Anda di halaman 1dari 39

MANAJEMEN PAJAK ATAS KOMBINASI BISNIS DAN LIKUIDASI

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan yang diampu
oleh Hj., Yati Mulyati, S.E., M.Ak., Ak., C.A.

Oleh:

Galuh Thifal Khalda 1519203014


Moch Mahfi Gema Syaftarie 1519203006
Fathur Rahman 1519203010

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI


UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim…
Puji serta syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam tidak lupa kami haturkan
kepada junjungan alam yakni Nabi Muhammad Saw karena atas perjuangan
beliau kita masih dapat merasakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sampai saat ini.
Makalah ini kami tujukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen Perpajakan. Dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
moril dan materil dalam penulisan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun guna menyempurnakan makalah ini. Mudah-mudahan
dengan adanya penulisan makalah ini dapat menambah wawasan bagi penulis
dan bagi pembaca berkaitan tentang manajemen perpajakan di Indonesia.

Bandung, Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.2 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 5
2.1 Ketentuan Dalam Standar Akuntansi Keuangan ........................................... 5
2.1.1 Metode Pembelian (Purchase Method) .................................................. 7
2.1.2 Metode Penyatuan Kepemilikan (Pooling of Interest Method) ............. 8
2.2 Ketentuan Dalam Peraturan Pemerintah ....................................................... 9
2.2.1 Ketentuan Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas ......................... 9
2.2.2 Ketentuan Dalam Undang-undang Perpajakan .................................... 11
BAB III.................................................................................................................. 14
PEMBAHASAN ................................................................................................... 14
3.1 Pengertian Akuisisi, Merger, Konsolidasi dan Spin-off ............................. 14
3.2 Penggabungan Usaha .................................................................................. 16
3.3.1 Alasan-alasan Perusahaan Melakukan Merger dan Akuisisi ............... 18
3.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Akuisisi .................................................... 20
3.5 Spin-off (Pemekaran Usaha) ....................................................................... 21
3.6 Perusahaan Holding .................................................................................... 22
3.6.1 Pengertian Holding............................................................................... 22
3.6.2 Proses Pembentukan Holding Company .............................................. 24
3.6.3 Kelebihan dan Kekurangan Perusahaan Holding ................................. 27
3.6.4 Upaya Pemerintah Dalam Mengurangi Penghindaran Pajak Oleh
Perusahaan Holding ...................................................................................... 31
BAB IV ................................................................................................................. 34
PENUTUP ............................................................................................................. 34
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 34
4.2 Saran............................................................................................................ 34

ii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang


Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat saat ini menyebabkan
munculnya berbagai kombinasi bisnis pada perusahaan-perusahaan terutama
perusahaan sektor publik. Banyak perusahaan yang melakukan penggabungan
perusahaan untuk bisa meningkatkan kinerja dan keuntungan mereka. Persaingan
usaha mendorong perusahaan-perusahaan yang sedang berkembang mengambil
langkah-langkah yang dapat mengamankan posisinya antara lain melalui efisiensi,
peningkatan daya saing dan produktivitas. Peningkatan efisiensi dan produktivitas
suatu perusahaan dapat dilakukan melalui penggabungan usaha yang dikenal
sebagai merger, konsolidasi dan akuisisi. Salah satu transaksi akuisisi pertama di
pasar modal Indonesia adalah akuisisi yang dilakukan oleh PT Jakarta Internasional
Hotel Development melalui pembelian 100% saham PT Danayasa Arthatama pada
tahun 1990. Dengan dikeluarkannya Surat oleh Ketua Bapepam kepada seluruh
emiten dengan nomor S-456/PM/1991 yang berisikan persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pembelian saham atau penyertaan pada perusahaan lain, maka
kegiatan akuisisi menjadi semakin sering dilakukan.
Hal yang menjadi perhatian pada saat itu adalah bahwa peraturan yang
diterapkan belum cukup untuk melindungi kepentingan publik terutama untuk
transaksi akuisisi yang mengandung benturan kepentingan, seperti transaksi
akuisisi internal. Pada saat itu yang terjadi adalah pada akuisisi internal, pengambil
keputusan mulai dari rencana sampai dengan pelaksanaan transaksi berada pada
pihak yang sama sehingga menyebabkan adanya benturan kepentingan. Sebagai
contoh adalah akuisisi yang dilakukan oleh PT Indo Cement terhadap PT Bogasari,
Indofood dan Wisma Indocement pada tahun 1992. Peraturan yang berlaku pada
saat itu adalah bahwa keputusan boleh tidaknya suatu transaksi dilakukan
ditentukan oleh suara terbanyak pada RUPS, sedangkan suara terbanyak dimiliki
oleh pemegang saham utama yang memang berkepentingan dengan transaksi-
transaksi tersebut. Tahun 1996 Bapepam, mengeluarkan peraturan Bapepam No

1
IX.E.1 tentang benturan kepentingan transaksi tertentu, yang berisikan bahwa
setiap transaksi yang mengandung benturan kepentingan harus mendapat
persetujuan pemegang saham independen.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa walaupun pemegang saham utama setuju
dengan suatu transaksi, tapi transaksi tersebut tidak disetujui pemegang saham
independen maka transaksi tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pemegang saham
independen adalah mereka yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan
suatu transaksi tertentu dan atau bukan merupakan pihak terafiliasi dari direktur,
komisaris atau pemegang saham utama yang mempunyai benturan kepentingan atas
transaksi tertentu. Perlindungan yang diberikan oleh aturan Bapepam tersebut
misalnya adalah kewajaran nilai transaksi, penyelesaian hak pemegang saham yang
tidak setuju terhadap merger dan akuisisi, keterbukaan informasi, dan sebagainya.
Pada akhirnya merger dan akuisisi dapat dilakukan apabila telah memenuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku di pasar modal.
Aspek perpajakan berpengaruh terhadap penentuan metode apa yang akan
dipakai dalam penggabungan usaha selain dengan menggunakan pertimbangan
hukum. Perlu diketahui bahwa pasal 4 ayat 1 huruf d angka 1 Undang-Undang
Perpajakan No. 10 Tahun 1994, menyebutkan bahwa keuntungan karena penjualan
atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah salah satu
objek pajak. Kemudian Pasal 10 ayat 3, Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10
Tahun 1994 mengatur tentang dasar pengenaan pajak atas penggabungan usaha.
Pasal ini mengatur bahwa: "Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan
dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh menteri
keuangan".
Ketentuan perpajakan tidak seperti prinsip akuntansi yang mengatur bahwa
pemilihan metode penggabungan usaha yang dipakai didasarkan dengan
memperhatikan makna ekonomisnya dan bukan melihat pada bagaimana transaksi
itu menurut hukumnya (formalitas). Dengan demikian bisa diartikan bahwa prinsip
akuntansi membebaskan perusahaan untuk memilih metode mana yang akan

2
dipakai. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Direktorat Jenderal Pajak
memutuskan untuk tidak memperbolehkan penggunaan metode pooling of interest
dalam rangka penggabungan usaha. Jawabannya tidak lain bahwa dengan pooling
of interset, tidak ada pajak yang dibebankan atas penggabungan usaha tersebut, lain
halnya apabila menggunakan metode by purchase yang berdasarkan pada nilai
pasar.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 bahwa: "Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun". Selanjutnya huruf d angka 3 dari pasal 4
ini menyebutkan bahwa salah satu yang termasuk objek pajak adalah "Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha"
Sekarang bagaimana dasar pengenaan pajak untuk perusahaan yang
melakukan penggabungan usaha atas dasar metode pooling of interest. Seperti telah
dijelaskan di atas, metode pooling of interest menggunakan nilai buku sebagai dasar
dalam pengalihan harta dari penggabungan perusahaan. Dengan ini berarti bahwa
penggabungan perusahaan dengan metode pooling of interest, sama sekali tidak
menghasilkan penghasilan kena pajak, karena penggabungan tersebut didasarkan
atas nilai buku dari kedua perusahan, dan bukan berdasarkan suatu penilaian
kembali atau nilai pasar. Hanya saja, usaha-usaha perusahaan dalam melakukan
pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha,
sering dijadikan sebagai suatu cara untuk memanipulasi pajak, dengan cara
menetapkan harga pasar yang lebih rendah. Oleh karena itu makalah ini
mengungkap bagaimana manajemen perpajakan untuk kominasi bisnis dan
likuidasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan
yang diajukan dalam makalah ini yaitu:

3
1. Bagaimana konsep perpajakan atas kombinasi bisnis dan likuidasi di
Indonesia?

