Anda di halaman 1dari 15

TUGAS INDIVIDU

HUKUM PERJANJIAN
“Kuasa Khusus : Kuasa Direksi (Akta Notaris) Dalam Kontrak Jasa Konstruksi”

Disusun oleh:

Nama : M. GHAZALI

NIM : P2B220045

Program Studi Magister Kenotariatan


Universitas Jambi
2020/2021
Kuasa khusus:kuasa Direksi (Akta Notaris) Dalam Kontrak Jasa Konstruksi

Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis kuasa khusus: kuasa direksi dalam
kontrak jasa konstruksi. Dalam penelitian ini, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif yaitu, dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka
atau data sekunder. Penelitian ini mengkaji norma hukum positif yang berupa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar hukum Pasal 1792 dan pasal 1819 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 103 UU Perseroan Terbatas No. 5 Tahun 2007, UU Jasa
Konstruksi dan Kontrak Jasa Konstrusksi beserta dengan UU Jabatan Notaris. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa Direktur tidak dapat menunjuk pihak ketiga maupun direktur
lain untuk mewakili dirinya (dengan surat kuasa sekalipun), kecuali sudah ditetapkan secara
tegas dalam anggaran dasarnya. Ketika anggaran dasar menetapkan bahwa takkala seorang
direktur berhalangan dapat digantikan oleh direktur lain tanpa perlu dibuktikan, maka notaris
tidak perlu meminta adanya surat kuasa dari direktur yang berhalangan tersebut. 

kata kunci: Kuasa Khusus, pasal 1792KUHPerdata, pasal 1819 KUHPerdata perjanjian, Pasal
103 UU Perseroan Terbatas No. 5 Tahun 2007, UU Jasa Konstruksi dan Kontrak
Jasa Konstrusksi, UU Jabatan Notaris.

ii
Daftar Isi

Kuasa khusus:kuasa Direksi (Akta Notaris) Dalam Kontrak Jasa Konstruksi.............................................ii


Abstract.......................................................................................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................................................1
1.4 Metode Penelitian..............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
2.1 Konsep Hukum Kontrak di Indonesia................................................................................................2
2.2 Kontrak Jasa Konstruksi....................................................................................................................2
2.3 Kuasa Direktur atau Kuasa Direksi....................................................................................................4
2.4 Dasar Hukum Kuasa Khusus dalam Kontrak Jasa Konstruksi...........................................................6
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................11
3.2 Saran................................................................................................................................................11
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum merupakan suatu sistem yang memuat berbagai aturan terkait tingkah laku
manusia dalam kelompok masyarakat. Hukum itu sendiri pada prinsipnya bertujuan untuk
menciptakan ketertiban dan keadilan serta keteraturan hidup di dalam masyarakat. Berdasarkan
adagium ubi societas ubi ius yang berarti di mana ada masyarakat disitu ada hukum ataupun
keadilan. Manusia juga dikenal sebagai makhluk sosial, yang berarti tidak bisa hidup sendiri dan
memerlukan bantuan dari individu lain. Kondisi tersebut yang memicu munculnya kesepakatan-
kespakatan antara manusia ataupun masyarakat satu dengan yang lainnya. Dalam pembuatan
akta notaris, baik yang dibuat dihadapan maupun oleh pejabat notaris,  yang para penghadapnya
merupakan legal entity, yaitu entitas atau badan yang dibentuk oleh hukum, seringkali
menghadapi persoalan apakah pihak (partij) yang mewakili badan hukum tersebut memang
benar-benar berwenang atau tidak dalam melakukan tindakan hukum dalam akta tersebut. Dalam
hal ini, notaris harus teliti dan cermat melihat kewenangan bertindak seorang penghadap (orang
yang datang menghadap notaris). Kalau tidak, maka akta yang dibuatnya tersebut berpotensi
menjadi akta dibawah tangan yang dapat merugikan pihak ketiga karena pihak yang bertindak
dalam akta tersebut ternyata tidak berwenang atau tidak sah

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah diperbolehkannya Kuasa khusus: kuasa direksi dalam kontrak jasa konstruksi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Untuk mengetahui diperbolehkan atau tidaknya Kuasa khusus: kuasa direksi dalam
kontrak jasa konstruksi.

