Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH MANAJEMEN PAJAK TERKAIT PEMERIKSAAN PAJAK,

KEBERATAN, BANDING, DAN PENINJAUAN ULANG

Diajukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Manajemen Perpajakan

Disusun oleh:

TITA JUWITA (51622120043)

PANGIHUTAN SITINJAK (51622120056)

JULIANDI AKBAR PRATAMA (51622120057)

Dosen Pengampu:

DYAH PURNAMASARI, Dr., S.E., M.Si., Ak., C.A.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt, yang atas rahmat-Nya, maka kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Manajemen Perpajakan yang berjudul,
“Manajemen Pajak Terkait Pemeriksaan Pajak, Keberatan, Banding, dan Peninjauan Ulang.”

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk mata kuliah Manajemen
Perpajakan. Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan, baik dalam
materi maupun cara penulisan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi menyempurnakan isi makalah ini.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung atas sumber-sumber materi sebagai bahan
referensi yang membantu dalam penyusunan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Hormat kami,

Kelompok
Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................................................


DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................................ 5
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 7
2.1 Manajemen Pajak .............................................................................................................. 7
2.2 Self Assesment System ...................................................................................................... 7
2.3 Sengketa Pajak .................................................................................................................. 8
2.4 Penyelesaian Sengketa Pajak ............................................................................................. 9
2.5 Upaya Administrasi dalam Penyelesaian Sengketa Pajak ..................................................10
2.6 Upaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Pajak ..........................................................10
2.7 Upaya Hukum Luar Biasa dalam Penyelesaian Sengketa Pajak ......................................... 11
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 12
3.1 Keberatan Pajak................................................................................................................12
3.1.1 Dasar Hukum Keberatan Pajak...................................................................................12
3.1.2 Syarat Pengajuan Keberatan Pajak .............................................................................13
3.1.3 Penyampaian Pengajuan Keberatan Pajak ..................................................................14
3.1.4 Pencabutan Pengajuan Keberatan Pajak .....................................................................15
3.1.5 Keputusan Keberatan .................................................................................................15
3.1.6 Manajemen Keberatan Pajak ......................................................................................17
3.1.6.1 Manajemen Pajak Sebelum Pengajuan Keberatan Pajak (Persiapan) .........................17
3.1.6.2 Manajemen Pajak Saat Proses Keberatan Pajak (Pelaksanaan) .................................18
3.1.6.3 Manajemen Pajak Setelah Keputusan Keberatan Pajak .............................................21
3.2 Banding Pajak ..................................................................................................................22
3.2.1 Proses Banding Pajak.................................................................................................22
3.2.2 Dasar Hukum Banding Pajak ......................................................................................24
3.2.3 Objek Banding Pajak ..................................................................................................25
3.2.4 Syarat Pengajuan Banding Pajak ................................................................................26
3.2.5 Penyampaian Pengajuan Banding Pajak .....................................................................37
3.2.6 Pencabutan Pengajuan Banding Pajak ........................................................................28
3.2.7 Keputusan Banding ....................................................................................................28
3.2.8 Manajemen Banding Pajak.........................................................................................29
3.2.8.1 Manajemen Pajak Sebelum Pengajuan Banding Pajak (Persiapan) ...........................30
3.2.8.2 Manajemen Pajak Saat Proses Sidang Banding Pajak (Pelaksanaan) .........................32
3.2.8.3 Manajemen Pajak Setelah Keputusan Banding Pajak................................................35
3.3 Peninjauan Kembali..........................................................................................................37
3.3.1 Dasar Hukum Peninjauan Kembali.............................................................................37
3.3.2 Ketentuan Umum Peninjauan Kembali.......................................................................37
3.3.3 Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali.......................................................................40
3.3.4 Proses Peninjauan Kembali ........................................................................................41
3.3.5 Manajemen Peninjauan Kembali ................................................................................43
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................... 44
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Negara Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung tinggi
hak dan kewajiban setiap orang. Pajak merupakan wujud dari peran masyarakat dalam
mendukung pembangunan maupun perekonomian Indonesia, sehingga dapat meningkatkan
kesadaran dan rasa tanggung jawab, peran pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara, iuran tersebut adalah berupa uang. Indonesia
dalam sistem perpajakannya menganut sistem self assessment dimana setiap Wajib Pajak
diwajibkan untuk melaksanakan sendiri pemenuhan hak serta kewajiban perpajakan yang ada.
Dalam sistem ini memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak harus menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri semua pajak yang menjadi hak dan
kewajibannya.

Dalam rangka untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak terhadap pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan pajak maka otoritas pajak berwenang melakukan pemeriksaan.
Sehingga menyebabkan setiap Wajib Pajak dapat diperiksa oleh otoritas pajak. Hasil dari
pemeriksaan tersebut dituangkan dalam suatu surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh
otoritas pajak di mana isi dari surat ketetapan tersebut bisa berbeda dengan perhitungan Wajib
Pajak. Perbedaan tersebut tentunya berpotensi memberatkan Wajib Pajak sehingga menjadi awal
munculnya sengketa antara otoritas pajak dan Wajib Pajak. Sengketa pajak atas ketetapan
otoritas pajak dari hasil pemeriksaan dapat diselesaikan melalui keberatan. Namun, apabila hasil
dari keberatan tersebut masih belum dapat diterima, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya
penyelesaian sengketa pajak ke pengadilan pajak, yaitu melalui pengajuan banding atau gugatan.
Perlu dipahami bahwa pengajuan keberatan, banding, dan gugatan merupakan hak Wajib Pajak
untuk menyikapi ketetapan pajak hasil pemeriksaan yang dianggap memberatkan Wajib Pajak.
Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi atau manajemen bagaimana untuk mengatasi sengketa
pajak yang timbul tersebut agar tidak terlalu memberatkan bagi Wajib Pajak.

5
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih mendalam
mengenai hal tersebut dan dituangkan dalam makalah yang berjudul “Manajemen Pajak dalam
Menghadapi Proses Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah manajemen pajak saat melakukan upaya keberatan atas sengketa pajak?
2. Bagaimanakah manajemen pajak saat melakukan upaya banding atas sengketa pajak
3. Bagaimanakah manajemen pajak saat melakukan upaya peinjauan kembali atas sengketa
pajak?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mendeskripsikan strategi manajemen pajak saat melakukan upaya keberatan atas sengketa
pajak.
2. Mendeskripsikan strategi manajemen pajak saat melakukan upaya Banding atas sengketa
pajak.
3. Mendeskripsikan strategi manajemen pajak saat melakukan upaya Peninjauan Kembali atas
sengketa pajak.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Pajak


Konsep manajemen Pajak menurut Ladiman Djaiz sebagaimana dikutip oleh Santoso dan
Rahayu (2013) menyebutkan bahwa tax management berarti melakukan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan mengenai perpajakan yang
tujuannya adalah untuk peningkatan efisiensi. Peningkatan efisiensi berarti meningkatkan laba
atau penghasilan.
Sedangkan Santoso dan Rahayu (2013) mendefinisikan manajemen pajak sebagai suatu usaha
menyeluruh yang dilakukan terus-menerus oleh Wajib Pajak agar semua hal yang berkaitan
dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif, dan efisien, sehingga
dapat memberikan kontribusi maksimum bagi kelangsungan usaha Wajib Pajak tanpa
mengorbankan kepentingan penerimaan negara. Pengelolaan pajak yang ekonomis berarti
bahwa input pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan (tugas administrasi
perpajakan) dibeli/diperoleh dengan harga relatif murah. Sementara efektifitas pengelolaan
pajak direfleksikan dengan keberhasilan Wajib Pajak mempertahankan pembayaran pajak
minimumnya saat kewajiban perpajakannya (tax compliance) diperiksa oleh pihak otoritas
pajak. Koreksi minimum sebagaimana tertuang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagai hasil
pemeriksaan pajak menunjukkan bukti efektivitas (hasil-guna) Wajib Pajak dalam pengelolaan
administrasi perpajakannya. Efisien, menyiratkan keberhasilan Wajib Pajak dalam efisiensi
pemanfaatan dana (time value of money), penerapan strategi penghematan tanpa menimbulkan
masalah atau beban di kemudian hari, dan pelaksanaan tugas administrasi perpajakan secara
memuaskan dalam konteks waktu dan biaya yang terukur.

