Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM


HUKUM PERJANJIAN

Dosen Pengampu :
Dr. Firman Floranta Adonara, S.H., M.H.
Oleh :

Yusmi Zam Zam Maharani 220720201017

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidyah, dan inayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan Makalah “Penerapan
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hukum Perjanjian” mata kuliah Hukum
Perjanjian yang di peruntukan untuk memenuhi nilai tugas.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kata, kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca, dan
mohon maaf atas kesalahan yang ada di dalamnya.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah “Penerapan Hak dan Kewajiban Para
Pihak Dalam Hukum Perjanjian” ini dapat bermanfaat, berguna, memudahkan dan
menambah wawasan literatur pengetahuan pembaca baik untuk para akademisi
maupun masyarakat umum lainnya.

Jember, 09 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halam Judul...............................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi..................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................
1.3 Tujuan..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Peraturan Hak dan Kewajiban Pihak Dalam Hukum Perjanjian.........
2.2 Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Memberikan Kepastian Hukum
Untuk Para Pihak..............................................................................................
2.1 Upaya Perlindungan Terhadap Para Pihak Akibat Wanprestasi..........
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perjanjian sebagai sarana untuk mengatur pertukaran hak dan kewajiban
diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fair dan proporsional sesuai
kesepakataan para pihak. Terutama pada perjanjian yang bersifat komersial, baik
pada tahap sebelum perjanjian, pembentukan perjanjian maupun pelaksanaannya.
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”. Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian yang telah dikemukakan,
dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu terdiri dari: Ada pihak-pihak; ada
persetujuan antara pihak-pihak; ada prestasi yang akan di laksanakan, ada bentuk
tertentu lisan atau tulisan; ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian; ada
tujuan yang hendak di capai. Perjanjian melahirkan perikatan atau hubungan
hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Dengan demikian suatu kesepakatan berupa perjanjian pada hakikatnya adalah
mengikat, bahkan sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, kesepakatan ini
memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.1
Salah satunya dari faktor ekonomi yang semakin hari semakin berkembang
sehingga banyak nenimbulkan perjanjian ataupun perikatan perikatan tertentu
yang mengharuskan masyarakat untuk memahami bagaimana konsekuensi
hingga hak dan kewajiban dalam suatu pengaturan hukum perjanjian yang telah
ditetapkan negara. Namun tak jarang pula bahwa ketika berada dalam lingkup
praktik pengadaan perjanjian antar masyarakat banyak terjadi penyelewengan
hak maupun kewajiban sehingga menimbulkan pelanggaran yang bisa berakibat
fatal untuk para pihak dan bisa juga sangat merugikan. Oleh karena itu peran
negara dalam memberi kepastian hukum sangatlah diperlukan sehingga dalam
segala pembuatan peraturan atau ketetapan lainnya harus benar benar
mengolahnya dengan baik

1
Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2006, hal. 15.

4
Dari berbagai penjelasan di atas maka kami peneliti hendak menguraikan dan
meneliti permasalahan tentang “Penerapan Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam Hukum Perjanjian”
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas penulis akan membahas
mengenai permasalahan sebagai berikut :
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja peraturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak
dalam hukum perjanjian?
2. Bagaimana penerapan hukum perjanjian dalam memberikan kepastian hukum
untuk para pihak?
3. Bagaimana Upaya Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Wanprestasi?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami peraturan tentang hak dan kewajiban para
pihak dalam hukum perjanjian
2. Untuk mengetahui dan memahami penerapan hukum perjanjian dalam
memberikan kepastian hukum untuk para pihak
3. Untuk mengetahui dan memahami upaya perlindungan hukum para pihak
akibat wanprestasi

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peraturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hukum Perjanjian
2.1.1 Pengertian Hukum Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan “suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Subekti, “perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2

Hukum perikatan (verbintenissenrecht, law of obligation) merupakan konsep


hukum yang khas dalam sistem civil law. Lembaga hukum ini berasal dari tradisi
hukum Romawi (Roman legal tradition). Hukum perikatan di dalam sistem civil law,
seperti yang dianut Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol dan Indonesia merupakan
satu kesatuan yang mencakup hukum kontrak dan perbuatan melawan hukum. Kedua
bidang hukum tersebut ditempatkan pada kategori yang umum, yakni hukum
perikatan. Sistem common law tidak mengenal penyatuan tersebut. Hukum modern
Inggris menempatkan bidang kontrak (contract), restitusi (restitution), dan perbuatan
melawan hukum (tort) ke dalam tiga bidang atau kompartemen yang terpisah. Di
dalam hukum Inggris ada dikotomi yang tegas antara kontrak dan perbuatan
melawan hukum. Di dalam sistem hukum Indonesia, perikatan ditempatkan dalam
Buku III Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPerdata) tentang perikatan (van
verbintenis).3