1.4 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif yaitu, dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka atau data
sekunder. Penelitian ini mengkaji norma hukum positif yang berupa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan dasar hukum Pasal 1792 dan pasal 1819 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Pasal 103 UU Perseroan Terbatas No. 5 Tahun 2007, UU Jasa Konstruksi dan
Kontrak Jasa Konstrusksi beserta dengan UU Jabatan Notaris.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Hukum Kontrak di Indonesia


Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law)\
dalam merujuk pada sumber hukum, lazim berasal dari hukum yang tertulis. Salah satu hukum
tertulis yang digunakan sebagai sumber hukum adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). KUHPerdata berasal dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang diberlakukan di
Indonesia berdasarkan asas konkordansi sejak tanggal 1 Mei 1848 (stb. 1848 No. 10) hingga saat
ini.
KUHPerdata merupakan sumber hukum materil di bidang privat karena mengatur
hubungan antar orang perorangan serta badan hukum, bidang-bidang hukum yang dicakup oleh
hukum privat namun tidak terbatas pada Hukum Keluarga, Hukum Kekayaan Intelektual and
Hukum Bisnis. Salah satu persoalan hukum yang bersumber dan diatur dalam KUH Perdata
adalah mengenai Perikatan. Perikatan diatur dalam buku ketiga mulai dari Pasal 1233 sampai
dengan Pasal 1864. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan lahir dari adanya
suatu persetujuan atau undang-undang. Selanjutnya baik perikatan yang lahir karena suatu
persetujuan maupun karena undang-undang, keduanya ditujukan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Istilah persetujuan dalam KUH Perdata berasal dari kata overeekomst dalam Bahasa
Belanda yang memiliki arti perjanjian, oleh karena itu persetujuan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah perjanjian atau kontrak. Berdasarkan definisi persetujuan,
momentum hubungan hukum yang terbentuk antara subjek hukum dalam suatu perjanjian tidak
hanya ditentukan dengan suatu kesepakatan tertulis, hal ini berbeda dengan definisi perjanjian
yang memiliki.

2.2 Kontrak Jasa Konstruksi


Jasa Konstruksi mengacu kepada UU No. 18/1999 tentang jasa konstruksi maka yang
dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi. Sementara itu pekerjaan konstruksi sendiri didefinisikan

2
sebagai keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain;
Sementara ruang lingkup pekerjaan konstruksi sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/ atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Jadi jasa
konstruksi ini meliputi semua pekerjaan konstruksi mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan pengawasan.
Regulasi Sektor jasa konstruksi saat ini telah hadir dan diimplementasikan oleh seluruh
stakeholder sektor jasa konstruksi. Secara terperinci berikut adalah beberapa regulasi di sektor
jasa konstruksi :
a. Undang-Undang No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi
Beberapa catatan pengaturan dari UU No 18/1999 adalah sebagai berikut:
1) Definisi jasa konstruksi yang memberikan ruang lingkup jasa konstruksi yang sangat
luas, menimbulkan permasalahan tersendiri. Hampir seluruh pekerjaan infrastruktur
dimasukkan ke dalam jasa konstruksi tersebut, dari mulai yang dikenal dan biasa
melayani publik seperti jembatan, waduk, bangunan sampai dengan jaringan listrik dan
transmisi telekomunikasi.
2) Pasal 8 yang mengatur pelaku usaha yang berbentuk badan usaha. Sementara untuk
perseorangan pengaturannya terdapat dalam pasal 9. Pasal-pasal ini sangat penting
mengingat pasal-pasal inilah yang menjadi dasar bagi munculnya persyaratan
sertifikasi kompetensi badan usaha dan profesi .
3) Pengaturan peran masyarakat dalam jasa konstruksi juga mempengaruhi, karena
dengan pengaturan inilah lahir LPJK dengan kontroversi yang melingkupinya.
Pengaturan ini muncul dalam beberapa pasal antara lain pasal 31, 32 dan 33. Pasal-
pasal ini menimbulkan konflik dalam implementasinya. Untuk forum jasa konstruksi,
tidak ada masalah berarti mengingat fungsi forum tersebut tidak signifikan dalam
implementasi pengaturan jasa konstruksi.
4) Peran forum tidak lebih sekedar memberikan masukan kepada berbagai pihak yang
terkait dengan pengaturan sektor jasa konstruksi. Keterlibatan pelaku usaha dalam

3
forum ini juga tidak memiliki konsekuensi yang besar terhadap munculnya penggunaan
forum untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha
yang sehat karena fungsinya yang tidak begitu strategis.

