Anda di halaman 1dari 13

HUKUM PERUSAHAAN

JUDUL

Dosen Pengampu :

Nama : M. GHAZALI

NIM : P2B220045

Program Studi Magister Kenotariatan


Program Pascasarjana
Universitas Jambi
2020/201
A. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, pelaksanaan RUPS juga

mengalami transformasi dari sistem konvensional menuju pada penggunaan

sistem elektronik dengan pemanfaatan teknologi telekomunikasi sebagaimana

diatur dalam Pasal 77 UUPT yang memberikan legitimasi pelaksanaan RUPS

dengan menggunakan media telekonferensi dan mengamanahkan kewajiban

pembuatan risalah RUPS tersebut.

Proses Pembuatan Akta Otentik dari RUPS merupakan hal yang sangat

penting untuk diperhatikan. Diberlakukannya UUPT yang memungkinkan

melakukan RUPS melalui media telekonfrensi tidak memberikan penjelasan

mengenai mekanisme dan proses pembuatannya. Hal ini menjadi sangat riskan

mengingat ekanisme tersebut sangat penting mengingat mekanisme yang

digunakan akan menentukan keabsahan dari risalah RUPS dan Akta Otentik dari

suatu RUPS.

Ditinjau dari satu sisi Pasal 77 UUPT ini memberikan legitimasi dalam

pembuatan akta otentik RUPS melalui media telekonferensi namun di sisi lain

terdapat ketidakharmonisan dengan regulasi terkait khususnya Undang-Undang

Jabatan Notaris (UUJN) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(UUJN-P) sebagai pedoman notaris dalam menjalankan profesinya.

Pembuatan akta notaris hasil RUPS yang dilaksanakan melalui media

elektronik tentu tidak sama dengan RUPS yang dilaksanakan dengan cara biasa

1
atau konvensional. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengambil

judul mengenai Kewengan dan Keabsahan Akta Elektronik Notaris ditinjau dari

Teori Kewenangan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akta RUPS yang
ditandatangani secara elektronik melalui media telekonferensi?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akta

RUPS yang ditandatangani secara elektronik melalui media telekonferensi.

B. PEMBAHASAN

2.1 Kewenangan Notaris dan Keabsahan Akta Notaris untuk RUPS ditinjau

dari Teori Kewenangan

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari atau yang diberikan oleh undang-undang yaitu kekuasaan legislatif

dan kekuasaan eksekutif. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk

melakukan sesuatu tindakan hukum publik, misalnya wewenang menandatangani

atau menerbitkan surat izin dari pejabat atas nama Menteri atau Kepala Daerah

sehingga dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang. Jadi di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang.

Mennurut Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa wewenang diartikan

sebagai kekuasaan hukum. Jadi dalam konsep hukum publik, bisa dikatakan

bahwa teori kewenangan ini berkaitan dengan kekuasaan hukum wewenang

2
berkaitan dengan kekuasaan.1 dan kemampuan untuk bertindak yang berdasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan akibat hukum.

Menuurt Philipus M. Hadjon Konsep teori kewenangan ialah setiap

tindakan pemerintah disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.

Dimana kewenangan tersebut diperoleh melalui tiga sumber yaitu; atribusi,

delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui

pembagian kekuasaan Negara oleh undang-undang, kewenangan delegasi dan

mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Lebih jelas lagi,

kewenangan berdasarkan undang-undang dapat diperoleh melalui:2

1. Atribusi, adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Hal ini

didasarkan pada kewenangan Jabatan Notaris yang langsung diberikan oleh

undang-undang yang dalam hal ini adalah UUJN dan UUJN Perubahan yang

secara khusus mengatur mengenai jabatan notaris.

2. Mandat adalah wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur

pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang

lebih rendah.