1.2 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diajukan tersebut di
atas dmaka tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:
1. Mengetahui konsep perpajakan atas kombinasi bisnis dan likuidasi di
Indonesia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketentuan Dalam Standar Akuntansi Keuangan


Penyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 22 mengatur untuk
tujuan akuntansi tentang penggabungan usaha. PSAK 22 menggunakan istilah
kombinasi usaha (business combination) untuk penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan. Dalam Paragraf 08, PSAK 22
mendefinisikan istilah penggabungan (combination) usaha sebagai penyatuan dua
atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu
perusahaan menyatu dengan perusahaan lain atau memperoleh kendali atas aktiva
dan operasi perusahaan lain. Istilah penggabungan (kombinasi) usaha merupakan
istilah umum yang mencakup semua bentuk kombinasi perusahaan-perusahaan
yang semula terpisah. Kombinasi disebut akuisisi (pengambilalihan) apabila satu
perusahaan mengambil alih aktiva produktif perusahaan lain dan
mengintegrasikannya pada kegiatan usahanya. Pengambilalihan juga mencakup
pengalihan kendali aktiva produktif perusahaan lain dengan pengambilalihan
mayoritas saham perusahaan tersebut. Perusahaan yang diambil alih tersebut tidak
perlu harus bubar. Kadangkala istilah merger dan consolidation sering
dipersamakan dengan business combination. Namun, terdapat perbedaan yang
signifikan antara istilah tersebut. Berbeda dengan business combination, merger
dan consolidation harus diikuti dengan pembubaran perusahaan.
Penggabungan usaha dapat berupa pembelian saham oleh perusahaan lain
atau pembelian aktiva neto (aktiva bruto dikurangi utang) perusahaan. Transaksi
dapat terjadi antar persero perusahaan yang bergabung atau antara perusahaan
dengan persero perusahaan yang lain. Penggabungan usaha dapat berpa
pembentukan suatu badan usaha baru untuk mengendalikan perusahaan yang
bergabung, pengalihan aktiva neto dari satu atau lebih badan usaha yang bergabung.
Penggabungan usaha dengan pembelian aktiva neto, termasuk goodwill, badan
usaha lain tanpa membeli saham tidak menimbulkan induk dengan anak
perusahaan.

5
Paragraf 05 PSAK 22 menyatakan bahwa penggabungan usaha dapat
mengakibatkan terjadinya legal merger yang sering dilakukan dalam rangka
restrukturisasi atau reorganisasi perusahaan. Legal merger mencakup merger
(penggabungan itu sendiri) dan konsolidasi (peleburan). Suatu legal merger
biasanya merupakan merger dua badan usaha melalui salah satu cara sebagai
berikut:
a. Aktiva dan kewajiban dari suatu perusahaan dialihkan ke prusahaan lain dan
perusahaan yang melakukan pengalihan tersebut dibubarkan; atau
b. Aktiva dan kewajiban dari dua atau lebih perusahaan dialihkan ke perusahaan
baru dan kedua perusahaan yang melakukan pengalihan tersebut dibubarkan.
Sementara itu, akuisisi dimaksudkan sebagai penggabungan usaha dengan
satu perusahaan untuk memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan
lainnya dengan menyerahkan aktiva tertentu, megakui utang/ kewajiban, atau
mengeluarkan saham. Dalam akuisis terdapat istilah akuisi berbalik (reverse
acquisition) apabila peralihan saham dalam rangka akuisisi sebagai bagian dari
suatu transaksi pertukaran. Perusahan tersebut mengeluarkan sahamnya yang
berhak suara dalam jumlah tertentu sehingga menyebabkan beralihnya
pengendalian perusahaan gabungan ke perusahaan yang sahamnya tidak diakuisisi.
Selain itu, sesuai dengan proses akuisisi terdapat istilah akuisisi berangsur (step by
step acquisition) apabila perolehan perusahan dilaksanakan dalam beberapa kali
transaksi.
Paragraf 08 PSAK 22 juga menyebut penyatuan kepemilikan (uniting of
interest/ pooling of interest). Istilah ini merujuk pada suatu penggabungan usaha
dengan para persero perusahaan yang bergabung menyatukan kendali atas seluruh,
atau secara efektif seluruh aktiva neto dan operasi perusahaan yang bergabung dan
selanjutnya memikul bersama semua risiko dan manfaat yang melekat pada
perusahaan gabungan sehingga tida dapat diitentifikasi perusahaan mana sebagai
pengambil alih.
Namun Paragraf 11 PSAK 22 memberikan indikasi untuk mengidentifikasi
perusahaan pengakuisisi, misalnya dengan:

6
a. Nilai wajar suatu perusahan yang bergabung lebih besar secara signifikan
daripada perusahaan lainnya. Dalam hal ini, perusahaan yang lebih besar
tersebut adalah pengakuisisi;
b. Penggabungan usaha dilakukan dengan pertukaran saham berhak suara (votting
common shares) dengan kas. Dalam hal ini, perusahaan yang membayar tunai
tersebut adalah perusahaan pengakuisisi; atau
c. Penggabungan usaha mengakibatkan manajemen suatu perusahaan
mendominasi penetuan anggota manajemen perusahaan gabungan. Dalam hal
ini, perusahaan yang dominan tersebut adalah perusahaan pengakuisisi.

2.1.1 Metode Pembelian (Purchase Method)


Akuisisi dimaksudkan sebagai penggabungan usaha dengan satu
perusahaan untuk memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan
lainnya dengan menyerahkan aktiva tertentu, mengakui utang/ kewajiban, atau
mengeluarkan saham. Dalam akuisis terdapat istilah akuisi berbalik (reverse
acquisition) apabila peralihan saham dalam rangka akuisisi sebagai bagian dari
suatu transaksi pertukaran. Perusahan tersebut mengeluarkan sahamnya yang
berhak suara dalam jumlah tertentu sehingga menyebabkan beralihnya
pengendalian perusahaan gabungan ke perusahaan yang sahamnya tidak diakuisisi.
Selain itu, sesuai dengan proses akuisisi terdapat istilah akuisisi berangsur (step by
step acquisition) apabila perolehan perusahan dilaksanakan dalam beberapa kali
transaksi.
Paragraf 17 PSAK 22 mengatur bahwa penggabungan usaha melalui akusisi
harus dipertanggungjawabkan dengan menggunakan metode pembelian.
Penggunaan metode pembelian untuk akuisisi suatu perusahaan dibukukan seperti
halnya pembelian aktiva lainnya. Hal ini dalakukan karena dalam akuisisi terjadi
transaksi pengalihan aktiva, timbulnya kewajiban atau penerbitan saham dalam
rangka memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan lain. Metode
pembelian menggunakan biaya perolehan (cost) sebagai dasar untuk mencatat
akuisisi tersebut.
Paragraf 21 PSAK 22 menerangkan lebih lanjut bahwa suatu akuisisi harus
dibukukan sebesar biaya perolehan, yaitu jumlah kas atau aktiva setara kas yang

7
dibayar atau nilai wajar (pada tanggal pertukaran) aktiva lain yang diberikan oleh
perusahaan pengakuisisi, sebagai imbalan atas perolehan kendali atas aktiva neto
perusahaan lain, ditambah biaya-biaya lain yang secara langsung dapat
diatribusikan pada akuisisi tersebut.