2.2 Self Assesment System


Menurut Gunadi di dalam bukunya yang berjudul Panduan Komprehensif Ketentuan Umum
Perpajakan (2016) menyatakan bahwa sistem pemungutan pajak melalui Self assessment

7
memberikan kepercayaan penghitungan dan penetapan pajak terutang kepada Wajib Pajak
dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) sebagai sarana formal penagihan. Penerbitan SKP dari kantor pajak hanya jika administrasi
pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak menurut SPT tidak benar. Konsekuensi dari sistem
Self Assessment menurut UU KUP termasuk:
1. Wajib Pajak diminta mendaftarkan sendiri (self-registration) untuk mendapatkan NPWP dan
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta
menjadi pemungut/pemotong pajak.
2. Mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas dan menyampaikannya ke kantor pajak tempat
mereka terdaftar.
3. Dapat membetulkan SPT jika belum dilakukan pemeriksaan, sebelum terbitnya SKP hingga
sebelum dilakukan penyidikan tentang ketidakbenaran SPT WP.
4. WP dapat meminta pembetulan SKP yang salah dan bahkan meminta pengurangan atau
pembatalan SKP yang tidak benar atau berasal dari pemeriksaan salah prosedur.
5. Menyanggah dan membuktikan ketidakbenaran SKP yang diterbitkan kantor pajak melalui
proses keberatan, banding, dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
6. Menggugat SKP yang dalam penerbitannya terdapat salah prosedur

2.3 Sengketa Pajak


Sengketa pajak merupakan salah satu konsekuensi dari penerapan self assesment system dalam
pemungutan pajak di Indonesia. Untuk menjamin kelancaran dari pelaksanaan self assesment
system sebagaimana mestinya, Direktur Jenderal Pajak tetap melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kepatuhan Wajib Pajak melalui pemeriksaan dan penerbitan produk hukum. Proses
pemeriksaan dan penetapan pajak yang dilakukan oleh fiscus dapat menjadi awal dari timbulnya
sengketa pajak.
Menurut Purwito dan Komariah (2010) sengketa perpajakan merupakan suatu kejadian atau
peristiwa yang bersumber dari adanya perbedaan persepsi, pemahaman, atau penerapan
ketentuan perundang-undangan perpajakan dan perhitungan pajak yang terutang atau yang
sebenarnya harus dibayar antara Wajib Pajak dan sebagai akibat dari hasil pemeriksaan atau
keputusan tertulis pejabat administrasi perpajakan yang diberikan wewenang dan tidak disetujui
atau ditolak oleh Wajib Pajak sehingga menimbulkan ketidakpastian. Sengketa perpajakan
dibagi dalam beberapa kategori menurut Purwito dan Komariah (2010) yaitu:
8
1. Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran formal.
Sengketa ini terjadi jika perundang-undangan atau peraturan-peraturan pelaksanaan
mengenai perpajakan tidak dipatuhi
2. Sengketa bersifat yuridis.
3. Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran material.
Sedangkan Barata (2004) mengelompokkan beberapa hal yang menjadi alasan timbulnya
sengketa pajak yaitu:
1. Perbedaan persepsi atau penafsiran dalam memahami ketentuan dalam perundangundangan
perpajakan;
2. Keterbatasan waktu petugas pajak dalam menginterpretasikan pola bisnis dan sistem
akuntansi yang dianut Wajib Pajak;
3. Keterbatasan petugas dalam memahami peristilahan aktivitas bisnis dan penanaman
akun/rekening pembukuan karena Wajib Pajak tidak mengkomunikasikan dengan benar;
4. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan Wajib Pajak dalam memahami peraturan
perundangundangan yang berlaku;
5. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membedakan laporan keuangan
komersial dengan laporan keuangan fiskal;
6. Perbedaan pendapat dalam pengakuan bukti pendukung/dokumen transaksi

2.4 Penyelesaian Sengketa Pajak


Proses penyelesaian sengketa pajak (dispute settlement) dapat dilakukan melalui berbagai cara.
Menurut Thuronyi dalam buku “Tax Law Design and Drafting” sengketa pajak dapat
diselesaikan dengan beberapa cara berikut:
1. Compromises, yaitu fiscus diberikan diskresi untuk menyelesaikan permasalahan dengan
Wajib Pajak, misalnya Fiskus diberikan kewenangan untuk mengurangi sanksi administrasi.
2. Disputes Within the Tax Authority, yaitu proses penyelesaian masih dilakukan oleh fiskus,
dimana pertama kali dilakukan oleh pihak yang mengeluarkan ketetapan, dan apabila
selanjutnya Wajib Pajak masih tidak dapat menerima, maka Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan kepada pihak yang merupakan divisi yang berbeda dari pihak yang mengeluarkan
ketetapan

9
3. Tax Adjudications, yaitu proses penyelesaian yang dilakukan di Pengadilan Pajak (Tax
Court) yaitu lembaga independent yang berbeda dan terpisah dari otoritas perpajakan.

2.5 Upaya Administrasi dalam Penyelesaian Sengketa Pajak


Upaya administrasi menurut M. Nasir dalam Mangkuprawira dan Ayza (2012: 42) adalah suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata untuk menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara yang timbul akibat merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan
Tata Usaha Negara yang dilaksanakan di lingkungan instansi pemerintahan itu sendiri.
Khususnya dalam lingkup perpajakan, upaya administratif dalam hukum pajak adalah prosedur
yang ditempuh oleh Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak sebagai akibat dari
keputusan pejabat pajak dalam lingkungan Administrasi Pajak itu sendiri sepanjang diatur dalam
undang-undang perpajakan. Salah satu bentuk upaya administratif yang dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak adalah mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak ke Direktorat Jenderal
Pajak

2.6 Upaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Pajak


Adapun upaya hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak terbagi menjadi dua (Asriyani, 2017)
:
a. Banding
Menurut Pudyatmoko dalam Asriyani (2017), banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak
ini merupakan upaya hukum lanjutan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak.
Banding diajukan terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang. Penggunaan hak banding
hanya tertuju pada persoalan surat keputusan keberatan yang telah diterbitkan dalam kerangka
penegakan hukum pajak. Dengan kata lain surat keputusan keberatan itu tidak boleh dijalankan
dan harus diperiksa kembali melalui pengadilan pajak
b. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dilakukan wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan
pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan
perundang- undangan perpajakan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan bahwa Gugatan
sebagai upaya hukum berbeda dengan banding, karena banding dapat menangguhkan
keputusan keberatan sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sementara
itu, gugatan tidak demikian halnya karena yang digugat bukan surat keputusan keberatan

10
melainkan keputusan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan pajak. Gugatan hanya
diperuntukkan bagi wajib pajak atau penanggung pajak untuk melawan surat tagihan pajak
maupun keputusan yang terkait dengan pelaksanaan penagihan pajak secara paksa yang
dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum pajak.

2.7 Upaya Hukum Luar Biasa dalam Penyelesaian Sengketa Pajak


Mangkuprawira dan Ayza (2012: 84) menyatakan bahwa Peninjauan Kembali (PK) merupakan
upaya hukum luar biasa dan terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas dasar
pemikiran tersebut, alasan-alasan yang diajukan dalam PK harus benar-benar jelas khususnya
mengenai pokok sengketanya. PK dapat dicabut namun tidak boleh diajukan kembali
permohonan kembali untuk kedua kalinya

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Keberatan Pajak


Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menguji
kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya adalah melalui
pemeriksaan pajak. Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Direktorat Jenderal
Pajak akan menerbitkan suatu ketetapan pajak. Apabila terhadap ketetapan yang diterbitkan
tersebut Wajib Pajak merasa tidak puas atau tidak sependapat mengenai jumlah rugi, jumlah
pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak, Wajib Pajak dapat menempuh upaya hukum
melalui pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. Adapun keberatan dapat
diajukan atas:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); atau
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan

3.1.1 Dasar Hukum Keberatan Pajak


Dasar hukum dalam bidang perpajakan yang mengatur mengenai keberatan yaitu
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2017, yang kemudian
diatur secara khusus di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan. Kemudian terdapat ketentuan pelaksana
mengenai upaya hukum keberatan terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
202/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
9/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.

12
3.1.2 Syarat Pengajuan Keberatan Pajak
Dalam Pasal 4 PMK 9/PMK.03/2013 dijelaskan bahwa adapun syarat yang harus
dipenuhi dalam hal Pengajuan Keberatan adalah sebagai berikut:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai
alasanalasan yang menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu)
pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil
verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan. Persyaratan angka 4 hanya berlaku
untuk pengajuan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang berkaitan dengan Surat Pemberitahuan
untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan seterusnya;
5. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
a. Surat ketetapan pajak dikirim; atau
b. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaan Wajib Pajak
6. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan
surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) UndangUndang KUP;
dan
7. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU
KUP.
Kemudian dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan
pajak yang masih harus dibayar yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi sebagaimana tercantum dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

13
Wajib Pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan:
a. pengurangan, penghapusan, atau pembatalan sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan;
b. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau
c. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi yang
dilaksanakan tanpa:
1) penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil
Verifikasi; atau
2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi
dengan Wajib Pajak.

