Anda di halaman 1dari 25

KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN SERTA

KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Etika dan Hukum Bisnis

Disusun oleh
kelompok 2 Kelas Manajemen B 2022 :

ANUGRAH PUTRA MUNGGARAN : 2202010077


SESEP MAULANA : 2202010061
TITA LESTARI INTAPURA : 2202010063
ALDI RAHMAN FERMANA : 2202010049
SITI AISYAH : 2202010052
SALMA JAMILATUN SA’DIAH : 2202010041
NABILA DWI PUTRI : 2202010075
DE HUSNI MUBAROQ : 2202010064

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PERJUANGAN TASIKMALAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kesempatan serta rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya dalam mata kuliah etika dan hukum bisnis.

Makalah dengan judul “Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan Serta Kewajiban


Karyawan dan Perusahaan” ini telah penulis susun secara maksimal dengan bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu, penulis banyak berterima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya selama ini.

Karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu, sangat mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Terima Kasih.

Tasikmalaya, Maret 2023

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2
A. Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan ............................................. 2
B. Maksimalisasi Keuntungan .................................................................. 2
C. Masalah Pekerja Anak ......................................................................... 5
D. Revalitasi Keuntungan ......................................................................... 7
E. Manfaat Bagi Stakeholders .................................................................. 9
1. Definisi stakeholders
2. Manfaat bagi stakeholders
F. Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan ....................................... 11
1. Tiga kewajiban karyawan yang penting
2. Melaporkan kesalahan perusahaan
G. Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan ....................................... 14
1. Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi
2. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja
3. Kewajiban memberi gaji yang adil
4. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan
semena-mena

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 21


A. Simpulan .............................................................................................. 21
B. Saran .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan sebuah perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan atau laba


yang dapat dipergunakan untuk kelangsungan hidup. Mendapatkan keuntungan atau
laba dan besar kecilnya laba sering menjadi ukuran kesuksesan suatu manajemen. Hal
tersebut didukung oleh kemampuan manajemen dalam melihat kemungkinan dan
kesempatan di masa yang akan datang.
Manajemen dituntut untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang
menunjang terhadap pencapaian tujuan suatu perusahaan serta mempercepat
perkembangan perusahaan. Manajemen memerlukan suatu perencanaan dalam
perusahaan untuk mencapai tujuannya tersebut. Ukuran yang sering dipakai untuk
menilai sukses atau tidaknya manajemen suatu perusahaan adalah dari laba yang
diperoleh perusahaan.

B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dari keuntungan sebagai tujuan perusahaan ?


b. Apa itu maksimalisasi keuntungan ?
c. Apa itu masalah pekerja anak ?
d. Apa itu relativasi keuntungan ?
e. Apa saja manfaat bagi stakeholders ?
f. Apa saja kewajiban karyawan terhadap perusahaan ?
g. Apa saja kewajiban perusahaan terhadap karyawan ?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui keuntungan sebagai tujuan perusahaan.


b. Untuk mengetahui maksimalisasi keuntungan.
c. Untuk mengetahui apa itu masalah pekerja anak.
d. Untuk mengetahui apa itu relativasi keuntungan.
e. Untuk mengetahui manfaat bagi stakeholders.
f. Untuk mengetahui kewajiban karyawan terhadap perusahaan.
g. Untuk mengetahui kewajiban perusahaan terhadap karyawan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan

Keuntungan termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa


secara percuma tidak merupakan bisnis. Menawarkan sesuatu dengan percuma masih
bisa dianggap bisnis, selama terjadi dalam rangka promosi, untuk memperkenalkan
sebuah produk baru atau untuk mengiming-iming publik.

Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan


keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang
memakai sistem keuangan. Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus
memperoleh keuntungan financial. Robert Solomon mengatakan, bila ia menekankan
bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu transaksi moneter. Profit
selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, di mana kedua belah pihak menggunakan
uang.

Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang yang
mempergunakan uang. Untuk sebagian perolehan profit tergantung juga pada factor
mujur atau sial. Pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi.
karena itu diadakannya transaksi keuangan yang bisa menghasilkan keuntungan, selalu
mengandung juga resiko untuk mengalami kerugian. Jika disini kita berefleksi tentang
profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan
kerugian.

Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas,
kapitalisme meliputi tiga unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek pencarian
keuntungan, dan kompetisi dalam system ekonomi pasar bebas.

Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa


bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Perspektif baik atau buruk secara
moral selalu muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja.
Tetapi perusahaan sebagai organisasi for profit menampilkan lebih banyak masalah etis
dan bobot moralnya sering kali lebih berat. Kalau keuntungan menjadi tujuan bisnis,
pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas saja, guna mencapai tujuannya
dengan lebih cepat dan lebih mudah. Tetapi hal seperti itu tidak boleh dilakukan dan
dengan itu kita menjumpai kenyataan yang disebut etika.

B. Maksimalisasi Keuntungan

2
3

Memaksimalkan tingkat keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan,


dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis karena dalam keadaan semacam
itu karyawan diperalat begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan,
semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga
karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena
alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Pada Abad ke-18
filsuf asal Jerman Immanuel Kant telah melihat bahwa menghormati martabat manusia
sama saja dengan mem perlakukan dia sebagai tujuan. Menurut immanuel Kant prinsip
etis yang mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut : “Hendaklah memperlakukan
manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana
belaka”.

Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen


ekonomi. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan,
dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Jika keuntungan menjadi satu-
satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu,
termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat
alat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai
manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar kita selalu harus
menghormati martabat manusia. Dalam macam-macam situasi, seorang manusia
dipakai demi tercapainya tujuan orang lain. Direktur mempergunakan sekretarisnya
demi tujuannya. Dan semua karyawan dalam perusahaan dipekerjakan untuk
merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping membantu untuk mewujudkan
tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga sebagai tujuan sendiri.
Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka. "Sarana" dalam arti jalan
yang menuju ke tujuan. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk
mencapai tujuan. Misalnya mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman
serta sehat diberi gaji yang pantas.

Para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai


tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh
ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya
dimaksud sebagai sekedar model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah
kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil. Salah besar, kalau orang mengukurnya
dengan kategori-kategori etika. Model semacam itu selalu berjalan pada taraf
abstrak, artinya dengan tidak memperhatikan sekian banyak faktor yang membentuk
kenyataan konkret, termasuk kedudukan serta keadaan para karyawan dalam suatu
perusahaan. Karena itu strategi manajemen yang berdasarkan model ini tidak boleh
bertentangan dengan kebijakan yang melindungi hak karyawan, umpamanya. Dalam
kenyataan konkret, strategi ini tidak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan hak dan peraturan yang berlaku.

Penjelasan para ekonom yang bernada protes ini dapat dimaklumi. Jika
mereka berbicara tentang maksimalisasi keuntungan, hal itu tidak perlu dimengerti
4

secara konkret, sampai yang meliputi semua seluk beluk kegiatan ekonomi, apa arti
bertentangan dengan norma moral. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan masa
lampau. Sejarah mencatat bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat
dan diperas dengan cara sangat tidak manusiawi. Industri sebagai cara berproduksi
dengan memakai mesin pada skala besar-besaran merupakan fenomena baru pada
waktu itu. Untuk menjalankan mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah pertanian yang
miskin. Keadaan ini untuk pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan
terutama berkembang di bidang tekstil (katun dan wol), baja, dan pertambangan
batubara. Dari 1760 sampai 1830 Revolusi Industri praktis terbatas pada Inggris
saja.Untuk memaksimalkan keuntungan, tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh
diperalat upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada
jaminan kesehatan, jika buruh jatuh sakit ya sering diberhentikan, dalam keadaan lain
pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena, banyak dipakai tenaga wanita
dan anak di bawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi
dan mereka tidak mudah memberontak, dan seterusnya. Pada awal industrialisasi
kaum buruh bekerja dalam sweatshops (harfiah tempat keringat), yaitu tempat kerja
dimana mereka harus bekerja dalam kondisi tidak pantas dan dengan imbalan terlalu
rendah.

Gerakan sosialisme berhasil sedikit demi sedikit memperbaiki nasib kaum


buruh. Yang dalam hal ini menjadi sarana ampuh adalah serikat buruh dengan
bersatu kaum buruh bisa menuntut haknya. Serikat-serikat buruh yang pertama
terbentuk juga di Inggris, tempat persemaian untuk Revolusi Industri. Mula-
mula pemerintah dan industri bersikap curiga dan bahkan bermusuhan. Gerakan
organisasi buruh berkembang sebagai kekuatan politik dengan terbentuknya Partai
Sosialis. Lama-kelamaan dihasilkan perbaikan bagi kaum buruh. Di Inggris pada
1847 ditentukan peraturan hukum yang berhasil dengan efektif membatasi jam kerja
dalam pabrik untuk wanita dan anak sampai 10 jam perhari. Marx dan Engels menyebut
"theTen Hours Bill" ini dalam Manifesto Komunis, tetapi peraturan ini oleh mereka
tentu tidak dinilai menyentuh akar penindasan kaum buruh. Di Belanda pada 1814 yang
melarang anak di bawah umur 12 tahun bekerja (di Belanda selalu dipandang sebagai
permulaan sistem jaminan sosial dengan nama "het kinderwetje van Van
Houten").Tahun 1920-an International Labour Organization (ILO) yang baru
terbentuk ,menentukan sebagai standar bagi para pekerja 8 jam sehari dan 48 jam
seminggu. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Halnya dalam suatu perusahaan, semua karyawan dalam perusahaan


dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping itu juga untuk
membantu mewujudkan tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga
sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka yang
dimanfaatkan hanya untuk mencapai tujuan semata. Mereka harus dipekerjakan dalam
kondisi kerja yang aman serta sehat dan harus diberikan gaji yang sesuai dengan apa
yang mereka kerjakan dan mempunyai pengaruh besarnya bagi perusahaan.
5

Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Disini etika tidak diangkat
bicara, tetapi manusia tidak pernah boleh diperalat dan hal itu pasti terjadi, bila
keuntungan dijadikan satu-satunya tujuan perusahaan. Para ekonom menjelaskan
bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti
secara harfiah dan ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi
keuntungan hanya dimaksud sebagai sebagai suatu model ekonomis yang diharapkan
akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil.

Dalam hal ini juga kita tidak boleh melupakan masa lampau. Sejarah mencatat
bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara yang
tidak manusiawi. Para buruh diberi upah yang sangat rendah, hari kerja yang sangat
panjang, tidak ada jaminan keselamatan para pekerja, jika buruh sakit langsung
diberhentikan dengan semena-mena, banyaknya tenaga anak dibawah umur dan para
wanita.

Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan


usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh
berlangsung dalam kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di
Inggris dan negara-negara barat lainnya. Dalam zaman pasca komunis sekarang hal itu
mendesak dengan cara baru. Suatu proses maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah
model ekonomis yang abstrak yang mengakibatkan ketidak beresan etis yang baru.

C. Masalah Pekerja Anak

Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dibawah
umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya,
“dibawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Pekerjaan anak
menjadi suatu masalah etis yang serius dalam zaman industrialisasi.