2.1.2 Metode Penyatuan Kepemilikan (Pooling of Interest Method)


Paragraf 13 PSAK 22 menyebutkan bahwa dalam keadaan tertentu,
mungkin sulit sekali mengidentifikasi pengakuisisi. Tidak ada pihak yang dominan
timbul dari penggabungan tersebut, akan tetapi para pemegang saham perusahaan
yang bergabung bersama-sama mengendalikan seluruh (atau secara efektif) aktiva
neto dan operasi. Di samping itu, manajeman perusahaan-perusahaan yang
bergabung menjadi bagian dari manajemen perusahaan gabungan. Akibatnya, para
pemegang saham perusahaan yang bergabung bersama-sama berbagi risiko dan
manfaat atas perusahaan gabungan tersebut. Penggabungan usaha demikian
diperlakukan sebagai penyatuan kepemilikan (uniting of interests).
Paragraf 57 PSAK 22 mengatur bahwa suatu penyatuan kepemilikan
(uniting of interests) harus dibukukan dengan menggunakan metode penyatuan
kepemilikan (pooling of interest method). Dalam menerapkan metode penyatuan
kepemilikan, unsur-unsur laporan keuangan dari peruisahaan yang bergabung untuk
periode penggabungan tersebut dan untuk periode perbandingan yang diungkapkan,
harus dimasukkan dalam laporan keuangan gabungan seolah-olah perusahaan
tersebut telah bergabung sejak permulaan periode yang disajikan tersebut. Lapoarn
keuangan suatu perusahaan tidak boleh memasukan adanya penyatuan kepemilikan
walaupun perusahaan tersebut adalah salah satu pihak yang bergabung, apalagi
penyatuan kepemilikan terjadi setelah tanggal neraca yang terakhir disajikan.
Paragraf 62 PSAK 22 menerangkan ebih lanjut bahwa pengeluaran yang
terjadi sehubungan dengan penyatuan kepemilikan harus diakuisebagai beban pada
periode terjadinya. Pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan penyatuan
kepemilikan mencakupi biaya pendaftaran dan penerbitan saham, biaya yang
timbul dari usaha memberikan informasi kepada pemegang saham, biaya konsultan,
gaji, dan biaya lain untuk karyawan yang terlibat dalam penggabungan usaha.
Pengeluaran ini juga termasuk biaya atau kerugian yang timbul akibat

8
penggabungan kegiatan perusahaan-perusahaan yang tadinya merupakan usaha
yang terpisah satu sama lain.

2.2 Ketentuan Dalam Peraturan Pemerintah


2.2.1 Ketentuan Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas
Dalam Bab VII, Pasal 102-109 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengatur tentang penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan. UU PT hanya menyatakan bahwa satu atau beberapa
perseroan dapat menggabungkan diri (merger) menjadi satu dengan perseroan yang
telah ada atau meleburkan diri (konsolidasi) dengan perusahaan lain dan
membentuk perusahaan baru.
Beberapa persyaratan penggabungan dan peleburan yang ditentukan dalam
UU PT antara lain :
1) Direksi masing-masing perseroan yang akan melakukan penggabungan/
peleburan meyusun rencana penggabungan/ peleburan usaha yang dituangkan
dalam suatu rancangan penggabungan/ peleburan yang memuat sekurang
kurangnya :
a. Nama perseroan;
b. Alasan dan penjelasan masing-masing perseroan;
c. Tata cara konversi saham dari masing-masing perseroan;
d. Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan hasil penggabungan, atau
rancangan akte pendirian perseroan baru hasil penggabungan;
e. Neraca dan perhitungan laba rugi meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir tiap
perusahaan; dan
f. Hal lainnya yang perlu diketahui persero.
2) Direksi wajib mengumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian mengenai
rencana tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan
Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) dan selanjutnya meminta persetujuan
RUPS.
3) Melaporkan rancangan penggabungan/ peleburan untuk mendapatkan
persetujuan Mnteri Keuangan.

9
4) Direksi wajib mengumumkan hasil merger dalam 2 (dua) surat kabar harian
paling lambat 30 hari sejak persetujuan Menteri Kehakiman atas perubahan
anggaran dasar, pengesahan Menteri atas akta pendirian perseroan yang baru,
pengambilalihan tersebut selesai dilakukan sejak tanggal laporan atas
pengambilalihan diterima Menteri Kehakiman.
Dalam Pasal 103 UU PT hanya menyebut bahwa pengambilalihan (akuisisi/
take over) perseroan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
Pengambilalihan dapat dilakukan baik untuk seluruh atau sebagian besar saham
yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian.
Bab IX, Pasal 114-124 UU PT mengatur tentang pembubaran perseroan
dan likuidasi. Pasal 114 menyatakan bahwa perseroan bubar karena :
1) Keputusan rapat umum pemegang saham;
2) Berakhirnya jangka waktu pendirian menurut anggaran dasar;
3) Penetapan pengadilan.
Pasal 115 menyatakan bahwa pembubaran perseroan yang ditepakan dalam
keputusan rapat umum pemegang saham diikuti dengan likuidasi oleh likuidator.
Pasal 117 menyatakan bahwa atas permohonan kejaksaan, pemegang saham,
kreditor, atau pihak yang berkepentingan, Pengadilan negeri dapat membubarkan
perseroan. Dalam pembubaran tersebut dapat ditunjuk likuidator, apabila tidak ada
penunjukan, maka Direksi bertindak selaku likuidator. Likuidator antara lain
bertugas :
1) Mendaftarkan dalam daftar perusahaan, mengumumkan dalam surat kabar
harian dan memohon untuk diumumkan dalam Berita Negara serta
memberitahukan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan;
2) Memberitahukan kepada semua kreditor;
3) Pemberesan likuidasi, yang meliputi :
a) Pencatatan dan pengumpulan kekayaan,
b) Penentuan cara pembagian kekayaan,
c) Pembayaran kepada pada kreditor,
d) Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada persero, dan
e) Tindakan lain yang perlu.
4) Bertanggung jawab pada RUPS; dan

10
5) Mengumumkan hasil akhir likuidasi.

2.2.2 Ketentuan Dalam Undang-undang Perpajakan


Penggabungan usaha dalam peraturan perpajakan diatur dalam Pasal 10 ayat
(3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Menurut ketentuan perpajakan secara umum yang digunakan adalah metode
pembelian (purchase method) yang menggunakan Harga Pasar/ Nilai Wajar.
Sedangkan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest method) dapat
digunakan dengan persyaratan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 422/KMK.04/1998 tanggal 9 September 1998 dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999 adalah sebagai
berikut :
1) Wajib Pajak yang dapat menggunakan :
a) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka
penggabungan atau peleburan usaha.
b) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran
usaha yang akan “go public” dengan melakukan penawaran umum
perdana (IPO) di bursa efek.
2) Persyaratan yang harus dipenuhi adalah :
a) Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat pemohon
terdaftar, selambat-lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, atau
pemekaran usaha dilakukan, yaitu :
- Dalam hal penggabungan atau peleburan dilakukan oleh wajib Pajak
yang menerima pengalihan harta.
- Dalam hal pemekaran usaha, diajukan oleh Wajib Pajak yang
melakukan pengalihan harta.
b) Sudah melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha terkait, termasuk
cabang/ perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak- Kantor
Pelayanan Pajak lokasi.