Setelah kita memahami defenisi perikatan tersebut, maka kita juga harus paham
mengenai perbedaan perjanjian dan perikatan, supaya kita bisa membedakan antara

2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal. 1
3
Lukman Santoso, Aspek Hukum Perjanjian Kajian Komprehensif Teori dan Perkembangnnya,
(Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), hal. 6

6
perjanjian dengan perikatan. Perjanjian disini diartikan sebagai salah satu sumber
perikatan. Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan
hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Sedangkan hukum perikatan merupakan
hukum pelengkap, konsensuil, dan obligatoir. Bersifat sebagai hukum pelengkap
artinya jika para pihak membuat ketentuan masing-masing, setiap pihak dapat
mengesampingkan peraturan dalam undang-undang. Bersifat konsensuil artinya
ketika kata sepakat telah dicapai oleh masing-masing pihak, kontrak tersebut bersifat
mengikat dan dapat dipenuhi dengan tanggung jawab. Sementara itu bersifat
obligatoir berarti setiap perikatan yang telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan
hak milik akan berpindah setelah dilakukan penyerahan kepada tiap-tiap pihak yang
telah bersepakat.4

2.1.2 Bagian Bagian Perjanjian

Bagian-Bagian Perjanjian Suatu perjanjian terdiri dari beberapa bagian, yaitu


bagian essentialia, bagian naturalia, dan bagian accidentalia.5

a. Bagian essentialia adalah bagian dari suatu perjanjian yang harus ada jika bagian
ini tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah suatu perjanjian. Adapun yang
dimaksud adalah hal yang menjadi prestasi para pihak dalam melakukan suatu
perjanjian.

b. Bagian naturalia adalah bagian dari suatu perjanjian yang memiliki sifat dianggap
ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak yang melakukan suatu
perjanjian. Dapat kita temukan didalam pasal 1476 KUHPerdata.

c. Bagian accidentalia adalah bagian dari perjanjian yang merupakan ketentuan yang
diperjanjikan secara khusus oleh para pihak yang melakukan perjanjian

2.1.3 Syarat sahnya perjanjian

4
Lukman Santoso, Aspek Hukum Perjanjian Kajian Komprehensif Teori dan Perkembangnnya, hal. 7
5
Lukman Santoso, Aspek Hukum Perjanjian Kajian Komprehensif Teori dan Perkembangnnya, hal. 12

7
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat dilihat pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: 6

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, hal ini berkaitan dengan azas
konsensualitas.Perjanjian terjadi setelah para pihak mencapai kesepakatan atau
consensus. Sudikno mertokusumo menyatakan lima cara terjadinya persesuaian
pernyataan kehendak: Bahasa yang sempurna dan tertulis; Bahasa yang sempurna
secara lisan; Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
Bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawannya; dan Diam atau membisu tetapi
asal dipahami atau diterima pihak lawan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu, dalam hal ini obyek (bepaald onderwerp) tertentu atau prestasi
pokok sebuah perjanjian (onderwerp der overeenskomst). Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi
harus mungkin dilakukan. Jika objek/prestasi itu kabur/ tidak jelas, sulit bahkan tidak
mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig, void).

Mengenai syarat suatu hal tertentu, berkenaan dengan pokok perikatan yang
justru menjadi isi dari pada perjanjian, maka suatu perjanjian harus mempunnyai
pokok atau obyekbarang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Sedangkan
mengenai jumlahnya dapat tidak ditaentukan pada waktu dibuat perjanjian, asalkan
nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333). Suatu perjanjian
seharusnya memang berisi obyek yang tertentu agar dapat dilaksanakan, tetapi
apabila sampai tidak dapat sama sekali ditentukan obyeknya, maka perjanjian itu
menjadi tidak sah atau batal.

4. Suatu sebab yang diperbolehkan /causa yang diperbolehkan. Pasal 1320


KUHPerdata yaitu isi perjanjian itu sendiri. Menggambarkan tujuan yang akan
dicapai para pihak. Perjanjian adalah batal jika perjanjian tersebut tanpa causa.

