FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Jember;
Nama : Arvina Hafidzah
NIM : S20184016
Semester : VI (Enam)
Program Studi : Hukum Pidana Islam
Tahun Akademik : 2020/2021
Nomor Handphone : 083123077941
Dengan ini mohon dengan hormat untuk menyetujui rencana judul skripsi saya
guna melengkapi sebagian syarat untuk menyelesaikan studi program S-1 pada
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember. Adapun judul-judul skripsi
yang saya ajukan sebagaimana terlampir.
Demikian surat permohonan ini saya buat, atas perhatian dan perkenan Bapak,
saya ucapkan terima kasih.
Arvina Hafidzah
S20184016
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
Lampiran
Judul 1 : STUDI LITERATUR RERFORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
1
Muhammad Zaki, “Perlindungan Anak dalam Perspektif Islam” Asas, Vol. 6, No. 2, 2014, 5.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
oleh anak. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah jelas menyatakan
perlindungan anak sebagai bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan juga berpartisipasi secara maksimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari adanya kekerasan
dan diskriminasi.3 Artinya, anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan pengaturan yang
khusus agar selain membuatnya jera juga tetap melindungi hak-haknya sebagai penerus bangsa.
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku anak, apalagi dalam kasus pembunuhan
berencana yang diancam dengan tuntutan penjara seumur hidup ataupun hukuman mati tentu
mendapatkan pengaturannya sendiri. Pertanggungjawaban anak yang berkonflik dengan hukum
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Meskipun anak terbukti telah melakukan pembunuhan yang direncanakan sebelumnya, pelaku
tetaplah anak-anak yang berada di posisi lemah dan harus dilindungi oleh negara. Perlindungan
yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11/2012 tersebut ialah dengan memberikan
pembedeaan perlakukan dalam proses peradilan pidana pada umumnya. Pembedaan tersebut
diharapkan untuk menghindari efek negatif jalannya persidangan yang akan mempengaruhi
perkembangan anak.
Di dalam islam, anak yang belum mencapai usia baligh belum dapat dikenai hukum yang
berlaku bagi orang dewasa. Hal ini telah sesuai dengan Hadist “Tidak dicatat dosa dalam tiga
perkara, anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun dan orang gila sampai ia
sadar” (H.R Ahmad).4 Mengenai usia baligh bagi anak, memicu beberapa perbedaan pendapat.
Misalnya, Imam Syafi‟I memberi batas usia baligh 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi
perempuan. Sementara itu Imam Malik menyatakan usia baligh dimulai semenjak keluarnya air
mani bagi laki-laki. 5 Perbedaan pendapat mengenai usia baligh kemudian dapat memicu
perbedaan dalam pemahaman pertanggungjawaban pidana anak yang melakukan tindak pidana
utamanya pembunuhan berencana yang diancam dengan hukuman qisas.
Demikian, perlindungan terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan akan memicu
perdebatan di tengah masyarakat. Nyatanya, meskipun anak berada di posisi yang rentan,
3
Nurul Amalia, “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana yang Dilakukan oleh Anak
(Studi Putusan Nomor 46/Pid.Sus-Anak/2016/PN MDN)” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Medan Area, 2018,
7-8.
4
Muhammad Zaki, Opcit, 4.
5
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan menurut Fukaha dan Penerapannya dalam Undang-Undang Perkawinan
di Dunia Islam” Al-„Adalah, Vol. XII, No. 4, 2015, 810.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
dengan gamblang telah melakukan perampasan nyawa secara sengaja yang merupakan
perebutan Hak untuk hidup bagi manusia lainnya. Artinya, hak anak sebagai pelaku memanglah
penting untuk keberlangsungan negara, tetapi bukan berarti dapat melepas tanggungjawab
pidana akibat perbuatannya. Sebagai negara yang terus berkembang dari segala sisi,
pembicaraan mengenai ketentuan perundang-undangan yang akan datang (ius constituendum)
selayaknya selalu digaungkan. Apalagi mengenai pengaturan terhadap pertanggungjawaban bagi
pelaku anak dalam tindak pembunuhan berencana, yang saat ini masih menjadi polemik di
tengah masyarakat. Reformulasi kebijakan dapat menjadi solusi yang tepat untuk memperluas
rentang penyelesaian tindak pidana di luar ketentuan KUHP.
