Anda di halaman 1dari 50

Tugas Kelompok Nama Dosen

Perpajakan Dr. Vince Ratnawati, SE, M.Si, Ak, BKP, CA

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA


KASUS TRANSFER PRICING
PT. TOYOTA MOTOR
MANUFACTURING
INDONESIA

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

1. Dwi Mardaniati 1710246056


2. Rizka Dwi Putri Arliandi 1710246072
3. Wadri Wahyu 1710246083

Jurusan Magister AKUNTANSI angkatan 22


Fakultas Ekonomi DAN BISNIS
Universitas riau

T.P 2018/2019
1
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin segala puji dan syukur diberikan kepada

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunianya kepada kita semua

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Penghindaran

Pajak Berganda” dapat diselesaikan dengan lancar.

Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapatkan banyak hambatan

maupun kesulitan, karena adanya motivasi dan dorongan dari berbagai pihak,

maka makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan

makalah ini masih banyak kekurangan. Penulis memohon maaf apabila adanya

terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan

kritik dari berbagai pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun

untuk membuat makalah ini menjadi lebih baik.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada

semua pihak yang membacanya.

Pekanbaru, Agustus 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 4
1. Latar Belakang ............................................................................. 4
2. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
3. Tujuan ........................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 6
1. Pengertian Penghindaran Pajak Berganda ................................... 6
2. Skema Penghindaran Pajak ......................................................... 8
3. Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ...................... 12
4. Menghindari Pajak Berganda...................................................... 13
5. Mencegah Pengelakan Pajak ...................................................... 14
6. Perencanaan, Penghindaran dan penggelapan pajak................... 14
7. Tax Treaty ................................................................................... 16
7.1 Pemajakan Atas Passive Income........................................... 16
7.2 Pemajakan Atas Dependent dan Independent Personal
Services ....................................................................................... 21
8. Konsep BUT ............................................................................... 23
9. Transfer Pricing .......................................................................... 26
10. Tujuan Transfer pricing .............................................................. 30
11. Tipe dan Metode Transfer pricing .............................................. 30
12. Transfer pricing pada Perusahaan Multinasional........................ 31
13. Treaty Shopping .......................................................................... 35
14. Kedudukan Surat Keterangan Domisili
Dalam Pencegahan Treaty Shopping .......................................... 36
15. Aplikasi Pajak Internasional dalam Perusahaan Multinasional .. 37
16. Analisis Kasus Transfer Pricing PT. Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ............................................................ 39
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 49
1. Kesimpulan ................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan khususnya perkembangan
teknologi informasi berupa makin luasnya pemakaian internet, telah banyak
mengubah kehidupan masyarakat dunia. Transaksi internasional yang mencakup
barang, jasa dan modal cenderung berorientasi global, dimana batas-batas suatu
negara semakin kabur dan dengan sarana internet perdagangan dapat berlangsung
tanpa batas. Hal ini membuat arus barang, jasa maupun modal akan masuk dan
atau keluar dari suatu Negara tanpa hambatan. Kegiatan perdagangan lintas
Negara membuat pertumbuhan perusahaan multinasional makin pesat. Perusahaan
multinasional tersebut, di luar negara tempat kedudukannya mengoperasikan
cabang atau anak perusahaan. Pendirian anak perusahaan di berbagai negara
merupakan strategi bisnis perusahaan untuk memenangkan persaingan seperti
mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar, menguasai sumber-sumber
daya yang relatif terbatas. Dalam perusahaan multinasional tersebut, hampir
sebagian besar transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi antar mereka, seperti
transaksi penjualan, pembelian bahan baku, pemberian jasa, penggunaan hak
kekayaan intelektual, pemberian pinjaman dan sebagainya.
Keberhasilan operasi-operasi bisnis di luar negeri sangat berkaitan dengan
kemampuan untuk beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan yang sangat
banyak jumlahnya. Salah satu mekanisme yang digunakan oleh perusahaan
multinasional untuk beradaptasi adalah teknik pricing atas sumber daya, jasa dan
teknologi yang ditransfer dari satu perusahaan anak ke perusahaan anak yang lain
dalam sistem multinasional. Transfer pricing bervariasi dari suatu perusahaan ke
perusahaan lain, industri ke industri dan negara ke negara. Transfer pricing dapat
mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik dalam entitas-
entitas bisnis multinasional. Transaksi-transaksi yang terjadi antar negara juga
mengakibatkan perusahaan-perusahaan multinasional menerima banyak pengaruh
dari lingkungan yang menciptakan sekaligus mengurangi kesempatan-kesempatan
untuk meningkatkan laba perusahaan melalui penyesuaian-penyesuaian harga

4
internal. Faktor-faktor seperti perbedaan tarif pajak, tarif impor, persaingan, laju
inflasi, nilai valuta asing, resiko-resiko politik, kepentingan-kepentingan mitra
usaha patungan membuat keputusan-keputusan transfer pricing semakin rumit.
Dan pada akhirnya keputusan tentang transfer pricing umumnya menimbulkan
trade-off yang kadang-kadang tidak terduga dan mungkin jarang bisa dijelaskan.
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu faktor yang membuat keputusan
transfer pricing semakin rumit adalah perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer
pricing dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang atau
hilang. Perusahaan multinasional memiliki kecenderungan untuk menggeser
kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi
ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah. Sehingga dengan demikian
terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke negara lainnya. Hal
inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah internasional
karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer
pricing menjadi negara sumber penghasilan.Transfer pricing dapat menimbulkan
distorsi penerimaan negara.
2. Rumusan Masalah
1. Jelaskan mengenai penghindaran pajak berganda ?
2. Jelaskan tentang konsep tax treaty ?
3. Jelaskan tentang konsep BUT ?
4. Jelaskan mengenai konsep transfer pricing ?
5. Jelaskan mengenai konsep treaty shopping ?
6. Bagaimana aplikasi pajak internasional dalam perusahaan multinasional ?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai penghindaran pajak berganda.
2. Untuk mengetahui konsep tax treaty.
3. Untuk mengetahui konsep BUT .
4. Untuk mengetahui konsep transfer pricing.
5. Untuk mengetahui konsep treaty shopping.
6. Untuk mengetahui aplikasi pajak internasional dalam perusahaan
multinasional.

5
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Penghindaran Pajak Berganda
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari
pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan
prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh
penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Perjanjian
ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan
yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan
tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty
yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi. Payung hukum
persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal 32A Undang-
undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ( P3B )
Sehubungan dengan masalah transfer pricing yang melibatkan banyak
negara maka di P3B mengatur tentang hubungan istimewa, yaitu pada Pasal 9 UN
Model. Pasal ini mengatur tentang perusahaan-perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa yaitu antara induk perusahaan yang berdomisili di salah satu
negara dan anak perusahaan yang berdomisili di negara lainnya. Pasal 9 UN
Model berbunyi :
1. Apabila :
Suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan, baik secara
langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen,
pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak persetujuan
lainnya, atau
Orang atau badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak
langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu
perusahaan dari suatu Negara pihak pada persetujuan dan suatu

6
perusahaan dari Negara pihak pada persetujuan lainnya, dan dalam
kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan
dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan
syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara
perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, sehingga
laba yang timbul dinikmati oleh salah satu perusahaan yang apabila
syarat-syarat itu tidak dapat dinikmati oleh perusahaan tersebut, dapat
ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenai pajak.
Apabila suatu negara pihak pada persetujuan mencakup laba satu
perusahaan di Negara itu dan dikenai pajak laba yang telah dikenai pajak di
Negara lainnya dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh
perusahaan-perusahaan independen, maka Negara lain itu akan melakukan
penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenai pajak. Penyesuaian-
penyesuaian itu harus memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam persetujuan
ini dan apabila dianggap perlu, pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua
Negara pihak pada persetujuan saling berkonsultasi.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9
Maret 1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing.
Peraturan ini merupakan petunjuk bagaimana perlakuan perpajakan atas
kasus transfer pricing, berisi contoh-contoh transaksi yang melibatkan pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antar pihak tersebut dapat
mengakibatkan kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang
direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Bentuk kekurang wajaran dapat terjadi
atas penentuan :
1. Harga penjualan
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (
share holder loan )
5. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya

7
6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau
pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga
pasar
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang
kurang/tidak mempunyai substansi usaha ( misalnya dummy company,
letter box company atau reinvoicing center )
2. Skema Penghindaran Pajak
Beberapa skema penggelapan pajak yang umumnya dilakukan oleh
perusahaan PMA dalam aktivitas FDI adalah:
1. Transfer Pricing
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan (transfer)
barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak dalam transaksi bisnis maupun finansial
(Gunadi:1994). Dalam konteks perpajakan transfer pricing digunakan
untuk merekayasa pembebanan harga suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dalam
rangka meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan
atas grup perusahaan. Dari sisi negara, praktik transfer pricing dapat
mengakibatkan distorsi penerimaan negara dari sektor pajak.
Menurut Griffin dan Pustay, perusahaan multinasional berusaha untuk
memaksimalkan laba bersih setelah pajak dengan cara “they may manipulate
transfer prices to shift reported profits from high-tax countries to law-tax
countries”. Skema transfer pricing yang umumnya dilakukan oleh perusahaan
adalah:
a. Menggelembungkan inter company cost.
b. Membebankan biaya royalti atas pemakaian merek dagang milik induk
perusahaan yang sebenarnya tidak diperlukan.
c. Memperbesar biaya bahan baku dan atau memperkecil penghasilan dari
penjualan barang.
d. Memperkecil omzet penjualan melalui transaksi maklon.

8
Pinjaman saham melalui perusahaan PMA, dilakukan dengan cara (1)
membebankan biaya bunga dari pinjaman pemegang saham kepada pemberi
pinjaman di luar negeri, atau (2) penghindaran PPh pemotongan dan pemungutan
(withholding tax), yaitu melalui praktik pinjaman tanpa bunga dari pemegang
saham, dan praktik pemakaian bahan baku untuk perusahaan di luar negeri dan
pemakaian merek dagang induk perusahaan tanpa pembayaran royalti kepada
induk perusahaan di luar negeri.
2. Pemanfaatan Tax Haven Country
Negara tax haven merupakan suatu lokasi yang menawarkan kewajiban
pajak yang rendah atau daerah yang tidak akan dikenakan pajak di
mana para pengusaha melakukan usaha. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Azzara (1999), “a tax haven is a location which offer
a low-tax or no-tax environment for which businessman can operate.”
Namun demikian, beberapa ahli perpajakan ada yang berpendapat bahwa
negara tax haven tidak dapat didefinisikan dengan jelas karena sifatnya sangat
relatif, yaitu tergantung pada ketentuan masing-masing negara. Suatu negara dapat
saja disebut sebagai tax haven oleh negara lain apabila negara tersebut
memberikan suatu insentif dalam kegiatan perekonomian di suatu daerah tertentu
dalam wilayah negara tersebut. Jadi, apakah suatu negara akan diklasifikasikan
sebagai negara tax haven atau tidak oleh negara lain tergantung dari definisi
negara tax haven yang diberikan oleh negara lain tersebut. Karena tidak ada
definisi yang jelas, maka untuk menentukan bahwa suatu negara sebagai tax
haven dapat berdasarkan beberapa keriteria sebagai berikut (Zain:2005):
a. Tidak memungut pajak sama sekali atau apabila memungut pajak maka
tarifnya sangat rendah.
b. Memiliki peraturan yang ketat tentang rahasia bank dan atau rahasia
bisnis dan tidak akan mengungkapkan kerahasiaan tersebut kepada
siapapun atau negara manapun, walaupun hal itu dimungkinkan
pengungkapannya berdasarkan perjanjian internasional.
c. Tersedia fasilitas alat komunikasi modern yang memungkinkan
komunikasi ke seluruh dunia tanpa ada hambatan apapun.

9
d. Pengawasan yang longgar terhadap lalu lintas devisa, termasuk deposito
yang berasal dari negara asing, baik perorangan maupun badan.
e. Adanya promosi dan kepercayaan bahwa negara-negara tax haven
merupakan pusat keuangan yang baik dan terjamin.
Para peneliti di bidang international taxation pada umumnya membagi
negara tax haven dalam empat kelompok (Darussalam, Danny dan
Indrayagus:2007), yaitu:
a. Classical tax haven, yaitu negara yang tidak mengenakan pajak
penghasilan sama sekali atau menerapkan tarif pajak penghasilan yang
rendah (no-tax haven).
b. Tax havens, yaitu negara yang menerapkan pembebasan pajak atas
sumber penghasilan yang diterima dari luar negeri (no tax on foreign
source of income).
c. Special tax regimes, yaitu suatu negara yang memberikan fasilitas pajak
khusus bagi daerah-daerah tertentu di wilayah negaranya.
d. Treaty tax havens, yaitu negara yang mempunyai treaty network yang
sangat baik serta menerapkan tarif pajak yang rendah untuk withholding
tax atas passive income.
3. Thin Capitalization
Thin capitalization merupakan modal terselubung melalui pinjaman
yang melampui batas kejawaran. Pinjaman dalam konteks thin
capitalization ini adalah pinjaman berupa uang atau modal dari
pemegang saham atau pihak-pihak lain yang memiliki hubungan
istimewa dengan pihak peminjam (Rohatgi:2002).
Pada umumnya bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman yang
bukan penduduk di negara peminjam dapat dijadikan pengurang pada penghasilan
kena pajak si peminjam, sedangkan dividen tidak dapat dijadikan sebagai
pengurang. Menurut Gunadi (1994), pemberian pinjaman dalam skema thin
capitalization dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut:

10
a. Direct loan. Pinjaman diperoleh secara langsung dari investor
(pemegang saham). Dari pinjaman tersebut investor mendapatkan
bunga yang besarnya pada umumnya ditentukan oleh investor tersebut.
b. Back to back loan. Investor menyerahkan dananya kepada mediator
sebagai pihak ketiga untuk langsung dipinjamkan kepada anak
perusahaan dengan memberinya imbalan.
c. Paralel loan. Investor luar negeri mencari mitra perusahaan Indonesia
yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara investor.
Sebagai imbalan atas pemberian pinjaman kepada anak perusahaan
(Indonesia) di negara investor, selanjutnya investor meminta kepada
perusahaan Indonesia untuk juga memberikan pinjaman kepada anak
perusahaan milik investor di Indonesia.
4. Treaty Shopping
Tax treaty dapat dijadikan objek untuk melakukan aktivitas
penghindaran pajak, meskipun tujuan dari tax treaty pada hakekatnya
adalah untuk mencegah penghindaran pajak. Skema treaty shopping
dilakukan oleh penduduk suatu negara yang tidak memiliki tax treaty
mendirikan anak perusahaan di negara yang memiliki tax treaty dan
melakukan kegiatan investasinya melalui anak perusahaan tersebut,
sehingga investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-
fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam tax treaty.
Skema treaty shopping dilakukan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas
dalam tax treaty (treaty benefit). Padahal treaty benefit hanya boleh dinikmati
oleh residen (subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara yang mengikat
perajanjian. Untuk dapat memanfaatkan treaty benefit harus memenuhi dua syarat
(Mansury:1999):
a. Syarat formal (administrative requirement), yaitu pembuktian bahwa
yang bersangkutan adalah residen (penduduk) dari negara yang
mengikat perjanjian berupa Certificate of Residence yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang di negara treaty partner.