2.1.4 Pengaturan Hak dan Kewajiban Dalam Hukum Perjanjian

6
Reiharnd Politon, Pemenuhan Hak dan Kewajiban Sesuai Kesepakatan Para Pihak Dalam Kontrak
Ditinjau Dari KUHPer, Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017, hal. 6

8
Dalam perjanjian ketentuan dan syarat yang meliputi hak dan kewajiban para
pihak perlu dirumuskan. Rincian hak dan kewajiban para pihak adalah bagian yang
merupakan perumusan yang sesungguhnya dari suatu transaksi bisnis.Penyusunan
ketentuan hak dan kewajiban para pihak ini memerlukan kejelian dan kecermatan
yang terlatih. Dalam perancangan perjanjian dituntut untuk memahami transaksi
bisnis tidak hanya dari aspek teoritis normatif akan tetapi dari sisi empiris dengan
melakukan kunjungan lapangan (site visit) sehingga dapat memahami secara utuh
pangkal pokok dan rincian transaksi bisnis tersebut. Hubungan antara hak dan
kewajiban serta perangkat hak dan kewajiban di antara para pihak sejogyanya
merupakan hubungan yang logis. Karena itu pada dasarnya dapat dikatakan bahwa
seharusnya perangkat hak adalah berbanding terbalik dengan perangkat kewajiban.
Misalkan, dalam perjanjian pinjam meminjam, berdasarkan kesepakatan maka
apabila pinjaman telah diperoleh dengan jangka waktu, maka pihak yang menerima
pinjaman berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut kepada yang
memberi pinjaman sesuai dengan waktu yang ditentukan.7

Contoh Perumusan hak dan kewajiban dalam kesepakatan yang dicapai antara
peminjam dengan pihak yang meminjamkan adalah sebagai berikut: Peminjam
berhak memperoleh dana pinjaman yang dijanjikan, dan pada saat yang sama
peminjam berkewajiban untuk menyediakan agunan kepada yang meminjamkan
untuk menjamin pembayaran kembali dana pinjaman tersebut. Apabila dikaitkan
dengan definisi perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau
lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas
prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Dari rumus diatas kita
lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu: 1. hubungan hukum; 2.
kekayaan; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi. Terhadap hubungan yang terjadi dalam lalu
lintas masyarakat, hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakkan
“kewajiban” pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau
melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut

7
Reiharnd Politon, Pemenuhan Hak dan Kewajiban Sesuai Kesepakatan Para Pihak Dalam Kontrak
Ditinjau Dari KUHPer, Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017, hal. 16

9
dipenuhi atau dipulihkan. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau
bukan, maka hukum mempunyai ukuran-ukuran (kriteria) tertentu.8

2.2 Penerapan Kukum Perjanjian Dalam Memberikan Kepastian Hukum


Untuk Para Pihak

Pasal 1338 KUHPerdata, sebuah perjanjian wajib dilakukan berdasarkan itikad


baik, yaitu kepatutan dan kepantasan. Azas hukum merupakan pikiran dasar yang
umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat
dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan
konkrit tersebut. Azas hukum perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada azas-azas hukum tersebut. Dengan kata lain azas hukum ialah
dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa azas hukum dapat mengoreksi dan meluruskan sebuah
aturan hukum konkrit yang bertentangan dengan azas hukum itu sendiri, dan
seyogyanya aturan hukum konkrit harus mengimplementasikan azas -azas hukum.9

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang


diperjanjikan, maka pihak yang satu berhak untuk menempuh jalur hukum untuk
mendapatkan haknya. Wujud dari tidak memenuhi perjanjian itu ada tiga macam,
yaitu: Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan; Debitur terlambat memenuhi
perikatan; Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. Debitur wajib
membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi perikatan itu”.
(pasal 1243 KUH Perdata). “ganti rugi terdiri dari biaya rugi dan bunga” (pasal 1244
s.d. 1246 KUH Perdata). “ganti rugi itu harus mempunyai hubungan langsung
(hubungan kausal) dengan ingkar janji” (pasal 1248 KUH Perdata).10

8
Reiharnd Politon, Pemenuhan Hak dan Kewajiban Sesuai Kesepakatan Para Pihak Dalam Kontrak
Ditinjau Dari KUHPer, Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017, hal. 20
9
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2013) hal, 270.
10
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, hal, 270.

