Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH MANAJEMEN PERPAJAKAN

Manajemen Pajak Atas Struktur Inbound dan Outbound Investment

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Manajemen Perpajakan


Dosen Bapak Dr. Radhi Abdul Halim R, SE, MM, AK, CA, BKP, CSRS, CSRA, CSP.

Fitri Afriyani
51621220046

FAKULTAS SEKOLAH PASCASARJANA

MAGISTER AKUNTANSI

UNIVERSITAS WIDYATAMA

BANDUNG
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen
Perpajakan yang berjudul “Manajemen Pajak Atas Struktur Inbound dan Outbound Investment”.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Radhi Abdul Halim R, SE, MM, AK, CA, BKP,
CSRS, CSRA, CSP. selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen Perpajakan yang telah membimbing kami,
dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran, kritik
serta masukan yang positif untuk masukan di kemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi
kami sebagai penulis.

Bandung, 11 Oktober 2022

Penulis
MANAJEMEN PAJAK ATAS STRUKTUR INBOUND DAN OUTBOUND INVESTMENT

1. ASPEK PERPAJAKAN UNTUK CABANG

Definisi Wajib Pajak Berstatus Cabang Dasar Hukum Ketentuan yang mengatur hal ini adalah pasal 2
ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Dalam ayat
tersebut disebutkan bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tempat kedudukan ditafsirkan
sebagai semua tempat usaha wajib pajak yangdapat berbentuk kantor cabang, kantor perwakilan, kantor
menejeman, pabrik, gerai, dari paparan ayat ini dapat disimpulkan bahwa “cabang” yang didirikan di
wilayah kerja kantor Ditjen pajak atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berbeda dengan “pusat” maka
wajib bagi “cabang” untuk mendaftarkan sebagai wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai
dengan wilayah tempat “cabang” didirikan.

Apabila cabang tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP Cabang Dalam Pasal 2 ayat (4) UU
KUP ditegaskan bahwa terhadap wajib pajak atau pengusahakena pajak yang tidak memenuhi kewajiban
untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan NPWP dan / atau pengukuhan
PKP secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Ditjen Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat subjektif
dan objektif untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuh kan sebagai Pengusaha
Kena Pajak. Bagi perusahaan yang sudah memiliki cabang atau anak perusahaan, kegiatan yangdilakukan
oleh cabang umumnya akan berdiri sendiri meskipun masih terkait dengan operasional kantor pusat.
Semisal, cabang akan mempunyai customer sendiri sehingga bisa menjalankan transaksi jual beli, cabang
akan mempunyai karyawan sendiri, ataupun transaksi-transaksi cabang lainnya yang didalamnya terdapat
aspek perpajakan. Berikut ringkasan terkait kewajiban perpajakan bagi perusahaan / WP Badan berstatus
cabang :

a. PPh pasal 21. Dalam hal ini, Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal
21 atas penghasilan karyawan yang telah melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

b. PPh pasal 22. Dalam hal Cabang ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22, makawajib memungut,
membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 22.

c. PPh pasal 23. Dalam hal ini Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkanPPh Pasal 23
apabila terdapat transaksi yang terutang PPh Pasal 23 di lokasi usaha perusahaan cabang.
d. Dalam kasus perusahaan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta tidak melakukan
sentralisasi PPN, maka Cabang wajib memungut, membayarkan, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai atas transaksi penyerahan barang yang terjadi diwilayah kerja perusahaan
cabang.

e. PPh pasal 4 (2). Dalam hal terdapat transaksi di cabang yang terkait dengan pajak PPh pasal 4 ayat
2, maka cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkanPPh Pasal 4 ayat (2). Pada
dasarnya, terkait kewajiban SPT Tahunan PPh Badan, WP Badan berstatus cabanghanya
berkewajiban memberikan data laporan keuangan kepada WP Badan berstatus pusat untuk dapat
dilakukan konsolidasi laporan keuangan perusahaan serta diperoleh peredaran usaha secara
keseluruhan. Kemudian kewajiban untuk menghitung,membayarkan, dan melaporkan SPT Tahunan
PPh Badan dilakukan oleh WP Badan pusat dengan NPWP pusat.