3. Delegasi adalah kewenangan yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan

kepada organ pemerintahan yang lainnya, dan segala tanggungjawab yang

mengikuti kewenangan tersebut berdasarkan atas peraturan perundang-

undangan.3

1
Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, No. 5 & 6 tahun XII, September-Desember,
Makalah, Universitas Airlang ga, Surabaya, hal. 1.
2
Lutfi Effendi dan Sri Kustina, 2000, Hukum Administrasi (Administrasi Recht), Biro Konsultan
dan Bantuan Hukum, Malang, hal. 109.
3
Philipus M. Hadjon, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, hal. 130.

3
Notaris sebagai pejabat umum memperoleh kewenangan secara atribusi

karena kewenangan tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Dalam

UUD NRI 1945 pemberian wewenang kepada Notaris memang tidak diatur,

namun sumber kewenangan Notaris ini berasal/diatur dalam UUJN, sehingga

dikatakan kewenangan Notaris diperoleh melalui atribusi dari UUJN. Alasannya

dilihat dari pengertian pemberian wewenang secara atribusi terjadi apabila diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau

undang-undang (Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan). Kata dan/atau dalam pemberian atribusi tersebut

berarti sumber kewenangan atribusi bisa berasal dari UUD NRI 1945 dan/atau

dari undang-undang saja, yang dalam hal kewenangan Notaris adalah UUJN.

Notaris merupakan pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian

tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,

semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.4

Sebagai Pejabat umum, khususnya yang berwenang dalam membuat akta.

kewenangan Notaris dalam membuat akta haruslah sesuai dengan yang telah

dicantum dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Dimana

didalam undang-undang tersebut diatur bahwa: 1. Notaris hanya berwenang

4
Hartati Sulihandari, Prinsip-prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta:2013, hlm.4.

4
membuat akta seperti yang telah ditentukan Undang-undang Jabatan Notaris, 2.

Notaris hanya berwenang membuat akta sepanjang akta tersebut dibuat bukan

untuk kepentingan sendiri, kawan kawin, atau orang lain yang mempunyai

hubungan kekeluargaan dengan notaris, 3. Notaris hanya berwenang apabila

melakukan praktek notaris diwilayah jabatannya.

Berdasarkan teori Kewenangan mekanisme pembuatan akta notaris yaitu:

1. Pihak penghadap datang dan hadir dihadapan notaris dan menyampaikan

maksud para pihak untuk membuat kesepakatan dalam bentuk tertulis dan

memiliki kekuatan hukum, 2. Setelah notaris mendengarkan kehendak dan

keinginan para pihak, maka akan ditentukan apakah akta yang dibuat adalah akta

relaas atau akta partij, 3. Notaris membuat akta sesuai dengan ketentuan pasal 38

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan 4. Setelah akta selesai dibuat maka

diakhiri dengan pembacaan dan penandatanganan akta di hadapan saksi-saksi oleh

para penghadap, saksi dan juga notaris

Notaris mempunyai kewenangan atribusi berdasarkan dengan teori

kewenangan dan teori keabsahan. Dalam aspek kewenangan notaris diberikan

kewenangan langsung oleh undang-undang untuk membuat akta termasuk di

dalamnya membacakan akta dan selama obyek dari perjanjian tersebut masih di

dalam wilayah kerja notaris, maka notaris tetap mempunyai kewenangan untuk

membuatkan akta sekalipun pembacaan dan penandatangan dengan menggunakan

cyber notary dan akta tersebut tetap sah selama bentuk dari akta sesuai dengan

ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan pasal 1868 KUH

Perdata.

5
Berkaitan dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014

yaitu bahwa notaris mempunyai kewenangan lain yang salah satunya adalah

mensertifikasi transaksi dengan menggunakan alat elektronik (cyber notary).