10
Ada kemungkinan bahwa ingkar janji itu bukan kesalahan debitur, tetapi keadaan
memaksa bagaimana ganti rugi itu diselesaikan oleh ajaran resiko. Dengan dernikian,
secara sempit dapat disimpulkan bahwa prestasi adalahpemenuhan kewajiban-
kewajiban yang timbul dari hubungan perjanjian. Kewajiban itu adalah kewajiban
kontraktual. Kemudian kewajiban kontraktual tersebut dapat berasal dari peraturan
perundang-undangan, kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak, kepatutan dan
kebiasaan.11

2.3 Upaya Perlindungan Terhadap Para Pihak Akibat Wanprestasi

Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam hukum perjanjian adalah prinsip
perlindungan kepada para pihak, terutama pihak yang dirugikan. Berlandaskan
kepada prinsip perlindungan pihak yang dirugikan ini, maka apabila terjadinya
wanprestasi terhadap suatu perjanjian, kepada pihak lainnya diberikan berbagai hak
sebagai berikut :12

a. Exceptio non adimpleti contractus menolak melakukan prestasinya atau menolak


melakukan prestasi selanjutnya manakala pihak lainnya telah melakukan
wanprestasi.

b. Penolakan prestasi selanjutnya dari pihak lawan. Apabila pihak lawan telah
melakukan wanprestasi, misalnya mulai mengirim barang yang rusak dalam suatu
perjanjian jual beli, maka pihak yang dirugikan berhak untuk menolak pelaksanaan
prestasi selanjutnya dari pihak lawan tersebut, misalnya menolak menerima barang
selanjutnya yang akan dikirim oleh pihak lawan dalam contoh perjanjian jual beli
tersebut.

c. Menuntut restitusi. Ada kemungkinan sewaktu pihak lawan melakukan


wanprestasi, pihak lainnya telah selesai atau telah mulai melakukan prestasinya
seperti yang diperjanjikannya dalam perjanjian yang bersangkutan. Dalam hal
tersebut, maka pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut
restitusi dari pihak lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau

11
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, hal, 270.
12
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya
Bakti,1999), hal. 96

11
dibayar setiap prestasi yang telah dilakukannya. Dalam hal debitur melakukan
wanprestasi maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai
berikut :

a. Menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.

b. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.

c. Menuntut penggantian kerugian.

d. Menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.

e. Menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.

Walaupun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, namun kepentingannyapun


harus tetap ikut dilindungi untuk menjaga keseimbangan. Perlindungan hukum
kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut:41

a. Dengan mekanisme tertentu untuk memutuskan perjanjian. Agar pemutusan


perjanjian tidak dilaksanakan secara sembarangan sungguhpun pihak lainnya telah
melakukan wanprestasi, maka hukum menentukan mekanisme tertentu dalam hal
pemutusan perjanjian tersebut. mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban melaksanakan somasi (Pasal 1238 KUH Perdata).

2. Kewajiban memutuskan perjanjian timbal balik lewat pengadilan (Pasal 1266


KUH Perdata)

b. Pembatasan untuk pemutusan perjanjian. Seperti telah dijelaskan bahwa jika salah
satu pihak telah melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dalam perjanjian
tersebut berhak untuk memutuskan perjanjian yang bersangkutan. Akan tetapi
terhadap hak untuk memutuskan perjanjian oleh pihak yang telah dirugikan akibat
wanprestasi ini berlaku beberapa restriksi yuridis berupa :

1. Wanprestasi harus serius. Mekanisme penentuan sejauh mana serius atau tidaknya
suatu wanprestasi terhadap suatu perjanjian adalah sebagai berikut :13

13
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,hal.98

12
a. Melihat apakah ada ketentuan dalam perjanjian yang menegaskan pelaksanaan
kewajiban yang mana saja yang dianggap wanprestaisi terhadap perjanjian tersebut,
atau

b. Jika ada ketentuan dalam perjanjian, maka hakim dapat menentukan apakah tidak
melaksanakan kewajiban tersebut cukup serius untuk dianggap sebagai suatu
wanprestasi terhadap perjanjian yang bersangkutan.