3.1.3 Penyampaian Pengajuan Keberatan Pajak


Apabila Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 4 PMK 9/PMK.03/2013, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak
adalah menyampaikan Surat Keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Penyampaian surat tersebut
dapat dilakukan secara langsung, melalui pos dengan bukti pengiriman surat atau dengan
cara lain seperti melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman
surat atau e-Filing.
Atas Penyampaian surat keberatan, Wajib Pajak akan mendapatkan tanda bukti
penerimaan surat keberatan berupa Bukti Penerimaan Surat yang diberikan oleh petugas
yang ditunjuk pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat
Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan; atau Bukti Pengiriman Surat apabila menyampaikan
surat keberatan melalui pos atau jasa ekspedisi lain; atau diberikan Bukti Penerimaan
Elektronik apabila menyampaikan surat keberatan melalui e-Filing. Tanggal yang tercantum
dalam tanda bukti penerimaan surat keberatan merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.

14
3.1.4 Pencabutan Pengajuan Keberatan Pajak
Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal Surat Pemberitahuan Untuk Hadir diterima oleh
Wajib Pajak. Adapun pencabutan pengajuan keberatan dilakukan melalui penyampaian
permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat
mencantumkan alasan pencabutan.
b. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan
tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus
dilampiri dengan surat kuasa khusus
c. surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Dan atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud di atas,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban berupa surat persetujuan atau surat
penolakan.
Selanjutnya apabila Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak tidak
dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang
tidak benar. Kemudian, bila Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang terkait dengan
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, pajak yang masih
harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau
pembahasan akhir hasil verifikasi, menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak.

3.1.5 Keputusan Keberatan


Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak meminta
Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
(SPUH) yang dilampiri dengan:
a. pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan; dan
b. formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan.

15
Adapun pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan yang dilampirkan bersamaan
dengan SPUH tidak bersifat final dan bukan merupakan keputusan atas keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa
mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak
yang masih harus dibayar. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud tersebut telah
terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan,
keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib
menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.
Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak
yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Kemudian apabila pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%
(lima puluh persen) tidak dikenakan dalam hal:

16
a. Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan,
b. Pengajuan keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi
persyaratan pengajuan keberatan, atau
c. Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan.

3.1.6 Manajemen Keberatan Pajak


Manajemen Pajak yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak dalam pengajuan
keberatan pajak adalah sebagai berikut :

3.1.6.1 Manajemen Pajak Sebelum Pengajuan Keberatan Pajak (Persiapan)


Atas Surat Ketetapan Pajak yang hendak diajukan keberatan, Wajib Pajak dapat mengkaji
terlebih lanjut terkait dengan:
1) Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak, perhitungan rugi, pemotongan atau pemungutan
pajak kepada DJP melalui KPP tempat WP terdaftar. Diretur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu
paling lama 20 hari sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima;
2) Mencari tahu penyebab atas koreksi yang dilakukan sebagai dasar Wajib Pajak
dalam mempertimbangkan apakah atas Surat Ketetapan Pajak yang terbit akan
mengajukan keberatan atau tidak. Apabila akan mengajukan keberatan, perlu
diteliti kembali bagian mana dari Surat Ketetapan Pajak yang memiliki
argumentasi kuat untuk dimenangkan pada proses keberatan yang akan diajukan.
Hal ini mengingat sanksi yang akan timbul apabila pengajuan keberatan Wajib
Pajak ditolak, yaitu sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak;
3) Memaparkan secara jelas argumentasi dan dasar hukum pos yang akan diajukan
keberatan pada Surat Permohonan Keberatan yang akan disampaikan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
4) Selain itu persiapan administratif juga sangat perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak,
yaitu berupa pemenuhan syarat formal pengajuan keberatan sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 25 UU KUP.

17
3.1.6.2 Manajemen Pajak Saat Proses Keberatan Pajak (Pelaksanaan)
Pengajuan surat permohoanan keberatan oleh Wajib Pajak yang disampaikan ke KPP
dimana WP tersebut terdaftar akan ditindak lanjuti oleh Kantor Wilayah atau Kantor
Pusat. Surat permohonan keberatan akan diperiksa terlebihi dahulu apakah sudah
memenuhi persyaratan formal atau belum, persyaratan formal yang dimaksud sesuai
yang tercantum dalam Pasal 25 UU KUP.
• Apabila syarat formal tidak terpenuhi
Apabila syarat formal sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 UU KUP tidak
terpenuhi, maka Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan dan
menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 bulan terlampaui. Namun jika
jangka waktu tersebut terlampaui maka permohonan tersebut akan ditolak atau
dinyatakan tidak dapat dipertimbangan dan tidak diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan (Pasal 25 ayat (4) UU KUP) dan Wajib Pajak dianggap telah menerima
perhitungan pajak yang telah tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak yang
ditentukan DJP. Apabila waktu 3 bulam dirasa tidak cukup untuk mengajukan
permohonan keberatan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan melalui Pasal 36
UU KUP yaitu permohonan permbatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar,
sehingga dapat mengajukan gugatan.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa tidak sedikit Wajib Pajak yang
mengalami tidak diterimanya permohonan keberatan atas SKP karena tidak
memenuhi syarat formal. Dalam menyikapi hal tersebut, maka Wajib Pajak harus
teliti dan peka pada saat melakukan permohonan keberatan. Wajib Pajak harus
teliti bahwa tidak akan ada kesalahan dalam memenuhi syarat formal untuk
melakukan permohonan keberatan, serta peka apabila baru mengingat bahwa ada
yang lupa atau ada yang salah pada saat melakukan permohonan keberatan.
• Apabila syarat formal diterima
Apabila syarat formal yang tercantum dalam Pasal 25 UU KUP dapat terpenuhi,
maka langkah selanjutnya adalah bagi DJP adalah membuat suatu tim untuk
menelaah keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Tim tersebut akan meminta
dokumen-dokumen yang diperlukan untuk memeriksa keberatan yang diajukan
dan tugas. Wajib Pajak yang mengajukan kebaratan tersebut harus menyerahkan
dokumen-dokumen pendukung alasan mengapa Wajib Pajak keberatan kepada

18
Direkorat Jenderal Pajak. Tim penelaah tidak hanya akan meminta dokumen
kepada Wajib Pajak, tetapi juga meminta dokumen atau bukti-bukti ke DJP atas
diterbitkannya SKP ke Wajib Pajak. Selanjutnya, dokumen tersebut akan ditelti
dan ditelaah oleh DJP. Jika disimpulkan, tim penelaah keberatan akan melakukan
penelaah keberatan dengan cara:
1) Peminjaman Data dan Pemberian Keterangan
a. meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy
dan/atau softcopy kepada Wajib dan Wajib Pajak wajib memenuhi paling
lama 15 hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat peminjaman dan/atau
permintaan;
b. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan dan Wajib Pajak
wajib memenuhi paling lama 15 hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat
peminjaman dan/atau permintaan;
c. meminta pihak lain diluar Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan
data dan atau keterangan ; dan/atau
d. meninjau ke tempat Wajib Pajak jika diperlukan
Bagi Wajib Pajak yang mengajukan keberatan atas suatu pemotongan atau
pemungutan pajak, maka Wajib Pajak wajib menyerahkan asli bukti
pemotongan atau pemungutan pajak dan surat pernyataan yang menyatakan
bahwa pemotongan atau pemungutan pajak belum atau tidak akan
dikreditkan.

2) Peminjaman Data dan Pemberian Keterangan Yang Kedua


Apabila Wajib Pajak belum meminjamkan sebagian atau seluruh buku,
catatan, data dan infomasi dan/atau belum memberikan ketarangan yang
diminta sampai denga jangka waktu 15 hari kerja sejak tanggal
dikirimkannya surat peminjaman dan/atau permintaan, maka Kepala Unit
Pelaksana Penelitian Keberatan atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan peminjaman dan/atau permintaan yang kedua dalam jangka
waktu 5 (lima) hari kerja sejak batas waktu tersebut diatas berakhir. Wajib
Pajak wajib memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua ini
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat

19
peminjaman dan/atau permintaan. Dalam hal masih diperlukan, Wajib Pajak
wajib meminjamkan bukti tambahan dan/atau memberikan penjelasan, dalam
jangka waktu sebagaimana disebut dalam surat peminjaman dan/atau
permintaan tambahan.
3) Wajib Pajak Tidak Memenuhi Permintaan Data
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya peminjaman
dan/atau permintaan serta tidak menyerahkan asli bukti pemotongan atau
pemungutan pajak dan surat pernyataan yang menyatakan bahwa
pemotongan atau pemungutan pajak belum atau tidak akan dikreditkan maka
keberatan tetap diproses sesuai dengan data yang ada atau diterima dan
Kepala Unit Pelaksana Penelitian keberatan atas nama Direktur Jenderal
Pajak membuat Berita Acara.
4) Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain dalam rangka Keberatan
Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain
dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang
objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan
keberatan.