Dalam convention on the rights of the child yang diterima dalam sidang umum
PBB pada tahun 1989 diserahkan kepada masing-masing Negara anggota untuk
“menetapkan usia minimum atau usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan
kerja” [pasal 32,2(a)]. Organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) pada tahun 1973
mengeluarkan konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Disitu
negara-negara anggota ILO dianjurkan untuk meningkatkan usia minimum. Sebagai
patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk
pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru
mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1999 dan menetapkan usia minimum pada
15 tahun.

Dalam etika tidak cukup kita mensinyalir saja sikap negatif yang agak umum
terhadap anak pekerja. Kita juga harus mengetahui mengapa pekerjaan yang dilakukan
oleh anak perlu dianggap tidak etis. Pekerjaan anak ditolak terutama karena dua alasan.
Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Kita melanggar
6

hak anak, jika kita menuntut dari mereka apa yang kita tuntut dari orang dewasa. Karena
belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau belum sanggup menjalankan
kebebasannya. Anak yang bekerja tidak mendapatkan pendidikan disekolah dan karena
itu mereka dirugikan seumur hidup. Tidak pernah mereka bisa keluar dari kehidupan
bodoh dan miskin. Sering kali terutama anak perempuan di sini menjadi korban, karena
oleh orang tuanya dinilai tidak membutuhkan pendidikan di sekolah. Anak-anak dipilih
sebagai pekerja karena tenaga mereka murah dan menguntungkan bagi bisnis. Oleh
sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga hak anak, karena
mengeksploitasi tenaga mereka. Mereka berhak dilindungi terhadap segala upaya
eksploitasi, karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.

Alasan kedua menegaskan bahwa mempekerjakan anak merupakan cara


berbisnis yang tidak adil. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya
produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang adil terhadap
rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap
hal itu cara berproduksi yang tidak etis.

Karena alasan-alasan tadi mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan tetapi,
di sini etika tidak boleh menjadi keras. Seandainya anak tidak bekerja, hal itu tidak
berarti ia akan masuk sekolah dan masa depan lebih baik terjamin baginya. Pekerjaan
mereka kadang-kadang mempunyai segi positif juga, karena dengan bekerja anak bisa
belajar dalam arti memperoleh keterampilan tertentu. Lagi pula, pekerjaan itu bisa di
jalankan dalam keadaan yang tidak sama. Kalau anak bekerja dalam keadaan sehat dan
dengan pembayaran cukup lumayan, nasibnya harus kita nilai positif, ketimbang anak
yang bekerja dalam pertambangan dimana sirkulasi udara sangat buruk, hari kerja
sangat panjang dan pembayaran sangat rendah. Tidak semua kasus pekerja anak boleh
disamakan. Pertimbangan-pertimbangan utilitaristis ini pasti harus diikutsertakan
dalam penilaian etis tentang pekerja anak.

Sekitar pertengahan tahun 1990-an perusahaan multinasional mendapat kritik


pedas dari media komunikasi, karena mempekerjakan anak dibawah umur dalam proses
produksinya. Salah satu perusahaan yang terkena imbasnya adalah perusahaan Nike.
Hal tersebut terjadi setelah Nike dituduh mempekerjakan anak-anak dipabrik asia, yang
harus bekerja dalam kondisi buruk dengan upah rendah.

Cara untuk mengatasi masalah pekerja anak:

● Kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen.

● Kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan, dimana antara lain
ditegaskan bahwa perusahaan tidak mengijinkan produknya dibuat dengan
memanfaatkan tenaga kerja dibawah umur.
7

● Membuat produk dengan no sweet label yang menjamin produk tersebut tidak
dibuat dengan tenaga kerja dibawah umur.

Penelitian 84% masyarakat AS rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli
suatu produk asalkan produk dipastikan dalam kondisi kerja yang baik.

Sedangkan untuk di indonesia sendiri, masalah tenaga kerja dibawah umur


sudah sangat memprihatinkan. Menurut sensus 1990, ada sekitar 2,4 juta anak berumur
10-14 tahun yang bekerja. Baik dalam instansi formal maupun informal.

Contohnya kasus yang khususnya ada di Sumatera Utara, bocah-bocah tersebut


harus bekerja diatas jermal-jermal di tengah laut. Mereka bekerja sampai 19 jam per
hari.”pekerjaan mereka mengambil ikan teri dari jaring, memasang jaring kembali,
memasak, menjemur, memilih jenis ikan teri yang baik, selama berbulan-bulan. Tanpa
istirahat seharipun. Pengusaha hanya memberi upah sekitar Rp.40.000 sampai dengan
Rp.90.000 perbulan (januari 1997).

Untuk mengatasi hal tersebut kembali terulang, pemerintah mengeluarkan


undang-undang no. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (yang sudah beberapa kali
ditunda berlakunya) ditentukan 15 tahun sebagai batas minimum pekerja indonesia.
Semua perusahaan dilarang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 tahun
(pasal 95). Tetapi larangan ini tidak berlaku bagi anak yang terpaksa bekerja. Disini
dijelaskan masalah ekonomi dari keluarga bersangkutan dengan syarat tidak boleh
dipekerjakan lebih dari 4 jam sehari. Mereka tidak boleh diikutkan dalam pekerjaan
yang berbahaya (pasal 96). Jadi, disini diambil alih pikiran dasar dari peraturan Menteri
Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987. intinya bahwa kenaikan dan kesejahteraan anak tidak
pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis

D. Revalitasi Keuntungan

Tidak bisa disangkal pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan
keuntungan dalam bisnis. Jika keuntungan merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan sukses dalam bisnis, maka perdagangan narkotika harus dianggap good
business, karena dapat mendatangkan keuntungan yang sangat banyak. Perdagangan
narkotika seperti itu justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bentrok
dengan pertimbangan etis dan karena itu bisnis narkotika tidak merupakan good
business. Apa yang berlaku pada bisnis narkotika sebenarnya berlaku juga pada bisnis
lain pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis bila perolehan untung dimutlakkan dan
segi moral diabaikan. Manajemen modern sering disebut sebagai management by
objectives sedangkan dalam manajemen ekonomis salah satu unsur penting adalah cost
benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari
biaya yang dikeluarkan. Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan
8

etis. Bisnis menjadi tidak etis jika keuntungan dijadikan satu-satunya objectives atau
benefit dengan mengorbankan semua faktor lain.