Akan tetapi sertifikasi yang dimaksud tersebut tidak dijelaskan definisinya

sehingga menimbulkan pengertian yang ambigu. Menurut Emma Nurita,

sertifikasi yang dimaksud ialah prosedur dimana pihak ketiga memberikan

jaminan tertulis bahwa suatu produk, proses atau jasa yang telah memenuhi

standar tertentu, berdasarkan audit yang dilaksanakan dengan prosedur yang

disepakati.5

Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam pasal 1868 KUH Perdata bahwa

akta otentik termasuk juga akta notaris, akta tersebut wajib dibuat dalam bentuk

yang telah ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau dibuat di hadapan

pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat, sehingga

apabila akta yang dibuat tersebut telah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang dan pejabat umum yang membuat akta tersebut sesuai dengan

kewenangannya maka akta tersebut dapat digolongkan sebagai akta otentik.

Namun akan menjadi masalah apabila dalam proses pembacaan dan

penandatangan aktanya menggunakan cyber notary atau dengan kata lain

menggunakan alat-alat elektronik. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 16 ayat (1)

huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa pembacaan

akta harus dilakukan di hadapan para penghadap dan paling sedikit dihadiri oleh 2

5
Theodore Sedwick Barassi, The Cyber Notary: Public Key Registration and Certification and
Authentication of International Legal Transactions,
http://www.abanet.org/sgitech/ec/en/cybernote.html, diakses 29 Maret pukul 08.03 WIB.

6
(dua) orang saksi, dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Notaris harus hadir

secara fisik dan menandatangani Akta di hadapan penghadap dan saksi.

Kata Hadir secara fisik, jika dijabarkan kata demi kata yaitu hadir dan

secara fisik. Hadir artinya ada atau datang. Sedangkan kata fisik mempunyai arti

badan/jasmani, sehingga maksud hadir secara fisik yaitu ada secara jasmani

dengan kata lain berwujud atau terlihat secara fisik. Penjelasan tentang hadir

secara fisik menimbulkan konflik norma dalam Undang-undang Nomor 2 tahun

2014, karena cyber notary sebagai bagian dari kemajuan teknologi dapat

mempertemukan dua pihak atau lebih di tempat yang berbeda dengan fasilitas

suara dan gambar yang senyatanya, sehingga bentuk wajah, suara dan keadaan

nyata dapat terlihat.

Prosedur pembuatan akta notaris dengan menggunakan cyber notary

adalah Para pihak hadir di hadapan notaris dengan menggunakan teleconference

atau video call untuk menyampaikan maksud dan tujuan menghadap notaris dan

menyampaikan akta yang akan dibuat, para pihak harus menunjukkan identitas

mereka secara jelas kepada notaris dengan mengirimkan identitas mereka melalui

alat elektronik dan notaris mencocokkan identitas tersebut dengan orang yang

berada dalam teleconference atau video call, setelah itu, notaris membuatkan akta

sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang yang kemudian

dibacakan di hadapan para pihak di mana dalam pembacaan akta tersebut baik

notaris, saksi maupun para pihak menggunakan teleconference atau video call

dalam waktu yang bersamaan, dan setelah selesai akta tersebut dibacakan dan

7
dipahami oleh para pihak yang bersangkutan, akta tersebut ditandatangani oleh

para pihak, saksi dan notaris dengan menggunakan tanda tangan digital.

Pembentukan tanda tangan digital menggunakan semacam sidik jari yang

dihasilkan dari dokumen dan kunci privat. Verifikasi tanda tangan digital

merupakan suatu proses pengecekan tanda tangan digital dengan mereferensikan

ke dokumen asli dan kunci publik yang telah diberikan, sehingga dengan

demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan digital tersebut dibuat untuk

dokumen yang sama yang menggunakan kunci privat. Apabila kedua proses

tersebut telah terpenuhi maka suatu tanda tangan digital juga dapat memenuhi

unsur yuridis seperti yang tertuang di dalam tanda tangan secara konvensional.

Seseorang yang membubuhkan tanda tangan digitalnya dianggap mengakui semua

yang ditulisnya dalam dokumen elektronik yang bersangkutan. Dengan demikian,

tanda tangan digital mempunyai sifat “one signature document” yang mana

apabila terjadi perubahan sedikit saja pada tulisan yang dikirim maka tanda tangan

digitalnya juga akan berubah dan akan menjadi tidak valid lagi.

