Disusun oleh
kelompok 2 Kelas Manajemen B 2022 :
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kesempatan serta rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya dalam mata kuliah etika dan hukum bisnis.
Karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu, sangat mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Terima Kasih.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang yang
mempergunakan uang. Untuk sebagian perolehan profit tergantung juga pada factor
mujur atau sial. Pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi.
karena itu diadakannya transaksi keuangan yang bisa menghasilkan keuntungan, selalu
mengandung juga resiko untuk mengalami kerugian. Jika disini kita berefleksi tentang
profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan
kerugian.
Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas,
kapitalisme meliputi tiga unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek pencarian
keuntungan, dan kompetisi dalam system ekonomi pasar bebas.
B. Maksimalisasi Keuntungan
2
3
Penjelasan para ekonom yang bernada protes ini dapat dimaklumi. Jika
mereka berbicara tentang maksimalisasi keuntungan, hal itu tidak perlu dimengerti
4
secara konkret, sampai yang meliputi semua seluk beluk kegiatan ekonomi, apa arti
bertentangan dengan norma moral. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan masa
lampau. Sejarah mencatat bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat
dan diperas dengan cara sangat tidak manusiawi. Industri sebagai cara berproduksi
dengan memakai mesin pada skala besar-besaran merupakan fenomena baru pada
waktu itu. Untuk menjalankan mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah pertanian yang
miskin. Keadaan ini untuk pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan
terutama berkembang di bidang tekstil (katun dan wol), baja, dan pertambangan
batubara. Dari 1760 sampai 1830 Revolusi Industri praktis terbatas pada Inggris
saja.Untuk memaksimalkan keuntungan, tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh
diperalat upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada
jaminan kesehatan, jika buruh jatuh sakit ya sering diberhentikan, dalam keadaan lain
pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena, banyak dipakai tenaga wanita
dan anak di bawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi
dan mereka tidak mudah memberontak, dan seterusnya. Pada awal industrialisasi
kaum buruh bekerja dalam sweatshops (harfiah tempat keringat), yaitu tempat kerja
dimana mereka harus bekerja dalam kondisi tidak pantas dan dengan imbalan terlalu
rendah.
Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Disini etika tidak diangkat
bicara, tetapi manusia tidak pernah boleh diperalat dan hal itu pasti terjadi, bila
keuntungan dijadikan satu-satunya tujuan perusahaan. Para ekonom menjelaskan
bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti
secara harfiah dan ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi
keuntungan hanya dimaksud sebagai sebagai suatu model ekonomis yang diharapkan
akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil.
Dalam hal ini juga kita tidak boleh melupakan masa lampau. Sejarah mencatat
bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara yang
tidak manusiawi. Para buruh diberi upah yang sangat rendah, hari kerja yang sangat
panjang, tidak ada jaminan keselamatan para pekerja, jika buruh sakit langsung
diberhentikan dengan semena-mena, banyaknya tenaga anak dibawah umur dan para
wanita.
Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dibawah
umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya,
“dibawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Pekerjaan anak
menjadi suatu masalah etis yang serius dalam zaman industrialisasi.
Dalam convention on the rights of the child yang diterima dalam sidang umum
PBB pada tahun 1989 diserahkan kepada masing-masing Negara anggota untuk
“menetapkan usia minimum atau usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan
kerja” [pasal 32,2(a)]. Organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) pada tahun 1973
mengeluarkan konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Disitu
negara-negara anggota ILO dianjurkan untuk meningkatkan usia minimum. Sebagai
patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk
pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru
mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1999 dan menetapkan usia minimum pada
15 tahun.
Dalam etika tidak cukup kita mensinyalir saja sikap negatif yang agak umum
terhadap anak pekerja. Kita juga harus mengetahui mengapa pekerjaan yang dilakukan
oleh anak perlu dianggap tidak etis. Pekerjaan anak ditolak terutama karena dua alasan.
Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Kita melanggar
6
hak anak, jika kita menuntut dari mereka apa yang kita tuntut dari orang dewasa. Karena
belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau belum sanggup menjalankan
kebebasannya. Anak yang bekerja tidak mendapatkan pendidikan disekolah dan karena
itu mereka dirugikan seumur hidup. Tidak pernah mereka bisa keluar dari kehidupan
bodoh dan miskin. Sering kali terutama anak perempuan di sini menjadi korban, karena
oleh orang tuanya dinilai tidak membutuhkan pendidikan di sekolah. Anak-anak dipilih
sebagai pekerja karena tenaga mereka murah dan menguntungkan bagi bisnis. Oleh
sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga hak anak, karena
mengeksploitasi tenaga mereka. Mereka berhak dilindungi terhadap segala upaya
eksploitasi, karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.