11
b. Syarat material (substantive requirement), yaitu Wajib Pajak di negara
treaty partner memang benar-benar residen di negara partner tersebut,
bukan residen negara ketiga.
5. Controlled Foreign Corporation (CFC)
Penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara menunda pengakuan
penghasilan modal yang bersumber dari luar negeri (khususnya di
negara tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri. Skema CFC
dilakukan dengan mendirikan entitas di luar negeri dimana Wajib Pajak
dalam negeri (WPDN) memiliki pengendalian. Upaya WPDN untuk
meminimalkan jumlah pajak yang dibayar atas investasi yang dilakukan
di luar negeri adalah dengan menahan laba yang seharusnya dibagikan
kepada para pemegang sahamnya. Dengan memanfaatkan adanya
hubungan istimewa dan kepemilikan mayoritas saham, badan usaha di
luar negeri tersebut dapat dikendalikan sehingga dividen tidak
dibagikan/ditangguhkan. Upaya di atas akan semakin menguntungkan
bagi perusahaan jika badan usaha di luar negeri didirikan di negara tax
haven atau low tax jurisdiction.
3. Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan
dengan negara lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan
utama yaitu pertama menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double
taxation) dan yang kedua adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal
evasion). Di samping dua tujuan utama tersebut, terdapat pula tujuan lain yang
sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam
penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang
dilakukan pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi
dan perdagangan dengan negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty
bertujuan pula untuk mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian ke suatu
negara. P3B juga akan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak,
memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama antar
negara.

12
4. Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)
Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yurisdiksi perpajakan suatu
negara akan berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi
dua yurisdiksi perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak
berganda. Pajak berganda ini timbul karena dua yurisdiksi perpajakan
mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak
yang sama. Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A
mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara
A akan mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya
dari manapun sumber penghasilan tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara
B juga mengenakan pajak terhadap penghasilan yang bersumber dari negaranya
walaupun penerimanya bukan warga negara atau bukan penduduk negara B. Nah
dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A dan negara B.
Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi
definisi sebagai subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi
ini maka orang atau badan ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh
penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah dual residence.
Untuk memecahkan masalah akibat penerapan ketentuan perpajakan dua negara,
maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan
penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang
hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu.
Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian
sehingga seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam
negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule yang
biasanya dimuat dalam Pasal 2 P3B.
Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment
dalam kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode
penghilangan pajak berganda. Corresponding adjutment mengandung makna
bahwa jika satu negara melakukan koreksi harga dalam suatu transaksi dengan
lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga harus melakukan koreksi
sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.

13
5. Mencegah Pengelakan Pajak
Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax
evasion. Tax avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan
perpajakan. Apabila penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari
pembuat ketentuan, maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun
demikian, jika penghindaran ini dilakukan dengan ”mengakali” peraturan yang
tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang maka jenis penghindaran ini
perlu dipermasalahkan.
Contoh dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya
dengan membuat modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut
bunga sehingga bisa dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer (transfer
pricing) dalam transaksi internasional dengan menggeser laba ke negara dengan
low tax rate juga merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini.
Dalam kasus lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi
yang semu walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan
untuk mendapatkan manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan
dengan cara yang seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu
tax treaty. Pendirian conduit company, paperbox company atau special purpose
company biasanya digunakan untuk mendapatkan manfaat suaty tax treaty.
Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak
dengan melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau
membebankan biaya fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan
kriminal. Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam
suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat
ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat
digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak
seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak
semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan.
6. Perencanaan, Penghindaran dan Penggelapan Pajak
Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba dan
memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan membuat

14
keputusan melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen penting yang
menjadi pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus
direncanakan dengan baik.
Upaya untuk meminimalkan beban pajak dilakukan dengan membuat
perencanaan pajak (tax planning). Secara sederhana tax planning adalah upaya-
upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalisir pajak terhutang. Tax
planning pada FDI melibatkan regulasi lebih dari satu negara yang sering disebut
dengan international tax planning.
Tax planning dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih
memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan
perpajakan (unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance
(penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Tax avoidance
dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku, yaitu
memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ketentuan perpajakan.
Sedangkan tax evasion dilakukan dengan cara-cara yang bersifat illegal, yaitu
melanggar ketentuan perpajakan. Seringkali dalam praktik antara tax avoidance
dan tax avasion sulit untuk dibedakan. Walaupun secara legal tax avoidance dan
tax avasion dapat dibedakan, namun secara ekonomis baik perencanaan pajak
melalui tax avoidance maupun tax avasion sama-sama mengakibatkan
berkurangnya penerimaan pajak.
Beberapa negara membedakan penghindaran pajak menjadi diperbolehkan
(acceptable tax avoidance) dan tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance).
Suatu transaksi disebut sebagai acceptable tax avoidance apabila memenuhi
karakteristik: memiliki tujuan bisnis yang baik (bonafide business purpose), bukan
semata-mata untuk menghindari pajak, sesuai dengan maksud dari pembuat
undang-undang (spirit and intension of parliament), dan tidak melakukan transaksi
yang direkayasa. Sebaliknya suatu transaksi digolongkan sebagai unacceptable tax
avoidance apabila memiliki ciri-ciri: tidak memiliki tujuan bisnis yang baik,
semata-mata untuk menghindari pajak, tidak sesuai dengan spirit and intension of
parliament, dan adanya transaksi yang direkayasa agar menimbulkan biaya-biaya
atau kerugian (Rohatgi:2002).

15
Dalam konteks perencanaan pajak, perusahaan multinasional mempunyai
banyak kesempatan dibandingkan dengan perusahaan domestik karena
mempunyai fleksibilitas geografis dalam menempatkan sumberdaya ekonomis
sesuai dengan sistem produksi dan distribusi. Fleksibilitas geografis ini
menawarkan berbagai skema minimalisasi total beban pajak global perusahaan.
Penggeseran penghasilan dan biaya melalui rekayasa internal antar anggota
perusahaan multinasional juga berpotensi meminimalkan beban pajak global.
7. Tax Treaty
7.1 Pemajakan Atas Passive Income
Passive Income merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam
bentuk tangiable maupun intangiable properties (termasuk dala bnetuk financial
investment). Jenis-jenis pengahasilan dalam tax treaty yang dikategorikan sebagai
passive income adalah: penghasilan dar harta tidak bergerak, penghasilan dari
dividen, bunga, royalti, capital gain, serta pensiun.

Passive income berbeda dengan perlakuan atas penghasilan dari kegiatan


usaha yang dilakukan oleh penduduk salah satu negara di negara lain, yang hanya
dapat dikenai pajak di negara lain tersebut apabila kegiatan itu dilakukan melalui
suatu BUT. Passive income dapat dikenai pajak di negara sumber tanpa syarat
adanya suatu BUT. Namun demikian hak pemajakan yang diberikan kepada
negara sumber biasanya dikurangi, yaitu pemajakan dengan tarif yang lebih
rendah dari tarif yang berlaku berdasarkan undang-undang domestiknya. Passive
income ini meliputi deviden, bunga, royalti, dan penghasilan dari penggunaan
harta.

1. Deviden
Prinsip umum perpajakan internasional atas deviden adalah bahwa prioritas
hak pemajakan berada pada negara yang menerima penghasilan berdomisili.
Selain negara domisili, negara sumber juga dapat mengenakan pajak atas deviden
tersebut. Alasan utama melatarbelakangi pemberian hak pemajakan kepada negara
domisili dikarenakan modal yang menjadi awal timbulnya penghasilan deviden
tersebut berasal dari negara domisili.