Berdasarkan teori kewenangan dalam aspek prosedur pembuatan akta

notaris maka terhadap keabsahan dari sertifikasi transaksi menggunakan cyber

notary yang dilakukan oleh notaris mempunyai 3 (tiga) kesimpulan, yaitu: 1. Akta

notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7) Undang- undang

Nomor 2 Tahun 2014 yaitu Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah

akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata

cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, 2. Apabila sertifikasi yang

tercantum dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun

8
2014 disamakan dengan surat di bawah tangan yang disahkan oleh notaris

(legalisasi), maka sertifikasi yang dimaksud bukanlah akta otentik. Hal ini

dikarenakan dalam legalisasi, notaris harus memberikan kepastian tanggal dan

tanda tangan para pihak/ penghadap, dengan kata lain surat di bawah tangan

dibuat sendiri oleh para pihak tetapi surat tersebut harus dibacakan dan ditanda

tangani di hadapan notaris maupun para pihak. Di hadapan di sini diartikan hadir

secara fisik bukan melalui alat elektronik. Sehingga notaris mempunyai tanggung

jawab untuk memberikan kepastian tanggal dan tanda tangan yang dilakukan oleh

para pihak/ penghadap dan 3. sedangkan jika sertifikasi memiliki arti yang sama

dengan surat di bawah tangan yang didaftar oleh notaris (warmeking). Apabila

memang hal ini yang dimaksudkan maka sertifikasi itu sendiri bukanlah akta

otentik sehingga walaupun dilakukan dengan menggunakan cyber notary tidak

akan menimbulkan masalah karena notaris tidak memiliki tanggung jawab baik

terhadap kepastian tanggal, waktu maupun isinya serta bentuk dari surat yang

dibuat oleh para pihak/ penghadap.

Perbuatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perbuatan hukum bukan

perbuatan menurut kenyataannya. Sehingga perbuatan hukum adalah perbuatan

yang mempunyai tujuan untuk menciptakan sesuatu hak atau merubah sesuatu hak

yang ada atau mengakhirinya berdasarkan pernyataan atau kemauan pihak yang

berkepentingan. Contohnya dalam hal pada saat Yayasan dan Perseroan Terbatas

yang akta pendiriannya harus menggunakan akta Notaris dikarenakan untuk

Yayasan, semua harta kekayaan yang dilimpahkan kepada Yayasan tidak dapat

9
ditarik kembali. Sedangkan untuk Perseroan Terbatas para pendiri persero dan

pengurus bertanggung jawab secara renteng.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

10
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut Pasal 2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (UU

No. 28-1999) Notaris tidak termasuk sebagai penyelenggara negara, melainkan

Pejabat Umum.Yang dimaksud dengan Pejabat Umum disini bukanlah Pegawai

Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8-1974, tetapi pejabat umum disini

adalah Jabatan Notaris yang diciptakan negara sebagai implementasi dari negara

dalam memberikan pelayanan kepada rakyat yang merupakan jabatan yang

istimewa, yang luhur, terhormat dan bermartabat karena secara khusus diatur

dengan undang-undang tersendiri mengenai jabatan tersebut..

3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah ini jauh dari kata

sempurna dan terdapat banyak kesalahan. Penulis akan memperbaiki makalah

tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber. Demikian maka makalah ini

membutuhkan banyak saran dan kritik yang membangun sebagai masukan bagi

penulis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pambaca.

Daftar Pustaka

11
Atmadja, D. G. Budiartha, N. P. 2018. Malang: Setara Press.

Ishaq. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Prajudi Atmosudirdjo. 1995. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

R.A.De.Rozarie. 2015. Teori Hukum Dan Implementasinya

12

Anda mungkin juga menyukai