2. ASPEK PERPAJAKAN UNTUK ANAK PERUSAHAAN

Pajak Anak Perusahaan Selama spin-off perusahaan, anak perusahaan juga dapat menghindari pajak
anak perusahaan selama bertransaksi. Karena pemegang saham anak perusahaan menerima saham secara
rata dari perusahaan induk sebagai pengganti uang tunai untuk penjualan perusahaan, maka pajak
penghasilan biasa dan pajak capital gain tidak berlaku. Sebagai gantinya, pemilik perusahaan induk
menjadi pemilik anak perusahaan melalui pengalihan saham sebagai alternatif yang lebih hemat biaya
dibandingkan menerima kompensasi untuk perusahaan baru melalui dividen saham. Sebuah spin-off
merupakan peristiwa yang tidak kena pajak ketika perusahaan induk mempertahankan kendali sekurang-
kurangnya 80% saham pemungutan suara entitas yang baru dibentuk dan kelas saham tanpa saham.
Sebuah spin-off perusahaan tidak boleh digunakan semata-mata sebagai mekanisme untuk
mendistribusikan laba atau laba induk perusahaan/anak perusahaan, dan perusahaan induk mungkin tidak
mengendalikan anak perusahaan dengan cara yang sama dalam tahun operasi terakhir. tindakan spin-off
dianggap dikenakan pajak yaitu pajak perusahaan induk dan pajak anak perusahaan dengan tarif pajak
perusahaan yang berlaku. Struktur anak perusahaan meski mengharuskan melakukan tax reporting
sebanyak anak perusahaan sehingga cenderung memerlukan biaya tax compliance yang cukup tinggi
(costly) tetapi memiliki beberapa keutamaan, seperti :

a. Meminimalisir problematika perpajakan hanya pada satu perusahaan anak saja sehinggadampaknya
tidak meluas kepada induk;

b. Memungkinkan penerapan insentif pengurangan (discount) tarif PPh Badan sesuai ketentuan Pasal
31E UU PPh sepanjang memenuhi persyaratan;

c. Memungkinkan diberlakukannya insentif pajak berbentuk inter-corporate dividend tax free


sepanjang memenuhi persyaratan untuk induk dari anak perusahaanya yang didirikan di Indonesia.
3. ALTERNATIF STRUKTUR MODAL

Dalam memenuhi kebutuhan dana, setiap perusahaan bisa menggunakan sumber modal sendiri
yang berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan perusahaan yang
berasal dari modal sendiri masih mengalami kekurangan atau mengalami defisit, maka perlu
dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal dari luar seperti utang atau debt-financing.
Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana, perusahaan harus mencari alternatif pendanaan yang
efisien. Pasalnya, pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal
yang optimal. Dalam sebuah teori, struktur modal diasumsikan bahwa perubahaan struktur modal
berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru.
Menurut Martono dan D. Agus Harjito struktur modal dibagi menjadi beberapa pendekatan sepertu
pendekatan laba operasi bersih, pendekatan tradisional, pendekatan Modigliani dan Miller.

A. Pendekatan Laba Operasi Bersih

Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand pada tahun 1952. Pendekatan ini
menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan utang
perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata berimbang dan bersifat konstan
berapapun tingkat utang yang digunakan oleh perusahaan. Artinya apabila perusahaan menggunakan
utang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh laba yang semakin kecil. Oleh karena
itu tingkat keuntungan yang disyaratkanoleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai risiko
perusahaan. Akibatnya biayamodal rata-rata terimbang akan berubah.

