Anda di halaman 1dari 13

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Jember, 22 Juni 2021


Hal : Permohonan Persetujuan Kepada :
Judul Skripsi Yth. Dekan Fakultas Syariah
IAIN Jember
Di Jember

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Jember;
Nama : Arvina Hafidzah
NIM : S20184016
Semester : VI (Enam)
Program Studi : Hukum Pidana Islam
Tahun Akademik : 2020/2021
Nomor Handphone : 083123077941

Dengan ini mohon dengan hormat untuk menyetujui rencana judul skripsi saya
guna melengkapi sebagian syarat untuk menyelesaikan studi program S-1 pada
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember. Adapun judul-judul skripsi
yang saya ajukan sebagaimana terlampir.
Demikian surat permohonan ini saya buat, atas perhatian dan perkenan Bapak,
saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wr. Wb


Hormat saya,
Pemohon

Arvina Hafidzah
S20184016
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Lampiran
Judul 1 : STUDI LITERATUR RERFORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Ringkasan latar belakang masalah :


Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib untuk dilindungi, karena dengan
terlindunginya hak-hak anak akan menjamin keberlangsungan pembangunan bangsa yang
berkelanjutan. Selain itu, posisi anak yang rentan sebagai korban, saksi maupun pelaku tindak
pidana menjadi alasan dibutuhkannya perindungan. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 28 B Ayat
2 Undang-Undang Dasar 1945 “Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Tidak hanya dalam hukum nasional saja, Islam sejatinya telah menempatkan
anak-anak dalam posisi yang istimewa. Perlindungan terhadap anak tidak hanya kewajiban bagi
orang tua, tetapi juga bagi orang-orang disekitarnya. Sebab dengan terjaminnya perlindungan
anak maka akan menghasilkan generasi yang sarat iman dan akhlak untuk memajukan
peradaban islam. Hal tersebut sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw. “Sesungguhnya usaha yang
paling baik untuk dinikmati adalah hasil jerih payah tangan sendiri dan seorang anak adalah
merupakan usaha dari orang tuanya.” (H.R Ahmad).1
Bila anak kemudian menjadi pelaku atas sebuah tindak pidana, maka dibutuhkan adanya
pembinaan yang edukatif untuk memperbaiki perilaku anak agar dapat kembali ke masyarakat
sebagai individu yang baik. Negara memegang peranan penting untuk melakukan perlindungan
serta pembinaan kepada anak, dalam hal ini ialah anak yang berhadapan dengan hukum. Ketika
dihadapkan dengan hukum, anak akan menghadapi produk politik yang memiliki kewenangan
dalam bentuk upaya paksa demi terjaganya ketertiban umum. Dengan adanya upaya paksa yang
berupa pembatasan atau perampasan hak tentu akan berdampak pada perjalanan hidup anak dan
bagaimana pola pikirnya akan terbentuk karena kehilangan masa kecilnya untuk bermain dan
mendapat kasih sayang orang tua. Dengan adanya penyelesaian hukum melalui jalur justicia
conventional, tak jarang akan menimbulkan stigma negatif terhadap anak di tengah masyarakat
yang akan berdampak pada kerusakan masa depan anak. Sehingga sangat penting untuk
menegakkan hukum dengan tetap memperhatikan hak-hak yang dimiliki anak agar kemudian

1
Muhammad Zaki, “Perlindungan Anak dalam Perspektif Islam” Asas, Vol. 6, No. 2, 2014, 5.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