Selanjutnya setelah menelaah dokumen terkait dan sebelum menerbitkan Surat


Keputusan Keberatan, DJP dapat melakukan pembahasan sengketa perpajakan yang
diajukan keberatan dengan Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang terkait. DJP akan
meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh
penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH). Pada saat pertemuan tersebut, akan membahas
mengenai permasalahan yang diajukan keberatan, membahas dokumendokumen
terkait, wajib pajak juga diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan-tanggapan.
Setelah itu, wajib pajak juga menanadatangani berita acara SPUH. Direktur Jenderal
Pajak memanggil dengan menerbitkan surat yang dikirimkan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan sengketa perpajakan. Pembahasan
sengketa perpajakan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Sengketa
Perpajakan. Apabila Wajib Pajak tidak memanfaatkan kesempatan untuk hadir: (a)
dibuat Berita Acara; dan (b) proses keberatan tetap dapat diselesaikan.

20
3.1.6.3 Manajemen Pajak Setelah Keputusan Keberatan Pajak
 Setelah pembahasan melalui SPUH selesai, DJP akan menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan selambat-lambatnya 12 bulan sejak diterima surat
permohonan keberatan. Keputusan atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya, mengabulkan seluruhnya, menolak, atau menambah besarnya jumlah
pajak yang masih harus dibayar. Apabila lebih dari 12 bulan DJP tidak
menerbitkan Surat Keputusan Kebaratan, maka keberatan tersebut dianggap
dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Keputusan keberatan
paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu tersebut berakhir.
 Wajib Pajak dapat menerima hasil dari keputusan keberatan tersebut. Apabila
keputusannya ditolak, mengabulkan sebagian atau menambahkan jumlah pajak
yang terutang, Wajib Pajak harus melunasi pajak terutang yang masih belum
dibayar dalam waktu satu bulan sejak diterbitkannya surat keputusan keberatan
ditambah sanksi denda sebesar 50% atas pajak yang belum dibayar tersebut.
Namun, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) tidak
dikenakan dalam hal:
a. Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan,
b. pengajuan keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan karena tidak
memenuhi persyaratan pengajuan keberatan, atau
c. Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan
 Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan hasil keputusan keberatan dan merasa
belum memperoleh keadilan, Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke
Pengadilan Pajak. Dengan melakukan pengajuan banding, akan menunda
penagihan untuk melunasi pajak terutang yang belum dibayar dalam Surat
Keputusan Keberatan.
 Sebelum mengajukan banding, Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP mengenai alasan yang
menjadi dasar untuk mengabulkan sebagian atau menolak, atau menambah
besarnya pajak yang terutang dalam surat keberatan Wajib Pajak. Atas permintaan
tersebut, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis
kepada Wajib Pajak paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak surat permintaan

21
Wajib Pajak diterima. Jangka waktu pemberian keterangan tersebut tidak
menunda jangka waktu pengajuan banding.
 Hal tersebut dilakukan agar Wajib Pajak dapat mengevaluasi keputusan keberatan
dan mempertimbangkan apakah argumentasi dan dokumen pendukung yang
diperlukan untuk memperkuat argumentasi tersedia. Cukup kuat untuk diajukan
Banding, mengingat sanksi yang akan diterima dapat menjadi semakin besar
apabila pengajuan Banding ditolak.

3.2 Banding Pajak


Dalam Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 6
mendefinisikan banding sebagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Sengketa banding dapat menyangkut
masalah formal, yaitu sengketa yang timbul akibat prosedur dan tata cara perpajakan dalam
UU KUP dan UU Pengadilan Pajak tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dan material,
yaitu sengketa yang timbul akibat adanya perbedaan jumlah pajak terutang atau perbedaan
jumlah kelebihan pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak.

3.2.1 Proses Banding Pajak


Upaya banding hanya dapat dilakukan terhadap suatu keputusan yang menurut UU
perpajakan dapat diajukan banding yang mengaju kepada Pasal 27 ayat (1) UU KUP dengan
memenuhi syarat formal pada Pasal 27 UU KUP, yaitu:
1. permohonan banding diajukan secara tertulis
2. diajukan dalam Bahasa Indonesia
3. permohonan banding harus menyebutkan alasan dan jumlah pajak yang terutang
4. permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan
Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
Kemudian syarat-syarat formal tersebut diperjelas lagi dalam hukum acara banding yang
terdapat pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 UU Pengadilan Pajak, yaitu:
1. Banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia;
2. Banding diajukan kepada Pengadilan Pajak secara tertulis;

22
3. Banding diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya. Apabila bukan Wajib Pajak yang menandatangani, maka harus menggunakan
Surat Kuasa Khusus sebelum banding diajukan;
4. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat
Keputusan Keberatan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundangundangan perpajakan;
5. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
6. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, perhitungan menurut Wajib
Pajak, dasar hukum dan mencantumkan tanggal diterimanya Surat Keputusan yang
dibanding;

Adapun alur atau proses pengajuan banding adalah sebagai berikut:


- Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding kepada Terbanding dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Banding lengkap.
- Dalam hal pemohon banding melengkapi surat atau dokumen susulan, jangka waktu
14 hari dihitung sejak tanggal diterimanya surat atau dokumen susulan dimaksud.
- Terbanding menyerahkan Surat Uraian Banding kepada Pengadilan Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Permintaan Surat Uraian Banding.
- Salinan Surat Uraian Banding oleh Pengadilan Pajak dikirimkan kepada Pemohon
Banding dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima.
- Pemohon Banding memberikan tanggapan/bantahan atas Surat Uraian Banding yang
diterimanya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat
Bantahan.
- Meskipun Terbanding atau Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud angka 3 dan 5, Pengadilan Pajak tetap melanjutkan
pemeriksaan banding.

23
Gambar 3.1
Skema Banding Pajak

3.2.2 Dasar Hukum Banding Pajak


Dasar hukum banding pajak adalah sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
2. Pasal 1, 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
3. Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
4. Surat Edaran Nomor: SE-08/PP/2017 tentang Perubahan atas Surat Ketua Pengadilan
Pajak Nomor SE-002/PP/2015 tentang Kelengkapan Administrasi Banding atau
Gugatan.

24
3.2.3 Objek Banding Pajak
Menurut perundang-undangan perpajakan keputusan yang dapat diajukan banding
(objek banding) adalah :
JENIS PAJAK DASAR PENGAJUAN KEPUTUSAN YANG DAPAT DIAJUKAN
BANDING BANDING

PPh Ps. 27 (1) UU KUP Keputusan Keberatan


PPN/PPnBM Ps. 27 (1) UU KUP Keputusan Keberatan
1. Keputusan penolakan sebagai WP PBB
PBB Ps. 17 (1) UU PBB
2. Keputusan Keberatan
BPHTB Ps. 18 (1) UU BPHTB Keputusan Keberatan

1. Keputusan penetapan tariff dan nilai pabean


2. Keputusan Keberatan atas penetapan tariff
dan nilai pabean (Pemberitahuan berupa
Bea Masuk Ps. 95 (1) UU Kepabeanan SPKPBM)
3. Keputusan keberatan atas sanksi
administrasi

1. Keputusan pencabutan ijin melakukan usaha


2. Keputusan Keberatan atas penutupan buku
Cukai Ps. 42 UU Cukai rekening barang kena cukai
3. Keputusan Keberatan atas sanksi

administrasi

Pajak Daerah Ps. 105 UU PDRD Keputusan Keberatan

Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 14 tahun 2002 objek sengketa pajak yang
merupakan kewenangan PP atau kompetensi PP adalah keputusan pejabat di bidang
perpajakan yang menurut perundang-undangan perpajakan dapat diajukan banding atau
gugatan. Keputusan Badan/Pejabat TUN Perpajakan yang dapat diajukan banding yaitu : a.
Keputusan keberatan (Pasal 26 (1) UU KUP),
b. Keputusan keberatan PBB (Pasal l7 (1) UU PBB),
c. Keputusan keberatan BPHTB (Pasal 17 (1) UU BPHTB),
d. Penetapan Bea Masuk (Pasal 17 (2) UU Kepabeanan),
e. Keputusan keberatan mengenai tarif/nilai pabean dalam menghitung Bea Masuk (Pasal

25
93 (2) UU Kepabeanan),
f. Keputusan keberatan mengenai sanksi administrasi Bea Masuk (Pasal 94 (2) UU
Kepabeanan),
g. Keputusan atas pencabutan izin usaha sehubungan dengan pelaksanaan UU Cukai,
(Pasa1 14 (4) UU Cukai)
h. Keputusan keberatan atas penutupan buku rekening barang kena cukai, dalam rangka
pelaksanaan UU Cukai, (Pasa1 41 (3) UU Cukai),
i. Keputusan keberatan atas sanksi administrasi dalam rangka pelaksanaan UU Cukai,
(pasa1 41 (3) UU Cukai),
j. Keputusan Keberatan Pajak Daerah.