2. Hak untuk memutuskan perjanjian belum dikesampingkan. Pengesarnpingan hak


untuk memutuskan perjanjian mempunyai konsekuensi hukum sebagai berikut:
Hilangnya hak untuk memutuskan perjanjian dan tidak berpengaruh terhadap
penerimaan ganti rugi. Pada prinsipnya, pengesampingan hak untuk memutuskan
suatu perjanjian oleh pihak yang dirugikan oleh adanya tindakan wanprestasi dapat
dilakukan dengan dua jalan sebagai berikut: Dilakukan secara tegas dan dilakukan
dengan tindakan.

3. Pemutusan perjanjian tidak terlambat dilakukan

4. Wanprestasi disertai unsur kesalahan:

a. Jika unsur “kesalahan” diperlukan untuk memberikan ganti rugi, maka unsur

“kesalahan” tersebut juga diperlukan untuk menggunakan hak dari pihak yang
dirugikah untuk dapat memutuskan perjanjian.

b. Pada prinsipnya pemutusan perjanjian merupakan “discresi” dari pengadilan.

Pihak yang dirugikan karena wanprestasi atas perjanjian pada prinsipnya dapat
memutuskan perjanjian yang bersangkutan. Akan tetapi, jika pemutusan perjanjian
tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan
kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi,
maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk
melakukan restorasi (restoration), yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk
mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak
yang melakukan wanprestasi tersebut. Bentuk perlindungan lain adalah dengan
memberi kesempatan pada debitur untuk melakukan pembelaan. Seorang debitur

13
yang dituduh melakukan wanprestasi juga harus diberi kesempatan untuk membela
dirinya dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari
hukuman-hukuman itu, antara lain:

a. Ketentuan tentang overmacht(keadaaan memaksa) dapat dilihat dan di baca dalam


pasal 1244 KUH Perdata yang berbunyi: “Debitur harus dihukum untuk mengganti
biaya, kerugian, dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan
perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya“.
Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi: “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan
bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan,
debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
melakukan sesuatu perbuatan yang terhalang olehnya.” Yang diartikan dengan
keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana debitur tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditur, disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannya ( bukan karena kesalahannya), peristiwa mana tidak dapat diketahui
atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Secara umum perjanjian adalah: Kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang
melahirkan perikatan/ hubungan hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila
tidak dijalankan sebagai mana yang diperjanjikan akan ada sanksi. Perikatan adalah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”. Penyusunan perjanjian perlu untuk memperhatikan
perundang-undangan ketertiban umum, kebiasaan dan kesusilaan yang berlaku.
Disamping itu juga harus memperhatikan beberapa hal antara lain: Pemahaman akan
ketentuan-ketentuan hukum perjanjian,

Keahlian para pihak dalam pembuatan perjanjian, Pengaturan tentang hak dan
kewajiban, Akibat yang timbul dalam suatu perjanjian.Penyusunan ketentuan hak
dan kewajiban para pihak memerlukan kejelian dan kecermatan yang terlatih dari
aspek teoritis normatif dan sisi empiris. Dengan perjanjian yang baik diharapkan
dapat mencegah terjadinya perselisihan, dikemudian hari. Dalam suatu perjanjian
harus memperhatikan syarat sahnya suatu perjanjian juga harus didasarkan pada

15
beberapa asas atau prinsip umum yang terdapat pada hukum perjanjian.Perjanjian
dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para pihak.

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang


diperjanjikan, maka pihak yang satu berhak untuk menempuh jalur hukum untuk
mendapatkan haknya. Salah satu prinsip atau asa syang sangat mendasar dalam
hukum perjanjian adalah prinsip perlindungan kepada para pihak, terutama pihak
yang dirugikan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan
apa yang diperjanjikan, pihak yang telah melakukan wanprestasi harus menanggung
akibat dari tuntutan pihak lawan.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf Huala. 2006. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: Refika


Aditama

Subekti, R. 1979.Hukum Perjanjiam. Jakarta: Intermasa

Santoso, Lukman. 2019. Aspek Hukum Perjanjian Kajian Komprehensif Teori dan
Perkembangnnya. Yogyakarta: Penebar Media Pustaka

Politon, Reiharnd. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Sesuai Kesepakatan Para Pihak
Dalam Kontrak Ditinjau Dari KUHPer, Lex Crimen Vol. VI : 96-98. 2017

Khairandy, Ridwan. 2013. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif


Perbandingan. Yogyakarta : FH UII Press

Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis Bandung:
Citra Aditya Bakti

16

Anda mungkin juga menyukai