dapat melanjutkan tugasnya sebagai penerus bangsa.2


Prinsip-prinsip umum mengenai hak anak dapat dilihat dalam Konvensi Hak Anak yang
mengusung 4 prinsip umum. Pasal 2 Ayat 1 berisi mengenai prinsip non-diskriminasi yang
artinya negara akan menghormati hak anak tanpa melihat latar belakang ras, agama, padangan
politik, dan lain sebagainya. Kemudian di dalam Pasal 3 Ayat 1 berisi mengenai prinsip
kepentingan terbaik anak yang merupakan pertimbangan utama dalam merumuskan kebijakan
yang berhubungan dengan anak. Pasal 6 Ayat 1 dan 2 Konvensi Anak berisi mengenai prinsip
atas keberlangsungan hidup dan perkembangan anak, artinya tiap anak berhak untuk
mendapatkan perlindungan atas keberlangsungan hidup dan tumbuh kembangnya semaksimal
mungkin dengan dihadirkannya kebijakan-kebijakan oleh negara. Dan prinsip yang terakhir
ialah prinsip penghargaan terhadap pendapat anak yang termaktub pada Pasal 12 Ayat 1
Konvensi Hak Anak, dimana negara menjamin didengarnya pendapat anak tanpa menekan atau
menggiring peryataan anak. Keempat prinsip tersebut menjadi hal yang wajib dipertimbangkan
untuk menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya adalah anak.
Kenakalan pada anak tak dapat dipungkiri merupakan permasalahan yang kian umum
terjadi di masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun dari laman resmi pemerintah Belitung
Timur, kenakalan anak meningkat setiap tahunnya yakni pada periode bulan Mei 2020 sudah
sebanyak 8 Kasus yang ditangani. Meningkatnya kenakalan pada anak tentu tidak terlepas dari
faktor keluarga, serta lingkungan sekitarnya. Pengaruh eksternal sangat berpengaruh terhadap
tingginya kenakalan anak, sebab anak yang berada di usia labil dapat dipahami sebagai kanvas
putih yang menerima berbagai macam warna dari lingkungan sekitarnya termasuk pula pada
warna kejahatan. Hingga tidak jarang, dewasa ini banyak anak-anak yang terjerumus ke dalam
gelapnya tindak pidana. Anak yang dianggap berada di posisi lemah nyatanya dapat melakukan
tindak pidana yang salah satunya tidak dapat dielakkan merupakan pembunuhan berencana.
Berbicara mengenai pembunuhan maka tidak terlepas dari unsur perampasan hak untuk
hidup yang notabene masuk pada Hak Asasi Manusia. Pembunuhan apalagi yang direncanakan
tentu harus ditangani melalui hukum yang berkeadilan, dengan tetap memperhatikan hak-hak
pelaku kejahatan. Pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak dapat terjadi dengan
berubahnya kondisi psikis anak oleh pengaruh baik secara internal maupun eksternal. Keduanya
berkolaborasi menciptakan suasana yang memungkingkan terjadinya pembunuhan berencana
2
Muhammad Iqbal Nuzulyansyah, “Pembunuhan berencana oleh Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan Nomor Perkara 7/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kbj)” Skripsi, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, 2.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

oleh anak. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah jelas menyatakan
perlindungan anak sebagai bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan juga berpartisipasi secara maksimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari adanya kekerasan
dan diskriminasi.3 Artinya, anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan pengaturan yang
khusus agar selain membuatnya jera juga tetap melindungi hak-haknya sebagai penerus bangsa.
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku anak, apalagi dalam kasus pembunuhan
berencana yang diancam dengan tuntutan penjara seumur hidup ataupun hukuman mati tentu
mendapatkan pengaturannya sendiri. Pertanggungjawaban anak yang berkonflik dengan hukum
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Meskipun anak terbukti telah melakukan pembunuhan yang direncanakan sebelumnya, pelaku
tetaplah anak-anak yang berada di posisi lemah dan harus dilindungi oleh negara. Perlindungan
yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11/2012 tersebut ialah dengan memberikan
pembedeaan perlakukan dalam proses peradilan pidana pada umumnya. Pembedaan tersebut
diharapkan untuk menghindari efek negatif jalannya persidangan yang akan mempengaruhi
perkembangan anak.
Di dalam islam, anak yang belum mencapai usia baligh belum dapat dikenai hukum yang
berlaku bagi orang dewasa. Hal ini telah sesuai dengan Hadist “Tidak dicatat dosa dalam tiga
perkara, anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun dan orang gila sampai ia
sadar” (H.R Ahmad).4 Mengenai usia baligh bagi anak, memicu beberapa perbedaan pendapat.
Misalnya, Imam Syafi‟I memberi batas usia baligh 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi
perempuan. Sementara itu Imam Malik menyatakan usia baligh dimulai semenjak keluarnya air
mani bagi laki-laki. 5 Perbedaan pendapat mengenai usia baligh kemudian dapat memicu
perbedaan dalam pemahaman pertanggungjawaban pidana anak yang melakukan tindak pidana
utamanya pembunuhan berencana yang diancam dengan hukuman qisas.
Demikian, perlindungan terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan akan memicu
perdebatan di tengah masyarakat. Nyatanya, meskipun anak berada di posisi yang rentan,