Reformulasi tersebut tentu didasarkan pada kajian dari segi Hukum Nasional yang
dikolaborasikan dengan pemahaman yang ada di dalam Hukum Pidana Islam. Tidak dapat
dipungkiri ruh Hukum Pidana Islam telah merasuk ke dalam Acara Pidana Nasional, sehingga
tidak asing bila pada reformulasi ini menampilkan sisi Hukum Pidana Islam sebagai
pertimbangan yang fundamental. Berdasarkan studi berbagai literatur, dibutuhkan adanya
pengkajian untuk mendapatkan rekomendasi atas reformulasi kebijakan pertanggungjawaban
pidana anak dalam tindak pidana pembunuhan berencana ditinjau dari hukum positf dan hukum
islam. Sehingga kemudian, anak sebagai penerus bangsa yang berkonflik dengan hukum sebagai
pelaku dalam tindak pidana pembunuhan berencana mendapatkan hak-haknya sebagai anak
dengan tetap mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan.
Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian berdasarkan penjelasan di atas ialah,
1. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Nasional terhadap pertanggungjawaban tindak
pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertanggungjawaban tindak pidana
pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak?
3. Bagaimana Reformulasi kebijakan sistem Pertanggungjawaban Tindak Pembunuhan
Berencana oleh Anak di masa yang akan datang berdasarkan tinjuan Hukum Pidana
Nasional dan Hukum Pidana Islam?
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
6
Dessy Eka Fitriyanti,”Analisis kasus Pemerkosaan Ditinjau dari Teori Kontrol Sosial” (Makalah, Program Studi
Ilmu Hukum, Universitas Sriwijaya, 2020), 6.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
Artinya, pelanggaran terhadap hukum pidana materiil tidak akan selesai tanpa penggunaan
hukum pidana formil dan hukum formil tidak akan dapat digunakan bila tidak ada pelanggaran
terhadap hukum pidana materiil.7 Selain menggunakan hukum pidana positif, di dalam islam
terdapat fiqh jinayah yang berisi aturan-aturan pidana yang diterapkan bagi umat muslim.
Hukum pidana islam tidak terlepas dari Al-Quran dan juga Hadist yang menjadi sumber
referensi utama. Hukum pidana islam diharapkan dapat menyelesaikan sebuah perkara pidana
seadil-adilnya dengan sanksi yang telah diatur melalui pembalasan yang adil.8 Sanksi di hukum
pidana islam dapat dibagi menjadi tiga jenis yakni sanksi hudud, sanksi jinayat (qisas dan diyat),
dan sanksi ta‟zir. 9 Sanksi-sanksi tersebut telah diatur secara jelas di dalam sumber-sumber
hukum islam, yang kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan putusan sanksi bagi pelaku.
Hukum pidana positif dan hukum pidana islam saling berkesinambungan secara kontekstual
dengan memiliki tujuan yang sama, yakni mengedepankan hak korban dan mencapai keadilan.
Penyelesaian sebuah kasus tindak pidana tentu tidak terlepas dari proses peradilan, baik di
hukum pidana positif dan hukum pidana islam setiap tindak pidana harus melalui peradilan
untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya. Salah satu tahap yang krusial ialah pada tahap
pembuktian. Di dalam hukum positif, tahap inilah kemudian jaksa penuntut umum dan
penasihat hukum saling melontarkan bukti untuk mendukung argument masing-masing. Hal ini
juga berlaku di persidangan pidana berdasarkan hukum pidana islam, dimana terdakwa
diberikan kesempatan untuk membuktikkan dirinya yang tidak bersalah di hadapan hakim.
