Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN

MANAJEMEN PERPAJAKAN ATAS PPH ORANG PRIBADI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen
Perpajakan

Dosen Pengampu: Rini Susiani, S.E., M.Ak., Ak., C.A.

Disusun oleh:

Kelompok 4

Subhan Rohiman 231531010


Arief Hambali 231531011
Lilis Maryanti 231531012

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

PROGRAM STUDI PASCASARJANA

UNIVERSITAS WIDYATAMA

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,

dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai salah satu tugas

mata kuliah Manajemen Perpajakan. Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Rini

Susiani, S.E., M.Ak., Ak., CA. selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen

Perpajakan yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat dan memaparkan

makalah mengenai Manajemen Pajak atas PPh Orang Pribadi. Selaku penyusun

makalah ini, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca terkhusus bagi

rekan kelas kami dalam hal memberikan informasi dan wawasan terkait Manajemen

Pajak atas PPh Orang Pribadi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak

kekurangan dan tidak terlepas dari ketidaksempurnaan, oleh karena itu dengan segala

kerendahan hati, kritik dan saran sangat kami harapkan demi menyempurnakan

makalah ini di masa mendatang.

Bandung, Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

1.3 Maksud dan Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 4

2.1 Definis Wajib Pajak ............................................................................................... 4

2.2 Definisi dan Subyek Pajak Penghasilan ................................................................. 4

2.2.1 Subyek Pajak Dalam Negeri ......................................................................... 5

2.2.2 Subyek Pajak Luar Negeri ............................................................................ 5

2.2.3 Bentuk Usaha Tetap ...................................................................................... 5

2.2.4 Bukan Subyek Pajak Penghasilan ................................................................. 6

2.3 Objek Pajak Penghasilan ........................................................................................ 7

2.4 Pajak Penghasilan Orang Pribadi ........................................................................... 9

2.4.1 Jenis Wajib Pajak Orang Pribadi Berdasarkan

Penghasilan yang Diterima ........................................................................... 9

2.4.2 Tarif Pajak Penghasilan Objek Pajak Dalam Negeri

(OPDN) sesuai pasal 17 Undang-Undang HPP ............................................11

2.4.3 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk

PPh Orang Pribadi Dalam Negeri sebagai berikut ........................................11

2.5 Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi Tarif Pasal 17 ......................16

2.5.1 Perhitungan PPh 21 dengan PTKP ................................................................18

ii
2.5.2 Metode Perhitungan Gaji Karyawan .............................................................18

2.6 Pelaporan Aset dan Liabilitas .................................................................................24

2.6.1 Definisi Pajak Tangguhan .............................................................................24

2.7 Perjanjian Pisah Harta dan Penghasilan .................................................................26

2.7.1 Perjanjian Pranikah atau Pemisahan Harta ...................................................28

2.7.2 Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Terpisah ....................................30

2.7.3 Jumlah Pajak Terutang ..................................................................................32

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap perusahaan baik perusahaan kecil maupun besar dan perusahaan swasta

maupun pemerintah serta orang pribadi yang memiliki usaha mempunyai kewajiban

untuk melakukan pembayaran pajak penghasilan bagi mereka yang memiliki

penghasilan melebihi penghasilan kena pajak (PKP). Biaya SDM yang diberikan

kepada pegawai berkaitan dengan dapat di biayakan atau tidak dapat di biayakan serta

merupakan objek pajak panghasilan. Pada pokoknya gaji yang diterima karyawan

perusahaan wajib memotong pajak dan melaporkan pajaknya sendiri karena sistem

yang digunakan di Indonesia adalah self assessment system yang artinya

menghitung,menilai,dan menaksir sendiri. Jadi WP sendirilah yang menghitung dan

menilai pemenuhan kewajiban pajaknya. Yang berhak memotong PPh Pasal 21,yaitu:

1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.

2. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah

3. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)

dan badan-badan lainnya;

4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan

yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli,

orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri, peserta pendidikan,

pelatihan dan magang;

5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat

nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya

yang menyelenggarakan kegiatan.

1
Setiap orang yang memiliki NPWP wajib membayar pajak penghasilan orang

pribadi atau badan. Pajak dibayarkan setiap setahun sekali dan di laporkan ke kantor

pajak dengan mengisi SPT. Penghasilan setahun setiap wajib pajak akan di kurangi

dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Besarnya PTKP tahun ini adalah

Rp54.000.000 dan tanggungan sebesar Rp4.500.000.

Sejak berlakunya pembaruan peraturan dalam mengubah penghasilan tidak kena

pajak yang telah dilakukan tahun ini akan mengubah besarnya pajak yang di bayarkan

wajib pajak. Suatu sistem manajemen pajak yang efektif merupakan hal yang vital bagi

suatu usaha yang berorientasi kepada keuntungan dan predikat seorang manajer yang

sukses kadang-kadang ditentukan pula oleh sukses tidaknya penyusunan suatu

perencanaan pajak.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah yang disusun adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Defini Pajak

2. Apa yang dimaksud dengan Subjek Pajak Penghasilan

3. Apa yang dimaksud dengan Objek Pajak Penghasilan

4. Apa yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

5. Apa yang dimaksud dengan Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi

6. Apa yang dimaksud dengan Pelaporan Aset dan Liabilitas

7. Apa yang dimaksud dengan Perjanjian Pisan Harta dan Penghasilan

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun tujuan dari makalah yang disusun adalah untuk:

1. Mengetahui Defini Pajak

2
2. Mengetahui Subjek Pajak Penghasilan

3. Mengetahui Objek Pajak Penghasilan

4. Mengetahui Pajak Penghasilan Orang Pribadi

5. Mengetahui Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi

6. Mengetahui Pelaporan Aset dan Liabilitas

7. Mengetahui Perjanjian Pisan Harta dan Penghasilan

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,

pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Setiap Wajib Pajak

yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif wajib mendaftarkan diri pada

kantor Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat

kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

2.2 Definisi dan Subyek Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap

Subyek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam

tahun pajak. Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri adalah pajak yang

dikenakan terhadap subyek pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh dalam tahun pajak.