B. Pendekatan Tradisional

Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal dan
peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (utang dibagimodal sendiri).
Dengan menggunakan pendekatan tradisional, bisa diperoleh struktur modal. yang optimal yaitu
struktur modal yang memberikan biaya modal keseluruhan yang terendahdan memberikan harga
saham yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena berubahnya tingkat kapitalisasi perusahaan.

C. Pendekatan Modligiani dan Miller (MM)

Berdasarkan teori ini, struktur modal tidak berpengaruh terhadap perusahaan. Ada dua jenis struktur
modal dalam teori ini, yaitu teori MM tanpa pajak dan teori MM dengan pajak. Teori MM tanpa pajak
berpendapat bahwa struktur modal tidak relevan terhadap nilai perusahaan. Ada beberapa asumsi yang
mendukung pernyataan tersebut, yaitu tidak adagency cost, tidak ada pajak, investor dapat berutang
dengan suku bunga yang sama dengan perusahaan, dan investor mendapatkan informasi seperti
manajemen terkait masa depan perusahaan. Menurut teori ini pula, tidak ada biaya kebangkrutan
dalam struktur modal, aset dapat dijual dengan market value jika terjadi kebangkrutan, Earning Before
Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi utang, dan investor adalah price-takers. Jenis kedua
adalah teori MM dengan pajak. Karena teori tanpa pajak dianggap tidak masuk akal, Franco
Modigliani dan Merton Howard Miller, pencipta teori MM, memasukkan faktur pajak. Pajak yang
dibayar kepada pemerintah adalah aliran kas keluar. Kedua dimensi di atas selanjutnya dijelaskan
Gunadi, bahwa Dimensi pertama merujuk pada pemajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi
ke luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke
manca negarasedangkan dimensi kedua merujuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau
transaksi ke dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi
modaldari manca negara. Dalam aplikasinya, pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh
domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara.
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu juga dengankebijakan
perpajakan internasional sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan yang dimaksud yaitu memajukan perdagangan antar negara, dan mendorong laju investasi
dimasing-masing negara. Sementara pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara
domisili dan sumber seperti yang diungkapkan Gunadi di atas menimbulkan pajak gandainternasional
(international double taxation). Kondisi ini dipandang oleh para investor dan pengusaha pajak kurang
memperlancar/menghambat mobilitas arus investasi, perdagangan, dan bisnis. Untuk mengatasi dan
memberikan solusi atas masalah yang dihadapai oleh para investor dan pengusaha maka pemerintah
melakukan upaya dan berusaha untuk meminimalkan atau meringankan pajak berganda yang
menghambat perdagangan dan investasi tersebut.

Upaya dimaksud berhasil dituangkan dalam bentuk aturan yaitu selain diatur dalam ketentuan pajak
domestik, keringanan pajak ganda juga pada umumnya diatur dalam P3B. Sementara itu, Gunadi
menjelaskan bahwa ketentuan pajak internasional suatu negara pada umumnya disusun untuk
mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat) tujuan:

1. memperoleh bagian penerimaan dari transaksi lintas perbatasan secara adil,

2. meningkatkan keadilan (fairness) dalam perpajakan,

3. memperkuat daya saing ekonomi domestik, dan

4. netralitas ekspor modal (capital-export neutrality) dan netralitas impor modal (capital-import
neutrality).