11
c) Laporan keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak
dilakukannya pegalihan harta, harus diaudit oleh Akuntan Publik.
3) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan
atau peleburan usaha dapat mengalihkan kerugian/ sisa kerugian fiskal,
termasuk kerugian selisih kurs badan usaha yang lama yang belum
dikompensasi dengan syarat :
a) Wajib Pajak Badan lama terlebih dahulu harus melakukanrevaluasi aktiva
tetap menurut ketentuan yang berlaku.
b) Wajib Pajak Badan Uasaha lama yang bersangkutan dalam kondisi aktif
menjalankan kegiatan usahanya.
c) Wajib pajak yang menerima pengalihan harta harus tetap aktif
menjalankan kegiatan usahanya, sekurang-kurangnya sampai 2 tahun
setelah selesainya proses penggabungan atau peleburan usaha.
4) Dalam hal terjadi kompensasi timbal balik (offset) utang piutang diantara
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan
atu peleburan usaha, maka :
a) Penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan.
b) Penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan merupakan biaya.
5) Apabila permohonan Wajib Pajak sudah lengkap, Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan proses penelitian dan konfirmasi
yang diperlukan, menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan
selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap,
jika batas waktu 1 bulan telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, maka permohonan Wajib Pajak
dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan.
6) Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, maka pengalihan harta tersebut harus
dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoleh dikenakan PPh
sesuai ketentuan yang berlaku.
7) Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana
pengalihan harta tersebut dilakukan secara prorata (penghitungan bulanan)

12
berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana yang tercantum dalam
pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta.
8) Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun
berjalan, maka :
a) PPh Pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dari jumlah
PPh Pasal 25 dari pihak-pihak yang mengalihkan.
b) Pembayarn, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan
sebelumnya, dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan/
pemotongan PPh dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan.
9) Dalam hal penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun
berjalan, maka :
a) Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/ Tahunan PPh bagi Wajib
Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau
peleburan usaha, berakhir sampai dengan Masa Pajak/ Bagian Tahun Pajak
dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha.
b) Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/ Tahunan PPh bagi Wajib
Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau
peleburan usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan
Pajak setelah pendirian badan usaha baru.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Akuisisi, Merger, Konsolidasi dan Spin-off


Akuisisi adalah suatu penggabungan usaha di mana salah satu perusahaan,
yaitu pengakuisisi (acquirer) memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi
perusahaan yang diakuisisi (acquiree), dengan memberikan aktiva tertentu,
mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham. Akuisisi Pasal 1 Ayat (11)
UU PT memberikan pengertian akuisisi atau pengambilalihan sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk
mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas Perseroan tersebut. Dalam akuisisi, tidak ada pembubaran status badan hukum
atas perusahaan yang diakuisisi oleh perusahaan yang mengakuisisi. Yang terjadi
hanya perubahan pengendalian, di mana perusahaan yang mengakuisisi sekarang
memiliki kendali atas perusahaan yang diakuisisi. Contoh akuisisi adalah dalam
kasus akuisisi PT Holcim Indonesia oleh Semen Indonesia. Semen Indonesia
sekarang memiliki kendali sejumlah nilai akusisi atas PT Holcim Indonesia. PT
Holcim Indonesia tetap merupakan badan hukum sendiri dan masih ada, hanya saja
dikendalikan oleh Semen Indonesia.
Penggabungan (merger) usaha menurut KMK 422/KMK.04/1998 adalah
penggabungan dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
bergabung. Pasal 1 Ayat (9) UU PT memberikan pengertian merger atau
penggabungan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau
lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih
karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya
status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Dalam merger, perusahaan yang menggabungkan diri, lenyap dan berakhir
statusnya sebagai badan hukum. Seluruh aktiva dan pasiva milik perusahaan
tersebut menjadi milik perusahaan yang menerima merger. Contoh merger adalah
Bank Mandiri. Pemerintah membentuk satu badan hukum baru bernama Bank

14
Mandiri. Setelah itu, Pemerintah mengamanatkan bagi Bank Ekspor Impor (Exim),
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank
Bumi Daya (BBD) yang sudah tidak sehat, untuk dimerger ke dalam Bank Mandiri.
Peleburan usaha menurut KMK 469/KMK.04/1998 adalah penggabungan
dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan usaha-badan usaha yang bergabung tersebut. Pasal 1 Ayat (10)
UU PT memberikan pengertian konsolidasi atau peleburan sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan
cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan
pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang
meleburkan diri berakhir karena hukum. Dalam konsolidasi, terdapat dua
perusahaan atau lebih yang sepakat untuk membentuk satu perusahaan baru.
Pembentukan perusahaan baru tersebut kemudian menghapuskan status badan
hukum perusahaan-perusahaan yang sepakat melakukan konsolidasi. Perusahaan
yang baru menerima seluruh aktiva dan pasiva dari perseroan yang melakukan
konsolidasi. Contoh konsolidasi misalnya PT A, PT B, dan PT C hendak
menyatukan usaha agar lebih efisien dan mengurangi persaingan. Ketiga PT
tersebut sepakat untuk melakukan konsolidasi dengan melahirkan entitas baru yang
bernama PT ABC.
Pemekaran usaha menurut KMK 211/KMK.03/2003 adalah pemisahan
badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut tanpa dilakukan likuidasi badan usaha lama. Pasal 1 Ayat (12) UU PT
memberikan pengertian spin-off atau pemisahan sebagai perbuatan hukum yang
dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh
aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada dua Perseroan atau lebih
atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada satu
Perseroan atau lebih. Dalam spin-off, perusahaan yang memisahkan diri sebagai
suatu badan hukum yang baru menerima sebagian aktiva dan pasiva dari perusahaan
awal sesuai dengan kebijakan yang ada. Status perusahaan yang lama tetap seperti
sedia kala, hanya saja aktiva dan pasiva perusahaan lama berkurang karena sebagian
diberikan kepada perusahaan yang baru.

15
3.2 Penggabungan Usaha
Pembagian akuisisi menurut Ross, Westerfield, dan Jaffe (2002) ada tiga
cara untuk melakukan akuisisi, yaitu :
a. Merger atau konsolidasi
Merger adalah bergabungnya perusahaan dengan perusahaan lain. Bidding
firm tetap berdiri dengan identitas dan namanya, dan memperoleh semua aset dan
kewajiban milik target firm. Setelah merger target firm berhenti untuk menjadi
bagian dari bidding firm. Konsolidasi sama dengan merger kecuali terbentuknya
perusahaan baru. Kedua perusahaan sama-sama menghilangkan keberadaan
perusahaan secara hukum dan menjadi bagian dari perusahaan baru itu, dan antara
perusahaan yang di-merger atau yang me-merger tidak dibedakan.
b. Acquisition of stock
Akuisisi dapat juga dilakukan dengan cara membeli voting stock
perusahaan, dapat dengan cara membeli sacara tunai, saham, atau surat berharga
lain. Acquisition of stock dapat dilakukan dengan mengajukan penawaran dari
suatu perusahaan terhadap perusahaan lain, dan pada beberapa kasus, penawaran
diberikan langsung kepada pemilik perusahaan yang menjual. Hal ini dapat
disesuaikan dengan melakukan tender offer. Tender offer adalah penawaran kepada
publik untuk membeli saham target firm, diajukan dari sebuah perusahaan langsung
kepada pemilik perusahaan lain.
c. Acquisition of assets
Perusahaan dapat mengakuisisi perusahaan lain dengan membeli semua
asetnya. Pada jenis ini, dibutuhkan suara pemegang saham target firm sehingga
tidak terdapat halangan dari pemegang saham minoritas, seperti yang terdapat pada
acquisition of stock.
Sedangkan berdasarkan jenis perusahaan yang bergabung, menurut Moin
(2003), merger dapat dibedakan menjadi :
1. Merger Horizontal
Merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam
industri yang sama dengan tujuan mengurangi persaingan atau untuk meningkatkan
efisiensi melalui penggabungan aktivitas produksi, pemasaran, distribusi, riset dan

16
pengembangan dan fasilitas administrasi. Dampak dari merger horisontal adalah
semakin terkonsentrasinya struktur pasar pada industri tersebut. Contohnya: merger
antara Bank of Tokyo dengan Mitsubishi Bank.
2. Merger Vertikal
Terjadi apabila suatu perusahaan membeli perusahaan-perusahaan hulunya
seperti perusahaan pemasoknya, dan atau perusahaan hilirnya, seperti perusahaan
distribusinya yang langsung menjual produknya ke pelanggan. Dengan demikian
merger vertikal merupakan penggabungan atau pengintegrasian dua tahapan
produksi atau distribusi. Keuntungan dari jenis merger seperti ini adalah
terjaminnya pemasokan bahan baku, penekanan biaya transaksi, terciptanya
koordinasi yang lebih baik, dan mempersulit kemungkinan masuknya perusahaan
pesaing yang baru.
3. Merger Konglomerat
Merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan yang masing-masing
bergerak dalam industri yang terkait. Merger konglomerat terjadi apabila sebuah
perusahaan mendiversifikasi bidang bisnisnya dalam memasuki bidang bisnis yang
berbeda sama sekali dengan bisnis semula. Apabila merger konglomerat dilakukan
secara terus menerus oleh perusahaan, maka terbentuklah sebuah konglomerasi.
Contoh: merger antara Viks Richardson (farmasi) dengan Procter and Gamble
(Consumer Goods).
4. Merger Ekstensi Pasar
Merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan untuk memperluas
area pasar. Adapun tujuan utamanya adalah untuk memperkuat jaringan pemasaran
bagi produk masing-masing perusahaan. Biasanya merger ekstensi pasar dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan lintas negara, dalam rangka ekspansi dan penetrasi
pasar serta untuk mengatasi keterbatasan ekspor karena kurang memberikan
fleksibilitas penyediaan produk terhadap konsumen luar negeri. Contoh: merger
antara Daimler Benz (Jerman) dengan Chrysler (Amerika Serikat).
5. Merger Ekstensi Produk
Merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan sejenis atau dalam
industri yang sama tetapi tidak memproduksi produk yang sama maupun tidak ada
keterkaitan supplier. Penggabungan usaha ini dilakukan untuk memperluas lini