Yang menjadi Subyek Pajak (UU No.36 tahun 2008 tentang PPh Pasal 2 ayat 1)

adalah:

1. Orang pribadi

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

3. Badan

4. Bentuk Usaha Tetap

4
2.2.1 Subyek Pajak Dalam Negeri

Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Dalam Negeri (Pasal 2 Ayat 3 jo

PER- 43/PJ/2011) adalah:

1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia

lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dalam suatu tahun pajak

berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Warisan yang

belum terbagi (sebagai satu kesatuan), menggantikan yang berhak.

2.2.2 Subjek Pajak Luar Negeri

Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Luar Negeri (Pasal 2 ayat 4) adalah :

1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia.

2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2.2.3 Bentuk Usaha Tetap

Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah :

5
1. Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam

jangka waktu 12 bulan atau;

2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

2.2.4 Bukan Subyek Pajak Penghasilan

Yang tidak termasuk Subyek Pajak (Pasal 3) adalah :

1. Badan perwakilan negara asing.

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari

negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja

pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat

a. Bukan warga negara Indonesia,

b. Mereka tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan

atau pekerjaannya tersebut di Indonesia, dan

c. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan dengan Kepmen Keuangan,

dengan syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan

b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan

dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang

dananya berasal dari iuran para anggota.

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :

a. Bukan warga negara Indonesia,

6
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk

memperoleh peng- hasilan dari Indonesia.

2.3 Objek Pajak Penghasilan

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk

menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk

apa pun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008,

yang termasuk didalam pengertian Objek Pajak Penghasilan:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau

diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,

uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh

pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain

berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan;

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan

lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena

pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan

atau pengambilalihan usaha;

7
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,

kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau

pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan ; dan

e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

penambangan tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam

perusahaan pertambangan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian

utang;

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; Penerimaan berupa pembayaran

berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara

berulang-ulang dalam waktu tertentu.

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14. Premi asuransi; Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

8
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari

Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan

pajak.

17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

19. Surplus Bank Indonesia.

2.4 Pajak Penghasilan Orang Pribadi

2.4.1 Jenis Wajib Pajak Orang Pribadi Berdasarkan Penghasilan yang Diterima

Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang pribadi, maka wajib pajak

orang pribadi dapat dibagi menjadi:

1. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari

pekerjaan. Contoh:

a. Pegawai swasta

b. Pegawai BUMN

c. Anggota TNI/POLRI

d. PNS.

e. Pensiunan.

2. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Usaha.

Contoh:

a. Pengusaha Toko Emas

b. Pengusaha Industri Mie Kering

c. Pengusaha Persewaan Mobil

9
d. Pengusaha Toko Barang Elektronik

e. Pengusaha Toko Bahan Bangunan

3. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari

Pekerjaan bebas:

a. Dokter

b. Notaris

c. Akuntan

d. Konsultan

e. Arsitek

4. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang

tidak bersifat final (sehubungan dengan pemodalan). Contoh :

a. Penghasilan Bunga pinjaman

b. Penghasilan dari Royalti

c. Penghasilan dari Penyewaan (yang bukan usaha pokoknya)

5. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang

bersifat final. Contoh :

a. Bunga deposito dan tabungan

b. Hadiah undian

c. Persewaan tanah dan atau bangunan

d. Jasa Konstruksi

6. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bukan

objek pajak. Contoh :

a. Penerima bantuan

b. Sumbangan

c. Hibah

10
7. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar

negeri. Contoh :

a. Bunga dari luar negeri

b. Royalti dari luar negeri

c. Gaji dari luar negeri

8. Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.

Contoh :

a. Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan.

b. PNS tetapi membuka praktek dokter.

2.4.2 Tarif Pajak Penghasilan Objek Pajak Dalam Negeri (OPDN) sesuai pasal

17 Undang-Undang HPP

1 Penghasilan sampai Rp60.000.000 5%

2 Penghasilan antara Rp60.000.000 sd Rp250.000.000 15%

3 Penghasilan antara Rp250.000.000 sd Rp500.000.000 25%

4 Penghasilan antara Rp500.000.000 sd Rp5.000.000.000 30%

5 Penghasilan di atas Rp5.000.000.000 35%

2.4.3 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk PPh Orang Pribadi Dalam

Negeri sebagai berikut

1. Rp54.000.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi.

2. Rp4.500.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.

3. Rp54.000.000,- untuk isteri yang memiliki jumlah penghasilan tersebut telah

digabung dengan penghasilan suami.

11
4. Rp4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga kandung serta keluarga

dalam garis keturunan serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya,

paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Ada beberapa cara penghitungan pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi

dan diikuti dengan tingkat tarif pajak yang berbeda. Berikut ini akan dijelaskan tentang

ketentuan peraturan perpajakan tentang penghitungan pajak bagi Wajib Pajak Orang

Pribadi.

Undang-Undang Nomor 16 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(Undang-Undang KUP) menyatakan Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia yang

a. melakukan kegiatan usaha, atau

b. pekerjaan bebas.

Selanjutnya Pasal 14 ayat 2 Undang Undang PPh menyatakan bahwa Wajib

Pajak Orang Pribadi yang:

a. melakukan kegiatan usaha atau

b. melakukan pekerjaan bebas, yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang

dari Rp4.800.000.000, boleh menghitung penghasilan neto dengan

menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat

memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan

pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dengan

peredaran bruto dalam satu tahun tidak melebihi Rp4.800.000.000 (seperti yang

dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh), penghitungan pajak

penghasilannya menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PP

23/2018). Hal-hal yang diatur dalam PP 23/2018 sehubungan dengan Wajib Pajak

Orang Pribadi adalah:

12
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tidak termasuk

pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 dalam

1 tahun pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5%.