3
Nurul Amalia, “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana yang Dilakukan oleh Anak
(Studi Putusan Nomor 46/Pid.Sus-Anak/2016/PN MDN)” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Medan Area, 2018,
7-8.
4
Muhammad Zaki, Opcit, 4.
5
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan menurut Fukaha dan Penerapannya dalam Undang-Undang Perkawinan
di Dunia Islam” Al-„Adalah, Vol. XII, No. 4, 2015, 810.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

dengan gamblang telah melakukan perampasan nyawa secara sengaja yang merupakan
perebutan Hak untuk hidup bagi manusia lainnya. Artinya, hak anak sebagai pelaku memanglah
penting untuk keberlangsungan negara, tetapi bukan berarti dapat melepas tanggungjawab
pidana akibat perbuatannya. Sebagai negara yang terus berkembang dari segala sisi,
pembicaraan mengenai ketentuan perundang-undangan yang akan datang (ius constituendum)
selayaknya selalu digaungkan. Apalagi mengenai pengaturan terhadap pertanggungjawaban bagi
pelaku anak dalam tindak pembunuhan berencana, yang saat ini masih menjadi polemik di
tengah masyarakat. Reformulasi kebijakan dapat menjadi solusi yang tepat untuk memperluas
rentang penyelesaian tindak pidana di luar ketentuan KUHP.
Reformulasi tersebut tentu didasarkan pada kajian dari segi Hukum Nasional yang
dikolaborasikan dengan pemahaman yang ada di dalam Hukum Pidana Islam. Tidak dapat
dipungkiri ruh Hukum Pidana Islam telah merasuk ke dalam Acara Pidana Nasional, sehingga
tidak asing bila pada reformulasi ini menampilkan sisi Hukum Pidana Islam sebagai
pertimbangan yang fundamental. Berdasarkan studi berbagai literatur, dibutuhkan adanya
pengkajian untuk mendapatkan rekomendasi atas reformulasi kebijakan pertanggungjawaban
pidana anak dalam tindak pidana pembunuhan berencana ditinjau dari hukum positf dan hukum
islam. Sehingga kemudian, anak sebagai penerus bangsa yang berkonflik dengan hukum sebagai
pelaku dalam tindak pidana pembunuhan berencana mendapatkan hak-haknya sebagai anak
dengan tetap mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan.
Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian berdasarkan penjelasan di atas ialah,
1. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Nasional terhadap pertanggungjawaban tindak
pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertanggungjawaban tindak pidana
pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak?
3. Bagaimana Reformulasi kebijakan sistem Pertanggungjawaban Tindak Pembunuhan
Berencana oleh Anak di masa yang akan datang berdasarkan tinjuan Hukum Pidana
Nasional dan Hukum Pidana Islam?
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Judul 2 : VALIDITAS ALAT BUKTI VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK


PIDANA PERKOSAAN SECARA BERSAMA-SAMA TINJAUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL DAN HUKUM PIDANA ISLAM (STUDI PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI NOMOR 42/PID/2017/PT.BJM)

Ringkasan latar belakang masalah :


Dalam kehidupan bermasyarakat yang kompleks, tentu akan menimbulkan pergesekan
pandangan sosial antara satu individu dengan lainnya. Selain itu, nafsu yang sudah menjadi
bawaan dasar manusia secara alamiah tidak jarang akan mengambil alih pertimbangan dalam
melakukan sebuah perbuatan. Sehingga tak jarang timbul kasus-kasus kejahatan yang menurut
pelaku adalah perbuatan khilaf, padahal kejahatan tersebut merupakan imbas dari kurangnya
kontrol pelaku dalam menyeimbangkan nafsu dan akal pikiran. Bukti dari kejahatan
berlandaskan nafsu ialah tindak pidana perkosaan, dimana pelaku secara sadar telah
menyetubuhi korbannya dengan ancaman ataupun kekerasan. Menurut Teori Kontrol Sosial,
adanya sebuah kejahatan adalah bukti atas lemahnya insibis moral dan sosial pelaku dan juga
reaksi masyarakat yang lemah atas adanya tindak kejahatan di tengah masyarakat. 6 Teori ini
nyatanya sesuai dengan kondisi yang ada di tengah masyarakat, dimana korban perkosaan selalu
disudutkan sebagai bagian dari alasan terjadinya tindak pidana tersebut yang mengindikasikan
kurangnya reaksi masyarakat terhadap pelaku dan lebih memfokuskan permasalahan kepada
korban. Adanya stigma yang menyebar ini akhirnya menjadi salah satu alasan enggannya
korban untuk melapor.
Hukum Pidana sejatinya telah memberikan perlindungan dengan merumuskan penjatuhan
hukuman bagi pelaku, baik hukum pidana positif yang dibangun oleh negara maupun hukum
pidana islam. Hukum pidana positif merupakan sebuah peraturan yang diciptakan untuk
melindungi masyarakat dengan cara mengatur pola perilaku mana yang boleh dan yang dilarang
untuk dilakukan. Hukum pidana di Indonesia hadir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berisi mengenai hukum materiil dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang mencakup mengenai hukum formil dan keduanya saling berkaitan untuk
mendapatkan putusan seadil-adilnya baik bagi korban tanpa melanggar hak-hak dari pelaku.