Karena alasan-alasan tadi mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan tetapi,
di sini etika tidak boleh menjadi keras. Seandainya anak tidak bekerja, hal itu tidak
berarti ia akan masuk sekolah dan masa depan lebih baik terjamin baginya. Pekerjaan
mereka kadang-kadang mempunyai segi positif juga, karena dengan bekerja anak bisa
belajar dalam arti memperoleh keterampilan tertentu. Lagi pula, pekerjaan itu bisa di
jalankan dalam keadaan yang tidak sama. Kalau anak bekerja dalam keadaan sehat dan
dengan pembayaran cukup lumayan, nasibnya harus kita nilai positif, ketimbang anak
yang bekerja dalam pertambangan dimana sirkulasi udara sangat buruk, hari kerja
sangat panjang dan pembayaran sangat rendah. Tidak semua kasus pekerja anak boleh
disamakan. Pertimbangan-pertimbangan utilitaristis ini pasti harus diikutsertakan
dalam penilaian etis tentang pekerja anak.
● Kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan, dimana antara lain
ditegaskan bahwa perusahaan tidak mengijinkan produknya dibuat dengan
memanfaatkan tenaga kerja dibawah umur.
7
● Membuat produk dengan no sweet label yang menjamin produk tersebut tidak
dibuat dengan tenaga kerja dibawah umur.
Penelitian 84% masyarakat AS rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli
suatu produk asalkan produk dipastikan dalam kondisi kerja yang baik.
D. Revalitasi Keuntungan
Tidak bisa disangkal pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan
keuntungan dalam bisnis. Jika keuntungan merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan sukses dalam bisnis, maka perdagangan narkotika harus dianggap good
business, karena dapat mendatangkan keuntungan yang sangat banyak. Perdagangan
narkotika seperti itu justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bentrok
dengan pertimbangan etis dan karena itu bisnis narkotika tidak merupakan good
business. Apa yang berlaku pada bisnis narkotika sebenarnya berlaku juga pada bisnis
lain pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis bila perolehan untung dimutlakkan dan
segi moral diabaikan. Manajemen modern sering disebut sebagai management by
objectives sedangkan dalam manajemen ekonomis salah satu unsur penting adalah cost
benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari
biaya yang dikeluarkan. Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan
8
etis. Bisnis menjadi tidak etis jika keuntungan dijadikan satu-satunya objectives atau
benefit dengan mengorbankan semua faktor lain.
Di satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Supaya
bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi karya amal.
Bagaimanapun juga keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis dan
perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit. Pada taraf ekonomi yang
lebih luas peran keuntungan tidak boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas
akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari segala usaha bisnis. Sebagai contoh,
kegagalan total sistem ekonomi komunistis di Uni Soviet yang disebabkan karena
sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan.
Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa
mengabaikan perlunya keuntungan dalam bisnis:
Secara sederhana, stakeholder adalah semua pihak baik itu individu, komunitas
atau kelompok masyarakat yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap
organisasi, perusahaan dan permasalahan yang sedang dibahas. Dalam terjemahan
bahasa Indonesia sendiri, arti stakeholder adalah seorang pemangku kepentingan atau
pihak yang berkepentingan. Stakeholder adalah pihak yang memiliki kepentingan
dalam perusahaan dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh bisnis.
Suatu cara lain lagi untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan
tujuan itu sebagai the stakeholders benefit. Konon istilah stakeholders untuk pertama
10
muncul pada 1963 dalam sebuah memorandum internal dari Stanford Research
Institute, California. Sekarang istilah itu sudah lazim dipakai dalam teori manajemen
dan juga dalam etika bisnis. Sukses istilah itu sebagian disebabkan, karena bahasa
Inggris di sini main dengan kata. Istilah ini mirip dengan stakeholders, tetapi justru
merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu menegangkan
pentingnya pemegang saham atau pemilik perusahaan. Yang dimaksudkan
dengan stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu
bisnis atau perusahaan. R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai
"individu-individu dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi Oleh tercapainya
tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan tersebut. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai terjemahan
“pemangku kepentingan”. Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan
dengan kegiatan suatu perusahaan.
1. Definisi Stakeholders
Orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan,
seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan.
Orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan
perusahaan, seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup.