3.2.4 Syarat Pengajuan Banding Pajak


Syarat pengajuan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 38 UU
PP yaitu:
a. Banding diajukan dalam bahasa Indonesia kepada PP;
b. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan
yang diajukan banding, atau ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang diajukan
banding;
c. Jangka waktu tersebut diatas tidak mengikat apabila tidak dapat dipenuhi karena keadaan
diluar kekuasaan pemohon banding;
d. Satu keputusan diajukan dalam satu surat banding;
e. Banding disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal terima surat
keputusan yang diajukan banding;
f. Melampirkan surat keputusan yang diajukan banding;
g. Telah dibayar 50% (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang;
h. Surat Banding diajukan oleh WP, ahli warisnya atau kuasa hukumnya, pengampu atau
yang menerima pertanggung jawaban.
Pemohon banding dapat melengkapi surat banding sepanjang masih dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan.

26
3.2.5 Penyampaian Pengajuan Banding Pajak
Penyampaian pengajuan banding pajak dilakukan oleh pemohon banding. Pemohon banding
adalah WP, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya (Pasal 37 ayat (1) UU
PP). Menurut peraturan perundang-undangan perpajakan, yang dapat mengajukan banding
sebagai Pemohon Banding adalah:
a. “WP” yaitu orang pribadi atau badan (Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal l ayat (1) UU KUP,
Pasal 18 ayat (1) UU PBB, Pasal 18 ayat (1) UU BPHTB),
b. “Orang” yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan impor barang
(Pasal 95 ayat (1) jo. Pasal l angka 12 UU Kepabeanan),
c. “Orang” yaitu badan hukum atau orang pribadi (Pasal 42 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 8
UU Cukai) ,
d. “WP Daerah” yaitu orang atau badan hukum yang berkewajiban untuk membayar pajak
daerah (Pasal 105 UU PDRD).
Dalam hal WP (termasuk wajib bea dan cukai) adalah orang pribadi atau orang perseorangan,
banding diajukan oleh :
a. orang itu sendiri sebagai WP, atau;
b. ahli warisnya jika WP tersebut telah meninggal, atau;
c. pengampunya (kurator), jika WP tersebut pailit, atau;
d. kuasa hukumnya dengan memberikan surat kuasa khusus.
Dalam hal WP (termasuk wajib bea, wajib cukai) adalah “badan” atau “badan hukum”,
banding diajukan oleh :
a. wakilnya yaitu “seorang pengurus” sebagaimana tercantum dalam akte, atau;
b. pihak yang menerima pertanggung jawaban, jika WP melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha atau likuidasi,
c. pengampunya (kurator), jika WP tersebut pailit, atau;
d. kuasa hukumnya dengan memberikan surat kuasa khusus. Selanjutnya hal yang
dilakukan oleh pemohon banding adalah:
- mengajukan permohonan banding tersebut sesuai dengan persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 38 UU PP.
- Contoh Format Surat Banding dapat dilihat di Surat Edaran Nomor: SE-08/PP/2017
tentang Perubahan atas Surat Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-002/PP/2015 tentang
Kelengkapan Administrasi Banding atau Gugatan (SE-08/2017).

27
- Kelengkapan administrasi Surat Banding dapat dilihat di Bagian Ruang Lingkup
SE08/2017
Cara menyampaikan surat banding dapat dilakukan dengan:
- Diantar langsung dan disampaikan melalui Loket Penerimaan Surat Pengadilan Pajak -
Dikirim melalui ekspedisi tercatat atau Pos tercatat

3.2.6 Pencabutan Pengajuan Banding Pajak


Pernyataan pencabutan surat banding dan gugatan diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 42
UU PP. Banding/Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan penetapan Ketua,
jika sidang belum dimulai, dan dengan putusan Majelis/Hakim Tunggal jika sidang telah
dimulai. Pemohonan Banding/gugatan yang telah dicabut tidak dapat diajukan lagi.

3.2.7 Keputusan Banding


Sifat Putusan PP merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dan tidak dapat diajukan gugatan lagi ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara atau badan peradilan lainnya, kecuali putusan berupa tidak dapat diterima karena
bukan kewenangan PP (Pasal 77 ayat (1) UU PP). Putusan PP diambil berdasarkan
pertimbangan :
1. hasil penilaian pembuktian,
2. berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan,
3. berdasarkan keyakinan Hakim.
Putusan diambil berdasarkan musyawarah dalam sidang tertutup yang dipimpin oleh
Hakim Ketua, dan apabila tidak dicapai kesepakatan putusan diambil berdasarkan suara
terbanyak, dan pendapat Hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan
dalam putusan (dissenting opinion). Bentuk putusan atau disebut juga dengan “amar”
putusan dapat berupa:
a. menolak, dalam hal seluruh alasan Banding/Gugatan tidak diterima,
b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya, dalam hal seluruh alasan Banding/Gugatan
diterima sebagian/seluruhnya,
c. menambah pajak yang harus dibayar, dalam hal dalam Keputusan Keberatan terdapat
antara lain kesalahan hitung dan penerapan Tarif/PTKP dengan catatan tidak boleh ultra
petita,
28
d. tidak dapat diterima, dalam hal persyaratan formal Banding/Gugatan tidak terpenuhi,
e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dalam hal dalam Putusan PP
terdapat kesalahan tulis dan / atau hitung,
f. membatalkan, dalam hal Keputusan Keberatan atau ketetapan / keputusan yang diajukan
keberatan atau gugatan tidak memenuhi persyaratan formal
Terhadap putusan PP tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding atau Kasasi (Pasal 80 ayat
(2) UU PP).
Putusan PP harus diambil dalam jangka waktu berikut ini :
a. Putusan dengan acara biasa atas banding, dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
b. Putusan dengan acara biasa atas gugatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan,
c. dalam hal banding putusan dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan,
d. dalam hal gugatan putusan dapat diperpanjang 1 (satu) bulan
e. dalam hal gugatan selain atas pelaksanaan penagihan pajak, tidak diputus dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan, PP wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara
cepat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 6 (enam) bulan dilampaui.
Putusan pemeriksaan acara cepat dengan putusan tidak dapat diterima terhadap
Permohonan Banding/Gugatan yang tidak memenuhi syarat formal diputus dalam jangka
waktu:
- 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan banding atau gugatan dilampaui,
- 30 (tiga puluh) hari sejak banding/gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas
waktu pengajuan dilampaui.
Putusan acara cepat untuk membetulkan putusan karena terjadi kesalahan tulis atau
hitung diambil dalam jangka waktu 30 hari sejak kesalahan diketahui, atau sejak permohonan
salah satu pihak. Putusan acara cepat tidak dapat diterima karena bukan kewenangan PP,
diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Surat Banding/Gugatan diterima.
Dalam hal putusan diambil karena bukan kewenangan PP dapat diajukan gugatan kepada
pengadilan yang berwenang.

3.2.8 Manajemen Banding Pajak


Manajemen Pajak yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak dalam pengajuan
banding pajak adalah sebagai berikut:

29
3.2.8.1 Manajemen Pajak Sebelum Pengajuan Banding Pajak (Persiapan)
Sebelum mengajukan proses banding ke Pengadilan Pajak perlu diperhatikan
beberapa hal yaitu:

1. Menganalisis Substansi Sengketa dan Resiko


Sebelum mengajukan permohonan banding Wajib Pajak harus menganalisa sengketa
yang dihadapi atau sengketa pajak yang akan diajukan banding serta resiko-resiko yang
kemungkinan akan terjadi kedepannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah biaya-biaya
yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam mengajukan banding. Biaya yang
diperlukan dalam proses banding diantaranya atas waktu, persiapan dokumendokumen
pendukung, dan juga biaya konsultan apabila menunjuk konsultan pajak dalam
pengajuan permohonan. berdasarkan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP terdapat sanksi apabila
permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian. Sanksi tersebut berupa denda
sebesar 100% (serratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan.
Selain itu pada saat Wajib Pajak akan mengajukan banding pajak maka ada salah satu
syarat yaitu telah membayar 50% (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang.