16
Namun dengan pertimbangan negara sumber juga ikut berkontribusi atas
timbulnya penghasilan deviden maka negara sumber juga memiliki hak terbatas
atas penghasilan deviden tersebut. Hak pemajakan terbatas itu tidak berlaku jika
pihak penerima penghasilan mempunyai permanent establishment (PE) atau
tempat usaha tetap (fixed base) di negara sumber dan penghasilan yang diterima
oleh pihak penerima penghasilan tersebut memiliki hubungan efektif dengan PE
atau fixed base tersebut (effectively connected principle).
Untuk tujuan menentukan tarif pemajakan negara sumber atas penghasilan
deviden, Pasal 10 ayat (2) baik OECD Model dan UN Model membedakan
deviden berdasarkan bentuk investasi sahamnya sebagai berikut:
a. Investasi saham partisipasi, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(a), dan;
b. Investasi saham portofolio, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(b).
Sebagai perbandingan, berikut ini tarif pemajakan yang diterapkan atas
penghasilan deviden berdasarkan bentuk investasi sahamnya yang diatur dalam
OECD Model, UN Model, dan US Model:
Tarif Pemajakan atas Deviden berdasarkan Bentuk Investasi

Bentuk Investasi
OECD Model UN Model US Model
Saham
Deviden Portofolio 15% Tergantung Kesepakatan 15%
Deviden Partisipasi 5% Tergantung Kesepakatan 5%

Berdasarkan pada tabel diatas, penghasilan deviden dari investasi saham


partisipasi mendapat perlakuan perpajakan yang lebih menguntungkan
dibandingkan dengan saham portofolio.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam Pasal 10 ayat (2) OECD Model adalah
bahwa penurunan tarif pemajakan atas deviden dari investasi saham partisipasi
hanya berlaku dalam hal pemegang sahamnya adalah perusahaan dan tidak
berlaku kepemilikan saham yang dipegang oleh individu atau partnership.

17
2. Bunga
Pengertian bunga berdasarkan pasal 11 ayat (3) OECD adalah:

 Penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, yang dijamin dengan


hipotik maupun tidak, dan yang mempunyai hak atas pembagian laba
maupun tidak;
 Penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan pemerintah dan penghasilan
dari surat-surat obligasi atau surat-surat utang;
 Premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi atau surat utang;
 Denda atas keterlambatan pembayaran tidak diperlakukan sebagai bunga.

Aspek perpajakan internasional atas bunga diatur dalam Pasal 11 OECD


Model yang memiliki 6 (enam) ayat. Adapun pengaturan dari masing-masing ayat
adalah sebagai berikut:
a. Ayat 1: Menjelaskan bahwa negara domisili dapat mengenakan pajak atas
bunga dan hak pemajakan negara domisili tidak dibatasi.
b. Ayat 2: Merupakan pembatasan atas hak negara sumber untuk mengenakan
pajak atas bunga dengan persentase tertentu dari jumlah pembayaran bunga.
c. Ayat 3: Mengatur tentang definisi bunga.
d. Ayat 4: Mengatur bahwa Pasal 11 tidak dapat diterapkan dalam hal hal pihak
yang menerima pembayaran bunga memiliki PE di negara sumber dan
pembayaran bunga kepada pihak yang menerima pembayaran bunga tersebut
memiliki hubungan efektif dengan PE yang dimilikinya di negara sumber.
e. Ayat 5: Menjelaskan tentang arti ‘arising in’.
f. Ayat 6: Mengatur bahwa dalam hal terjadi pembebanan pembayaran bungan
yang tidak wajar yang terjadi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa, maka Pasal 11 tidak dapat diterapkan dan mengacu kepada ketentuan
perpajakan domestik negara sumber dan ketentuan lainnya yang terdapat dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda.
Terkait dengan hak pemajakan, masing-masing negara yang mengadakan
perjanjian penghindaran pajak berganda diberi hak pemajakan atas penghasilan
bunga.

18
Pasal 11 ayat (5) OECD Model diatas mengatur bahwa penghasilan bunga
akan dianggap bersumber (arise in) di suatu negara jika:
a. Pihak yang membayar (payer) adalah subjek pajak dalam negeri dari negara
sumber tersebut;
b. Apabila bunga tersebut dibebankan kepada PE yang berada di salah satu negara
yang mengadakan perjanjian penghindaran penghindaran pajak berganda maka
bunga tersebut dianggap timbul di negara dimana PE tersebut berada tanpa
memperhatikan bunga tersebut dibayarkan dari negara mana, sepanjang
terdapat hubungan ekonomis antara pinjaman dan bunga yang dibebankan
kepada PE.
3. Royalti
Dalam istilah umum, royalti di didefinisikan sebagai pembayaran untuk
penggunaan aset tidak berwujud (intangible property). Pada saat ini, definisi
royalti juga mencakup pembayaran atas penggunaan hak kekayaan intelektual.
Dalam pasal 12 ayat (2) OECD Model, royalti dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk memakai atau hak
memakai:
1) Hak cipta atas karya tulis, karya seni atau karya ilmiah, termasuk film
bioskop
2) Hak paten, merk dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau
proses rahasia; atau
b. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas informasi yang
berkenaan dengan pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu
pengetahuan, disebut sebagai know-how.
OECD Model memberikan hak pemajakan sepenuhnya kepada negara
domisili untuk mengenakan pajak atas royalti dan tidak memperbolehkan negara
sumber untuk mengenakan pemotongan pajak atas royalti seperti yang dinyatakan
dalam Pasal 12 ayat (1) OECD Model.

19
4. Harta Tak Bergerak
Definisi harta tak bergerak diserahkan kepada ketentuan domestik negara
sumber. Terlepas dari definisi yang diberikan oleh ketentuan domestik, pengertian
harta tak bergerak untuk tujuan penerapan perjanjian penghindaran pajak
berganda meliputi:
a. Benda-benda yang menyertai harta tidak bergerak;
b. Ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam pertanian dan kehutanan;
c. Hak-hak dimana ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan umum yang
berkenaan dengan pertanahan berlaku;
d. Hak memungut hasil atas harta tidak bergerak, dan hak atas pembayaran-
pembayaran tidak tetap atau tetap sebagai imbalan atas pengerjaan atau hak
untuk mengerjakan, kandungan mineral dan sumber-sumber daya alam lainnya.
Rumusan diatas mengecualikan penghasilan dari kapal, perahu, dan pesawat
terbang yang diatur khusus di Pasal 8 OECD dan UN Model.
Pasal 6 OECD Model dan UN Model mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan dari harta tak bergerak yang terletak di negara sumber yang dimiliki
oleh subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya (negara domisili). Pasal 6 ayat
(1) memberikan hak kepada negara sumber untuk mengenakan pajak yang timbul
dari harta tak bergerak yang terletak di negara sumber tersebut. Negara sumber
dapat mengenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan situs test, yaitu harta
tak bergerak yang memberikan penghasilan tersebut terletak di negara sumber.
Implikasi dari situs test terhadap Pasal 6 ayat (1) adalah jika harta tak bergerak
tidak terletak di negara sumber, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak
yang timbul dari harta tak bergerak tersebut, terlepas pemilik property atau harta
tak bergerak itu adalah subjek pajak dalam negeri di negara sumber. Pasal 6 ayat
(1) memberikan keuntungan lebih dari sisi negara sumber.
Tidak seperti penghasilan pasif lainnya (bunga dan deviden), OECD Model
dan UN Model tidak membatasi hak pemajakan negara sumber. Dengan demikian,
dapat terjadi negara sumber mengenakan pajak dengan tarif lebih tinggi.