Di satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Supaya
bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi karya amal.
Bagaimanapun juga keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis dan
perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit. Pada taraf ekonomi yang
lebih luas peran keuntungan tidak boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas
akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari segala usaha bisnis. Sebagai contoh,
kegagalan total sistem ekonomi komunistis di Uni Soviet yang disebabkan karena
sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan.

Perlu ditekankan Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang


relatif. Banyak pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan
cara yang berbeda-beda.

Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose


(maksud) dan motive (motivasi). Maksud bersifat objektif dan motivasi bersifat
subjektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis supaya bisa
makan (maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan
mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan perbuatan kita itu.
Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk
atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk
mengadakan bisnis.

Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer


yang hanya mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat
papan angka tanpa melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai
intrinsik sendiri (misalnya, memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan
untuk menjadi bernilai tidak harus selalu membawa keuntungan.

Max De Pree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita tidak hidup


untuk bernapas, tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan
memungkinkan bisnis hidup terus tapi bukanlah tujuan akhir dari bisnis,

Norman Bowie membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan kebahagiaan


dalam hidup. Kita tidak mengejar kebahagiaan demi dirinya sendiri. Kebahagiaan
adalah akibat sampingan, kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri dan anak-
anaknya. Demikian dengan keuntungan, Keuntungan merupakan akibat sampingan dari
bisnis dan bukan tujuan sebenarnya dari bisnis.

Dengan demikian banyak cara lain yang dapat menjelaskan relativitas


keuntungan dalam bisnis. Tetapi keuntungan dalam bisnis tetap perlu, hanya saja tidak
dapat dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis.
9

Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa
mengabaikan perlunya keuntungan dalam bisnis:

● Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau


efisiensi manajemen dalam perusahaan

● Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya


dihargai oleh masyarakat.

● Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha

● Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan

● Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.

E. Manfaat Bagi Stakeholders

Secara sederhana, stakeholder adalah semua pihak baik itu individu, komunitas
atau kelompok masyarakat yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap
organisasi, perusahaan dan permasalahan yang sedang dibahas. Dalam terjemahan
bahasa Indonesia sendiri, arti stakeholder adalah seorang pemangku kepentingan atau
pihak yang berkepentingan. Stakeholder adalah pihak yang memiliki kepentingan
dalam perusahaan dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh bisnis.

Freeman, pengertian stakeholders adalah suatu kelompok masyarakat atau juga


individu yang saling mempengaruhi juga dipengaruhi oleh pencapaian tujuan tertentu
dari sebuah organisasi.

Dalam kegiatan bisnis, kehadiran stakeholder adalah diperlukan untuk


memberikan bantuan guna mengembangkan tujuan dari perusahaan tersebut. Namun,
tidak seluruh stakeholder akan memberikan dampak positif terhadap sebuah
perusahaan. Meski sering dikaitkan dengan kegiatan bisnis, stakeholder adalah dapat
kita ditemui dimanapun. Stakeholder adalah salah satu bagian penting sebuah
organisasi yang memiliki peran secara aktif serta pasif untuk menjalankan tujuannya.

Bisa dikatakan bahwa arti stakeholder adalah pihak-pihak yang dapat


mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan, baik positif maupun
negatif. Contoh stakeholder adalah pemegang saham, karyawan, staff, pegawai, sumber
daya, serta distributor maupun konsumen. Bahkan, pesaing perusahaan lain juga
disebut sebagai stakeholder karena dapat mempengaruhi kestabilan perusahaan.

Suatu cara lain lagi untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan
tujuan itu sebagai the stakeholders benefit. Konon istilah stakeholders untuk pertama
10

muncul pada 1963 dalam sebuah memorandum internal dari Stanford Research
Institute, California. Sekarang istilah itu sudah lazim dipakai dalam teori manajemen
dan juga dalam etika bisnis. Sukses istilah itu sebagian disebabkan, karena bahasa
Inggris di sini main dengan kata. Istilah ini mirip dengan stakeholders, tetapi justru
merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu menegangkan
pentingnya pemegang saham atau pemilik perusahaan. Yang dimaksudkan
dengan stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu
bisnis atau perusahaan. R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai
"individu-individu dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi Oleh tercapainya
tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan tersebut. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai terjemahan
“pemangku kepentingan”. Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan
dengan kegiatan suatu perusahaan.

Kadang stakeholders dibagi lagi atas kepentingan internal dan eksternal.


Pemangku internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan orang atau instansi
yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan. Pemangku kepentingan
eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan orang atau instansi yang tidak
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan. Tetapi garis pemisah antara
stakeholders internal dan eksternal tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.

Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah


tujuan perusahaan. kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat
semua stakeholders. sekaligus juga di sini kita mempunyai kemungkinan baru untuk
membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu
keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan.keputusan
untuk menutup atau memindahkan suatu unit produksi seperti pabrik boleh disebut
sebagai contoh. keputusan ini mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja
kepentingan para pemegang saham tapi juga kepentingan dari semua pihak lain,
khususnya para karyawan dan masyarakat disekitar pabrik. Tidak heran, pelaku bisnis
mengusahakan pendekatan stakeholders sebagai kerangka penguraiannya.