6
Dessy Eka Fitriyanti,”Analisis kasus Pemerkosaan Ditinjau dari Teori Kontrol Sosial” (Makalah, Program Studi
Ilmu Hukum, Universitas Sriwijaya, 2020), 6.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Artinya, pelanggaran terhadap hukum pidana materiil tidak akan selesai tanpa penggunaan
hukum pidana formil dan hukum formil tidak akan dapat digunakan bila tidak ada pelanggaran
terhadap hukum pidana materiil.7 Selain menggunakan hukum pidana positif, di dalam islam
terdapat fiqh jinayah yang berisi aturan-aturan pidana yang diterapkan bagi umat muslim.
Hukum pidana islam tidak terlepas dari Al-Quran dan juga Hadist yang menjadi sumber
referensi utama. Hukum pidana islam diharapkan dapat menyelesaikan sebuah perkara pidana
seadil-adilnya dengan sanksi yang telah diatur melalui pembalasan yang adil.8 Sanksi di hukum
pidana islam dapat dibagi menjadi tiga jenis yakni sanksi hudud, sanksi jinayat (qisas dan diyat),
dan sanksi ta‟zir. 9 Sanksi-sanksi tersebut telah diatur secara jelas di dalam sumber-sumber
hukum islam, yang kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan putusan sanksi bagi pelaku.
Hukum pidana positif dan hukum pidana islam saling berkesinambungan secara kontekstual
dengan memiliki tujuan yang sama, yakni mengedepankan hak korban dan mencapai keadilan.
Penyelesaian sebuah kasus tindak pidana tentu tidak terlepas dari proses peradilan, baik di
hukum pidana positif dan hukum pidana islam setiap tindak pidana harus melalui peradilan
untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya. Salah satu tahap yang krusial ialah pada tahap
pembuktian. Di dalam hukum positif, tahap inilah kemudian jaksa penuntut umum dan
penasihat hukum saling melontarkan bukti untuk mendukung argument masing-masing. Hal ini
juga berlaku di persidangan pidana berdasarkan hukum pidana islam, dimana terdakwa
diberikan kesempatan untuk membuktikkan dirinya yang tidak bersalah di hadapan hakim.
Hari Sasangka dan Liliy Rosita menyatakan hukum pembuktian sebagai bagian dari
hukum acara pidana yang mengatur mengenai alat-alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
yang kemudian dianut di dalam permbuktian, syarat- syarat dan tata cara pengajuan bukti
hingga kewenangan hakim untk menerima, menolak dan juga menilai sebuah pembuktian. 10
Sementara bukti sendiri merupakan sebuah hal baik peristiwa maupun benda yang menunjukkan
kebenaran untuk mencapai keadilan di dalam sebuah peradilan. Menurut pasal 184 KUHAP,
alat-alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan juga keterangan
terdakwa. Sementara di dalam hukum pidana islam alat-alat bukti megacu pada iqrar
(pengakuan), shahadah (kesaksian), yamin (sumpah), nukul (menolak sumpah), qasamah
(sumpah), saksi ahli, keyakinan haki, Qarinah dan bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang

7
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), 3.
8
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), 49.
9
Rini Apriyani, “Sistem Sanksi dalam Hukum Islam” JILS, Edisi 7, 2017, 28.
10
Riadi Asra Rahmad, Hukum Acara Pidana, (depok: Rajawali Press, 2019), 83-89.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

tampak. Terdapat beberapa perbedaan di dalam alat bukti yang memiliki validitas di mata hakim
dalam hukum pidana positif dan hukum pidana islam. Hal ini tentu akan menimbulkan
pertimbangan yang berbeda pula dalam memutuskan sebuah perkara. Namun, keduanya sama-
sama bertujuan untuk memperkuat pembuktian atas dugaan tindakan yang diperkarakan dalam
pengadilan.11
Di dalam pembuktian tindak pidana perkosaan atau yang berhubungan dengan fisik
digunakan alat bukti yang menunjukkan hasil pemeriksaan secara medis di badan yang
kemudian dikenal dengan Visum et Repertum. Visum et Repertum masuk kepada alat bukti
surat yang menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan sebuah perkara, apalagi dalam
sebuah kasus yang erat dengan kejahatan pada tubuh seperti kasus perkosaan. Dengan adanya
laporan tertulis yang dibuat oleh dokter maka akan jelas pembayangan kejadian perkara dari
suatu tindak kejahatan. Namun, validitas akan visum et repertum masih menjadi perbincangan
karena adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan satu dokter dengan lainnya. Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan kompetensi di bidang forensik yang kemudian berimbas pada
kemampuan dalam mengambil sebuah kesimpulan di dalam laporan Visum et Repertum. 12
Selain itunya adanya kerahasiaan yang dijaga, membuat Visum et Repertum sulit dijangkau
publik untuk dijadikan perbandingan dalam menilai sebuah kasus. Namun, ringkasannya telah
sangat jelas berada di dalam putusan, sehingga meskipun tidak memilki file aslinya publik
masih dapat memahami sebuah kasus dengan melihat draft putusan. Validitas Visum et
Repertum masih menjadi perbincangan di kalangan akademisi hukum positif, apalagi di dalam
hukum islam dimana tidak ada peraturan secara gamblang mengenai penggunaan laporan medis
sebagai alat bukti sebuah peradilan. Hal tersebut tentu memerlukan pengkajian mendalam untuk
menentukan validitas akan Visum et Repertum dalam sebuah peradilan pidana.
Berbicara mengenai penggunaan alat bukti untuk tindak perkosaan, nayatanya kejahatan
perkosaan dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh satu individu, tetapi dapat juga dilakukan oleh
beberapa individu yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana perkosaan. Seperti
halnya dalam Putusan Nomor 42/PID/2017/PT.BJM yang menjadi bahan perdebatan hukum di
antara akademisi. Timbulnya perdebatan ini berasal dari putusan banding yang membebaskan
ketujuh tersangka kasus tindak pidana perkosaan terhadap seorang ibu rumah tangga bernama

11
Syahrul Azwar, “Eksistensi Alat Bukti dalam Pengadilan (Studi Komparatif menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif di Indonesia)” Qiyas, Vol. 3, No. 2, 2018, 228.
12
Herkutanto, “Peningkatan Kualitas Pembuatan Visum et Repertum Kecedaraan di Rumah Sakit melalui Pelatihan
Dokter Unit Gawat Darurat” JMPK, Vol. 8, No. 3, 2005, 167.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Sumaryati setelah pada putusan sebelumnya dihatuhi hukuman 8 (delapan) tahun penjara.
Ketujuh tersangka Arsan bin Efendi, Jainuri Alias Injae bin Supdiansyah (alm), Albak Dadi bin
Selamat, Salikul Hadi bin Yamu (alm), Samsuni bin Kasmihani, Muhammad Jaini bin Masran
(alm), dan Eko Sutiono bin Sukardi melakukan tindak perkosaan secara bersama-sama maupun
bergantian dengan memberikan ancaman kepada korban Sumaryati. 13
Kejadian ini bermula pada hari Senin, tanggal 18 Juli 2016 sekitar jam 23.00 Wita di
rumah korban Sumaryati yang beralamat di JL. Anjir Talaran, Desa Antar Baru RT 001
Kecamatan Marabahan, Kabupaten Batola. Tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh
ketujuh pelaku ini kemudian berlanjut hingga bulan September 2016, tiga bulan penuh tindak
perkosaan dan juga ancaman membuat Sumaryati selaku korban mengalami trauma secara fisik
dan juga mental. Ancaman-ancaman yang diterima oleh Sumaryati sehingga membuatnya
mematuhi perilaku bejat ketujuh pelaku ialah “Kalau tidak melayani saya, akan kubantai
anak, suami, orang tua dan adek kamu”. Karena ancaman itu, pada tanggal 18 Juli 2016,
Sumaryati pertama kalinya diperkosa secara bersama-sama oleh ketujuh pelaku.
Sumaryati bungkam atas perbuatan ketujuh pelaku dikarenakan ancaman-ancaman yang ia
dapatkan selama periode tiga bulan tersebut, seperti ancaman pelaku untuk memperkosa
anaknya, ancaman pemberitahuan isu penyelingkuhan kepada suami sahnya, serta ancaman
pembunuhan. Perbuatan ketujuh pelaku akhirnya terbongkar setelah Suami sah korban, Suwito
bertanya perihal sakit perut yang diderita korban. Setelah mendengar penjelasan dari Sumaryati,
mereka berdua kemudian melaporkan ketujuh pelaku ke kepolisian. Kemudian dilakukanlah
pemeriksaan yang menghasilkan Visum et Repertum Nomor 445/02/RSUD/2016 tanggal 22
September 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Aziz. Dengan adanya Visum et
Repertum tersebut menjadi salah satu pertimbangan untuk menjatuhkan ketujuh pelaku di
Peradilan Tingkat Pertama. Sayangnya, Visum et Repertum tersebut tidak dijadikan sebagai
bahan pertimbangan untuk menolak permohonan banding oleh ketujuh pelaku. Hal tersebut
tentu memicu perdebatan dalam sejauh mana validitas Visum et Repertum dalam sebuah
perkara pidana. Perdebatan ini tentu harus dikaji dari berbagai sudut pandang utamanya
perspektif hukum positif dan hukum pidana islam.