20
5. Capital Gain
Perpajakan internasional atas capital gain diatur dalam Pasal 13 OECD
Model. Pasal 13 ini mengatur pemajakan atas laba dari pengalihan atas:
a. Harta tak bergerak (immovable property);
b. Harta bergerak yang merupakan bagian dari harta tak bergerak;
c. Kapal dan pesawat terbang;
d. Pengalihan saham perusahaan real estate (perusahaan yang hartanya sebagian
besar terdiri dari harta tak bergerak); dan
e. Pengalihan saham yang mencerminkan kepemilikan substansial dari subjek
pajak dalam negeri dari negara lainnya (negara domisili).
7.2 Pemajakan Atas Dependent dan Independent Personal Services

A. Income from Employment (Dependent Personal Services)


Perpajakan internasional atas penghasilan dari pekerjaan (penghasilan
sebagai karyawan) diatur dalam pasal 15 OECD Model dengan istilah “income
from employment”. Sebelum tahun 2000, istilah yang dipergunakan oleh OECD
Model untuk pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan adalah “dependent
personal services”.
Dependent personal services merupakan pemajakan atas penghasilan dari
jasa-jasa yang dilakukan orang pribadi yang berkedudukan tidak bebas atau
dengan kata lain terikat oleh hubungan kerja.
Ketentuan perpajakan internasional atas penghasilan dari perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 adalah bahwa penghasilan dari pekerjaan yang
diperoleh oleh orang pribadi hanya dikenakan pajak di negara domisilinya,
kecuali orang pribadi tersebut melakukan pekerjaan di negara lain. Akan tetapi,
Pasal 15 juga merumuskan kriteria yang memungkinkan negara sumber, yaitu
negara dimana seorang pekerja hadir secara fisik untuk melakukan pekerjaan di
negara tersebut, untuk dapat mengenakan pajak.
Mengacu pada rumusan Pasal 15 ayat (1) OECD Model, hanya negara
domisili yang boleh untuk mengenakan pajak, kecuali jika pekerja dimaksud
melakukan pekerjaan di negara sumber. Dengan kata lain, negara sumber

21
memiliki hak pemajakan jika pekerjaan itu dilakukan di negara sumber, dengan
tidak memperhatikan status subjek pajak pemberi kerja sebagai subjek pajak
dalam negeri negara mana, atau bahkan kita tidak perlu tahu siapa pihak pemberi
kerjanya.
Penghasilan dari pekerjaan (income from employment) terdiri atas:
a. Penghasilanyang diperoleh oleh para artis termasuk olahragawan.
b. Penghasilan direktur
c. Penghasilan yang dperoleh oleh pegawai pemerintah
d. Penghasilan yang diperoleh oleh para akademisi
e. Penghasilan pelajar dan peserta magang
f. Penghasilan yang diperoleh oleh para diplomat.
B. Independent Personal Services
Dalam suatu penghindaran pajak berganda, aspek perpajakan internasional
atas laba usaha yang dijalankan oleh subjek pajak orang pribadi dinamakan
sebagai penghasilan dari independent personal services.
Independent personal services merupakan pemajakan atas pengahasilan dari
jasa-jasa yang dilakukan oleh orang pribadi yang jasanya dilakukan atas nama
dirinya sendiri sebagai profesional yang menjalankan pekerjaan bebas.
Penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi dari pemberian jasa
profesional (professional services) atau pekerjaan bebas lainnya hanya dapat
dikenakan pajak (shall be taxable only) di negara di mana orang pribadi tersebut
menjadi subjek pajak dalam negeri atau di negara domisili. Pengecualian atas
ketentuan di atas apabila salah satu ketentuan yang akan dijelaskan dibawah ini
dipenuhi maka negara sumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari
pemberian jasa profesional yang dilakukan oleh orang pribadi.
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi agar negara sumber dapat
mengenakan pajak adalah sebagai berikut:
a. Apabila orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia
secara teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber;
atau

22
b. Apabila orang pribadi tersebut tinggal di negara sumber dalam suatu periode
atau periode-periode yang jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan
yang mulai atau berakhir pada satu tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan penghasilan dari pemberian jasa
profesional adalah:
a. Kegiatan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan;
b. Kesusastraan;
c. Pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli
hukum, dokter gigi, arsitek dan akuntan.
8. Konsep BUT ( Permanent Establishment)
Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia.
Batasan 183 hari dalam 12 bulan adalah apabila antara Indonesia dan negara
asal perusahaan tersebut tidak memiliki Tax Treaty atau P3B (Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda). Akan tetapi apabila antara Indonesia dengan
negara asal perusahaan tersebut terdapat Tax Treaty atau P3B, maka batasan
sebagai BUT sesuai perjanjian tersebut.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat berupa :
A. BUT Tipe Fasilitas Fisik
BUT ini ditandai dengan adanya fasilitas fisik atau aset yang merupakan
tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di suatu negara.
Sehingga BUT tipe ini sering juga disebut sebagai BUT Tipe Aset/Aktiva. BUT
ini mulai timbul ketika aktivitas melalui tempat yang tetap dimulai, yang dapat
diketahui pada saat orang/perusahaan tersebut menyiapkan tempat tersebut. Yang
termasuk dalam BUT Tipe ini adalah:

23
 tempat kedudukan manajemen.
 cabang perusahaan.
 kantor perwakilan
 gedung kantor
 pabrik.
 Bengkel.
 Gudang.
 ruang untuk promosi dan penjualan.
 pertambangan dan penggalian sumber alam.
 wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
 perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
 proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
 pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan.
 orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas.
 agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
 komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan


usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar


Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila
perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di

24
Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang
mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
B. BUT Tipe Aktivitas
Berbeda dengan tipe fasilitas fisik, BUT Tipe aktivitas tidak tampat
adanya fixed place of business. Yang termasuk ke dalam BUT Tipe ini adalah:
a. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
b. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
c. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan
C. BUT Tipe Keagenan
Apabila ada orang atau badan yang bertindak di suatu negara atas nama
perusahaan yang berkedudukan di negara lain dianggap mempunyai BUT jika
agen tersebut merupakan agen yang tidak bebas/terikat. Dalam BUT Tipe ini,
pengusaha luar negeri dapat memperoleh penghasilan usaha dari Indonesia tanpa
harus memanfaatkan tempat usaha tetap atau aktivitas tersendiri. Yang termasuk
dalam BUT tipe ini adalah:
a. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
D. BUT Tipe Asuransi
Perusahaan asuransi di suatu negara, kecuali dalam reasuransi, dianggap
mempunyai BUT di negara lain jika perusahaan tersebut menanggung premi atau
menanggung resiko yang terjadi di negara lainnya melalui orang atau badan yang
bukan merupakan agen yang bebas. Dengan demikian, penentuan BUT Tipe ini
melalui penerimaan premi atau penutupan risiko di Indonesia melalui pegawai
(atau agen selain yang telah disebutkan dalam BUT Tipe Keagenan). Yang
termasuk dalam BUT Tipe ini adalah:

25
a. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia

Kedudukan BUT dalam UU PPh


Seperti yang sudah disebutkan, kedudukan BUT dalam UU PPh di
Indonesia adalah dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan.
Penghasilan BUT
Mengingat kedudukan BUT dipersamakan dengan Wajib Pajak badan dalam
negeri, maka penghasilan BUT yang menjadi objek PPh adalah sebagaimana
diatur dalam UU PPh.
Objek Pajak BUT
PASAL 5 UU PPh membagi objek pajak BUT dalam 3 kategori, yaitu:

1. penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasainya;
2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia;
3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-
nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan.

Pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana dimaksud Pasal


17 ayat (2) yaitu sebesar 25%. Pasalnya, kedudukan BUT dalam UU PPh di
Indonesia dipersamakan dengan WP Badan, kecuali untuk BUT tertentu yang
penghasilannya dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
khusus, sehingga tarifnya adalah tarif khusus yang ditetapkan Menteri Keuangan.

9. Definisi Transfer Pricing


Beberapa definisi mengenai transfer pricing atau transfer price yang
diutarakan beberapa ahli antara lain adalah :

26
Menurut Tsurumi dalam Gunadi ( 1997 ), dalam suatu grup perusahaan,
transfer pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian
manajemen (management control ) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup
perusahaan.
Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar dalam
Akuntansi Biaya, harga transfer merupakan harga yang dikenakan oleh satu
subunit (segmen, departemen, divisi dan sebagainya ) untuk produk atau jasa yang
dipasok ke subunit lain dalam organisasi yang sama.
Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu
harga internal yang dibebankan oleh satu unit ( seperti divisi, perusahaan anak,
atau departemen ) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang
sama.
Menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven dalam Management
Accounting, harga transfer adalah harga yang ditagihkan untuk barang yang
ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.
Menurut Sophar Lumbantoruan, harga transfer adalah penentuan harga atau
jasa atas suatu transaksi antar unit dalam satu perusahaan atau antar perusahaan
dalam satu grup.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada
prinsipnya transfer pricing adalah suatu metode penentuan harga antar perusahaan
dalam satu grup yang sama.
Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar, ada tiga
metode umum untuk menentukan harga transfer yaitu :
a. Harga transfer berdasarkan pasar
Perusahaan dapat memilih untuk menggunakan harga dari produk atau
jasa sejenis yang tercantum dalam, katakanlah jurnal perdagangan.
Perusahaan juga dapat memilih harga internalnya sama dengan harga
eksternal yang dikenakan terhadap konsumen luar.
b. Harga transfer berdasarkan biaya
Contoh-contoh meliputi biaya variabel produksi, biaya produksi penuh
dan biaya produk penuh. Biaya produksi penuh meliputi semua biaya

27
produksi termasuk biaya dari fungsi usaha ( riset dan pengembangan,
desain, pemasaran, distribusi, dan pelayanan konsumen ). Biaya-biaya
tersebut dapat merupakan biaya aktual maupun biaya yang dianggarkan.
c. Harga transfer hasil negosiasi
Dalam beberapa kasus, subunit perusahaan bebas untuk menegosiasikan
harga transfer antar mereka. Subunit dapat menggunakan informasi
mengenai biaya dan harga pasar dalam negosiasi, tetapi tidak ada
persyaratan bahwa harga transfer yang dipilih harus mempunyai
hubungan tertentu ke biaya atau harga pasar. Harga transfer hasil
negosiasi tersebut sering digunakan ketika harga transfer berfluktuasi
dan terus berubah. Harga transfer hasil negosiasi merupakan hasil dari
proses tawar-menawar antara divisi penjual dan divisi pembeli.
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai
sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan
timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan
sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional
untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi
pembeli (buying divison). (Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing sering
juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional
atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan
pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup
perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara
(intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok
okeh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut,
transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati.
Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga
secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan
mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing
(dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan
pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar

28
Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974, dalam
Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan
sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak
terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam
bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif)
pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya. Kopits
(dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti
dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi
dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi,
Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985
perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga
pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi
anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan
strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi
anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang
penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak
terhadap transfer pricing semakin ekstensif.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis
perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar
negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan
mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep corporate profit center.
Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang
dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta
motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan
dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah
ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan
informasi, merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing,
sehingga secara keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya
masalah transfer pricing tersebut adalah:
1. Pergeseran menuju desentralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan
konsep cnrpu- ratc profit center

29
2. Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.
3. Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di
beberapa negara.
4. Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit
dalam group perusahaan.
10. Tujuan Transfer Pricing
Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk
mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi
perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama
lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing
terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer
divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan
tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy
three objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and
preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney,
1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing
digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh
dunia. Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is
particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).
11. Tipe dan Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-
perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan
aktifitas keuangannya adalah:
1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya
menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam
3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh
ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya
variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)

30
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas
dasar harga pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai
karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar
yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing
yang berdasarkan harga pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-
divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing
untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer
negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren
dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang
berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab
atas harga transfer yang dinegosiasikan.
12. Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional
bertujuan:
1. Memaksimalkan penghasilan global
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi
pasar
3. Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
4. Penghidaran pengendalian devisa
5. Mengontrol kredibilitas asosiasi
6. Meningkatkan bagian laba joint ventura
7. Reduksi resiko moniter
8. Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek
transfer pricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia
memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang
berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak
dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk

31
tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang
sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas
transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan
harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang
akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari
pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk
berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di
Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer
Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi
penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul,
seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara
tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar
Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di
Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa
di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga
jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang
berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara
Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi
penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan
harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini
adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah
betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum
mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian
barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari
Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam
suatu negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persingahan semata.
Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa
masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan

32
selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik
melakukan auditcompliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer
pricing ini yang memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus
dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan persentase dilakukannya
audit compliance pada perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di
berbagai negara besar di dunia.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya
transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan
wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali
jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang
notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul
sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek
transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.-
Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the
pricing of intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to
reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such
reallocation will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543).
Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi
dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang
timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan
atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya
hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should match the price that
would be set if the transfer were being made by unrelated parties, adjusted for
diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and Mowen,
1996:543).
Untuk mencegah hilangnya penerimaan negara akibat praktik transfer
pricing pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Kementerian Keuangan telah menyusun beberapa peraturan terkait transfer
pricing. Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam pasal 18 UU

33
nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal18 ayat 3 UU
PPh menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha. Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer picing termuat
dalam peraturan Dirjen Pajak Nomor PER 43/PJ/2010 yang diubah dengan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER 32/PJ/2011 tentang penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha terkait transaksi wajib pajak dengan pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s
length principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar,
sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar. Dalam
peraturan Dirjen pajak diatur bahwa arm’s length principle dilakukan dengan
menggunakan langkah – langkah :
1. Melakukakn analisis kesebandingan dan menentukan pembanding
2. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat
3. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil
analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.
4. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau
laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang – undangan perpajakan
yang berlaku.
Menerapkan Advance Pricing Agreement (APA) dengan wajib pajak
maupun dengan negara lain diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER
69/PJ/2010 tentang kesepakatan harga transfer/APA, penerapan APA kedua belah
pihak sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dengan APA
maka adanya perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan wajib
pajak dan/otoritas pajak negara lain yang menyepakati kriteria-kriteria atau
menyepakati harga wajar/laba wajar di muka para pihak yang mempunyai

34
hubungan istimewa. Harga wajar dan laba wajar yang ditentukan dengan
memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai Peraturan Dirjen Pajak.
Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak
melakukan transfer pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat
menyimpulkan bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk
penghindaran pajak. Di sisi lain, APA juga dapat meningkatkan basis data
perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat tentang para pihak yang
memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA,
metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya
APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing
(transfer pricing adjustment).
Sementara itu, dengan melakukan APA yang melibatkan otoritas pajak
negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat menghindari terjadinya
pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak. Tujuan diadakannya APA
adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh
perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal
Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan
keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur
Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur
Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib
Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
13. Treaty Shopping
Treaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan
fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang
disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak
yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Upaya