2. Tidak termasuk/dikecualikan dari Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan

kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa adalah Wajib Pajak Orang Pribadi

yang dalam usahanya:

a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik

yang menetap maupun tidak menetap; dan

b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum

yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam

1 tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal

peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah

Rp4.800.000.000 dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif pajak

penghasilan bersifat final 0,5% sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000 pada

suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada

Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-

Undang Pajak Penghasilan (pasal 17).

Ketentuan dikenai tarif pajak penghasilan bersifat final 0,5% ini tidak berlaku

atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final

berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Perpajakan. Atas

penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam PP 23/2018 yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-

Undang Pajak Penghasilan.

13
Selanjutnya peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000 ditentukan

berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak

termasuk peredaran bruto dari:

1. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;

3. Usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat

final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri;

dan

4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas (seperti yang

dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh), yang peredaran brutonya dalam

1 tahun kurang dari boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur

Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang

bersangkutan. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tersebut sesuai penjelasan PP

23/2018 meliputi:

1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,

akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang

sinetron, bintangiklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,

pemain drama, dan penari;

3. Olahragawan;

4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;.

6. Agen iklan;

14
7. Pengawas atau pengelola proyek;

8. Perantara;

9. Petugas penjaja barang dagangan;

10. Agen asuransi; dan

11. Disteributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau

penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang digunakan bagi Wajib Pajak Orang

Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas untuk menghitung pajak penghasilan adalah

menggunakan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 Tentang

Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung

Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan. Beberapa poin yang

diatur dalam Kep-536/PJ.2000 ini adalah:

1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

dengan peredaran bruto di bawah Rp4.800.000.000 dalam satu tahun wajib

menyelenggarakan pencatatan jika Wajib Pajak yang bersangkutan tidak

memilih menyelenggarakan pembukuan.

2. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib

memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur

Jenderal Pajak paling lama 3 bulan sejak awal tahun pajak yang

bersangkutan.Pemberitahuan penggunaan NPPN yang disampaikan dalam

jangka waktu 3 bulan tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil

pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk

menggunakan NPPN.

3. Ketentuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:

15
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

dengan peredaran bruto sebesar Rp4.800.000.000 atau lebih dalam satu

tahun,

b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

dengan peredaran bruto di bawah Rp4.800.000.000 namun Wajib Pajak

tersebut memilih menyelenggarakan pembukuan, dan

c. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

dengan peredaran bruto dibawah namun Wajib Pajak tersebut tidak

memberitahukan tentang penggunaan Norma Penghitungan kepada

Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun

pajak yang bersangkutan.

d. Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas seharusnya menyelenggarakan pembukuan namun tidak

menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya penghasilan

netonya dihitung dengan menggunakan NPPN.

e. Terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar berdasarka

angka 3 huruf “ d” di atas” dikenakan sanksi administrasi berupa

kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang

tidak atau kurang dibayar (sesuai pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Kep

536/PJ/2000).

Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.Kep.01/PJ./1991 dan Kep.02/PJ.1991

dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 2001. Angka Prosentase NPPN

yang digunakan adalah angka yang tertera pada Lampiran Keputusan Direktur Jenderal

Pajak No. Kep.536/PJ./2000 ini.

16
2.5 Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi Tarif Pasal 17

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) merupakan jenis pajak yang dikenakan

terhadap penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain

yang diterima oleh pegawai, bukan pegawai, mantan pegawai, penerima pesangon dan

lain sebagainya. Berdasarkan Bab V Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER)

Nomor PER-16/PJ/2016, Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh 21 adalah sebagai

berikut:

1. Penerima penghasilan kena pajak, antara lain:

a. Pegawai tetap

b. Penerima pensiun berkala

c. Pegawai tidak tetap dengan penghasilan per bulan melewati Rp

4.500.000

d. Bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam PER-16/PJ/2016 Pasal

3(c) yang menerima imbalan yang sifatnya berkesinambungan.

2. Seseorang yang menerima penghasilan melebihi Rp 450.000 per hari, yang

berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang menerima upah harian,

upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan

kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000.

3. 50% dari penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana

dimaksud dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang menerima imbalan yang tidak

bersifat berkesinambungan.

4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain

penerima penghasilan, sebagaimana yang dimaksud dalam tiga poin di atas.

Selain dasar pengenaan dan pemotongan, perhitungan PPh 21 juga didasarkan

atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Artinya, pengenaan PPh tidak secara

17
mentah diterapkan sesuai tarif, melainkan dikurangi PTKP terlebih dahulu. Anda dapat

menemukan tarif PTKP yang berlaku di bawah ini.

2.5.1 Perhitungan PPh 21 dengan PTKP

Perhitungan PPh 21 selalu disesuaikan dengan tarif PTKP yang ditetapkan oleh

Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Saat ini, hukum terbaru yang mendasari tentang PTKP

adalah Undang-Udang Harmonisasi Perpajakan No. 7 Tahun 2021 pada bab III pasal 7.

Berikut ini adalah besaran PTKP terbaru yang berlaku:

1. Bagi wajib pajak orang pribadi sebesar Rp54.000.000

2. Bagi wajib pajak yang kawin memperoleh tambahan sebesar Rp4.500.000

3. PTKP bagi isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,

sebesar Rp54.000.000

4. Bila ada tambahan, maksimal 3 orang untuk tanggungan keluarga sedarah

dalam satu garis keturunan, semenda, atau anak angkat, sebesar Rp4.500.000.

Adapun yang dimaksud dengan keluarga sedarah adalah orang tua kandung,

saudara kandung, dan anak. Sedangkan keluarga semenda adalah mertua, anak tiri, dan

ipar.

2.5.2 Metode Perhitungan Gaji Karyawan

Walaupun perhitungan PPh 21 telah diatur oleh DJP, namun pada praktiknya,

setiap perusahaan memiliki metode perhitungan PPh 21 sendiri yang disesuaikan

dengan tunjangan pajak atau gaji bersih yang diterima karyawannya.