Hari Sasangka dan Liliy Rosita menyatakan hukum pembuktian sebagai bagian dari
hukum acara pidana yang mengatur mengenai alat-alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
yang kemudian dianut di dalam permbuktian, syarat- syarat dan tata cara pengajuan bukti
hingga kewenangan hakim untk menerima, menolak dan juga menilai sebuah pembuktian. 10
Sementara bukti sendiri merupakan sebuah hal baik peristiwa maupun benda yang menunjukkan
kebenaran untuk mencapai keadilan di dalam sebuah peradilan. Menurut pasal 184 KUHAP,
alat-alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan juga keterangan
terdakwa. Sementara di dalam hukum pidana islam alat-alat bukti megacu pada iqrar
(pengakuan), shahadah (kesaksian), yamin (sumpah), nukul (menolak sumpah), qasamah
(sumpah), saksi ahli, keyakinan haki, Qarinah dan bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang
7
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), 3.
8
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), 49.
9
Rini Apriyani, “Sistem Sanksi dalam Hukum Islam” JILS, Edisi 7, 2017, 28.
10
Riadi Asra Rahmad, Hukum Acara Pidana, (depok: Rajawali Press, 2019), 83-89.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
tampak. Terdapat beberapa perbedaan di dalam alat bukti yang memiliki validitas di mata hakim
dalam hukum pidana positif dan hukum pidana islam. Hal ini tentu akan menimbulkan
pertimbangan yang berbeda pula dalam memutuskan sebuah perkara. Namun, keduanya sama-
sama bertujuan untuk memperkuat pembuktian atas dugaan tindakan yang diperkarakan dalam
pengadilan.11
Di dalam pembuktian tindak pidana perkosaan atau yang berhubungan dengan fisik
digunakan alat bukti yang menunjukkan hasil pemeriksaan secara medis di badan yang
kemudian dikenal dengan Visum et Repertum. Visum et Repertum masuk kepada alat bukti
surat yang menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan sebuah perkara, apalagi dalam
sebuah kasus yang erat dengan kejahatan pada tubuh seperti kasus perkosaan. Dengan adanya
laporan tertulis yang dibuat oleh dokter maka akan jelas pembayangan kejadian perkara dari
suatu tindak kejahatan. Namun, validitas akan visum et repertum masih menjadi perbincangan
karena adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan satu dokter dengan lainnya. Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan kompetensi di bidang forensik yang kemudian berimbas pada
kemampuan dalam mengambil sebuah kesimpulan di dalam laporan Visum et Repertum. 12
Selain itunya adanya kerahasiaan yang dijaga, membuat Visum et Repertum sulit dijangkau
publik untuk dijadikan perbandingan dalam menilai sebuah kasus. Namun, ringkasannya telah
sangat jelas berada di dalam putusan, sehingga meskipun tidak memilki file aslinya publik
masih dapat memahami sebuah kasus dengan melihat draft putusan. Validitas Visum et
Repertum masih menjadi perbincangan di kalangan akademisi hukum positif, apalagi di dalam
hukum islam dimana tidak ada peraturan secara gamblang mengenai penggunaan laporan medis
sebagai alat bukti sebuah peradilan. Hal tersebut tentu memerlukan pengkajian mendalam untuk
menentukan validitas akan Visum et Repertum dalam sebuah peradilan pidana.
Berbicara mengenai penggunaan alat bukti untuk tindak perkosaan, nayatanya kejahatan
perkosaan dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh satu individu, tetapi dapat juga dilakukan oleh
beberapa individu yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana perkosaan. Seperti
halnya dalam Putusan Nomor 42/PID/2017/PT.BJM yang menjadi bahan perdebatan hukum di
antara akademisi. Timbulnya perdebatan ini berasal dari putusan banding yang membebaskan
ketujuh tersangka kasus tindak pidana perkosaan terhadap seorang ibu rumah tangga bernama
11
Syahrul Azwar, “Eksistensi Alat Bukti dalam Pengadilan (Studi Komparatif menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif di Indonesia)” Qiyas, Vol. 3, No. 2, 2018, 228.