Pengumpulan penerimaan negara merupakan tujuan utama semua sistem perpajakan disetiap negara,
termasuk penerimaan pajak dari penghasilan transaksi lintas perbatasan. Agar terjadi pembagian
penerimaan yang adil antar negara (inter-nation equity), suatu negara harusmengamankan basis pajak
domestik dengan menyusun ketentuan pajak yang handal, danmenghindari penutupan P3B yang
menggerus atau secara kurang proporsional menghilangkanatau membatasi hak pemajakan atas
penghasilan sumber domestik. Keadilan dalam sistem perpajakan dapat dicapai dengan membebankan
pajak dalam jumlah yang sama terhadap para wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang sama,
membuat Dalam persaingan ekonomi global, negara tersebut harus menghindari ketentuan pajak yang
dapat memperlemah daya saing ekonomi negerinya. Untuk itu, investasi, perdagangan dan kegiatan
ekonomi baik yang berasal dari domestik maupun manca negara yang dapat menciptakan kerja dan
kemakmuran bangsa harus dipertahankan jangan sampai terusir karena masalah ketentuan perpajakan.
Akhirya agar tercapai netralitas ekspor modal, ketentuan perpajakaan internasional harusdi disain tanpa
mendorong atau menghambat arus keluar modal, walaupun dalam praktik ini dianggap sebagai tujuan
sekunder karena dapat menggerus kesempatan kerja dan kemakmuran domestik. Sementara itu, agar
tercapai netralitas impor modal, suatu negara (pengekspor modal) tidak sepantasnya mendisain ketentuan
pajak internasional yang menyebabkan perusahaan multinasionalnya menanggung beban pajak yang lebih
besar di pasar luar negeri (negara pengimpor modal) dibanding dengan beban pajak perusahaan
multinasional negara lain. Lanjut Gunadi, perlu disadari bahwa dari keempat tujuan tersebut di atas, suatu
negara belum tentu dapat mencapai semuanya karena terdapat kurang kesesuaian bahkan saling
bertentangan antar tujuan tersebut. Misalnya, antara tujuan perolehan bagian penerimaan dari penghasilan
perusahaan multinational yang mempunyai kegiatan di luar negeri dengan tujuan netralitas impor modal.
Berbeda dengan tujuan pertama yang menghendaki pengenaan pajak atas penghasilan luar negeri,
netralitas impor modal menghendaki pembebasan pajak (tax exempt) atas penghasilan manca negara.
Untuk itu, skala prioritas, preferensi, dan relevansi tujuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang
atau akan dihadapi perlu dipertimbangkan Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi
gejala pajak ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara:

1. Dengan cara unilateral, mana kala negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-
undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti :

a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle.

b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious
taxcredit/tax sparing.

2. Dengan cara bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal dengan
isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negaraIndonesia telah
memiliki Tax Treaty.

3. Perjanjian multilateral, misalnya General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang dikenal dengan
sebutan WTO. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin membebaskan
aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan
perdagangan internasional. WTO di sini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola
persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalamnegosiasi perdagangan, membantu
menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan
bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis dan
program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya.
4. KESIMPULAN
Aspek perpajakan internasional yang ada dalam UU PPh (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008) adalah merupakan cerminan sikap Pemerintah Indonesia dalam menentukan hak pemajakannya
terhadap transaksi antar bangsa, baik itu inbound transaction maupun outbound transaction. Pada inbound
transaction, Pemerintah Indonesia menentukan sejauh mana hak pemajakannya terhadap Subjek Pajak luar
negeri (non-resident taxpayer) sehubungan dengan penghasilan yang bersumber di Indonesia. Sementara
itu, pada outbound transaction, Pemerintah Indonesia menentukan sejauh mana hak pemajakannya
terhadap Subjek Pajak dalam negeri (resident taxpayer) sehubungan dengan penghasilan yang bersumber
di luar Indonesia. Outward Investment merupakan suatu strategi bisnis dimana perusahaan lokal
memperluas usahanya ke luar negeri, baik melalui green field investment, merger/ akuisisi, dan/atau
perluasan fasilitas asing yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA

Budi, H.P. 2016. Manajemen Pajak. PT Pratama Indomitra


Harnanto. 2013. Perencanaan Pajak. Edisi Pertama. Cetakan kedua. BPFE.
Yogyakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia. Pelaporan Korporat. 2021. Jakarta : Ikatan Akuntan


Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia.Hukum Bisnis dan Perpajakan. 2019. Jakarta : Ikatan


Akuntan Indonesi

Anda mungkin juga menyukai