Ada 3 metode perhitungan PPh 21 yang paling umum, yaitu:

18
1. Metode Nett

Penghitungan PPh dengan metode neto (net) adalah pemotongan pajak yang

dilakukan perusahaan, dimana perusahaanlah yang menanggung pajak

karyawan tersebut. Artinya, gaji yang diterima karyawan sudah bersih atau tidak

termasuk yang akan dipotong pajak penghasilan. Singkatnya, menghitung PPh

21 dengan menggunakan metode Nett adalah pemotongan pajak di mana

perusahaan yang menanggung pajak karyawannya.

Contoh:

Pak Kelik seorang lajang yang melamar kerja di PT AAA. Dia mengajukan gaji

sebesar Rp12.000.000 Nett dan perusahaan menyetujuinya. Sehingga potongan

PPh 21 yang dikenakan pada Pak Kelik dari penghitungan jumlah gaji tersebut

adalah di luar dari jumlah nominal Rp12.000.000 itu.

Artinya, PPh 21 dari perhitungan nilai gaji Rp12.000.000 ditanggung oleh

perusahaan yang mempekerjakan Pak Kelik.

Ilustrasi penghitungan metode Nett,

Ilustrasi tanpa penghitungan pengurang dari tunjangan, BPJS dan lainnya.

Gaji Pokok setahun Rp12.000.000 x 12 bulan Rp144.000.000

Biaya Jabatan 5% x Rp12.000.000


setahun Rp600.000/bulan

Rp500.000 x 12 bulan Rp6.000.000 (-)

Penghasilan Neto Rp138.000.000

PTKP (TK/0) Rp54.000.000 (-)

Penghasilan Kena Rp84.000.000


Pajak

PPh 21 Terutang:

5% x Rp60.000.000 Rp3.000.000

19
15% x Rp24.000.000 Rp3.600.000

PPh 21 Terutang Rp6.600.000


setahun

PPh 21 Terutang Rp6.600.000/12 bulan Rp550.000


sebulan

Gaji yang diterima Rp550.000 dibayarkan Rp12.000.000


per bulan oleh perusahaan
2. Metode Gross

Kebalikan dari penghitungan PPh dengan metode gross (bruto) adalah cara

menghitung pajak penghasilan yang secara keseluruhan dibebankan pada gaji

yang seharusnya diterima karyawan. Jadi, gaji yang akan diterima karyawan

setiap bulannya tersebut belum termasuk potongan pajak penghasilan.

Singkatnya, menghitung PPh 21 dengan menggunakan metode Gross adalah

pemotongan pajak penghasilan di mana karyawan yang menanggung pajaknya.

Contoh:

Pak Kelik masih lajang dan melamar kerja di PT BBB dan perusahaan

memberikan gaji Rp12.000.000 gross. Maka potongan PPh 21 yang dihitung

dari jumlah nominal nominal tersebut akan dibebankan atau diambil dari nilai

Rp12.000.000 itu. Dengan demikian, PPh 21 dari perhitungan nilai gaji

Rp12.000.000 itu ditanggung oleh Pak Kelik yang akan mengurangi jumlah

nominal gaji yang akan diterimanya.

Ilustrasi penghitungan metode gross,

Ilustrasi tanpa penghitungan pengurang dari tunjangan, BPJS dan lainnya.

Gaji Pokok setahun Rp12.000.000 x 12 bulan Rp144.000.000

Biaya Jabatan 5% x Rp12.000.000


setahun Rp600.000/bulan

Rp500.000 x 12 bulan Rp6.000.000 (-)

20
Penghasilan Neto Rp138.000.000
Setahun

PTKP (TK/0) Rp54.000.000 (-)

Penghasilan Kena Rp84.000.000


Pajak

PPh 21 Terutang:

5% x Rp60.000.000 Rp3.000.000

15% x Rp3.600.000
Rp24.000.000

PPh 21 Terutang Rp6.600.000


setahun

PPh 21 Terutang Rp6.600.000/12 bulan Rp550.000


sebulan

Gaji yang diterima Rp12.000.000 – Rp550.000 Rp11.450.000


sebulan

3. Metode Gross Up

Cara menghitung pajak penghasilan dengan metode gross up ini artinya

memberikan tunjangan kepada karyawan sejumlah potongan pajak yang

ditentukan. Sehingga penghitungan PPh 21 metode Gross Up ini terbilang lebih

rumit dibanding metode Nett ataupun Gross, karena metode penghitungannya

didasarkan pada jumlah tunjangan yang sama besar dengan jumlah pajak yang

dipotong dari karyawan.

Contoh,

Pak Kelik melamar kerja di PT CCC dan masih lajang dengan kesepakatan gaji

adalah Rp12.000.000 dengan metode Gross Up. Ada biaya jabatan dan

tunjangan pajak. Maka, penghasilan yang akan diterima Pak Kelik nantinya

mengikuti jumlah tunjangan pajak yang diberikan perusahaan berdasarkan

lapisan penghitung yang digunakan untuk menentukan jumlah mendapatkan

21
jumlah tunjangan pajak tersebut. Tunjangan Pajak ini dihitung berdasarkan

besar Penghasilan Kena Pajak dengan mengikuti formula Lapisan Penghasilan

Kena Pajak, yaitu:

Lap Rentang PKP setahun (Rp) Rumus Tunjangan PPh 21 setahun


.
1 0 – 57.000.000 (PKP – 0) x 5/95 + 0
2 57.000.000 – 218.500.000 (PKP – 57.000.000) x 15/85 + 3.000.000
3 218.500.000 – 406.000.000 (PKP – 218.500.000) x 25/75 + 31.500.000
4 406.000.000 – 3.556.000.000 (PKP – 406.000.000) x 30/70 + 94.000.000
5 Lebih dari 3.556.000.000 (PKP – 3.556.000.000) x 35/65 + 1.444.000.000

Ilustrasi penghitungan metode Gross Up,

Berikut ilustrasi cara menghitung gaji dengan metode gross up dari gaji Pak

Kelik yang sebesar Rp12.000.000 per bulan yang masih berstatus tidak kawin

dan tanpa tanggungan (TK/0):