12
Herkutanto, “Peningkatan Kualitas Pembuatan Visum et Repertum Kecedaraan di Rumah Sakit melalui Pelatihan
Dokter Unit Gawat Darurat” JMPK, Vol. 8, No. 3, 2005, 167.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
Sumaryati setelah pada putusan sebelumnya dihatuhi hukuman 8 (delapan) tahun penjara.
Ketujuh tersangka Arsan bin Efendi, Jainuri Alias Injae bin Supdiansyah (alm), Albak Dadi bin
Selamat, Salikul Hadi bin Yamu (alm), Samsuni bin Kasmihani, Muhammad Jaini bin Masran
(alm), dan Eko Sutiono bin Sukardi melakukan tindak perkosaan secara bersama-sama maupun
bergantian dengan memberikan ancaman kepada korban Sumaryati. 13
Kejadian ini bermula pada hari Senin, tanggal 18 Juli 2016 sekitar jam 23.00 Wita di
rumah korban Sumaryati yang beralamat di JL. Anjir Talaran, Desa Antar Baru RT 001
Kecamatan Marabahan, Kabupaten Batola. Tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh
ketujuh pelaku ini kemudian berlanjut hingga bulan September 2016, tiga bulan penuh tindak
perkosaan dan juga ancaman membuat Sumaryati selaku korban mengalami trauma secara fisik
dan juga mental. Ancaman-ancaman yang diterima oleh Sumaryati sehingga membuatnya
mematuhi perilaku bejat ketujuh pelaku ialah “Kalau tidak melayani saya, akan kubantai
anak, suami, orang tua dan adek kamu”. Karena ancaman itu, pada tanggal 18 Juli 2016,
Sumaryati pertama kalinya diperkosa secara bersama-sama oleh ketujuh pelaku.
Sumaryati bungkam atas perbuatan ketujuh pelaku dikarenakan ancaman-ancaman yang ia
dapatkan selama periode tiga bulan tersebut, seperti ancaman pelaku untuk memperkosa
anaknya, ancaman pemberitahuan isu penyelingkuhan kepada suami sahnya, serta ancaman
pembunuhan. Perbuatan ketujuh pelaku akhirnya terbongkar setelah Suami sah korban, Suwito
bertanya perihal sakit perut yang diderita korban. Setelah mendengar penjelasan dari Sumaryati,
mereka berdua kemudian melaporkan ketujuh pelaku ke kepolisian. Kemudian dilakukanlah
pemeriksaan yang menghasilkan Visum et Repertum Nomor 445/02/RSUD/2016 tanggal 22
September 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Aziz. Dengan adanya Visum et
Repertum tersebut menjadi salah satu pertimbangan untuk menjatuhkan ketujuh pelaku di
Peradilan Tingkat Pertama. Sayangnya, Visum et Repertum tersebut tidak dijadikan sebagai
bahan pertimbangan untuk menolak permohonan banding oleh ketujuh pelaku. Hal tersebut
tentu memicu perdebatan dalam sejauh mana validitas Visum et Repertum dalam sebuah
perkara pidana. Perdebatan ini tentu harus dikaji dari berbagai sudut pandang utamanya
perspektif hukum positif dan hukum pidana islam.
13
Putusan Pengadilan Tinggi Nomor Perkara 42/PID/2017/PT.BJM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian berdasarkan penjelasan di atas ialah,
1. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Nasional dalam validitas Visum et Repertum sebagai
alat bukti peradilan pidana?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam dalam validitas Visum et Repertum sebagai alat
bukti peradilan pidana?
3. Bagaimana perbandingan Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam atas validitas Visum et
Repertum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 42/PID/2017/PT.BJM?