Tetapi stakeholders internal dan eksternal tidak bisa dipisahkan. Misalnya, para
pemasok pada umumnya digolongkan kedalam pihak berkepentingan eksternal. Tetapi
jika pemasok tersebut hanya memasok kebutuhan satu perusahaan saja maka ia
termasuk pihak berkepentingan internal juga. Demikian pula dengan warung- warung
kecil yang menyediakan makanan untuk karyawan. Nasib mereka seluruhnya
tergantung pada perusahaan. Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka
semua kehilangan sumber pendapatannya.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk membahas segi etis dari
suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya
kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Seperti keputusan untuk menutup
atau memindahkan suatu unit produksi dalam suatu pabrik.
a. Kewajiban ketaatan
Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia
bekerja disitu. Namun tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua
perintah yang diberikan oleh atasannya.
12
● Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah
yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral.
● Kedua, karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak
wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan.
● Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi
kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang
disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.
b. Kewajiban konfidensialitas
Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan
informasi yang bersifat konfidensial, dan karena itu rahasia yang telah diperoleh
dengan menjalankan suatu profesi.
c. Kewajiban loyalitas
Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung
tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk
turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus
menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
e. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses
Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan
menghasilkan apa-apa, lebih baik orang tidak melapor. Tentu saja, sebelum
berlangsung tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan akan mencapai
sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga.
Whistle Blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak
yang tersangkut. Untuk bisnis, pelaporan akan membawa banyak kerugian,
secara material maupun moral. Sebab, nama baik merupakan aset yang sangat
berharga bagi setiap perusahaan. Untuk si pelapor juga, whistle blowing adalah
langkah yang diambil dengan berat hati. Ia melakukannya semata-mata
terdorong oleh hati nuraninya dan sebetulnya sangat ingin menyesalkan akibat
negatif bagi perusahaan.
Cara lain adalah menyusun program jangka panjang, misal dalam jangka waktu
10 tahun jumlah karyawan wanita harus mencapai 40%.
Ada aneka macam kecelakaan kerja. Yang minta banyak korban adalah
kecelakaan industri di pabrik-pabrik atau tempat industri lain. Seandainya
dilaksanakan peraturan keselamatan yang mewajibkan memakai sabuk
pengaman, helm pengaman, atau setiap ruang kerja mempunyai pintu atau
tangga darurat, banyak kecelakaan semacam itu bisa dihindarkan.
b. Pertimbangan etika
Yang menjadi dasar etika bagi kewajiban perusahaan untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan para pekerja:
● Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kalau
belum meyakinkan, kita bisa merujuk lagi kepada hak setiap manusia
untuk tidak dirugikan dan akhirnya hak untuk hidup.
c. Kematian atau kerugian pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh tindakan
pimpinan perusahaan
17
Kedua, segi etis dari risiko reproduktif atau risiko untuk keturunan si
pekerja. Kerugian kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja
bagi dirinya sendiri, melainkan bagi keturunannya. Seperti pada industri kimia,
para pekerja wanita bisa mengalami keguguran, kelahiran dini, atau melahirkan
bayi cacat.
18
Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa
imbalan kerja lebih luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus seperti
kendaraan, bantuan beras, dan lain-lain harus dipandang juga sebagai sebagian
dari imbalan kerja. Dan lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan
kesehatan, prospek pensiun, dsb. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi juga,
asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.
Masalah kedua yang ada segi etisnya adalah praktek pembayaran khusus
atau kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Bagi para
manajer, cara ini mudah untuk dilaksanakan karena fleksibilitasnya. Tapi
efektifitasnya diragukan, karena kenaikan gaji atau bonus dimaksudkan sebagai
stimulans bagi semua karyawan. Menjadi tidak fair, kalau orang tidak
diberitahukan dengan jelas tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat
kenaikan gaji atau bonus.
A. Simpulan
B. Saran
Demikian makalah yang Tim Penulis buat semoga dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca. Akan tetapi memohon maaf jika Makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan baik itu kesalahan dalam penulisan dan kesalahan dalam
pembahasan karena kurangnya pengetahuan Tim penulis. Oleh karena itu Tim penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, terutama dari Dosen
Pengajar Mata Kuliah Etika dan Hukum Bisnis, Bapak Dudu Risana, M.M. demi
kesempurnaan makalah ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
https://www.coursehero.com/file/57199596/ETBIS-KEUNTUNGAN-TUJUAN-
PERUSAHAAN-EM-Bdocx/
https://www.academia.edu/4614177/tugas_etika_bisnis