2.3 Kuasa Direktur atau Kuasa Direksi


Kuasa direksi merupakan perjanjian antara pemberi dan penerima kuasa. Para pihak
bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian yang dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak,24 namun tetap harus memenuhi ketentuan esensialia. Pada kuasa direksi
yang objeknya pembangunan infrastruktur pemerintah terdapat syarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi, diantaranya: a. Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sah perjanjian; b. Pasal 1795
KUH Perdata mengenai kuasa khusus; c. Pasal 103 Undang-Undang Perseroan Terbatas
mengenai kuasa direksi; d. Anggaran Dasar perseroan; e. Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Jasa Konstruksi; dan f. Pasal 53 ayat (3) Peraturan Presiden Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Persoalannya, ketika direktur berhalangan, siapakah yang dapat menggantikannya untuk
melakukan tindakan hukum dalam akta? Pertanyaan ini tidak sulit dijawab, namun juga tidak
gampang memahaminya. Alhasil, banyak yang salah-kaprah dengan ketentuan yang
mengaturnya. Apakah boleh dengan surat kuasa atau tidak. Kalau boleh dengan surat kuasa
bagaimana titelnya? Notaris dapat memastikannya dengan melihat ketentuan anggaran dasarnya,
apakah diatur mengenai direktur yang berhalangan atau tidak. Dalam satu kasus, ketentuan
mengenai direktur yang berhalangan sedikit menimbulkan kontroversi. Ketentuan tersebut
sebagai berikut:
Tugas dan wewenang direksi berdasarkan Pasal 14;
1. Direksi berhak mewakili Perseroan di dalam dan di luar Pengadilan.
2. Direktur Utama bersama-sama dengan Direktur Keuangan berhak dan
berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan.
3. Dalam hal Direktur Utama atau Direktur Keuangan tidak hadir atau berhalangan karena
sebab apapun juga, yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga, maka salah seorang
anggota Direksi lainnya bersama-sama dengan salah seorang di antara Direktur
Keuangan atau Direktur Utama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama
Direksi serta mewakili Perseroan.

4
4. Tanpa mengurangi tanggung jawab Direksi, Direksi berhak untuk perbuatan
tertentu mengangkat seorang atau lebih kuasa dengan syarat yang ditentukan oleh
Direksi dalam suatu surat kuasa khusus.

Dalam ketentuan Anggaran Dasar tersebut, disebutkan bahwa direksi hanya boleh
diwakili oleh Direktur Utama (Dirut) dan Direktur Keuangan. Artinya, ketika menghadap
sebagai pihak dalam akta, kedua-duanya harus hadir untuk menandatangani akta tersebut agar
kewenangan bertindaknya sah mewakili PT. Namun, ketentuan tersebut masih memungkinkan
bahwa salah satu dari Direktur Utama atau Direktur Keuangan untuk tidak hadir dan digantikan
oleh direktur lainnya (jadi, dapat disimpulkan bahwa ada lebih dari 2 orang direktur dalam
perusahaan tersebut). Dalam kasus ketika salah satu diantara keduanya berhalangan, maka
Anggaran Dasar menentukan bahwa direktur lain harus menggantikannya. Bagaimana kalau
kedua-duanya tidak dapat hadir atau berhalangan:
1. Apakah Direktur Utama dan Direktur Keuangan dapat memberikan surat kuasa kepada
direktur lain atau pihak ketiga untuk mewakili keduanya?
2. Apakah Direktur Utama dan Direktur Keuangan masing-masing dapat memberikan surat
kuasa kepada satu orang yang sama untuk mewakili Direksi PT?

Dalam hal direksi hanya terdiri atas satu orang direktur, maka akan timbul kesulitan
untuk menentukan apakah kewenangan direktur tersebut sebagai pribadi  direktur atau dalam
jabatannya  mewakili direksi. Dari kacamata pihak ketiga, tentu tindakannya dianggap mewakili
direksi. Dalam kondisi ini, ketika sang direktur berhalangan dan kemudian membuat surat kuasa,
tentu surat kuasa yang dimaksudnya tersebut bukan kuasa dari pribadi direktur, melainkan surat
kuasa dalam kapasitasnya sebagai direksi. Jadi, surat kuasa tersebut harus dimaknai sebagai
Kuasa Direksi, bukan Kuasa Direktur sebagai pribadi. Notaris, dalam hal ini, harus menerima
bahwa pihak yang menghadap memang sah mewakili direksi dan sekaligus berwenang mewakili
PT.
Kondisinya agak berbeda ketika direksi terdiri atas lebih dari satu orang direktur dengan
ketentuan anggaran dasar seperti yang telah disebutkan di atas. Ketika anggaran dasar
menyebutkan bahwa yang berwenang mewakili adalah Direktur Utama dan Direktur Keuangan,
dan ketika salah satu (bukan keduanya) berhalangan, maka tanpa harus dibuktikan kepada pihak
ketiga (artinya tidak diperlukan adanya surat-surat, termasuk juga surat kuasa sekalipun), satu