Pokok setahun Rp12.000.000 x 12 Rp144.000.000


bulan

Biaya Jabatan Rp12.000.000 x 5%


setahun Rp600.000 (sebulan)

Rp500.000 x 12 bulan Rp6.000.000 (-)

Penghasilan Neto Rp138.000.000


setahun

22
PTKP (TK/0) Rp54.000.000 (-)

Penghasilan Kena Rp84.000.000


Pajak

Lapisan 2 (Rp84.000.000 – Rp7.764.706


Rp57.000.000) x 15/85
+ Rp3.000.000

Tunjangan Pajak Rp7.764.706/ 12 bulan Rp647.059


sebulan

Penghasilan Pokok: (Gaji Pokok +


Tunjangan PPh 21)

Rp12.000.000 + Rp12.647.059
Rp647.059

Penghasilan Bersih (Gaji Pokok – Biaya


sebulan Jabatan sebulan)

Rp12.647.059 – Rp12.147.059
Rp500.000

Penghasilan Bersih Rp12.147.059 x 12 Rp145.764.708


setahun bulan

Penghasilan Kena Penghasilan Bersih –


Pajak PTKP

Rp145.764.708 – Rp91.764.708
Rp54.000.000

PPh 21 Terutang:

5% x Rp60.000.000 Rp3.000.000

15% x Rp31.764.708 Rp4.764.706 (+)

Rp7.764.706

PPh 21 Terutang Rp7.764.706 / 12 Rp647.059

23
sebulan

Gaji yang diterima Rp12.000.000 – Rp11.352.941


Rp647.059

2.6 Pelaporan Aset dan Liabilitas

2.6.1 Definisi Pajak Tangguhan

Dilihat dari aspek perpajakannya, pajak tangguhan merupakan beban pajak atau

deferred tax expense yang dapat memberikan pengaruh seperti menambah atau

mengurangi beban pajak yang harus dibayar di masa yang akan datang. Sebenarnya

secara definisi, pajak tangguhan juga dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sudut

pandang akuntansi sebagai akun aset, maupun dari sisi liabilitas (utang yang harus

dilunasi/pelayanan yang harus dilakukan di masa mendatang pada pihak lain). Sisi aset

dan sisi liabilitas inilah yang menjadi dua sisi yang saling bertolak belakang. Maka dari

itu, dapat dilihat melalui letak perbedaan definisi pajak tangguhan dari sisi aset dan

liabilitas berikut ini:

a. Definisi Berdasarkan Sudut Pandang Aset

Dilihat dari sisi aset, pajak tangguhan merupakan jumlah Pajak Penghasilan

(PPh) yang dapat dipulihkan pada periode masa depan akibat akumulasi rugi

pajak yang belum dikompensasi dan akumulasi kredit pajak belum

dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam peraturan

perpajakan.

b. Definisi Berdasarkan Sudut Pandang Liabilitas

24
Pajak tangguhan sebenarnya timbul karena perbedaan beban antara peraturan

perpajakan (fiskal) dengan standar akuntansi keuangan (komersial). Perbedaan

saat pengakuan ini mengakibatkan pendapatan/beban yang diakui pada masing-

masing periode berbeda, namun pada akhirnya, secara keseluruhan, jumlah total

yang diakui antara peraturan secara fiskal dan komersial akan sama. Perbedaan

ini biasa dikenal dengan istilah “temporary different”. Beban pajak tidak akan

mempengaruhi jumlah pajak terutang yang dihitung sesuai dengan peraturan

perpajakan.

c. Konsep Dasar Pajak Tangguhan

Dalam menghitung beban pajak yang harus dibayar pada akhir tahun, biasanya

wajib pajak menggunakan pendekatan akuntansi komersial, mulai dari

pengakuan unsur pendapatan, pengakuan beban yang dijadikan pengurang,

metode penyusutan untuk menentukan beban penyusutan aset, pengakuan nilai

sisa aset dan penerapan jangka waktu untuk penyusutan, hingga penetapan

besaran penyisihan/ biaya cadangan.

Hasil penerapan ini tertuang dalam laporan keuangan yang dijadikan dasar

untuk menghitung beban PPh terutang secara komersial oleh wajib pajak.

Namun untuk pelaporan SPT tahunan, PPh yang dihitung wajib pajak atas dasar

laba komersial tidak bisa langsung ditetapkan sebagai beban pajak kini, karena

untuk dapat digunakan sebagai dasar pelaporan SPT Tahunan, pendekatan yang

digunakan adalah ketentuan perpajakan yang berdasar pada UU Nomor 36

Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan beserta aturan pelaksanaan dibawahnya.

Pendekatan ini berbeda dengan ketentuan yang digunakan dalam pendekatan

menurut akuntansi komersial.

25
Jika laba akuntansi lebih besar daripada laba pajak, maka akan terbentuk

kewajiban pajak tangguhan. Sebaliknya bila laba akuntansi lebih kecil daripada

laba pajak, maka akan terbentuk aset pajak tangguhan. Singkatnya pajak

tangguhan tidak bisa dihindari dan dapat muncul sebagai akibat adanya dua

pendekatan yang harus dijalani dalam menghitung beban pajak kini. Nilai aset

atau manfaat pajak jenis ini akan menghapus kewajiban perpajakannya. Oleh

karena itu, tidak ada lagi kewajiban yang harus dibayarkan pada masa

mendatang. Nilai aset/manfaat pajak ini timbul dari perbedaan antara laba

menurut akuntansi dan laba menurut pajak.

Contoh Kasus

PT Nusantara Jaya adalah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan emas.