17
produk masing-masing perusahaan setelah merger, perusahaan akan menawarkan
lebih banyak jenis dan lini produk sehingga akan dapat menjangkau konsumen yang
lebih luas. Merger ekstensi produk ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan
departemen riset dan pengembangan masing-masing untuk mendapat sinergi
melalui efektivitas riset sehingga lebih prodiktif dalam inovasi. Contoh: merger
antara perusahaan farmasi Upjohn (Amerika Serikat) dengan Pharmacia (Swedia).
Sedangkan beberapa jenis akuisisi menurut Gitman (2003) antara lain:
1. Akuisisi Horisontal
Adalah akuisisi perusahaan sejenis, yaitu perusahaan pembeli yang membeli
perusahaan lain yang sejenis usahanya. Biasanya akuisisi seperti ini dilakukan
karena ingin memperbesar pangsa pasar perusahaan.
2. Akuisisi Vertikal
Yaitu perusahaan membeli perusahaan lain yang bukan sejenis, tetapi
perusahaan yang dibeli akan membantu perusahaan untuk proses produksinya.
3. Akuisisi Konglomerasi
Yaitu perusahaan membeli perusahaan lain yang tidak ada hubungannya
satu sama lain. Dalam kasus ini perusahaan pembeli sudah kelebihan dana dan ingin
membuat konglomerasi perusahaan.

3.3.1 Alasan-alasan Perusahaan Melakukan Merger dan Akuisisi


Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan baik melalui
merger maupun akuisisi, yaitu :
a. Pertumbuhan atau diversifikasi
Perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran,
pasar saham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan merger maupun
akuisisi. Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jika
melakukan ekspansi dengan merger dan akuisisi, maka perusahaan dapat
mengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan.
b. Sinergi
Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi
(economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biaya
overhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar daripada jumlah
pendapatan perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketika

18
perusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis yang sama karena
fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan.
c. Meningkatkan dana
Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan
ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi
eksternal. Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang
memiliki likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam
perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan
meningkatnya dana dengan biaya rendah.
d. Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi
Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak
adanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaan
yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar
untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri dengan
perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli.
e. Pertimbangan pajak
Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan
atau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian
pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba
untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang
mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan
mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi.
Bagaimanapun merger tidak hanya dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi
berdasarkan dari tujuan memaksimisasi kesejahteraan pemilik.
f. Meningkatkan likuiditas pemilik
Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas
yang lebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas
dan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan
perusahaan yang lebih kecil.
g. Melindungi diri dari pengambilalihan
Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran pengambilalihan
yang tidak bersahabat. Target firm mengakuisisi perusahaan lain, dan

19
membiayai pengambilalihannya dengan hutang, karena beban hutang ini,
kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh bidding
firm yang berminat (Gitman, 2003).

3.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Akuisisi


Keuntungan-keuntungan akuisisi saham dan akuisisi aset adalah sebagai
berikut:
a. Akuisisi Saham tidak memerlukan rapat pemegang saham dan suara pemegang
saham sehingga jika pemegang saham tidak menyukai tawaran Bidding firm,
mereka dapat menahan sahamnya dan tidak menjual kepada pihak Bidding firm.
b. Dalam Akusisi Saham, perusahaan yang membeli dapat berurusan langsung
dengan pemegang saham perusahaan yang dibeli dengan melakukan tender
offer sehingga tidak diperlukan persetujuan manajemen perusahaan.
c. Karena tidak memerlukan persetujuan manajemen dan komisaris perusahaan,
akuisisi saham dapat digunakan untuk pengambilalihan perusahaan yang tidak
bersahabat (hostile takeover).
d. Akuisisi Aset memerlukan suara pemegang saham tetapi tidak memerlukan
mayoritas suara pemegang saham seperti pada akuisisi saham sehingga tidak
ada halangan bagi pemegang saham minoritas jika mereka tidak menyetujui
akuisisi (Harianto dan Sudomo, 2001).

Kerugian-kerugian akuisisi saham dan akuisisi aset sebagai berikut :


a. Jika cukup banyak pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui
pengambilalihan tersebut, maka akuisisi akan batal. Pada umumnya anggaran
dasar perusahaan menentukan paling sedikit dua per tiga (sekitar 67%) suara
setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi.
b. Apabila perusahaan mengambil alih seluruh saham yang dibeli maka terjadi
merger.
c. Pada dasarnya pembelian setiap aset dalam akuisisi aset harus secara hukum
dibalik nama sehingga menimbulkan biaya legal yang tinggi. (Harianto dan
Sudomo, 2001)

20
3.5 Spin-off (Pemekaran Usaha)
Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya
terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban
kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan
usaha yang lama. Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat
menggunakan nilai buku adalah:
1. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum
perdana (Initial Public Offering); atau
2. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil
pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering)
Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha dalam ranga IPO wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut apabila ingin menggunakan nilai buku
sebagai nilai pengalihannya.
1. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;
2. Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
3. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test)
Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan harta
tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan. Sementara itu, penyusutan atas harta
yang diterima dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana
tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang akan menjual
sahamnya di bursa efek, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku, harus telah mengajukan
pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering)
dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.
Jangka waktu satu tahun tersebut dapat diperpanjang karena keadaan diluar
kekuasaan Wajib Pajak dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

21
Apabila Wajib Pajak tidak melakukannya dalam jangka waktu di atas maka nilai
pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku
dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.

3.6 Perusahaan Holding


3.6.1 Pengertian Holding
Perusahaan holding sering juga disebut dengan holding company, parent
company, atau controlling company. Munir Fuady mengartikan holding company
adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau
lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan laintersebut.
Pada holding company terdapat konsentrasi saham-saham dengan tujuan untuk
mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu atau cabang perusahaan tertentu atau
dengan maksud untuk mengendalikannya.
Konsentrasi yang diinginkan dapat dicapai dengan bantuan modal asing.
Holding company merupakan perusahaan yang berdiri sendiri yang atas namanya
sendiri, mengeluarkan saham-saham badan usaha lain dan deviden yang tercapai
dengannya. Maskapai induk (moedermaatschappij ) melalui kekayaan saham-
sahamnya sebesar 40% hingga 50% dapat mengendalikan sejumlah maskapai anak
(doctermaatschappijen) yang kembali lagi melalui pemilikan saham
(aandelenbezit) menguasai maskapai-maspakai anak lainnya.
Dalam dunia bisnis, kehadiran holding company merupakan sesuatu yang
lumrah, mengingat banyak perusahaan yang telah melakukan kegiatan bisnis yang
sudah sedemikian besar dengan berbagai garapan kegiatan, sehingga perusahaan itu
perlu dipecah-pecah menurut penggolongan bisnisnya. Namun dalam pelaksanaan
kegiatan bisnis yang dipecah-pecah tersebut, yang masing-masing akan menjadi
perseroan terbatas yang mandiri masih dalam kepemilikan yang sama dengan
pengontrolan yang masih tersentralisasi dalam batas-batas tertentu; artinya
walaupun perusahaan tersebut telah dipecah-pecah dan menjadi perseroan terbatas
tersendiri; tidak otomatis terpisah mutlak dari perusahaan holding.
Untuk itu pecahan-pecahan perusahaan tersebut bersama-sama dengan
perusahaan-perusahaan lain yang mungkin timbul telah terlebih dahulu ada, dengan