13
Putusan Pengadilan Tinggi Nomor Perkara 42/PID/2017/PT.BJM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian berdasarkan penjelasan di atas ialah,
1. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Nasional dalam validitas Visum et Repertum sebagai
alat bukti peradilan pidana?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam dalam validitas Visum et Repertum sebagai alat
bukti peradilan pidana?
3. Bagaimana perbandingan Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam atas validitas Visum et
Repertum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 42/PID/2017/PT.BJM?
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Judul 3 : TINDAK PIDANA PERKOSAAN OLEH AYAH KANDUNG DALAM


PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

latar belakang masalah :


Orang tua hadir dalam kehidupan anak sebagai pemandu jalan dan pelindung, utamanya
Ayah sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya untuk
mengajarkan kebaikan baik yang tertera di dalam agama maupun yang pemahaman norma sosial
di tengah masyarakat. Sungguh miris, peran Ayah sebagai pelindung dan pengajar tidak dapat
dirasakan oleh semua anak. Banyak kasus yang menyeret seorang Ayah sebagai pelaku dan
anak-anaknya sebagai korban. Salah satu kasus tersebut ialah pemerkosaan terhadap anak
kandungnya sendiri. Hal itu disebabkan oleh gagalnya perkembangan nilai-nailai moral dan
rendahnya kontrol atas dorongan seksual yang ia miliki. Sejatinya seorang Ayah harus dapat
mengontrol dorongan seksual apalagi terhadap anaknya, tetapi dalam beberapa kasus hal
tersebut telah gagal dilakukan. Seorang anak yang terlahir dari air maninya menjadi korban atas
kebejatan nafsu semata dari seorang Ayah.
Dilansir dari KOMNAS Perempuan Tahun 2019, dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak
perempuan sebanyak 792 kasus merupakan hubungan inses atau sedarah. Hubungan inses atau
pemerkosaan sedarah dalam data memiliki nilai terbesar daripada kekerasan seksual 571 kasus,
kekerasan fisik 536 kasus, kekerasan psikis 319 kasus, dan kekerasan ekonomi 145 kasus.
Sementara itu, Ayah kandung sebagai pelaku dalam kekerasan seksual ranah personal
menempati urutan kedua dengan 618 kasus yang bahkan lebih banyak dari Ayah tiri dengan 469
kasus. Tidak hanya itu, Ayah kandung sebagai pelaku diteliti melonjak tinggi dari tahun 2018
yang memiliki 365 kasus.14 Angka yang cukup membuat hati meringis saat mengetahui data
yang ada di lapangan. Data tersebut masih belum mencakup keseluruhan kasus yang ada, karena
sudah menjadi rahasia umum bahwa nyatanya lebih banyak lagi kasus-kasus perkosaan oleh
Ayah kandung yang belum terjamah akibat tidak adanya laporan oleh korban.
Tidak adanya laporan dari korban menurut penelitian yang dilakukan oleh Bagong Suyanto
dapat diakibatkan dari lemahnya posisi korban sebagai seorang anak. Sebanyak 89% dari kasus
pemerkosaan oleh Ayah kandung hanya diketahui oleh pelaku dan korban, hal ini merupakan
imbas dari adanya ancaman ataupun kekerasan seperi mengancam tidak menyekolahkan, atau