Data penjualan emas di tahun 2016 Rp30.000.000.000


Data penjualan emas di tahun 2017 Rp30.500.000.000
Laba Komersial di tahun 2017 Rp3.000.000.000
Koreksi fiskal atas biaya penyusutan Rp100.000.000
Laba fiskal (pajak) sebesar (laba komersial – koreksi fiskal negatif):

Rp3.000.000.000 –Rp100.000.000 = Rp2.900.000.000

Pajak penghasilan PPh Badan Terutang Apabila tidak ada koreksi fiskal
sebesar: atas penyusutan, PPh Badan yang
terutang sebesar
Rp2.900.000.000 x 22% Rp3.000.000.000 x 22%
Rp638.000.000 Rp660.000.000
Kewajiban Pajak Rp660.000.000
Rp638.000.000
Rp22.000.000
Jadi, kewajiban pajak yang harus ditanggung sebesar oleh wajib pajak adalah

Rp660.000.000 -Rp638.000.000 = Rp22.000.000

26
Jika tarif pajak pada laba komersial dibandingkan dengan tarif laba pajak, maka besar

kemungkinan hasilnya akan berbeda. Perbedaan inilah yang disebut dengan pajak

tangguhan.

2.7 Perjanjian Pisah Harta dan Penghasilan

Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur adanya perbedaan perlakuan

antara wajib pajak wanita dan wajib pajak pria. Bentuk pemenuhan kewajiban

perpajakan antara wanita dan pria tidak selalu sama, apalagi ketika mereka

berpenghasilan dan telah memiliki keluarga. Wajib Pajak wanita yang telah menikah

dan memiliki penghasilan sendiri dapat memilih untuk melaksanakan kewajiban

perpajakannya sendiri atau melaksanakan kewajiban perpajakan bersama suaminya.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan, yang menyatakan:

1. Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun

pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari

tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya,

kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu)

pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan

pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami

atau anggota keluarga lainnya.

2. Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila: Penghasilan suami-

isteri dikenai pajak secara terpisah apabila :

27
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; suami-isteri telah

hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;

b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan

harta dan penghasilan; ataudikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri

berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau

c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri.

3. Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan

huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan

besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai

dengan perbandingan penghasilan neto mereka. Pada memori penjelasan Pasal 8

UU PPh, dikatakan bahwa keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis, yang

artinya seluruh penghasilan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga dianggap

menjadi satu kesatuan, dan terhadap penghasilan agregat keluarga tersebut

dikenakan pajak atas nama kepala keluarga. Namun, prinsip ini tidak berlaku pada

seluruh keluarga di Indonesia. Ada beberapa kondisi pengecualian, seperti yang

disebutkan pada Pasal 8 ayat (2) UU PPh. Keluarga tidak lagi dianggap sebagai satu

kesatuan ekonomis, apabila:

1. Suami isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim

2. Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian

pemisahan harta dan penghasilan; atau

3. Dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan

kewajiban perpajakannya sendiri.

Dalam bagian ini akan dibahas kondisi yang kedua, apabila sepasang suami-

isteri menghendaki adanya pemisahan harta dan penghasilan di antara mereka. Dalam

28
hal apa mereka bersepakat mengadakan pemisahan harta? Bagaimana bentuk

pemenuhan kewajiban perpajakan di antara mereka?

2.7.1 Perjanjian Pranikah atau Pemisahan Harta

Perjanjian Pranikah (Pre-Nuptial Agreement) secara mendasar dapat diartikan

sebagai suatu perjanjian dimana pihak pria dan wanita yang akan menjalani pernikahan

secara sepakat mengadakan perjanjian pisah harta, dimana harta yang dimilikinya

bukan merupakan harta bersama, tetapi tetap menjadi miliki masing-masing individu.

Secara awam dan garis besar, perjanjian Pra-Nikah dapat digolongkan menjadi dua

macam:

a. Perjanjian Pemisahan Harta Murni

Dalam perjanjian pisah harta jenis ini, kedua belah pihak sepakat untuk benar-

benar memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang didapat

oleh masing-masing pihak, baik yang diperoleh sebelum menikah maupun yang

didapat setelah menikah. Artinya, apabila terjadi perceraian, maka tidak ada

harta gono-gini (permbagian harta yang didapat setelah pernikahan), karena

sejak awal pernikahan mereka telah membuat perjanjian Pra-Nikah yang

membedakan harta, utang dan penghasilan masing-masing baik yang dimiliki

sebelum menikah maupun sesudah. Jadi dalam hal ini, semua harta, utang dan

penghasilan diperlakukan terpisah. Bagaimana pula dengan pengeluaran regular

keluarga, termasuk didalamnya biaya pendidikan anak dan keperluannya,

biasanya seluruhnya ditanggung oleh pihak suami walaupun hal ini masih bisa

didiskusikan dengan pasangan.

29
b. Perjanjian Harta Bawaan

Dalam perjanjian jenis ini, harta, utang, dan penghasilan yang diperlakukan

secara terpisah adalah harta, utang, dan penghasilan yang didapat masing-

masing pihak sebelum pernikahan. Adapun untuk harta, utang dan penghasilan

yang didapat setelah menikah diperlakukan sebagai harta bersama. Bila terjadi

perceraian maka harta bersama yang didapat setelah pernikahan dapat dibagi

secara adil (harta gono-gini). Sedangkan harta bawaan sebelum menikah akan

tetap menjadi milik masing-masing pihak. Dalam perjanjian jenis ini,

pengeluaran yang dibutuhkan untuk keperluan keluarga termasuk biaya

pendidikan dan kebutuhan anak-anak akan menjadi tanggung jawab bersama

Perjanjian Pranikah/Pisah Harta dilakukan sebelum pernikahan. Perjanjian ini

dilakukan untuk membuat kesepakatan yang jelas mengenai batas kepemilikan harta

dalam sebuah keluarga. Misal, properti berupa rumah kepemilikannya atas nama suami,

sedangkan mobil atas nama isteri. Perjanjian Pemisahan Harta membuat isteri atau

suami menjadi individu yang berbeda di muka hukum. Kondisi ini merupakan

pengecualian pada prinsip dalam aturan Pajak Penghasilan yang menganggap keluarga

sebagai satu kesatuan ekonomis. Dengan adanya perjanjian ini, pajak pun menuntut

bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan yang terpisah antara suami dan isteri.