5
orang direktur lainnya dapat menggantikan posisi direktur yang berhalangan tersebut. Dalam hal
ini, direktur yang berhalangan tidak perlu membuat surat kuasa karena memang sudah
“dikuasakan” oleh anggaran dasar. Ketika keduanya, yaitu Direktur Utama dan Direktur
Keuangan secara bersama-sama berhalangan sekaligus, maka sebenarnya anggaran dasar tersebut
secara implisit menyatakan bahwa keduanya tidak boleh diwakilkan dengan menunjuk direktur
lain ataupun orang lain. Ketentuan tersebut memang sengaja ditetapkan agar tidak sembarangan
pihak yang dapat mewakili  PT.  Hal yang dapat dilakukan ketika keduanya berhalangan adalah
dengan memanfaatkan ketentuan ayat (4) Pasal 14 tersebut di atas, yaitu dengan membuat Surat
Kuasa Direksi atau lazim disebut Kuasa Direksi, bukan Kuasa Direktur (yang di sini berarti
kuasa dibuat oleh masing-masing direktur, dengan surat kuasa terpisah, yang menunjuk orang
yang sama atau orang yang berbeda untuk mewakili mereka).
Memang, kelihatannya ada kontradiksi hukum antara ketentuan ayat (3) dan (4) Pasal 14
tersebut di atas. Ketentuan ayat (3) menyatakan bahwa “kalau berhalangan,…,” maka salah satu
direktur yang berhalangan akan digantikan oleh direktur lainnya. Sebaliknya, ketentuan ayat (4)
membolehkan dibuatnya surat kuasa. Kalau disimak lebih dalam, bukankah surat kuasa itu jelas
merupakan bukti (nyata) tertulis kalau “direktur sedang berhalangan“? Jadi, kalau direktur
sedang berhalangan, bukankah kita harus kembali merujuk ayat (3) tersebut? Artinya, ketentuan
ayat (3) sebenarnya melarang adanya kuasa, sedangkan ketentuan ayat (4) membuka jalan
adanya kuasa. Aneh, tetapi nyata.

2.4 Dasar Hukum Kuasa Khusus dalam Kontrak Jasa Konstruksi


a. Pasal 1792 KUHPerdata – Pasal 1819 KUHPerdata
Di Indonesia, surat kuasa diatur berdasarkan Pasal 1792–1819 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Ditegaskan Pasal 1792 KUH Perdata bahwa surat kuasa
dikeluarkan berdasarkan perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada seseorang
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Ketentuan harus
dengan perjanjian itu juga berlaku untuk PT yang mengeluarkan surat kuasa. Dengan dasar
bahwa surat kuasa itu harus dengan perjanjian, maka dengan sendirinya harus ada hak dan
kewajiban di antara pemberi kuasa dan penerima kuasa sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 
1807–1812 untuk pemberi kuasa dan Pasal 1800 -1806 untuk penerima  kuasa sebagai dasar
untuk dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang harus bertanggung-jawab.

6
Di dalam KUHP Perdata tersebut, pemberi kuasa wajib memenuhi setiap perjanjiaan yang
dibuat olehnya, tetapi pemberi kuasa tidak terikat kepada atas apa yang dilakukan penerima
kuasa di luar hal-hal yang dikuasakan kepadanya, kecuali jika pemberi kuasa telah menyetujui
adanya perjanjian yang dibuat dengan penerima kuasa. Sementara itu, penerima kuasa tidak
dapat melakukan hal-hal lain yang melampaui kuasanya. Seperti yang disebutkan sebelumnya
dasar hukum yang mengatur mengenai surat kuasa dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”). Pada dasarnya, penerima kuasa tidak
diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya seperti
yang dijelaskan dalam Pasal 1797 KUH Perdata yang isinya; “Penerima kuasa tidak boleh
melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan
suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara
pada keputusan wasit”.