35
penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, disebut sebagai
abusive. Hal ini disebabkan karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
dibuatnya perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu untuk menghindari pajak
berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Dalam rangka mencegah praktik penyalahgunaan ketentuan-ketentuan
dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda agar tidak disalahgunakan
oleh subjek pajak yang tidak seharusnya menerima manfaat dari perjanjian
penghindaran pajak berganda tersebut, maka dalam pasal perjanjian pajak
berganda terdapat ketentuan tentang anti tax avoidance. Disamping itu, banyak
negara juga membuat suatu ketentuan tentang anti tax avoidance terhadap treaty
shopping dalam ketentuan domestiknya.
14. KEDUDUKAN SURAT KETERANGAN DOMISILI (SKD) DALAM
PENCEGAHAN TREATY SHOPPING
Sehubungan dengan masalah subjek pajak yang berhak mendapatkan
fasilitas yang ada dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya
negara sumber penghasilan meminta Certificate of Residence (Surat Keterangan
Domisili/SKD) sebagai bukti bahwa subjek pajak tersebut memang benar subjek
pajak dalam negeri dari negara lainnya yang mengadakan perjanjian penghindaran
pajak berganda.
Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius,
Central Board of Direct Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh
pihak yang berwenang di Mauritius dapat dianggap sebagai bukti yang cukup
meyakinkan bahwa penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri
sekaligus sebagai penerima terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the
income). Akan tetapi, oleh Pengadilan Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap
ultra vires terhadap undang-undang pajak penghasilan India. Lebih lanjut,
mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut, Srinivasa Rao berpendapat
bahwa hal tersebut merupakan passive abuse by a state karena negara memberikan
legitimasi kepada subjek pajak yang mempunyai peluang untuk melakukan abuse
of tax treaty.

36
Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat dilihat
dalam kasus sengketa pajak antara Forth Investment Ltd dengan Commissioners
of Inland Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus tersebut, surat
pernyataan dari Company Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh Deputy
Commissioner dianggap tidak mempunyai nilai sama sekali (the evidential value
was nil).
Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa
SKD hanya merupakan opini dari pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan
pihak otoritas pajak berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya untuk melihat
transaksi sesungguhnya secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat
fakta-fakta yang sebenarnya.
15. Aplikasi Pajak Internasional dalam Perusahaan Multinasional
Dalam rangka mengevaluasi kebijakan perdagangan dan efektivitas lalu
lintas modal internasional, adalah kurang efisien apabila hanya difokuskan secara
sempit pada tarif, kuota dan subsidi-subsidi non-pajak saja, sebab faktor pajak pun
tidak sedikit perannya dalam evaluasi kebijakan dimaksud. Kebijakan perpajakan
kadang-kadang sangat berperan dalam pengambilan keputusan mengenai
penanaman dan pembiayaan perusahaan yang akan melakukan investasi di luar
negeri. Walaupun pada dasarnya sistem perpajakan di seluruh dunia hampir
serupa satu sama lainnya, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan-
perbedaan yang menyangkut berbagai dimensi, seperti: Tarif marjinal yang
berbeda secara esensial dari tarif 0% di negara-negara yang disebut surga pajak
(tax-haven countries), sampai tarif 60% di negara-negara tertentu yang dikenal
sebagai negara berpajak tinggi (high-tax countries). Definisi penghasilan yang
berbeda secara dramatis antar-satu negara dengan negara lainnya.
Pengertian tentang penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
Wajib pajak hanya dipajaki dari penghasilan dalam negeri atau termasuk
penghasilan luar negeri. Perusahaan multinasional memiliki posisi yang
menentukan dalam hal prinsip yang akan digunakannya yang tentunya
menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja perusahaan multinasional
menggunakan harga yang menyimpang dari harga yang berlaku secara umum.

37
Penyimpangan harga dimaksud adalah penyimpangan dari harga yang disebut
“arm’s length price” yang lazimnya berlaku dan disetujui oleh kedua belah pihak
yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan dalam kondisi yang
sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan istimewa.
Perusahaan multinasional tersebut dapat saja melakukan transaksi antar grup yang
menyimpang dari arm’s length price, apakah harga transaksi lebih rendah atau
lebih tinggi, hal ini disinyalir sebagai usaha untuk menggeser laba perusahaan dari
satu grup ke grup lainnya yang berarti pula pajak yang terutang di kedua grup
yang terlibat tersebut akan mengalami perubahan.
Oleh karena instansi pajak dari masing-masing negara yang terlibat, merasa
perlu untuk menentukan berapa besar penghasilan kena pajak yang wajar dari unit
perusahaan atau cabang-cabang perusahaan dari suatu grup yang beroperasi di
daerah yurisdiksinya, maka sangatlah penting untuk mempelajari masalah
kebijakan harga (price method) yang diterapkan di perusahaan multinasional
tersebut, khususnya apabila instansi pajak yang bersangkutan mempunyai alasan
yang kuat bahwa unit/grup perusahaan di daerah yurisdiksinya melaporkan dalam
SPT penghasilan kena pajak yang tidak wajar. Untuk ini, undang-undang
perpajakan di negara yang bersangkutan hendaknya memungkinkan instansi pajak
di negara tersebut untuk melakukan verifikasi dan bahkan sampai kepada
penyidikan sekalipun serta mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi
fiskal terhadap harga transfer yang dilaporkan dalam SPT, sesuai dengan arm’s
length price.
Masalah yang paling sering dibicarakan dalam rangka perencanaan pajak
perusahaan multinasional adalah menyangkut masalah pengenaan pajak atas
penghasilan yang berbeda yurisdiksi pajaknya. Pemecahan masalah ini biasanya
dilakukan melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, yang bertujuan
mencegah pengenaan pajak berganda atas penghasilan perusahaan multinasional
dengan cara memecah-mecah penghasilan dan biaya yang dialokasikan di
berbagai yurisdiksi pajak tersebut.

38
16. ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING PT. TOYOTA MOTOR
MANUFACTURING INDONESIA

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai


tahun 2003. Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi
mendasar pada bisnisnya. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi
mereka dilakukan di bawah satu bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik
saham PT Toyota Astra Motor terdiri atas dua pihak, yaitu PT Astra International,
Tbk (sebesar 51%) dan Toyota Motor Corporation Jepang (sebesar 49%).

Pada pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual sebagian


besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation
Jepang. PT Astra International, Tbk menjual sahamnya di PT Toyota Astra Motor
karena mereka mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi.
Setelah penjualan saham tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang menjadi
pemegang saham mayoritas PT Toyota Astra Motor dengan kepemilikan saham
sebesar 95%. Akibat dari perubahan kepemilikan tersebut, nama perusahaan
berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjalankan
fungsi produksi Toyota Indonesia.

Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra


dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen
tunggal pemegang merek (ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek
ini menggunakan nama lama, yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada
perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51%
saham, sementara sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor Corporation
Jepang.

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena


Wajib Pajak melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun
Pajak 2005, 2007, dan 2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan

39
pemeriksaan pajak terhadap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari
pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada

Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada


2004 misalnya, laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003)
menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara laba
kotor dengan tingkat penjualan) juga mengalami penurunan, dari sebelumnya
14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.

Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami


peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi,
gross margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8%
hingga 3% per tahun. Sementara di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen
tunggal pemegang merek yang didirikan setelah restrukturisasi), gross margin
mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra Motor digabung
dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih sebesar
7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah
7% dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang
mencapai 14%.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak


menyimpulkan penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing
dengan harga di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran
royalti yang dinilai tak wajar. Mengenai transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia, untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan
bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan
kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte.,Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan
di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd inilah yang nantinya akan
menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke negara-
negara lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara
perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional,
apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan

40
multinasional yang sama. Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang
perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak berdasarkan pada prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan penghindaran
pajak.

