power of attorney), baik dengan kuasa secara lisan maupun secara tertulis.
Walaupun boleh dilakukan secara lisan, dalam praktek biasanya kuasa diberikan secara tertulis,
baik yang dibuat secara di bawah tangan, murni atau dengan legalisasi notaris, atau dengan kuasa
notariil. Ketiga, penghadap bertindak dalam jabatan atau kedudukannya, misalnya seorang
direktur yang menghadap sebagai wakil sah perseroan terbatas.
Menurut teori, persoalan kewenangan bertindak dalam akta sebenarnya meliputi 2 hal,
yaitu apakah pihak yang menjadi penghadap itu cakap secara hukum (mis. apakah sudah dewasa
atau tidak) dan apakah penghadap itu memiliki hak atau berwenang (empowered) untuk
melakukan tindakan hukum tertentu. Menurut KBBI, kecakapan itu berkaitan dengan
9
kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan (hukum) atau disebut dengan
istilah onbekwaam. Sebagai contoh, seorang direktur yang mewakili perusahaannya atau
orangtua/wali yang mewakili anak di bawah umur atau berdasarkan surat kuasa.
Terkait dengan penghadap yang bertindak dalam jabatan atau kedudukannya dalam
sebuah badan hukum seperti perseroan terbatas (PT), maka kompetensi penghadap tersebut dapat
dipastikan dengan membaca anggaran dasar PT tersebut. Menurut teori dan undang-undang,
seorang direktur dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk kepentingan
perusahaannya, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Demikian juga dengan
pertanggungjawabannya. Tanggung jawab tidak dibebankan pada direkturnya, melainkan pada
entitas perseroan terbatasnya.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Direktur sebagai anggota direksi merupakan bentuk perwakilan organik, bukan kuasa
dalam arti sempit. Dengan demikian, direktur tidak dapat bertindak secara pribadi untuk
kepentingan PT. Artinya, segala tindakan direktur harus berlandaskan ketentuan dari anggaran
dasar atau peraturan perundang-undangan. Direktur tidak dapat menunjuk pihak ketiga maupun
direktur lain untuk mewakili dirinya (dengan surat kuasa sekalipun), kecuali sudah ditetapkan
secara tegas dalam anggaran dasarnya. Ketika anggaran dasar menetapkan bahwa takkala
seorang direktur berhalangan dapat digantikan oleh direktur lain tanpa perlu dibuktikan, maka
notaris tidak perlu meminta adanya surat kuasa dari direktur yang berhalangan tersebut. Selain
itu, UU Perseroan Terbatas hanya memberi kemungkinan diberikannya Kuasa Direksi oleh
direksi. Ketika direksi hanya terdiri atas 1 orang direktur, maka surat kuasa yang dikeluarkan
oleh direktur haruslah dianggap sebagai Kuasa Direksi, bukan Kuasa Direktur. Ketika direksi
terdiri atas lebih dari satu orang direktur, maka kewenangan bertindak pihak yang menghadap
harus disesuaikan dengan ketentuan anggaran dasar, apakah boleh dengan dengan substitusi
direktur (direktur diwakili pihak ketiga untuk mewakili dirinya dalam direksi) atau secara khusus
pihak yang mewakili PT tersebut bertindak melalui/dengan perantaraan kuasa, yang dalam hal
ini adalah Kuasa Direksi.
3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah ini jauh dari kata sempurna dan terdapat
banyak kesalahan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber. Demikian maka makalah ini membutuhkan banyak saran dan kritik yang membangun
sebagai masukan bagi penulis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pambaca.
11
Daftar Pustaka
Ibrahim, Johnny. (2013). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing
Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014.
12