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
14
“Inses kasus kekerasan Seksual Terbanyak pada Anak Perempuan” CNN Indonesia,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200224173721-12-1477607/inses-kasus-kekerasan-seksual-terbanyak-
pada-anak-perempuan/ Diakses pada 9 Mei 2021.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
bahkan membunuh ibunya yang dilakukan oleh pelaku sebagai seorang Ayah yang memiliki
kedudukan superior dan anak selaku korban yang masih memiliki ketergantungan dengan
pelaku hanya bisa diam. Selain itu, kecerendungan untuk khawatir akan aib yang korban miliki
menyebar ke masyarakat menjadi salah satu dasar untuk tidak melaporkan perbuatan pelaku.
Selain itu peran ibu yang lemah dalam dominasi pemikiran patriarki membuat sulit bagi ibu dan
anak untuk keluar dari lingkaran kekerasan dan pemerkosaan terhadap anaknya. Kemudian
sisanya sebanyak 11% diketahui oleh pihak lain sehingga akan menimbulkan reaksi melawan
dengan cara melaporkan perbuatan pelaku ke kepolisian.15 11 % merupakan Jumlah yang sangat
sedikit, tetapi mampu menghasilkan data yang kian besar dalam paragraf sebelumnya.
Keberadaan Ayah kandung sebagai pihak yang superior dalam keluarga disalah gunakan oleh
beberapa oknum sebagai dasar untuk menekan korban dan juga saksi agar tidak melaporkannya
ke kepolisian.
Pemerkosaan sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan (jarimah) yang menurut Abdul
Qadir Audah adalah larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh dengan hukuman Hadd atau
Ta‟zir. Di dalam hukum islam ada perbedaan antara hukuman bagi kejahatan Zina dan kejahatan
Pemerkosaan. Hukuman zina dikenakan kepada kedua belah pihak, hal tersebut sesuai karena di
dalam hubungan zina tersebut ada rasa suka sama suka sebagai dasarnya. Sementara pada
pemerkosaan, hukum islam membebankan hukuman perkosaan kepada pelaku. Para ulama telah
menyepakati tidak ada hukuman Hadd bagi korban yang dipaksa untuk melakukan hubungan
seksual.
Hal ini juga berlaku pada hukum positif, dimana korban berhak untuk dilindungi dan
dikembalikan hak-haknya. Sementara pelaku harus dihukum sesuai Pasal 285 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya di luar perkawinan diancam karena melakukan
pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.16 Kedua kebijakan hukum ini
dapat dilaksanakan pada kasus biasa dimana pelaku dan korban tidak memiliki keterkaitan
darah. Di dalam hal ini, seorang Ayah yang melakukan tindak pidana pemerkosaan kepada
anaknya tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman.
15
Bagong Suyanto, dan Nashya Tamara, “Mengapa Korban Perkosaan Sedarah Sulit Melapor dan Keluar dari
Tindakan Kekerasan” https://www.theconversation.com/amp/mengapa-korban-perkosaan-sedarah-sulit-melapor-
dan-keluar-dari-tindakan-kekerasan/ diakses pada 9 Mei 2021
16
Mohammad Fadhila Agusta, “Tindak Pidana Perkosaan terhadap Anak Kandung dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan pengadilan Negeri Makassar No. 1459/Pid/B/2013/PN.Mks)” Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta, 2015, 1-4.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
Jl. Mataram No. 1 Mangli, (Telp. (0331) 487550. Fax. (0331) 472005,
Kode Pos : 68136. Website :iain-jember.ac.id – E-mail : iainjember@gmail.com
Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian berdasarkan penjelasan di atas ialah,
1. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam atas penjatuhan hukum bagi kasus pemerkosaan
oleh Ayah Kandung?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Nasional atas penjatuhan hukum bagi kasus
pemerkosaan oleh Ayah Kandung?
3. Bagaimana perbandingan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Nasional dalam
penjatuhan hukum bagi tindak pidana perkosa oleh Ayah kandung?