22
pemilik yang sama atau minimal ada hubungan khusus, dimiliki atau dikendalikan
suatu perusahaan yang mandiri pula yaitu holding company tersebut.
Penggabungan badan usaha adalah usaha untuk menyatukan sebuah
perusahaan dengan satu atau lebih perusahaan lain ke dalam satu kesatuan
ekonomis. Mengadakan penggabungan badan usaha atau External Business
Expansion merupakan alasan pemilik perusahaan untuk lebih mengembangkan
usahanya dimasa yang akan datang dalam rangka mempersiapkan perusahaan
dalam posisi yang berdaya saing yang kuat. Suatu perusahaan melakukan
pengabungan sumber-sumber ekonomis yang dimiliki oleh perusahaan lainnya.
Penggabungan badan usaha dalam bentuk Holding Company pada
umumnya merupakan cara yang dianggap lebih menguntungkan, dibanding dengan
cara memperluas perusahaan dengan cara ekpansi investasi. Karena dengan
pengabungan perusahaan ini akan diperoleh kepastian mengenai : Daerah
pemasaran, sumber bahan baku atau penghematan biaya melalui penggunaan
fasilitas dan sarana yang lebih ekonomis dan efisien (Hadori yunus, 1990).
Holding Company dimulai sejak tahun 1889, Ketika Nem Jersey menjadi
Negara Bagian pertama yang memberlakukan Undang-undang yang mengijikkan
pembentukan perusahaan dengan tujuan utamanya memiliki saham perusahaan lain.
Menurut Bringham & Houston (2001) Holding company adalah Korporasi yang
memiliki Saham biasa perusahaan lain dalam jumlah yang cukup sehingga dapat
menggendalikan perusahaan tersebu Hadori Yunus (1990) mendefinisikan Holding
company sebagai suatu perusahaan yang dibentuk dengan tujuan khusus untuk
memiliki saham-saham dan mengendalikan operasi perusahaan lain. Sumber
pendapatan utama bagi Holding Company adalah pendapatan deviden dari saham-
saham yang dimilikinya. Akan tetapi suatu holding company bisa saja mempunyai
usaha sendiri disamping memiliki saham di beberapa perusahaan lainnya, atau biasa
disebut dengan “Operating Holding Company”
Sedangkan perusahaan-perusahaan yang manajemen dan operasionalnya
dikendalikan oleh perusahaan induk disebut dengan sebagai Perusahaan Anak
(Subsidiary Company). Hubungan antara perusahaan induk dan perusahaan anak
disebut Hubungan Affiliasi.

23
3.6.2 Proses Pembentukan Holding Company
Secara Umum Proses pembentukan Holding Company dapat dilakukan
dengan tiga prosedur, yaitu :
1. Prosedur Residu
Dalam hal ini perusahaan asal dipecah pecah sesuai masing masing sektor
usaha. Perusahaan yang dipecah pecah tersebut telah menjadi perusahaan yang
mandiri, sementara sisanya (residu) dari perusahaan asal dikonversi menjadi
perusahaan holding, yang juga memegang saham pada perusahaan pecahan
tersebut dan perusahaan-perusahaan lainnya jika ada.
Menurut Winardi, holding company ialah perusahaan yang menguasai
perusahaan lain. Seringkali orang mengatakan bahwa sebuah "holding company
is a company which holds other companies". Selanjutnya menurut Komaruddin
yang dimaksud dengan holding company ialah suatu badan usaha yang didirikan
dengan tujuan untuk menguasai sebagian besar saham dari badan usaha yang
akan dipengaruhinya. Pembentukan holding company melalui prosedur residu;
menurut Munir Fuady digambarkan sebagai berikut:

Keterangan Diagram:
X : Perusahaan asal
Xi : Bagian dari bisnis perusahaan asat yang tidak perlu
dimandirikan.
X2 : Bagian dari bisnis perusahaan yang pertu dimandirikan
P, Q, R : Pecahan dari perusahaan X2 yang sudah mandiri
A, B, C : Perusahaan yang tetah tertebih dahulu ada, tetapi dengan
kepemilikan yang sama/berhubungan dengan pemilik X,
dan sahamnya akan dialihkan ke X.

24
X3 : Perusahaan holding yang terbentuk akibat proses residu.
2. Prosedur Penuh
Prosedur penuh ini sebaiknya dilakukan jika sebelumnya tidakterlatu
banyak terjadi pemecahan/pemandirian perusahaan, tetapi rmasing-masing
perusahaan dengan kepemilikan yang sarna/berhubungan saling terpencar-
pencar, tanpa terkonsentrasr dalam suatu perusahaan holding. Dalam hal ini,
yang menjadi perusahaan holding bukan sisa dari perusahaan asal seperti pada
prosedur residu, tetapi perusahaan penuh dan mandiri. Perusahaan mandiri cajon
perusahaan holding ini dapat berupa :
a. Diambil salah satu dari perusahaan yang sudah acta tetapi masih dalam
kepemilikan yang sarna atau berhubungan, ataupun
b. Diakuisisi perusahaan yang lain yang sudah terlebih dahulu ada, tetapi dengan
kepemilikan yang berlainan dan tidak mempunyai keterkaitan satu sarna lain.
Pembentukan perusahaan holding lewat prosedur penuh menurut Munir
Fuady digambarkan sebagai berikut :

Keterangan Diagram:
A, B, C, D : Perusahaan-perusahaan dengan kepemilikan yang samal
saling berhubungan.
X : Perusahaan baru dibentuk yang dipersiapkan untuk
menjadi perusahaan holding.
Y : Perusahaan lain dengan kepemilikan yang berbeda/tidak
saling berhubungan.
_____ : Saham perusahaan anak yang dipegang oleh perusahaan
holding.
Tipe A : Tipe pembentukan perusahaan baru
Tipe B : Tipe pengambitan perusahaan yang sudah ada tetapi masih

25
dalam kepemilikan yang sama atau saling berhubungan.
Tipe C : Tipe pengakuisisi terlebih dahulu perusahaan yang sudah
ada dan dengan kepemilikan yang berlainan/tidak saling
berhubungan.
3. Prosedur Terprogram
Dalam prosedur ini pembentukan perusahaan holding telah direncanakan
sejak awal start bisnis. Karenanya, perusahaan yang pertama sekali didirikan
dalam groupnya adalah perusahaan holding.Kemudian untuk setiap bisnis yang
dilakukan akan dibentuk atau diakuisisi perusahaan lain. dimana perusahaan
holding sebagai pemegang saham biasanya bersama-sama dengan pihak lain
sebagai partner bisnis. Dalam hal ini. jurnlah perusahaan baru sebagai anak
perusahaan dapat terus berkembang jumlahnya seirama dengan perkembangan
bisnis dari group usaha yang bersangkutan.
Pembentukan holding company terprogram, menurut Munir Fuady
digambarkan sebagai berikut. :

Keterangan Diagram:
A : Calon Perusahaan Holding
A1 : Perusahaan Holding
B,C,D : Perusahaan baru dibentuk (Anak Perusahaan)
x,Y,Z : Perusahaan lain dengan kepemilikan yang berbeda/tidak
saling berhubungan.
B,C,0 : Memegang saham dari awal terbentuk perusahaan.
X,Y,Z : Pemegang saham secara akuisisi.