b. Pasal 103 UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007


Ketentuan Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan
bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih
atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu
sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa yang merupakan wujud dari terjadiya perjanjian
di antara direksi (sebagai pemberi kuasa) dengan karyawan Perseroan (sebagai penerima kuasa).
Sehingga, surat kuasa itu harus berangkat dari kesepakatan bersama sebagai basis dasarnya dan
tidak sepihak dari salah satu kepada pihak lainnya. Yang dimaksud “kuasa” di sini adalah kuasa
khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.
Dengan demikian, perlu dilihat kembali dalam surat kuasa yang diberikan oleh Direksi
kepada penerima kuasa. Dalam surat kuasa khusus yang diberikan oleh Direksi tersebut,
seharusnya dijelaskan secara rinci tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan. Pada
umumnya, pemberian kuasa dari Direksi kepada orang lain hanya untuk mewakili Direksi dalam
melakukan perbuatan hukum tertentu ketika Direksi berhalangan. Dan bukan untuk mengalihkan
tanggung jawab.

c. UU Jasa Konstruksi dan Kontrak Jasa Konstruksi


Landasan hukum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi adalah
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

7
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilaksanakan berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan,
manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, profesionalitas, kemandirian, keterbukaan,
kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan, serta
berwawasan lingkungan.
Secara umum materi muatan dalam Undang-Undang ini meliputi tanggung jawab dan
kewenangan; usaha Jasa Konstruksi; penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi; keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan konstruksi; tenaga kerja konstruksi; pembinaan;
sistem informasi Jasa Konstruksi; partisipasi masyarakat; penyelesaian sengketa; sanksi
administratif; dan ketentuan peralihan.
Kuasa direksi yang dibuat dihadapan Notaris yang telah dipaparkan sebelumnya jika
dihubungkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Isi perjanjian yang tidak halal atau tidak
diperbolehkan adalah yang bertentangan dengan hukum atau perundang-undangan, kesusilaan
dan ketertiban umum. Pada bagian uraian prestasi yang harus dilakukan oleh penerima kuasa
dalam akta kuasa direksi yang telah dipaparkan, ditemukan pertentangan dengan peraturan,
diantaranya: Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi (selanjutnya disebut Undang-Undang Jasa Konstruksi) juncto Pasal 53 ayat (3)
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengenai larangan untuk
mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama atau seluruh pekerjaan kepada pihak lain namun pada
akta memuat pengalihan seluruh pekerjaan kepada pihak lain.
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas bahwa Direksi adalah
organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan untuk
kepentingan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
berdasarkan kemampuan pribadinya untuk menjalankan perseroan. Tugas dan wewenang Direksi
merupakan tindakan hukum. Tindakan hukum berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat
hukum tertentu dan menciptakan hak dan kewajiban.25 Setiap pemberian kewenangan kepada
pejabat tertentu, tersirat di dalamnya pertanggungjawaban atas tindakan hukum dari pejabat yang
bersangkutan.26 Salah satu tindakan hukum yang dapat dilakukan direksi adalah memberi kuasa.
Keberhasilan dan/atau kegagalan operasional suatu perseroan sangat bergantung pada
kepengurusan direksi. Letak hubungan antara perseroan terbatas dan direksi bersifat hubungan
fiduciary (kepercayaan).27 Kepercayaan pemegang saham yang menyerahkan pengurusan
perseroan kepada direksi (fiduciary duties) dan karenanya menjadi kewajiban direksi untuk

8
menjalankan sebaik-baiknya pengurusan perseroan (duty of care).28 Direksi juga bebas untuk
mengambil keputusan sesuai pertimbangan bisnis dan kepercayaan yang dimilikinya,29 termasuk
mengambil keputusan untuk melakukan subkontrak pekerjaan.