PT. Toyota Toyota Motor Asia Negara Tujuan


Manufacturing Pacific (Singapura) Ekspor
Indonesia

Gambar 4

Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan
ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai
tarif Pajak Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu
sebesar 15% sampai dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura
jauh berada di bawah Indonesia, di mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun
pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia),
tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia adalah progresif sebesar
10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada perusahaan-
perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya
dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban pajaknya secara
keseluruhan.

Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang
ditujukan untuk mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP
dari pemeriksaan pajak SPT PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun
Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura.
Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak menemukan
bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah

41
Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa
semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan
demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu
ke Singapura.

Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada


penjualan mobil Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia menjual Innova diesel dan Innova bensin kepada Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan harga 1,73% dan 5,14% lebih
murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu, pada ekspor Rush dan
Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya memperoleh
keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya per
unit.

Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor


Manufacturing Indonesia menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan
penjualan domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk-produk serupa kepada
pembeli lokal di Indonesia dengan harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam
negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross

margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.

Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk


menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
penghindaran pajak melalui transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara
penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang wajar apabila penentuan harganya
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin
saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
atas produk-produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak efisien
sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan
penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk
membuktikan terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas
pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota

42
Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di
Singapura. Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran
transfer price dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura adalah dengan cara membandingkan
harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Metode ini disebut
dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk
pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan
lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai
pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors
(India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei,
dan Dongan Heibao (Cina).

Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut,


pemeriksa pajak menetapkan bahwa kisaran gross margin yang dapat dinilai wajar
(arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah
3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di
Singapura berada di bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna
penghindaran pajak.

Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia

Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan
metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. Berdasarkan hasil
wawancara petugas pajak, ketersediaan data pembanding ini adalah persoalan

43
utama dalam kasus transfer pricing yang dihadapi oleh DJP. Dalam kasus transfer
pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, petugas pajak menggunakan
Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India),
Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). DJP menganggap bahwa kelima
perusahaan tersebut memiliki karakteristik serupa dengan Toyota sehingga layak
dijadikan pembanding.

Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing


Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh
pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dalam sidang di Pengadilan
Pajak, pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai perbandingan oleh petugas pajak,
yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited
(India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan demikian, pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut tidak layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus tersebut.

Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan
data pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap
beberapa komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memang
lebih mudah menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya
tersedia dan mudah diakses. Namun, sebagian besar produk perusahaan-
perusahaan multinasional susah dicari pembandingnya karena setiap produk
mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda. Permasalahan penentuan
besarnya transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP, tetapi juga oleh
otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.

Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang


wajar, otoritas pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang
menggunakan Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement

44
Procedure (MAP). Advance Pricing Agreement dan Mutual Agreement Procedure
terbukti cukup sukses untuk menangani kasus transfer pricing. Oleh karena itu,
terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement) patut diapresiasi.

Menurut OECD, APA adalah “an administrative approach that attempts to


prevent transfer pricing disputes from arising by determining criteria for applying
the arm's length principle to transactions in advance of those transactions
taking place”. APA menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015
adalah adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak,
atau Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk menyepakati kriteria-kriteria
dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.

Sementara itu, MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B
untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi,
pembentukan APA dilakukan melalui MAP dalam hal APA dimaksud melibatkan
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B.

APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Secara formal,
Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan diterbitkannya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan tetapi, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur secara jelas prosedur
pembentukan dan pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan dan pelaksanaan
APA baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.

APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak
maupun DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer
(APA) dengan otoritas pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan
utama, yaitu kepastian dalam transfer pricing dan penghematan biaya dan waktu.
APA akan membuat Wajib Pajak lebih nyaman dalam menjalankan kegiatan
usahanya karena sudah ada batasan yang telah disepakati dengan otoritas pajak

45
mengenai besarnya transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan mengurangi
potensi terjadinya sengketa pajak. Pemeriksaan pajak dan upaya hukum untuk
menyelesaikan sengketa pajak terkait transfer pricing seringkali memakan biaya
yang besar dan waktu yang lama. Karena potensi terjadinya sengketa pajak dapat
dikurangi dengan adanya APA, maka Wajib Pajak dapat menghemat biaya dan
waktu.

Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak
melakukan transfer pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat
menyimpulkan bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk
penghindaran pajak. Di sisi lain, APA juga dapat meningkatkan basis data
perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat tentang para pihak yang
memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA,
metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya
APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing
(transfer pricing adjustment). Sementara itu, dengan melakukan APA yang
melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat
menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak.

Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam


membuat APA. Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak
berpotensi menurunkan penerimaan negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat
dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan
Wajib Pajak. Analisis yang mendalam dan hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum
menandatangani APA dengan Wajib Pajak, terutama terkait transaksi yang
termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding
(comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical
assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).

46
Kesimpulan

Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa


yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.

2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan
penentuan beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing
lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk
pengukuran kinerja divisi.

3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang
dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan
penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura.

4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam
penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai.

5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar
disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena
perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors
(India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus
merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008
masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan
tersebut.

47
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata
Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) patut diapresiasi.

7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA
juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.

Saran

Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah


terkait kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia antara lain:

1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk


melaksanakan program APA.

2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum


menandatangani APA dengan Wajib Pajak.

3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.

48
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pajak Berganda dapat muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi
pemajakan yang melekat pada pemerintah suatu negara dengan negara lain atau
benturan yurisdiksi pemajakan dalam format internasional (overlapping of tax
jurisdiction in the internasional sphere). Contoh dari International double taxation
adalah pengenaan pajak dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak
yang sama oleh dua negara. Dua negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak
atas Objek Pajak yang sama dan Subjek Pajak yang sama.
Transaksi transfer pricing adalah transaksi yang terjadi antara pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat
arm’s length. Implementasi transfer pricing cenderung dilakukan oleh perusahaan
multinasional dengan tujuan untuk penghindaran pajak.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer pricing adalah
berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya
diperoleh. Peraturan perpajakan Indonesia untuk menangani kasus transfer pricing
sudah memadai hanya untuk aturan teknis pelaksanaannya perlu dibuat secara
khusus. Misalnya dengan peningkatan status peraturan dari Surat Edaran menjadi
peraturan yang lebih tinggi.
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement ) mempunyai
peranan penting dalam penyelesaian kasus transfer pricing dan yang lebih penting
lagi dapat memberikan kepastian hukum kepada para Wajib Pajak Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) dapat menyelesaikan masalah transaksi
transfer pricing antara negara yang terikat perjanjian P3B dengan correlative
adjustment

49
DAFTAR PUSTAKA

Darussalam; Hutagaol, John & Septriadi, Danny. 2010. Konsep dan Aplikasi
Perpajakan Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.

https://www.google.com/amp/m.bisnis.com/amp/read/20170608/9/660677/pajak-
internasional-70-negara-sepakati-aturan-pencegahan-treaty-shopping

https://dokumen.tips/documents/pajak-internasional-passive-income.html

http://www.wibowopajak.com/2012/01/pengertian-but-bentuk-usaha-tetap.html

https://news.ddtc.co.id/kamus-pajak-memahami-konsep-but-6501

https://nasikhudinis.me/2014/09/19/bentuk-usaha-tetap-but-dan-kedudukannya-
dalam-sistem-perpajakan-indonesia/

Ita Salsalina Lingga. 2012. “Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan
Problematika Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)”. Jurnal Zenit;
Vol. 1 No. 3 Desember 2012, Hal. 210-221; ISSN: 2252-6749. Fakultas
Ekonomi Jurusan Akuntansi. Univ.Kristen Maranatha

50

Anda mungkin juga menyukai