2. Memahami Persyaratan Formal Banding


Berdasarkan Pasal 27 UU KUP Wajib Pajak yang akan melakukan proses banding
harus memenuhi persyaratan secara formal agar Banding dapat diterima dan kemudian
di proses oleh Pengadilan Pajak. Persyaratan formal yang harus dipenuhi dalam
pengajuan banding adalah sebagai berikut:
1. Objek yang diajukan Banding adalah Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan
oleh Direktorat Jendral Pajak;
2. Mengajukan surat permohonan tertulis kepada badan peradilan pajak (Pengadilan
Pajak);
3. Surat Permohonan ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas;
4. Batas waktu pengajuan surat permohonan adalah paling lama 3 (tiga) bulan sejak
Surat Keputusan Keberatan diterima;
5. Surat Permohonan dilampiri dengan Salinan Surat Keputusan Keberatan terkait.

30
Kemudian lebih lanjut berdasarkan Pasal 39 UU Pengadilan Pajak, persyaratan formal
dalam proses banding, yaitu:
6. Banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia;
7. Banding diajukan kepada Pengadilan Pajak secara tertulis;
8. Banding diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya. Apabila bukan Wajib Pajak yang menandatangani, maka harus
menggunakan Surat Kuasa Khusus sebelum banding diajukan;
9. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat
Keputusan Keberatan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan;
10. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
11. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, perhitungan menurut
Wajib Pajak, dasar hukum dan mencantumkan tanggal diterimanya Surat Keputusan
yang dibanding

3. Mempersiapkan Dokumen-dokumen Pendukung


Berdasarkan Surat Edaran Nomor 02 Pengadilan Pajak Tahun 2015 Tentang
Kelengkapan Administrasi Banding/ Gugatan (SE 02/PP/2015) disebutkan bahwa perlu
dipersiapkannya dokumen-dokumen dibawah ini:
1. Surat Banding atau Surat Gugatan dan fotokopi Keputusan/ Surat yang diajukan
Banding/ Gugatan yang dibuat dalam 2 (dua) rangkap;
2. Bukti pembayaran 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak yang terutang apabila
terdapat jumlah pajak yang terutang dan/ atau telah disetujui berdasarkan hasil
pemeriksaan;
3. Surat ketetapan atau dokumen-dokumen pendukung lain terkait dengan pengajuan
Banding/ Gugatan termasuk:
- fotokopi akta pendirian perusahaan (apabila berbadan hukum) yang telah
dimateraikan;
- Surat Kuasa (apabila dikuasakan) yangtelahdibubuhi materai;
- fotokopi kartu kuasa hukum (apabila dikuasakan kepada kuasa hukum); dan
- fotokopi bukti-bukti pendukung berupa surat/ dokumen yang telah dimateraikan
kemudian.

31
4. Untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa pajak, Pemohon Banding/ Gugatan
agar menyertakan juga surat Banding/ Gugatan dalam bentuk softcopy dalam format
Microsoft Office dan dikemas dalam media Compact Disc/ Flash Disk
4. Penunjukan Kuasa Hukum atau Person In Charge
Sebelum mengajukan Banding Pajak hal yang perlu diperhatikan Wajib pajak yaitu
harus memilih orang yang memiliki kriteria memahami ketentuan perpajakan secara
mendalam dan update, mampu berargumentasi dengan baik dan terstruktur, harus memahami
materi yang diajukan Banding, dan emosi yang stabil. Hal ini berpengaruh selama proses
persidangan berlangsung. Kuasa Hukum Wajib Pajak dapat mendampingi Wajib Pajak dalam
beracara atau persidangan di Pengadilan Pajak. Apabila para pihak didampingi, maka dalam
beracara di Pengadilan Pajak ini para pihak yang bersengketa wajib hadir dan turut secara
aktif untuk mengikuti jalanya pemeriksaan di persidangan. Sementara apabila para pihak
yang bersengketa itu diwakili, maka para pihak yang bersengketa tidak harus hadir di
persidangan, kecuali apabila diperlukan. Person in charge (PIC) sangat menentukan
bagaimana hasil keputusan banding yang dilaksanakan. Oleh karena itu Wajib Pajak harus
menunjuk orang atau pihak yang benar-benar memahami sengketa yang diajukan banding.
Selain itu dalam penyelesaian kasus Banding Pajak tidak cukup pengetahuan hanya seputar
pajak saja namun lebih luas terhadap kasus yang dihadapi. Seperti contoh apabila kasus yang
dihadapai berkaitan dengan penyerahan barang tertenu yang sebenarnya dibebaskan PPN,
namun menurut termohon banding spesifikasi atau kriteria barang tersebut merupakan
kriteria barang yang dikenakan PPN. Oleh sebab itu Person in charge harus memahami benar
dan dapat menjelaskan bahwa barang tersebut merupakan jenis barang dengan spesifikasinya
merupakan jenis barang yang dimaksud dibebaskan pengenaan PPN-nya berdasarkan
ketentuan yang berlaku.

3.2.8.2 Manajemen Pajak Saat Proses Sidang Banding Pajak (Pelaksanaan)


a. Sebelum pemeriksaan dalam persidangan dilakukan persiapan persidangan
sebagai berikut :
a) Penelitian persyaratan kelengkapan dan kejelasan Banding/Gugatan
PP melakukan penelitian persyaratan kelengkapan Banding/Gugatan dan
Pemohon Banding/Penggugat dapat melengkapi surat bandingnya sepanjang

32
masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan
sebagaimana diatur Pasal 35 ayat (2) UU PP.
b) Permintaan Surat Uraian Banding/Surat Tanggapan
Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PP, PP meminta Surat Uraian Banding kepada
Terbanding atau Surat Tanggapan kepada Tergugat dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari sejak diterimanya Surat Banding/Gugatan. Berdasarkan Pasal
45 ayat (1) UU PP, Terbanding dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sudah harus
menyampaikan Surat Uraian Banding ke PP, atau Tergugat dalam jangka waktu
1 (satu) bulan sudah harus menyampaikan Surat Tanggapannya.
c) Permintaan Surat Bantahan
Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU PP, dalam tempo 14 hari sejak tanggal terima
Surat Uraian Banding/Surat Tanggapan, PP menyampaikan Surat Uraian
Banding atau Surat Tanggapan tersebut kepada Pemohon Banding/Penggugat.
Pemohon Banding/Penggugat berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UU PP dapat
menyerahkan Surat Bantahan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
d) Penyerahan Surat Bantahan
Berdasarkan Pasal 44 ayat (4), dalam jangka waku 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya Surat Bantahan, PP mengirimkan Surat Bantahan kepada
Terbanding/Penggugat. Proses persiapan persidangan diperlukan agar
masingmasing pihak telah mengetahui duduk perkaranya / maksud pokok
sengketa, baik sengketa Formal maupun Material, sehingga jalannya persidangan
dapat lebih lancar, cepat dan akan memudahkan Majelis Hakim dalam
memutuskan.
e) Apabila Terbanding tidak memenuhi ketentuan untuk mengirimkan Surat Uraian
Banding atau serta Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan untuk
mengirimkan Surat Bantahan, Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan
Banding.

b. Pada saat proses sidang


Dalam proses sidang terdapat 2 Jenis Pemeriksaan dalam persidangan:
1) Pemeriksaan dengan Acara Biasa, pemeriksaan ini dilakukan oleh Majelis yang
terdiri dari Hakim Ketua, Anggota dan Panitera dan dihadiri oleh terbanding dan

33
apabila dipandang perlu, pemohon Banding atau penggugat atau Kuasa
Hukumnya.
Pemeriksaan dengan Acara Biasa dilakukan pada:
Surat Permohonan Banding yang memenuhi ketentuan formal, yaitu:
a. Surat Banding diajukan masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan yang dibanding diterima.
b. Pajak yang terutang telah dibayar sampai dengan 50 % (lima puluh
persen) dari jumlah hutang pajak, dengan melampirkan bukti
pembayaran.
2) Pemeriksaan dengan Acara Cepat, dilakukan oleh Hakim Tunggal, dan dihadiri
oleh terbanding dan apabila dipandang perlu pemohon Banding atau penggugat
atau Kuasa Hukumnya. Pemeriksaan dengan Acara Cepat dilakukan terhadap:
a. Sengketa Pajak tertentu.
b. Apabila pemohonan banding memberitahukan akan hadir dalam persidangan
maka, Hakim Ketua akan memberitahukan tanggal dan hari sidang kepada
pemohon banding atau penggugat, dan memanggil pemohon banding untuk
menghadiri persidangan.
c. Pada awal persidangan Hakim Ketua menjelaskan masalah yang
disengketakan kepada para pihak yang bersengketa.
d. Hakim Ketua menanyakan kepada terbanding mengenai hal-hal yang
dikemukakan pemohon Banding dalam surat banding dan dalam surat
bantahan.
e. Apabila dipandang perlu Hakim Ketua dapat memanggil pemohon Banding
untuk hadir dalam persidangan, guna memberikan keterangan yang
diperlukan dalam rangka penyelesaian sengketa pajak.