d. UU Jabatan Notaris
Tugas Pokok Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa : Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang
untuk membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.” Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah
satu tugas jabatan Notaris yaitu: “Memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap/para
penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”.
Ketika seorang direktur menghadap kepada notaris untuk membuat akta notariil, maka
hal pertama yang perlu dilakukan oleh notaris adalah memastikan apakah direktur tersebut benar-
benar berwenang atau yang ditunjuk untuk mewakili perseroan terbatas. Notaris harus
memeriksa anggaran dasarnya, kalau ada berikut dengan segala perubahannya. Dari sana akan
dipastikan apakah seorang direktur cakap dan berwenang untuk mewakili perseroan.
GHS Lumbantobing menjelaskan 3 cara untuk menjadi penghadap dalam bukunya yang
berjudul Peraturan Jabatan Notaris. Pertama, dengan kehadiran sendiri, yaitu pihak yang
bertindak dan untuk kepentingan untuk dirinya sendiri. Kedua, dengan melalui atau dengan
perantaraan kuasa (power of attorney), baik dengan kuasa secara lisan maupun secara tertulis.
Walaupun boleh dilakukan secara lisan, dalam praktek biasanya kuasa diberikan secara tertulis,
baik yang dibuat secara di bawah tangan, murni atau dengan legalisasi notaris, atau dengan kuasa
notariil. Ketiga, penghadap bertindak dalam jabatan atau kedudukannya, misalnya seorang
direktur yang menghadap sebagai wakil sah perseroan terbatas.
Menurut teori, persoalan kewenangan bertindak dalam akta sebenarnya meliputi 2 hal,
yaitu apakah pihak yang menjadi penghadap itu cakap secara hukum (mis. apakah sudah dewasa
atau tidak) dan apakah penghadap itu memiliki hak atau berwenang (empowered)  untuk
melakukan tindakan hukum tertentu. Menurut KBBI, kecakapan itu berkaitan dengan

9
kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan (hukum) atau disebut dengan
istilah onbekwaam. Sebagai contoh, seorang direktur yang mewakili perusahaannya atau
orangtua/wali yang mewakili anak di bawah umur atau berdasarkan surat kuasa.
Terkait dengan penghadap yang bertindak dalam jabatan atau kedudukannya dalam
sebuah badan hukum seperti perseroan terbatas (PT), maka kompetensi penghadap tersebut dapat
dipastikan dengan membaca anggaran dasar PT tersebut. Menurut teori dan undang-undang,
seorang direktur dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk kepentingan
perusahaannya, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Demikian juga dengan
pertanggungjawabannya. Tanggung jawab tidak dibebankan pada direkturnya, melainkan pada
entitas perseroan terbatasnya.

10
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Direktur sebagai anggota direksi merupakan bentuk perwakilan organik, bukan kuasa
dalam arti sempit. Dengan demikian, direktur tidak dapat bertindak secara pribadi untuk
kepentingan PT. Artinya, segala tindakan direktur harus berlandaskan ketentuan dari anggaran
dasar atau peraturan perundang-undangan. Direktur tidak dapat menunjuk pihak ketiga maupun
direktur lain untuk mewakili dirinya (dengan surat kuasa sekalipun), kecuali sudah ditetapkan
secara tegas dalam anggaran dasarnya. Ketika anggaran dasar menetapkan bahwa takkala
seorang direktur berhalangan dapat digantikan oleh direktur lain tanpa perlu dibuktikan, maka
notaris tidak perlu meminta adanya surat kuasa dari direktur yang berhalangan tersebut. Selain
itu, UU Perseroan Terbatas hanya memberi kemungkinan diberikannya Kuasa Direksi oleh
direksi. Ketika direksi hanya terdiri atas 1 orang direktur, maka surat kuasa yang dikeluarkan
oleh direktur haruslah dianggap sebagai Kuasa Direksi, bukan Kuasa Direktur. Ketika direksi
terdiri atas lebih dari satu orang direktur, maka kewenangan bertindak pihak yang menghadap
harus disesuaikan dengan ketentuan anggaran dasar, apakah boleh dengan dengan substitusi
direktur (direktur diwakili pihak ketiga untuk mewakili dirinya dalam direksi) atau secara khusus
pihak yang mewakili PT tersebut bertindak melalui/dengan perantaraan kuasa, yang dalam hal
ini adalah Kuasa Direksi.

3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah ini jauh dari kata sempurna dan terdapat
banyak kesalahan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber. Demikian maka makalah ini membutuhkan banyak saran dan kritik yang membangun
sebagai masukan bagi penulis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pambaca.

11
Daftar Pustaka

Bhakti. (2013). Kuasa Direktur atau Kuasa Direksi yang Salah-Kaprah.

Ibrahim, Johnny. (2013). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing

Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014.

Kartikasari. (2020). Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas dan Notaris

Terhadap Surat Kuasa Direksi.

Mudjisantosa. (2014). Akta Notaris Tentang Kuasa Direktur.

Riyanto, Agus. (2017). Surat Kuasa Direksi Dan Pertanggungjawabannya.

Zulham. (2014). Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris Dalam UUJN.

12

Anda mungkin juga menyukai