26
3.6.3 Kelebihan dan Kekurangan Perusahaan Holding
Ciri-ciri organisasi holding company, adalah terdiri daripada dua orang atau
lebih, ada kerjasama, ada komunikasi antar satu anggota dengan yang lain, ada
tujuan yang ingin dicapai. Sejalan dengan tujuan pembentukan Holding, maka
program ini akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Mendorong proses penciptaan nilai , market value creation dan value
enhancement.
2. Mensubstitusi defisiensi manajemen di anak-anak perusahaan.
3. Mengkoordinasikan langkah agar dapat akses ke pasar internasional.
4. Mencari sumber pendanaan yang lebih murah.
5. Mengalokasikan kapital dan melakukan investasi yang strategis.
6. Mengembangkan kemampuan manajemen puncak melalui cross-fertilization.
Banyak keunggulan dan kelemahan holding company adalah identik dengan
setiap organisasi berskala besar. Apakah perusahaan itu ditata berdasarkan divisi
atau dengan cabang-cabang yang dipertahankan sebagai perusahaan terpisah tidak
mempengaruhi alasan dasar untuk menjalankan operasi multi produk dan multi
pabrik bersekala besar. Akan tetapi seperti yang akan kita lihat nanti, penggunaan
holding company untuk mengendalikan operasi bersekala besar mempunyai
sejumlah keunggulan dan kelemahan yang nyata. Bringham & Houston (2001)
menguraikan lebih jauh tentang keunggulan dan kelemahan suatu Holding
Company sebagai berikut :
Keunggulan Holding Company :
a. Pengendalian dengan kepemilikan sebagian. Melalui operasi holding company,
sebuah perusahaan dapat membeli 5, 10, atau 50% saham perusahaan lain.
Kepemilikan sebagian (Fractional ownership) tersebut mungkin sudah
mencukupi untuk dapat mengendalikan secara efektif operasi perusahaan yang
sahamnya dibeli. Pengendalian kerja sering memerlukan pemilikan saham biasa
lebih dari 25 %. Akan tetapi kepemilikan tersebut bisa saja hanya 10%. Seorang
ahli keuangan menyatakan bahwa sikap manajemenlebih penting daripada
jumlah saham yang dimiliki : “Jika manajemen berpendapat bahwa Anda dapat
mengendalikan perusahaan tersebut, maka Andalah yang mengendalikan”.
Selain itu, pengendalian berdasar marjin yang sangat kecil dapat dipertahankan

27
melalui hubungan dengan pemegang saham yang besar diluar kelompok holding
company bersangkutan.
b. Pemisahan Resiko. Karena berbagai perusahaan operasi (operating company)
dalam sistem holding company merupakan badan hukum terpisah, maka
kewajiban dalam setiap unit terpisah dari setiap unit lainnya. Karena iitu
kerugian fatal yang yang dialami suatu unit holding company tidak bisa
dibebankan sebagai klaim atas aktiva unit lainnya. Akan tetapi meskipun
gambaran umumnya demikian, namun hal itu tidak selalu berlaku. Pertama,
Perusahaan induk (Parent company) mungkin saja merasa wajib untuk
menyelesaikan utang anak perusahaan, meskipun secara hukum tidak terikat
untuk itu, demi menjaga nama baik dan mempertahankan para pelanggan.
Kelemahan Holding Company :
a. Pajak berganda parsial. Apabila holding company memiliki sekurang-kurangnya
80 % saham anak perusahaan yang mempunyai hak suara, maka peraturan pajak
Amerika Serikat memperbolehkan penyerahan surat pemberitahuan pajak
terkonsolidasi, yang berarti bahwa yang diterima perusahaan induk tidak kena
pajak. Akan tetapi, jika kepemilikan saham kurang dari 80%, maka surat
pemberitahuan pajak tidak dapat dikonsolidasikan. Perusahaan yang memiliki
lebih dari 20% tetapi kurang dari 80% dividen yang diterima, sedang perusahaan
yang memiliki kurang dari 20% hanya dapat mengurangkan 70% dari dividen
yang diterima. Pengenaan pajak berganda parsial ini sedikit banyak mengurangi
keunggulan holding company yang dapat mengendalikan anak perusahaan
dengan kepemilikan terbatas, tetapi apakah denda pajak tersebut lebih besar dari
keunggulan holding company lainnya merupakan masalah yang harus ditentukan
kasus per kasus.
b. Mudah dipaksa untuk melepas saham. Relatip mudah untuk menuntut
dilepaskannya anak perusahaan dari holding company apabila kepemilikan
saham itu ternyata melanggar Undang-undang antitrust. Namun, Jika
keterpaduan operasi sudah terjadi akan jauh lebih sulit untuk memisahkan kedua
perusahaan tersebut setelah bertahun-tahun menjalin hubungan yang berarti
bahwa kemungkinan divestitur secara paksa akan diperkecil.

28
3.6.3 Perencanaan Pajak Perusahaan Holding
Holding Company atau perusahaan induk biasa dipakai perusahaan
multinasional dalam berinvestasi untuk memegang saham anak perusahaan. Bagi
investor, baik asing atau asal Indonesia, holding company dapat digunakan untuk
berinvestasi di Indonesia. Selain karena alasan bisnis, penghindaran pajak dapat
dilakukan dengan memilih holding company di lokasi yang tepat, di Indonesia atau
negara lain. Bank Indonesia belum ini bahkan merencanakan kewajiban holding
company di Indonesia untuk bank asing. Lantas, permasalahan dan penghindaran
pajak apa yang dapat terjadi serta dimanakah lokasi holding company yang paling
menguntungkan dalam hal pajak?
1. Tax Treaty dan Holding Company
Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat
mempermudah dan mendorong investasi asing di Indonesia dengan
menghilangkan perpajakan berganda (double taxation) dan membagi hak
pemajakan untuk jenis penghasilan tertentu antara dua negara. Namun Tax
Treaty juga memberi kesempatan bagi investor untuk menggunakan holding
company di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia dan memperoleh
keuntungan pajak.
Data BKPM beberapa kali menunjukkan bahwa investor terbesar di
Indonesia berasal dari Singapura, Belanda hingga British Virgin Islands. Negara
tersebut sebagai offshore financial center biasa menjadi lokasi holding company.
Hong Kong bahkan akan menjadi lokasi menarik bagi holding company untuk
Indonesia karena Tax Treaty Indonesia dan Hong Kong telah diratifikasi.
2. Double Non Taxation
Holding company di negara mitra P3B dapat digunakan untuk memiliki
saham perusahaan di Indonesia dan menurut Tax Treaty, pajak penghasilan atas
penjualan saham berupa capital gain atas pengalihan saham dapat tidak terutang
di Indonesia dan terutang di negara mitra P3B. Namun beberapa negara mitra
P3B, yang menjadi lokasi holding company, tidak mengenakan pajak atas
penghasilan capital gain dari penjualan saham sehingga capital gain tersebut
sama sekali tidak dikenakan pajak (double non taxation). Hal ini dapat dilakukan
perusahan multinasional dengan beberapa lapisan holding company.

29
Permasalahan double non taxation ini menjadi sorotan di India pada kasus
Vodafone dimana atas penjualan saham perusahaan India, pemegang saham
dengan menggunakan holding company di Mauritius berusaha mendapatkan
keuntungan dari Tax Treaty yang berujung pada double non taxation.
Berdasarkan Tax Treaty India dan Mauritius, hak pemajakan atas capital gain
dari penjualan saham tersebut berada di Mauritius sedangkan Mauritius tidak
mengenakan pajak atas capital gain. Holding company di Mauritius sendiri
merupakan holding company lapisan kedua dibawah holding company lapisan
pertama yang berada di negara lain.
Otoritas pajak India berusaha mengenakan pajak atas capital gain tersebut
dan beralasan bahwa India mempunyai hak pemajakan atas penjualan saham
tersebut. Kasus Vodafone berujung pada sengketa pajak yang akhirnya
dimenangkan oleh wajib pajak namun menyadarkan pemerintah India akan
permasalahan double non taxation dan berusaha memperkuat peraturan atas
penghindaran pajak (anti avoidance rule). Struktur serupa kasus Vodafone
tentunya juga dapat terjadi di Indonesia.
Keuntungan tambahan dari holding company adalah adanya participation
exemption di negara mitra P3B sehingga dividen yang diterima holding
company hanya dikenakan di Indonesia sesuai Tax Treaty dan tidak lagi
dikenakan di negara mitra P3B, lokasi holding company.
Holding company dalam perusahaan multinasional juga dapat berfungsi
sebagai shared service center yang memberikan intra-group services seperti jasa
manajemen, treasury atau jasa pendukung lainnya. Berdasarkan Tax Treaty,
dengan syarat tertentu, Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan
jasa tersebut karena negara mitra P3B mempunyai hak pemajakan atas
penghasilan jasa tersebut. Kenyataannya, negara mitra P3B yang menjadi lokasi
holding company dapat memberikan pembebasan pajak atas penghasilan dari
jasa tersebut sehingga penghasilan dari jasa tersebut tidak dikenakan pajak
dimanapun (double non taxation).
3. Anti Avoidance Rule di Indonesia
Indonesia sudah memiliki peraturan untuk mengatasi penghindaran pajak
seperti terdapat dalam pasal 18 UU PPh. Pemerintah telah menerbitkan