Perjanjian ini memang terkesan tabu dan tidak biasa di kalangan masyarakat

Indonesia. Pemisahan harta dianggap sebagai bentuk ketidakharmonisan dalam

keluarga. Namun, perjanjian ini dapat memberi kepastian hukum yang jelas mengenai

batas kepemilikan aset keluarga, apalagi bila salah seorang dari antara suami atau isteri

terjerat suatu kasus tertentu yang menyebabkan aset keluarga disita. Apabila hal

30
tersebut terjadi, maka aset suami atau isteri tidak dapat ikut tersita karena memang telah

menjadi individu yang berbeda di muka hukum.

2.7.2 Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Terpisah

Perjanjian Pemisahan Harta membuat suami dan isteri menjadi individu yang

berbeda di muka hukum. Sama halnya dengan di muka hukum pajak. Suami dan isteri

dianggap menjadi individu yang berbeda yang harus memiliki identitas yang berbeda.

Untuk itu, suami dan isteri yang telah menghendaki adanya pemisahan harta dan

penghasilan masing-masing harus mendaftarkan diri mereka untuk memperoleh NPWP.

Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP.

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib

mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya

meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan

Nomor Pokok Wajib Pajak.

Jadi, apabila seorang suami maupun isteri yang telah memenuhi persyaratan

subjektif maupun objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, maka ia wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Sehingga,

NPWP suami dan isteri merupakan NPWP yang berbeda, dan bukan merupakan NPWP

keluarga sebagaimana diatur dalam PER-51/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran

Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Anggota Keluarga.

Contoh

NPWP Suami 07.123.345.1-032.000. Apabila di dalam keluarga tidak ada

perjanjian pemisahan harta dan pernghasilan, maka isteri dapat mendaftarkan diri untuk

memperoleh NPWP dan akan diberikan NPWP keluarga, untuk isteri 07.123.345.1-

31
032.999 (sama dengan NPWP suami, hanya berbeda di tiga digit terakhir). Sedangkan

apabila di dalam keluarga ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka isteri

wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, dan akan diberikan NPWP yang

berbeda dengan milik suami, misalnya 07.234.567.1-032.000.

Dalam hal ada perjanjian pemisahan harta antara suami dan isteri, maka NPWP

suami dan isteri berbeda, dan mereka dianggap sebagai individu yang berbeda di muka

pajak. Bagaimana dengan pemenuhan kewajiban perpajakan mereka? Apakah harus

dilaksanakan secara terpisah pula?

Pasal 3 ayat (1) UU KUP menyatakan,setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat

Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan

menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani

serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak

terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal

Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa setiap wajib pajak memiliki kewajiban masing-

masing untuk mengisi Surat Pemberitahuan. Begitupun dengan pasangan suami isteri

yang telah mendaftarkan diri menjadi wajib pajak yang berbeda di muka hukum pajak.

Mereka memiliki kewajiban perpajakan masing-masing dan harus dipenuhi secara

individual (tidak dapat digabung). Hal ini menunjukkan bahwa suami-isteri akan

mengisi SPT yang berbeda setiap tahun pajaknya. Beda NPWP-nya, beda pemenuhan

kewajiban perpajakannya.

2.7.3 Jumlah Pajak Terutang

Pelaporan SPT bagi pasangan suami isteri yang telah mengadakan perjanjian

pisah harta dan penghasilan dilakukan secara terpisah. Lalu, bagaimana dengan jumlah

32
pajak yang terutang? Apakah jumlahnya tetap sama dengan penghitungan tanpa

pemisahan harta?

Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh, Penghasilan neto suami-isteri

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan

penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi

oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto

mereka. Penghitungan pajak terutang pada pasangan suami isteri yang telah

mengadakan perjanjian pemisahan harta tidak jauh berbeda dengan penghitungan pajak

terutang untuk pasangan suami isteri tanpa pemisahan harta.

Perbedaannya terletak pada jumlah yang harus dibayarkan oleh suami atau isteri

sesuai dengan porsi penghasilannya dalam penghasilan total keluarga. Bagaimana

dengan pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajaknya? Perhitungannya pun sama

dengan penghitungan pajak terutang untuk pasangan suami isteri tanpa perjanjian pisah

harta. Pengurangan penghasilan tidak kena pajaknya adalah sebagai berikut

(sebagaimana diatur pada pasal 7 ayat (1) UU PPh):

1. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk

diri Wajib Pajak orang pribadi;

2. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk

Wajib Pajak yang kawin;

3. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)

tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan

penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

4. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk

setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan

33
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3

(tiga) orang untuk setiap keluarga.

Bedasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, berikut

tarif PTKP yang ditetapkan hingga saat ini:

1. Besar PTKP wajib pajak orang pribadi sejumlah Rp54.000.000.

2. Tambahan wajib pajak yang sudah menikah sebesar Rp4.500.000.

3. PTKP isteri yang pendapatannya digabung dengan suami sebanyak

Rp54.000.000.

4. Tambahan maksimal 3 orang untuk tanggungan keluarga sedarah dalam satu

garis keturunan, semenda, atau anak angkat, sejumlah Rp4.500.000.

Contoh:

Bapak Ari memiliki usaha jasa produksi mainan anak-anak. Dari usahanya

tersebut ia memperoleh penghasilan bruto pada tahun 2009 sebesar Rp550.000.000. Ia

menghitung penghasilan netonya dengan norma sesuai KEP-536/PJ./2000 sebesar 15%.

Ia menikah pada tahun 2006 dan sebelum melangsungkan pernikahan ia dan isterinya

telah membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Isteri Pak Ari memiliki

usaha catering makanan. Pada tahun 2009 Isteri Pak Ari mendapat penghasilan bruto

dari usahanya sebesar Rp400.000.000. Ia menghitung penghasilan netonya dengan

norma sesuai KEP-536/PJ./2000 sebesar 25%. Pak Ari dan isterinya memiliki 2 orang

anak yang masing-masing bernama Ragil dan Izeth. Berapa Pajak penghasilan yang

harus dibayar oleh Pak Ari dan isterinya?