1. Definisi Stakeholders

● Stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu


bisnis atau perusahaan.

● R. Edward Freeman : “ Individu- individu dan kelompok- kelompok yang


dipengaruhi oleh tercapainya tujuan- tujuan organisasi dan pada gilirannya
dapat mempengaruhi tercapainya tujuan- tujuan tersebut “.

● Kamus bahasa Indonesia : “ pihak yang berkepentingan “ yaitu semua pihak


yang berkepentingan dengan suatu perusahaan.
11

2. Manfaat Bagi Stakeholders

Para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan pasti berkepentingan dengan


sepak terjang perusahaan. Kalau perusahaan memperoleh laba, para pemegang
saham mendapat deviden. Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-apa. Disamping
para pemegang saham ada banyak pihak lain yang berkepentingan juga dengan
aktivitas suatu perusahaan. Seperti : manajer, karyawan, pemasok, konsumen,
masyarakat sekitar lokasi perusahaan, masyarakat luas, pemerintah, lingkungan
hidup, dan sebagainya.

Stakeholders dibagi lagi atas 2 pihak :

● Pihak berkepentingan internal ( orang dalam dari suatu perusahaan )

Orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan,
seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan.

● Pihak berkepentingan eksternal ( orang luar dari suatu perusahaan )

Orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan
perusahaan, seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup.

Tetapi stakeholders internal dan eksternal tidak bisa dipisahkan. Misalnya, para
pemasok pada umumnya digolongkan kedalam pihak berkepentingan eksternal. Tetapi
jika pemasok tersebut hanya memasok kebutuhan satu perusahaan saja maka ia
termasuk pihak berkepentingan internal juga. Demikian pula dengan warung- warung
kecil yang menyediakan makanan untuk karyawan. Nasib mereka seluruhnya
tergantung pada perusahaan. Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka
semua kehilangan sumber pendapatannya.

Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk membahas segi etis dari
suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya
kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Seperti keputusan untuk menutup
atau memindahkan suatu unit produksi dalam suatu pabrik.

F. Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan

1. Tiga Kewajiban Karyawan yang Penting

a. Kewajiban ketaatan
Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia
bekerja disitu. Namun tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua
perintah yang diberikan oleh atasannya.
12

● Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah
yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral.

● Kedua, karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak
wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan.

● Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi
kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang
disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.

b. Kewajiban konfidensialitas
Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan
informasi yang bersifat konfidensial, dan karena itu rahasia yang telah diperoleh
dengan menjalankan suatu profesi.

Dalam konteks perusahaan juga konfidensialitas bisa memegang


peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia
mempunyai akses kepada informasi rahasia. Adalah sangat tidak etis jika
seseorang pindah kerja sambil membawa rahasia perusahaan ke perusahaan
baru supaya mendapat gaji lebih tinggi. Karena ada kerahasiaan ini, industrial
espionage pun harus dianggap tidak etis.

Alasan utama etika yang mendasari kewajiban ini adalah bahwa


perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka informasi rahasia
sama dengan mencuri. Alasan lain adalah bahwa membuka rahasia perusahaan
bertentangan dengan etika pasar bebas mampu mengganggu kompetisi bisnis
yang fair.

c. Kewajiban loyalitas
Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung
tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk
turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus
menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya.

Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah


konflik kepentingan, artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan
kepentingan perusahaan.
Dalam konteks loyalitas ini termasuk juga masalah etis seperti
menerima komisi atau hadiah selaku karyawan perusahaan. Sebab dapat
ditanyakan apakah dengan praktek itu karyawan tidak merugikan perusahaan.

Dimulai dengan masalah komisi. Tingkat jeleknya komisi tentu


dipengaruhi oleh besar kecilnya, karena terutama faktor inilah yang menentukan
13

kerugian bagi perusahaan. Masalah komisi berkaitan erat dengan KKN


(korupsi, kolusi, nepotisme).

Dalam konteks kewajiban loyalitas ini muncul pertanyaan lagi tentang


hubungannya dengan kesetiaan. Jika karyawan pindah kerja karena alasan
mencari gaji lebih tinggi, apakah perbuatan itu bisa dilihat sebagai pelanggaran
kewajiban loyalitas? Kewajiban loyalitas tidak meniadakan hak karyawan untuk
pindah kerja. Di sini tidak ada masalah etika.

2. Melaporkan Kesalahan Perusahaan


Dalam etika bisnis berbahasa inggris masalah ini dikenal sebagai whistle
blowing. Sering digunakan dalam arti kiasan membuat keributan untuk menarik
perhatian orang banyak. Dalam etika whistle blowing mendapat arti lebih khusus
lagi yakni menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang
dilakukan oleh sebuah organisasi tempat ia bekerja. Pelaporan bisa dibenarkan
secara moral, bila lima syarat berikut ini terpenuhi:

a. Kesalahan perusahaan harus besar


Jika kesalahan perusahaan kecil saja, misalnya hanya membayar pajak
sedikit kurang dari kewajibannya, hal itu tidak pantas dilaporkan. Norman
Bowie dan Ronald Duska menyebut tiga kemungkinan:

1) Kesalahan perusahaan adalah besar, jika menyebabkan kerugian yang tidak


perlu untuk pihak ketiga (selain perusahaan dan si pelapor)
2) Kesalahan bisa dianggap besar juga, bila terjadi pelanggaran hak-hak asasi
manusia.
3) Kesalahan dinilai besar, bila dilakukan kegiatan yang bertentangan dengan
tujuan perusahaan.

b. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar


Semua fakta tentang kesalahan harus jelas dan dimengerti dengan betul
oleh si pelapor. Tidak boleh terjadi, orang yang melaporkan sesuatu yang secara
faktual kurang jelas atau kurang dikuasai betul oleh si pelapor. Laporan berupa
“saya mempunyai kesan…” atau “kalau tidak salah…” tidak dapat diterima.
Syarat kedua ini bisa terpenuhi apabila orang tersebut benar-benar menguasai
masalahnya.

c. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian


bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain
Kerugian besar kepada pihak ketiga bukan saja harus menjadi kenyataan
(syarat pertama) , melainkan juga motif untuk melaporkan kesalahan. Tidak
etis, bila orang melapor karena motif yang tidak murni, walaupun kesalahannya
memang besar.
14

d. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan


perusahaan dibawa keluar
Jika karyawan merasa bertanggung jawab, ia harus berusaha dulu untuk
menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat.
Hal itu juga sesuai dengan kewajiban loyalitasnya. Baru setelah upaya
penyelesaian secara internal itu gagal, ia boleh memikirkan whistle blowing.

e. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses
Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan
menghasilkan apa-apa, lebih baik orang tidak melapor. Tentu saja, sebelum
berlangsung tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan akan mencapai
sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga.

Whistle Blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak
yang tersangkut. Untuk bisnis, pelaporan akan membawa banyak kerugian,
secara material maupun moral. Sebab, nama baik merupakan aset yang sangat
berharga bagi setiap perusahaan. Untuk si pelapor juga, whistle blowing adalah
langkah yang diambil dengan berat hati. Ia melakukannya semata-mata
terdorong oleh hati nuraninya dan sebetulnya sangat ingin menyesalkan akibat
negatif bagi perusahaan.

G. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan

1. Perusahaan Tidak Boleh Mempraktekkan Diskriminasi


Dalam konteks Indonesia, diskriminasi terutama timbul berhubungan dengan
status asli atau tidak asli, pribumi atau nonpribumi, dari para warga negara. Jika
ditambah dengan negara lain Diskriminasi dilakukan karena alasan agama, jenis
kelamin, ras, dan warna kulit.

a. Diskriminasi dalam konteks perusahaan


Diskriminasi bisa berlangsung dalam semua sektor masyarakat,
termasuk dunia bisnis. Karena itu diskriminasi menjadi juga suatu topik bagi
etika bisnis. Kita berbicara tentang diskriminasi, bila beberapa karyawan
diperlakukan dengan cara berbeda, karena alasan yang tidak relevan. Biasanya
alasan itu berakar dalam suatu stereotip terhadap ras, agama, atau jenis kelamin
bersangkutan.

b. Argumentasi etika melawan diskriminasi


Apa yang menjadi dasar etika untuk menolak diskriminasi? Berikut
Argumentasinya :
15

1) Dari pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi


merugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalam rangka pasar bebas,
menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan
berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik.
Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi pasar bebas.
Argumen yang lain tidak memfokuskan konsekuensi untuk perusahaan-
perusahaan individual, tetapi melihat konsekuensi untuk masyarakat
sebagai keseluruhan.
2) Deontologi menggaris bawahi bahwa diskriminasi melecehkan martabat
dari orang yang didiskriminasi. Dan tidak menghormati martabat manusia
merupakan suatu pelanggaran etika yang berat. Jika seseorang di
diskriminasi karena agama atau keyakinan politik, berarti hak-hak asasinya
dilanggar. Dengan itu martabatnya sebagai manusia dilecehkan juga.
3) Teori keadilan. Praktek diskriminasi bertentangan dengan keadilan,
khususnya keadilan distributif. Keadilan distributif menuntut bahwa kita
memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada
alasan khusus untuk memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda.
Prinsip keadilan yang kedua dari John Rawls: “persamaan peluang yang
fair”. Menurut prinsip ini, kepada semua orang harus diberikan peluang
yang sama secara fair, misalnya dalam seleksi karyawan.

c. Beberapa masalah terkait


Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah
karena keadaan historis, sosial atau budaya dalam masyarakat. Mau tidak mau
perlu kita akui bahwa masalah diskriminasi sering ditandai relativitas.

Masalah yang berkaitan dengan diskriminasi tapi harus dibedakan


dengannya adalah favoritisme. Dalam konteks perusahaan, dengan favoritisme
dimaksudkan kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya
sanak keluarga) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus,
fasilitas khusus, dan sebagainya. Seperti diskriminasi, favoritisme pun
merupakan bentuk memperlakukan orang dengan cara yang tidak sama, tapi
berbeda dengan Diskriminasi terjadi karena prasangka buruk, favoritisme
terjadi karena preferensi. Kalau diskriminasi bersifat negatif (menolak orang
tertentu) sedangkan favoritisme (mengutamakan orang tertentu). Favoritisme
terjadi bila perusahaan mengutamakan karyawan yang berhubungan famili,
berasal dari daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dst. Malah pada
taraf manajemen bisa tampak gejala favoritisme, bila para manajer semua
dipilih dari lulusan perguruan tinggi yang sama.

Untuk menanggulangi akibat diskriminatif dulu, kini lebih banyak


dipakai istilah affirmative action, aksi afirmatif. Melalui aksi afirmatif, orang
mencoba mengatasi atau mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya
didiskriminasi. Satu cara adalah preferensi dalam menerima karyawan baru.
16

Cara lain adalah menyusun program jangka panjang, misal dalam jangka waktu
10 tahun jumlah karyawan wanita harus mencapai 40%.