30
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. 61 dan 62 Tahun 2009 untuk
memperketat pemberian keuntungan Tax Treaty kepada pihak yang berhak
mendapatkannya (beneficial owner) namun tidak mengatur rinci atas persyaratan
seperti dalam hal penghasilan yang dikenakan pajak di negara mitra P3B dengan
tarif 0%, jumlah pegawai serta outsourced management dari holding company.
Beberapa negara memasukkan klausa tentang anti avoidance rule dalam Tax
Treaty untuk mencegah penyalahgunaan Tax Treaty. Hal ini dapat diterapkan
oleh Indonesia terutama dalam renegosiasi Tax Treaty.
Meskipun pemerintah memasukkan ketentuan tentang tax haven dalam hal
SPV sebagai holding company untuk memperoleh saham perusahaan di
Indonesia seperti dijelaskan dalam Pasal 18(3c) UU PPh dan PMK No.
258/PMK.03/2008 namun sampai sekarang tidak ada kejelasan definisi tax
haven.
Holding Company di Indonesia Berbeda dengan negara lain seperti
Singapura, Hong Kong atau Belanda, holding company di Indonesia, tetap
dikenakan pajak atas pengalihan saham. PPh atas deviden tidak dikenakan atas
holding company jika memiliki saham lebih dari 25 persen namun terdapat
permasalahan lain dalam hal merger dan akuisisi selain PPh penjualan saham
yaitu PPN atas pengalihan asset dan BPHTB.
Akan lebih menguntungkan untuk mendirikan holding company di negara
mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia karena keuntungan pajak dari
pembebasan pajak hingga double non-taxation. Pemerintah perlu membuat
peraturan anti avoidance rule yang lebih kuat dalam perpajakan internasional
namun perlu juga membuat peraturan yang lebih baik bagi holding company di
Indonesia.

3.6.4 Upaya Pemerintah Dalam Mengurangi Penghindaran Pajak Oleh


Perusahaan Holding
Penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan global di Uni Eropa cukup
besar nilainya. Namun apakah di Indonesia sendiri penghindaran pajak seperti yang
dialami negara-negara di Uni Eropa khususnya Inggris juga terjadi. Perlu
pembuktian untuk mengetahui seberapa besar perusahaan global di Indonesia

31
melakukan penghindaran pajak. Pembuktian itu pun tidaklah mudah namun bisa
dilakukan. Berikut ini adalah upaya pemerintah membuktikan penghindaran pajak
yang dilakukan perusahaan holding.
Pertama, benchmarking kewajaran nilai biaya beban umum seperti royalti
offshore licensing dan jasa manajemen. Apa ada perbedaan tarif jasa manajemen
dan royalti antara Indonesia dengan negara lain untuk perusahaan yang sama?
Perusahaan consumer goods di India hanya membayar royalti 1,4 sampai 3,15
persen di tahun 2018, sementara di Indonesia antara 5-8 persen. Biaya royalti dan
jasa manajemen yang tinggi bisa dianggap sebagai dividen, selain tentunya
merugikan investor minoritas.
Kedua, perlu ada aturan pencabutan izin suatu usaha Penanaman Modal
Asing jika dalam waktu sekian tahun rugi terus menerus tapi terus beroperasi.
Ketiga, meninjau ulang perjanjian perhindaran pajak berganda (P3B) dengan
negara-negara tempat domisili holding company yang memiliki anak usaha di
Indonesia, seperti Singapura, Jepang, Korea, China dan negara Eropa.
Keempat, perlu kesepakatan pertukaran data keuangan perbankan dengan
negara anggota OECD, untuk mengejar data keuangan para penghindar pajak,
seperti yang dilakukan parlemen Uni Eropa. Kelima, pembatasan tarif bunga
pinjaman ke perusahaan induk.
Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebelum melepas
jabatannya mengatakan, ada ribuan perusahaan multinasional yang tidak
menjalankan kewajibannya kepada negara. Agus Marto menyebut hampir 4.000
perusahaan tidak membayar pajaknya selama tujuh tahun.
Di Indonesia, peningkatan pembayaran royalti ke perusahaan induk (parent
company) berpotensi mengurangi PPh badan yang harus dibayar perusahaan. Dari
laporan keuangan di BEI, sebuah perusahaan consumer goods harus membayar
royalti kepada holding company di Belanda, dari 3,5 persen meningkat ke 5 sampai
8 persen mulai tahun 2013-2015.
Asumsi omset tahun 2013-2015, consumer goods tersebut stagnan di angka
Rp 27 triliun, dengan kenaikan royalti dari 3,5 persen menjadi 8 persen, berarti ada
kenaikan royalti sebesar 4,5 persen dikalikan Rp 27 triliun atau sekitar Rp 1,215
triliun. Potensial loss PPh badan tahun 2015 adalah Rp 1,215 triliun dikalikan 25

32
persen atau sebesar Rp 303 milyar. Hal ini menurut aturan adalah legal namun
kurang adil jika dilihat dari sisi pajak bagi negara sumber penghasilan, karena 8
persen harga produk dibayar rakyat Indonesia lari ke royalti holding company.
Apakah ada penghindaran pajak di Indonesia, Sangat mungkin, karena banyak
perusahaan global yang juga beroperasi di Indonesia.

33
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
menurut ketentuan perpajakan secara umum yang digunakan adalah metode
pembelian (purchase method) yang menggunakan Harga Pasar/ Nilai Wajar.
Sedangkan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest method) dapat
digunakan dengan persyaratan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor: 422/KMK.04/1998 tanggal 9 September 1998 dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor: SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999. Dalam hal
pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, maka pengalihan harta tersebut harus dinilai dengan Harga
Pasar dan keuntungan yang diperoleh dikenakan PPh sesuai ketentuan yang
berlaku.

4.2 Saran
Berdasarkan analisis pembahasan dan kesimpulan dalam makalah ini maka
saran penulis atas kombinasi bisnis dan likuidasi di indonesia adalah perusahaan
harus memilih alternatif kombinasi bisnis ataupun likuidasi yang tepat atas
perusahaan yang sedang dijalankan. Karena akuisisi, merger, spin –off, dan maupun
bentuk lainnya akan berhadapan dengan aspek hukum dan aspek pajak. Oleh karena
itu manajemen perusahaan harus mempertimbangkan secara tepat tindakan yang
kan dilakukan terkait hal tersebut. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan oelh karena itu saran yang bersifat
membangun atas makalah ini sangat penulis harapkan sebagai bahan evaluasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Abdul, Moin. (2003). Merger, Akusisi dan Divestasi. Jilid 1. Yogyakarta:
Ekonisia
Brigham, Eugene.F dan Joel F. Houston. (2001). Manajemen Keuangan. Edisi.
Kedelapan Buku 2. Jakarta: Erlangga
Gitman, Lawrence J. 2003. Principles of Managerial Finance, 10th ed.,.
International Editions Financial Series. Boston: Addison-Wesley.
Hadori, Yunus. (2000). Akuntansi Keuangan Lanjutan, Edisi pertama,.
Yogyakarta: BPFE
Harianto dan Sudomo. (2001). Perangkat dan Analisis Investasi di Pasar Modal
Indonesia. Jakarta: PT. Bursa Efek Indonesia.
Ross, Westerfield and Jaffe. (2002). Corporate Finance, International edition.
New York: McGraw-Hill.

Undang-Undang:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 422/KMK.04/1998
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.42/1999

Sumber Internet:
http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf
http://www.pajak.go.id/content/upaya-pembuktian-penghindaran-pajak-di-
indonesia

35

Anda mungkin juga menyukai