14
“Inses kasus kekerasan Seksual Terbanyak pada Anak Perempuan” CNN Indonesia,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200224173721-12-1477607/inses-kasus-kekerasan-seksual-terbanyak-
pada-anak-perempuan/ Diakses pada 9 Mei 2021.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

bahkan membunuh ibunya yang dilakukan oleh pelaku sebagai seorang Ayah yang memiliki
kedudukan superior dan anak selaku korban yang masih memiliki ketergantungan dengan
pelaku hanya bisa diam. Selain itu, kecerendungan untuk khawatir akan aib yang korban miliki
menyebar ke masyarakat menjadi salah satu dasar untuk tidak melaporkan perbuatan pelaku.
Selain itu peran ibu yang lemah dalam dominasi pemikiran patriarki membuat sulit bagi ibu dan
anak untuk keluar dari lingkaran kekerasan dan pemerkosaan terhadap anaknya. Kemudian
sisanya sebanyak 11% diketahui oleh pihak lain sehingga akan menimbulkan reaksi melawan
dengan cara melaporkan perbuatan pelaku ke kepolisian.15 11 % merupakan Jumlah yang sangat
sedikit, tetapi mampu menghasilkan data yang kian besar dalam paragraf sebelumnya.
Keberadaan Ayah kandung sebagai pihak yang superior dalam keluarga disalah gunakan oleh
beberapa oknum sebagai dasar untuk menekan korban dan juga saksi agar tidak melaporkannya
ke kepolisian.
Pemerkosaan sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan (jarimah) yang menurut Abdul
Qadir Audah adalah larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh dengan hukuman Hadd atau
Ta‟zir. Di dalam hukum islam ada perbedaan antara hukuman bagi kejahatan Zina dan kejahatan
Pemerkosaan. Hukuman zina dikenakan kepada kedua belah pihak, hal tersebut sesuai karena di
dalam hubungan zina tersebut ada rasa suka sama suka sebagai dasarnya. Sementara pada
pemerkosaan, hukum islam membebankan hukuman perkosaan kepada pelaku. Para ulama telah
menyepakati tidak ada hukuman Hadd bagi korban yang dipaksa untuk melakukan hubungan
seksual.
Hal ini juga berlaku pada hukum positif, dimana korban berhak untuk dilindungi dan
dikembalikan hak-haknya. Sementara pelaku harus dihukum sesuai Pasal 285 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya di luar perkawinan diancam karena melakukan
pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.16 Kedua kebijakan hukum ini
dapat dilaksanakan pada kasus biasa dimana pelaku dan korban tidak memiliki keterkaitan
darah. Di dalam hal ini, seorang Ayah yang melakukan tindak pidana pemerkosaan kepada
anaknya tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman.

15
Bagong Suyanto, dan Nashya Tamara, “Mengapa Korban Perkosaan Sedarah Sulit Melapor dan Keluar dari
Tindakan Kekerasan” https://www.theconversation.com/amp/mengapa-korban-perkosaan-sedarah-sulit-melapor-
dan-keluar-dari-tindakan-kekerasan/ diakses pada 9 Mei 2021
16
Mohammad Fadhila Agusta, “Tindak Pidana Perkosaan terhadap Anak Kandung dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan pengadilan Negeri Makassar No. 1459/Pid/B/2013/PN.Mks)” Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta, 2015, 1-4.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com

Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian berdasarkan penjelasan di atas ialah,
1. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam atas penjatuhan hukum bagi kasus pemerkosaan
oleh Ayah Kandung?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Nasional atas penjatuhan hukum bagi kasus
pemerkosaan oleh Ayah Kandung?
3. Bagaimana perbandingan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Nasional dalam
penjatuhan hukum bagi tindak pidana perkosa oleh Ayah kandung?

Anda mungkin juga menyukai