Penghasilan neto Pak Ari 15% x Rp 550.000.000 Rp82.500.000

Penghasilan neto Isteri Pak Ari 25% x Rp 300.000.000 Rp75.000.000 +

Jumlah penghasilan neto Pak Ari & Isteri Rp157.500.000

PTKP (K/I/2) (Rp35.640.000)

34
Penghasilan Kena Pajak Rp121.860.000

PPh Terutang

5% x Rp 60.000.000 Rp3.000.000

15% x Rp 61.860.000 = Rp9.279.000 +

Rp12.279.000

Jika Pak Ari dan Isterinya tidak mengadakan perjanjian pemisahan harta, maka

pajak terutang yang harus dibayar berjumlah Rp12.279.000. Namun apabila mereka

mengadakan perjanjian pemisahan harta, maka perhitungan pajak yang harus dibayar

(sesuai Pasal 8 ayat (3) UU PPh):

Pajak yang harus dibayar Pak Ari

82.500.000/157.500.000 x 12.279.000 = 6.431.857

Pajak yang harus dibayar Isteri Pak Ari

75.000.000/157.500.000 x 12.279.000 = Rp5.847.143

Jadi, pada dasarnya, pemisahan harta hanya menyebabkan pelaporan yang

terpisah antara suami dan isteri. Sedangkan jumlah total pajak terutang yang harus

dibayar oleh keduanya pada dasarnya sama. Jumlah yang dibayarkan oleh isteri dan

suami dihitung dengan menggunakan perbandingan penghasilan neto mereka.

Bentuk pemisahan pelaporan ini tercermin ketika suami atau isteri mengisi SPT

1770. Berdasarnya PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta

Petunjuk Pengisiannya, pada SPT 1770-III Bagian C harus diisi penghasilan neto isteri

atau suami yang dikenakan pajak secara terpisah. Bagian C SPT 1770-III untuk suami

diisi penghasilan neto isteri. Sebaliknya, untuk SPT isteri diisi penghasilan neto suami.

Selain itu, SPT induk, pada bagian lampiran, juga dilampirkan Perhitungan PPh

Terutang Bagi Wajib Pajak Kawin Pisah Harta dan/atau Mempunyai NPWP Sendiri.

35
BAB III

KESIMPULAN

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pebayar pajak, pemotong

pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pajak Penghasilan Orang Pribadi

adalah penghasilan yang diterima orang pribadi semata-mata dari suatu pekerjaan. Tarif

Pajak Penghasilan Objek Pajak Dalam Negeri untuk Orang Pribadi adalah sesuai Pasal

17 Undang-undang Harmonisasi Pajak Penghasilan (HPP).

Terdapat 3 metode perhitungan PPh 21, yang paling umum adalah Metode Nett,

Metode Gross, dan Metode Gross Up. Metode yang paling sederhana dan banyak

digunakan adalah Metode Nett, dimana Perusahaan menanggung pemotongan pajak

karyawannya.

36
Dalam Perjakan dikenal adanya istilah Pajak Tangguhan. Dilihat dari aspek

perpajakannya, pajak tangguhan merupakan beban pajak atau deferred tax expense

yang dapat memberikan pengaruh seperti menambah atau mengurangi beban pajak

yang harus dibayar di masa yang akan datang. Maka dari itu, dapat dilihat melalui letak

perbedaan definisi pajak tangguhan dilihat dari sisi aset, pajak tangguhan merupakan

jumlah Pajak Penghasilan (PPh) yang dapat dipulihkan pada periode masa depan akibat

akumulasi rugi pajak yang belum dikompensasi dan akumulasi kredit pajak belum

dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam peraturan perpajakan.

Sedangkan di sisi liabilitas pajak tangguhan sebenarnya timbul karena perbedaan beban

antara peraturan perpajakan (fiskal) dengan standar akuntansi keuangan (komersial).

Perbedaan saat pengakuan ini mengakibatkan pendapatan/beban yang diakui pada

masing-masing periode berbeda, namun pada akhirnya, secara keseluruhan, jumlah

total yang diakui antara peraturan secara fiskal dan komersial akan sama. Perbedaan ini

biasa dikenal dengan istilah “temporary different”. Beban pajak tidak akan

mempengaruhi jumlah pajak terutang yang dihitung sesuai dengan peraturan

perpajakan.

Terdapat istilah perjanjian pisah harta dan penghasilan yang mana Keluarga

tidak lagi dianggap sebagai satu kesatuan ekonomis, apabila:

1. Suami isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim

2. Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan

harta dan penghasilan; atau

3. Dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri.

37
38
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.fe.unj.ac.id/3903/3/Chapter%201.pdf

Diana Sari, 2013, Konsep Dasar Perpajakan, Bandung, Refika Aditama

Oyok Abunyamin, 2015, Perpajakan, Bandung, Mega Rancage Press

Siti Resmi, 2014, Perpajakan Teori dan Kasus, Jakarta, Salemba Empat

Direktorat Jendral Pajak, https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2

Direktorat Jendral Pajak, https://www.pajak.go.id/id/subjek-pajak-pph-badan

www.online-pajak.com. (____). Pajak Tangguhan. (Online), (https://www.online-

pajak.com/pajak- tangguhan), diakses tanggal 16 Oktober 2023.

www.online-pajak.com. (____). PPh Final, Tarif Pasal 17, diakses tanggal 16 Oktober

2023

www.pajakku.com. (____). Pengertian Pajak Penghasilan. (Online),

(https://www.pajakku.com/read/ 5da034e6b01c4b456747b723/Pengertian-Pajak-

Penghasilan), diakses tanggal 16 Oktober 2023.

https://klikpajak.id/blog/panduan-penghitungan-pph-21-karyawan-contoh/ diakses pada

16 Oktober 2023

iv

Anda mungkin juga menyukai