2. Perusahaan Harus Menjamin Kesehatan dan Keselamatan Kerja


a. Beberapa aspek keselamatan kerja
Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan
tempat kerja itu aman, kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang
mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati. Kesehatan kerja dapat
direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja dianggap
sehat bila bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit sebagai
akibat kondisi kurang baik di tempat kerja.

Ada aneka macam kecelakaan kerja. Yang minta banyak korban adalah
kecelakaan industri di pabrik-pabrik atau tempat industri lain. Seandainya
dilaksanakan peraturan keselamatan yang mewajibkan memakai sabuk
pengaman, helm pengaman, atau setiap ruang kerja mempunyai pintu atau
tangga darurat, banyak kecelakaan semacam itu bisa dihindarkan.

Kalau kecelakaan kerja hampir selalu terjadi secara mendadak dan


langsung mengakibatkan kerugian, maka penyakit akibat pekerjaan baru
tampak sesudah si karyawan bekerja cukup lama. Selalu sudah diketahui bahwa
beberapa macam pekerjaan mempunyai faktor risiko khusus untuk kesehatan si
karyawan.

b. Pertimbangan etika
Yang menjadi dasar etika bagi kewajiban perusahaan untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan para pekerja:

● Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kalau
belum meyakinkan, kita bisa merujuk lagi kepada hak setiap manusia
untuk tidak dirugikan dan akhirnya hak untuk hidup.

● Dalam deontologi Kant, khususnya dalam pikirannya bahwa manusia


selalu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah
sebagai sarana belaka.
● Sesuai argumentasi utilitarisme, bisa diperlihatkan bahwa tempat kerja
yang aman dan sehat paling menguntungkan bagi masyarakat sendiri,
khususnya bagi ekonomi negara.

c. Kematian atau kerugian pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh tindakan
pimpinan perusahaan
17

Bahwa perusahaan atau pimpinan perusahaan tidak boleh dianggap


sebagai penyebab langsung dari kecelakaan di tempat kerja. Karena pertama,
kecelakaan kerja pada umumnya disebabkan oleh banyak faktor sekaligus,
termasuk juga perbuatan para pekerja itu sendiri. Kedua, bahwa kemungkinan
terjadinya kerugian untuk pekerja kadang-kadang tidak bisa dihindarkan.

d. Si pekerja menerima risiko kerja dengan sukarela


Argumen ini menekankan bahwa pekerja tidak dipaksakan, tetapi
dengan sukarela menerima risiko. Kebebasan si pekerja adalah faktor yang
membenarkan moralitas pekerjaan berisiko. Syarat yang harus dipenuhi:

● Harus tersedia pekerjaan alternatif, supaya si pekerja dapat memilih


pekerjaan lain tanpa risiko khusus, walaupun barangkali dengan
pembayaran lebih rendah.

● Supaya pekerja dapat mengambil keputusan bebas, ia harus diberi


informasi tentang risiko yang berkaitan dengan pekerjaannya.

● Perusahaan selalu wajib berupaya agar risiko bagi pekerja seminimal


mungkin

Keselamatan dan kesehatan pekerja tidak pernah boleh dikorbankan


kepada kepentingan ekonomis. Risiko memang tidak selalu bisa dihindari,
tetapi harus selalu dibatasi sampai seminimal mungkin, walaupun upaya itu bisa
mengakibatkan biaya produksi bertambah. Selain itu si pekerja harus menerima
resiko ini dengan bebas, setelah lebih dahulu ia diinformasikan secukupnya.
Pekerja harus diberi imbalan ekstra untuk mengimbangi risiko, baik dalam segi
gaji langsung maupun dengan asuransi khusus. Akhirnya pekerjaan berisiko itu
hanya bisa ditolerir, jika menghasilkan produk yang bermanfaat untuk
masyarakat. Dengan cara iseng saja membiarkan risiko kerja harus dinilai tidak
etis.

e. Dua masalah khusus


Pertama, apakah pekerja boleh menolak perintah atasan untuk
melaksanakan suatu tugas yang dianggap terlalu berbahaya? Disini kita harus
mengacu pada apakah suatu perintah untuk mengerjakan tugas berbahaya bisa
dianggap wajar atau tidak.

Kedua, segi etis dari risiko reproduktif atau risiko untuk keturunan si
pekerja. Kerugian kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja
bagi dirinya sendiri, melainkan bagi keturunannya. Seperti pada industri kimia,
para pekerja wanita bisa mengalami keguguran, kelahiran dini, atau melahirkan
bayi cacat.
18

3. Kewajiban Memberi Gaji yang Adil


a. Menurut keadilan distributif
Gaji karyawan berasal dari laba perusahaan dan laba itu dihasilkan oleh
produktivitas karyawan. Dalam produktivitas itu prestasi karyawan jelas tidak
sama dan hal itu antara lain diekspresikan dalam perbedaan besarnya gaji.

● Pandangan liberalistis dikemukakan dari sudut pandang perusahaan


yaitu yang berprestasi diberi gaji besar, yang berprestasi rendah hanya
diberi gaji yang setimpal.

● Pandangan sosialistis dikemukakan dari sudut pandang pekerja yaitu


bahwa gaji baru adil bila sesuai dengan kebutuhan si pekerja beserta
keluarga.

Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa
imbalan kerja lebih luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus seperti
kendaraan, bantuan beras, dan lain-lain harus dipandang juga sebagai sebagian
dari imbalan kerja. Dan lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan
kesehatan, prospek pensiun, dsb. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi juga,
asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.

b. Enam faktor khusus


Enam kriteria yang perlu dipertimbangan agar gaji atau upah itu adil
atau fair :
1) Peraturan hukum: ketentuan hukum tentang upah minimum.
2) Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu: gaji
atau upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberikan dalam sektor industri
bersangkutan.
3) Kemampuan perusahaan: perusahaan yang menghasilkan laba besar,
harus memberi gaji lebih besar pula daripada perusahaan yang
mempunyai marjin laba yang kecil saja.
4) Sifat khusus pekerjaan tertentu: beberapa tugas dalam perusahaan hanya
bisa dijalankan oleh orang yang mendapat pendidikan atau pelatihan
khusus, kadang-kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi.
Kelangkaan tenaga mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji yang
lebih tinggi.
5) Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan: kalau pekerjaan
tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut pengalaman lebih lama
atau mengandung risiko tertentu, maka gaji atau upah harus sama.
6) Perundingan upah/gaji yang fair: di negara-negara berindustri maju,
sejarah telah membuktikan bahwa perundingan langsung antara
perusahaan dan para karyawan merupakan cara ampuh untuk mencapai
gaji dan upah yang fair.
19

c. Senioritas dan imbalan rahasia


Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji. Maksudnya orang
yang bekerja lebih lama pada suatu perusahaan atau instansi mendapat gaji yang
lebih tinggi. Pertimbangannya adalah bahwa gaji lebih tinggi berdasarkan
senioritas itu merupakan semacam penghargaan bagi kesetiaan si karyawan
terhadap perusahaan atau profesinya.

Masalah kedua yang ada segi etisnya adalah praktek pembayaran khusus
atau kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Bagi para
manajer, cara ini mudah untuk dilaksanakan karena fleksibilitasnya. Tapi
efektifitasnya diragukan, karena kenaikan gaji atau bonus dimaksudkan sebagai
stimulans bagi semua karyawan. Menjadi tidak fair, kalau orang tidak
diberitahukan dengan jelas tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat
kenaikan gaji atau bonus.

4. Perusahaan Tidak Boleh Memberhentikan Karyawan dengan Semena-mena


Ada 3 alasan mengapa perusahaan akan menghentikan karyawan :

a. Alasan internal perusahaan (restrukturisasi, otomatisasi, merger dengan


perusahaan lain)
b. Alsan eksternal (konjungtur, resesi ekonomi)
c. Kesalahan karyawan

Menurut Garrett And Klonoski, ada 3 kewajiban majikan dalam


memberhentikan karyawan :
a. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat
Kalau karyawan diberhentikan karena alasan ekonomis, seperti
mendesaknya pelangsingan untuk memperbaiki kinerja perusahaan, pimpinan
harus sungguh-sungguh yakin akan perlunya tindakan itu.
Kalau karyawan diberhentikan karena kesalahannya, keputusan itu
seluruhnya tergantung pada kemauan si majikan, asalkan alasannya tepat.
Namun juga tidak boleh ekstrem, sebaiknya diberi peringatan dulu jika
karyawan bersalah.
b. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya
Dalam hal ini peraturan hukum harus dipegang dengan seksama. Di
samping itu perusahaan besar sebaiknya mempunyai aturan-aturan internal yang
menjamin prosedur pemberhentian yang jelas dan terbuka.

Dari perusahaan kecil tidak bisa diharapkan bahwa mereka memiliki


aturan-aturan yang rinci tentang pemberhentian karyawan yang bersalah.
Pimpinan perusahaan harus berpegang pada kearifan pribadi, selain pada
peraturan hukum atau peraturan organisasi majikan, atau sebagainya.
20

c. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal


mungkin
Di banyak negara, kepada karyawan yang diberhentikan karena
kesalahannya pun, menurut peraturan hukum harus diberikan pesangon. hal itu
tidak enak bagi majikan bersangkutan, tetapi tidak dapat dinilai kurang adil,
karena karyawan yang bersalah pun tidak boleh dibiarkan terlantar.

Satu cara yang banyak membantu untuk meringankan efek-efek buruk


dari PHK adalah memberitahukan prospek itu kepada karyawan beberapa waktu
sebelumnya. Dengan demikian di berikan kesempatan kepada karyawan untuk
mencari pekerjaan lain.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Keuntungan termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa


secara percuma tidak merupakan bisnis. Menawarkan sesuatu dengan percuma masih
bisa dianggap bisnis, selama terjadi dalam rangka promosi, untuk memperkenalkan
sebuah produk baru atau untuk mengiming-iming publik.

Kewajiban Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan. Namun tidak


berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang diberikan oleh atasannya.
Setelah hak dan kewajiban karyawan terpenuhi dan karyawan dengan top manager
saling berkesinambungan maka akan tercipta budaya perusahaan yang baik,
terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya, dan terbentuknya
manajemen hubungan antar pegawai. Sehingga hubungan di dalam perusahaan dapat
meningkatkan sikap moral pegawai maupun top manager dan konflik antara atasan dan
karyawan tidak akan terjadi. Namun, kita tetap harus berhati-hati pada kecurangan-
kecurangan yang terjadi diluar maupun di dalam perusahaan. Untuk mencegah tersebut
harus melakukan tindakan Whistle blowing, agar tidak merugikan perusahaan maupun
masyarakat sekitar.

B. Saran

Demikian makalah yang Tim Penulis buat semoga dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca. Akan tetapi memohon maaf jika Makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan baik itu kesalahan dalam penulisan dan kesalahan dalam
pembahasan karena kurangnya pengetahuan Tim penulis. Oleh karena itu Tim penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, terutama dari Dosen
Pengajar Mata Kuliah Etika dan Hukum Bisnis, Bapak Dudu Risana, M.M. demi
kesempurnaan makalah ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

https://www.coursehero.com/file/57199596/ETBIS-KEUNTUNGAN-TUJUAN-
PERUSAHAAN-EM-Bdocx/
https://www.academia.edu/4614177/tugas_etika_bisnis

Anda mungkin juga menyukai