Proses pemeriksaan:
1. Dalam hal keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka persidangan
dengan mengetukkan palu sebagai tanda dimulainya persidangan dan
menyatakan persidangan terbuka untuk umum.
2. Hakim Ketua dan / atau Hakim Tunggal melakukan penelitian identitas
pemohon banding dan Kuasa Hukumnya antara lain dengan mencocokkan

34
tanda tangan apakah pihak yang hadir sesuai dengan pihak-pihak yang
menandatangani Surat Banding tersebut.
3. Hakim Ketua dan Anggota majelis melakukan pemeriksaan berkas perkara.
4. Dalam setiap pemeriksaan sengketa pajak, Panitera harus membuat Berita
Acara Sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan.
5. Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua atau Hakim Tunggal
dan Panitera.
6. Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera berhalangan, Berita
Acara Sidang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Pajak dengan
menyatakan bahwa Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera
berhalangan.
Upaya manajemen pajak yang dapat dilakukan pada saat proses sidang adalah dengan
cara memberikan penjelasan yang jelas secara lisan maupun tertulis kepada majelis
hakim yang akan memutus perkara atau sengketa. Selanjutnya Wajib Pajak juga
harus dapat meyakinkan majelis hakim dengan cara yang persuasif dan logis bahwa
pendapat yang dikemukakan Wajib Pajak merupakan pendapat yang sesuai atau
tercantum dalam Undang-Undang atau aturan pajak yang terkait. Hal ini harus dapat
dilakukan Wajib Pajak karena pemberian penjelasan kepada hakim sangat diperlukan
untuk hakim mengambil keputusan. Karena pada dasarnya hakim memiliki latar
belakang yang berbeda dan pengetahuan yang berbeda pula. Dengan memberikan
penjelasan maka persepsi hakim terhadap kasus akan sesuai dengan pandangan kita
dan keputusan yang dihasilkan dapat sesuai dengan harapan.

3.2.8.3 Manajemen Pajak Setelah Keputusan Banding Pajak


Sifat Putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dan dan tidak dapat diajukan gugatan lagi ke Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau badan peradilan lainnya, kecuali putusan
berupa tidak dapat diterima karena bukan kewenangan Pengadilan Pajak hal ini
berdasarkan (Pasal 77 ayat (1) UU PP). Putusan pengadilan pajak diambil
berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan
perundangundangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan
hakim.

35
Putusan pengadilan pajak dapat berupa:
 Menolak
 Mengabulkan sebagian atau seluruhnya
 Menambah pajak yang harus dibayar
 Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung
 Membatalkan
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan pertimbangan :
1) hasil penilaian pembuktian,
2) berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, 3)
berdasarkan keyakinan Hakim.
Putusan diambil berdasarkan musyawarah dalam sidang tertutup yang dipimpin oleh
Hakim Ketua, dan apabila tidak dicapai kesepakatan maka putusan diambil
berdasarkan suara terbanyak, dan pendapat Hakim yang tidak sepakat dengan
putusan tersebut dinyatakan dalam putusan (dissenting opinion).

Pelaksanaan Putusan
Alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan untuk meyakinkan Majelis
Hakim dalam mengambil Putusan dapat berupa:
o Surat atau tulisan;
o Keterangan ahli;
o Keterangan para saksi;
o Pengakuan para pihak; dan/atau
o Pengetahuan Hakim

Putusan pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan karena putusan pengadilan


pajak tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang-undangan mengatur lain. Apabila putusan pengadilan pajak mengabulkan
sebagian atau seluruh banding maka, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

36
Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan banding pajak maka, jangka waktu
pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak
tanggal penerbitan putusan banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak
menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga penagihan sebesar 2% per bulan
sebagaimana diatur dalam pasal 19 Undang-undang KUP, tidak diberlakukan atas
jumlah pajak yang belum dibayarkan pada saat pengajuan keberatan.

3.3 Peninjauan Kembali


3.3.1 Dasar Hukum Peninjauan Kembali
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak pada Pasal 1 ayat (3)
menyatakan bahwa Permohonan Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa kepada
Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kembali putusan Pengadilan Pajak.
Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak maupun
Kantor Pajak apabila kedua belah pihak masih belum puas dengan putusan yang diambil oleh
Pengadilan Pajak pada proses banding. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak, Ketentuan mengenai Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 89
sampai dengan Pasal 93. Ketentuan-ketentuan tersebut membahas mengenai persyaratan
mengajukan PK, Hukum acara yang berlaku dalam PK, alasan yang dapat diajukan PK,
jangka waktu pengajuan PK, dan jangka waktu putusan permohonan PK.

3.3.2 Ketentuan Umum Peninjauan Kembali


Berikut ketentuan umum terkait Tata Cara Pengajuan Peninjauan kembali sebagaimana
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2018 dan Undang-Undang
Pengadilan Pajak Nomor 12 Tahun 2002 :
1. Permohonan peninjauan kembali (PK) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali secara tertulis
oleh pemohon, ahli waris atau kuasa hukum yang ditunjuk secara khusus untuk itu kepada
Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Pajak dengan menyebutkan alasanalasan
serta dilampiri bukti.
2. Permohonan peninjauan kembali (PK) tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

37
3. Permohonan peninjauan kembali (PK) dapat diterima apabila telah membayar LUNAS
panjar biaya perkara yang ditentukan dalam Surat Kuasa untuk Membayar (SKUM).
Besarnya biaya perkara PK putusan Pengadilan Pajak ditetapkan Ketua Mahkamah
Agung.
Rincian biaya perkara PK Putusan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Ketua
PP No. Kep-005 Tahun 2002. Dari keputusan tersebut maka ditetapkan bahwa biaya
perkara PK sebesar Rp.2.652.000 dengan rincian sebagai berikut : a. Pengiriman biaya
PK di Mahkamah Agung Rp 2.500.000
b. Pemberitahuan dan penyerahan Memori PK kepada termohon Rp. 30.000
c. Penyerahan jawaban/Kontra Memori PK kepada Pemohon Rp. 30.000
d. Biaya pengiriman Berkas permohonan PK ke Mahkamah Agung Rp. 30.000
e. Pemberitahuan Putusan dan Penyerahan Putusan PK Rp. 60.000,00
f. Pencatatan Pernyataan PK Rp. 2.000
4. Permohonan peninjauan kembali (PK) diajukan paling lambat dalam jangka waktu 3
bulan sejak:
• Diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. (sesuai alasan huruf a)
• Ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan
dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.(sesuai alasan huruf b)
Putusan Pengadilan Pajak yang dikirim kepada para pihak yang bersengketa.
(sesuai alasan huruf c, d,e)
5. Berkas permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada Direktur Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung dalam keadaan telah dijahit/dijilid/disusun dengan baik dalam bentuk
dan urutan seperti yang ditentukan dalam bundel A dan Bundel B. Kelengkapan berkas
pada Bundel A merupakan dokumen-dokumen dari pihak yang bersengketa sebagai alat
bukti dan data pendukung yang sesuai ketentuan kategori dokumen yang dapat diarsipkan
di Sekretariat Pengadilan Pajak serta dokumendokumen pendukung pelaksanaan sidang
yang dihasilkan selama persiapan proses proses persidangan.
Sedangkan kelengkapan berkas pada bundle B merupakan dokumen-dokumen dari pihak
yang bersengketa sebagai alat bukti dan data pendukung yang sesuai ketentuan

38
merupakan kategori dokumen yang akan dikirimkan ke Mahkamah Agung. Berikut
rinciannya:

Bundel A Bundel B
Surat Banding dan/atau Surat Gugatan Surat Pengantar
Surat Uraian Banding dan/atau Surat Salinan Resmi Putusan Pengadilan
Tanggapan Pajak dan softcopy dalam bentuk Rich
Text Format (rtf)
Surat Bantahan Bukti Pengiriman Resmi Putusan
Pengadilan Pajak
Risalah Sengketa Banding Bukti Pengiriman Biaya Perkara
Peninjauan Kembali
Penetapan Sidang dan/atau Revisi Akta Permohonan Peninjauan Kembali
Penetapan dan softcopy dalam bentuk Rich Text
Format (rtf)
Berita Acara Sidang Surat-surat terkait Novum
dan lampirannya

Rencana Umum Sidang (RUS) Pemberitahuan Permohonan


Peninjauan Kembali dan Penyerahan
Memori Peninjauan Kembali
Rencana Umum Sidang Pengucapan Surat Kuasa Khusus Pemohon dan
Putusan Termohon
Panggilan Sidang Pemberitahuan dan Penyerahan Kontra
Memori
Pemberitahuan/Undangan Sidang
Pemberitahuan Sidang Pengucapan
Putusan
Laporan Risalah Sidang
Laporan Risalah Sidang Pengucapan
Putusan

39
Surat Tugas Terbanding/Tergugat
Surat Kuasa Khusus dan Dokumen
Pendukungnya
Berita Acara Sidang Pemeriksaan
Berita Acara Sidang Pengucapan Putusan
Salinan Resmi Putusan

6. Permohonan peninjauan kembali (PK) dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal
sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

3.3.3 Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali


Berdasarkan pasal 91 UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Apabila Putusan Pengadilan Pajak berdasarkan suatu kebohongan atau, tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian dan oleh Hakim pidana dinyatakan palsu,
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada saat persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang
berbeda,
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari apa yang dituntut,
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus, tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya, atau;
e. Apabila terdapat putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentua peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

40
3.3.4 Proses Peninjauan Kembali

Sumber: Diolah dari UU No 14 Tahun 2002 dan Peraturan MA RI No 07 Tahun 2018


1. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) diajukan paling lambat dalam jangka waktu 3
bulan sesuai alasan pengajuan PK
2. Pengiriman Salinan Permohonan Peninjauan Kembali oleh Panitera ke pihak lawan
dilakukan paling lambat 14 hari sejak permohonan PK diterima di Pengadilan Pajak
3. Pihak Lawan mengajukan jawabannya (Kontra Memori) atas permohonan PK dari pihak
pemohon dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal cap pos pengiriman atau dalam hal
diterima secara langsung adalah pada saat Salinan permohonan diterima
4. Pengiriman Salinan jawaban pihak lawan ke pemohon PK dilakukan paling lambat 14
hari sejak jawaban tersebut diterima oleh Panitera
5. Berkas Perkara Permohonan Peninjauan Kembali dikirim oleh Panitera ke Mahkamah
Agung selambat-lambatnya 30 hari sejak jawaban diterima pihak lawan
6. Mahkamah Agung memberikan putusan Peninjauan Kembali setelah menerima segala
berkas perkara serta hasil pemeriksaan tambahan dan atau pertimbangan lainnya

41
7. Dalam jangka waktu 30 hari Mahkamah Agung mengirimkan Salinan putusan
Peninjauan Kembali beserta berkas perkaranya ke Pengadilan Pajak
8. Panitera Pengadilan Pajak menyampaikan Salinan putusan Peninjauan Kembali kepada
pemohon dan pihak lawan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari dan wajib
mengirimkan bukti pengiriman pemberitahuan putusan tersebut kepada Mahkamah
Agung dalam jangka waktu 30 hari
PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. Jadi,
misalnya dalam putusan Pengadilan Pajak menyebabkan timbulnya pajak yang masih harus
dibayar, maka jumlah tersebut harus dilunasi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 1 bulan
sejak diterbitkannya putusan Pengadilan Pajak, meskipun Wajib Pajak mengajukan PK.
Dengan kata lain PK tidak menunda utang pajak. Apabila utang pajak tersebut tidak dilunasi,
Dirjen Pajak berwenang untuk melakukan penagihan pasif dan aktif mulai dari penerbitan
surat teguran, surat paksa, penyitaan sampai dengan lelang, meskipun WP mengajukan PK.
Sebaliknya apabila putusan Pengadilan Pajak menyebabkan terjadinya kelebihan
pembayaran pajak, maka Dirjen Pajak berdasarkan permohonan WP harus mengembalikan
kelebihan pembayaran pajak tersebut, meskipun Dirjen Pajak mengajukan PK atas putusan
Banding Pengadilan Pajak. Bagi pihak yang mengajukan upaya hukum PK, permohonan PK
dapat dicabut sebeum diputus, dan apabila permohonan sudah dicabut, permohonan PK
tersebut tidak dapat diajukan lagi (Pudyatmoko, 2009:197).
Keputusan Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 93 UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa
MA akan memeriksa dan memutus permohonan PK dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima oleh MA telah
mengambil putusan dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan
acara biasa
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan PK diterima oleh MA telah
mengambil putusan dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan
acara cepat
3. Putusan atas permohonan PK harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

42
3.3.5 Manajemen Peninjauan Kembali

Manajemen Pajak yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak sebagai pemohon
Peninjauan Kembali adalah:

1. Dalam rangka persiapan pengajuan permohonan Peninjauan Kembali perlu diperhatikan


pula untuk pemenuhan kelengkapan berkas yang diminta. Apabila terdapat satu berkas
yang tidak lengkap maka berkas tersebut akan dikembalikan kepada pemohon.
2. Dalam hal memutuskan untuk pencabutan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas
suatu perkara perlu disertai dengan pertimbangan yang seksama. Hal ini dikarenakan sifat
permohonan PK yang dicabut sebelum diputuskan tidak akan dapat diajukan kembali ke
Mahkamah Agung.
3. Poin penting dalam manajemen peninjauan kembali adalah kekuatan argumentasi. Ketika
mengajukan upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung, maka perlu diketahui bahwa pada proses PK tidak terdapat agenda persidangan
yang mempertemukan pihak yang terlibat perkara. Dalam hal memutus permohonan
Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung hanya akan menyidangkan buktibukti dari proses
Banding yang terdapat di Pengadilan Pajak atau berkas-berkas yang diajukan oleh pihak
yang berperkara. Oleh karena itu penting bagi Wajib Pajak sebagai pihak yang berperkara
harus memberikan bukti yang kuat, disertai argumentasi dengan dasar hukum yang jelas,
komprehensif, dan menggunakan bahasa yang tegas di dalam surat permohonan sehingga
dapat meyakinkan Hakim dalam mengambil keputusan.

43
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, berikut hal singkat terkait manajemen pajak terhadap
proses keberatan, banding dan peninjauan kembali:
1. Pihak yang berperkara harus memenuhi syarat formal dan material dalam proses
penyelesaian sengketa, baik itu pada tahap keberatan, banding ataupun gugatan dan
upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali.
2. Pihak yang berperkara harus memerhatikan strategi dari tahapan persiapan, pelaksanaan
hingga pasca putusan dalam rangka menciptakan efisiensi dan efektivitas dari
penyelesaian sengketa pajak
3. Memerhatikan detail dalam proses hukum terutama dalam hal penunjukan kuasa hukum
serta penggunaan bukti yang kuat, disertai argumentasi dengan dasar hukum yang jelas,
komprehensif, dan menggunakan bahasa yang tegas di dalam kegiatan surat-menyurat
sehingga dapat meyakinkan Hakim dalam mengambil keputusan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Asriyani. (2017). Upaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Pajak. Palu: Universitas Tadulako
Barata, A A. (2004). Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
Gunadi. (2016). Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan Edisi Revisi 2016. Jakarta:
Penerbit Bee Media Indonesia
Mangkuprawira, Eddy TB. & B, Ayza. (2012). Modul Peradilan Administrasi Pajak. Depok: FISIP
UI.
Pudyatmoko, Y. Sri. (2009). Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Purwito M, A., & Komariah, R. (2010). Pengadilan Pajak. Depok: Lembaga Kajian Hukum Fiskal,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Santoso, Iman, & Rahayu, Ning. (2013). CORPORATE TAX MANAGEMENT Mengulas Upaya
Pengelolaan Pajak Perusahaan Secara Konseptual-Praktikal. Jakarta:Observation & Research
Taxation (Ortax).
Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting. International Monetary Fund (IMF)
Peraturan Terkait
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak.

Republik Indonesia. Keputusan Ketua Pengadilan Pajak No. : KEP-005 Tahun 2002 Tentang
Rincian Biaya Perkara Peninjauan Kembali Pengadilan Pajak

Anda mungkin juga menyukai