Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN


HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Bank

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mendefinisikan bank adalah sebagai


berikut : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.”

Ikatan Akuntansi Indonesia dalam PSAK Nomor 31 Tahun 2009 mengenai


akuntansi perbankan mendefinisikan bank adalah sebagai berikut : “Bank
adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial
intermediary) antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus
unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit), serta lembaga
yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.”

Bank dalam penelitian ini adalah Bank Konvensional. Triandaru dan


Budisantoso (2006:153) mendefinisikan bank konvensional adalah sebagai
berikut “Bank konvensional adalah bank yang aktivitasnya, baik
penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya,
memberikan dan mengenakan imbalan bunga atau sejumlah imbalan dalam
persentase dari dana untuk suatu periode tertentu. Persentase tertentu ini
biasanya ditetapkan per tahun”.
2.1.2 Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang


berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh
bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut
untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko.

Menurut Lukman Dendawijaya (2009:121) CAR adalah rasio yang


memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang
mengandung unsur risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada
bank lain) yang ikut dibiayai dari modal sendiri bank, disamping
memperoleh dana-dana dari sumber- sumber diluar bank.

Menurut Rivai, Andria Permata Veithzal, Ferry N Idroes (2007:713)


CAR adalah sebagai salah satu indikator kemampuan bank dalam menutup
penurunan aktiva sebagai akibat kerugian yang diderita bank. Menurut
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono (2011:519) CAR adalah kecukupan
modal yang menunjukan kemampuan bank dalammempertahankan modal
yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi,
mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat
berpengaruh terhadap besarnya modal bank.

2.1.3 Non-Performing Loan (NPL)

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP Tahun 2004 menyatakan


bahwa dalam mengukur kualitas aset (aset quality) terdapat beberapa
rumusan yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan (APYD) terhadap aktiva


produktif (AP);
b. Rasio kredit bermasalah dibandingkan dengan total kredit;
c. Debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit;
d. Perkembangan aktiva produktif bermasalah/Non-Performing Asset
dibandingkan dengan Aktiva Produktif;
e. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank
terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk
oleh bank;
f. Kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif;
g. Sistem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif;
Dokumentasi aktiva produktif;
h. Kinerja penanganan Aktiva Produktif (AP) bermasalah.

Faktor kualitas aset dalam penelitian ini adalah Rasio kredit bermasalah
dibandingkan dengan total kredit atau non performing loan (NPL).

Siamat (2005:358) mendefinisikan non performing loan (NPL) adalah


sebagai berikut : “Non performing loan (NPL) atau sering disebut kredit
bermasalah dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan
pelunasan akibat adanya faktor kesenjangan dan atau karena faktor eksternal
diluar kemampuan kendali debitur.”

Kasmir (2011:128) mendefinisikan non performing loan (NPL) adalah


sebagai berikut : “Non performing loan pemberian suatu fasilitas kredit
mengandung suatu resiko kemacetan. Akibatnya kredit tidak dapat ditagih
sehingga menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh suatu bank.”
Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono (2011:420) menyatakan non performing
loan (NPL) adalah sebagai berikut : “Non performing loan merupakan suatu
keadaan ketika nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau
seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikannya.
Non-performing loan merupakan rasio dari risiko kredit atau yang
dikenal kredit bermasalah ini adalah sebuah kondisi yang sangat ditakuti
oleh setiap bank. Karena dengan kredit bermasalah tersebut akan
menyebabkan menurunnya pendapatan bank yang selanjutnya
memungkinkan terjadinya penurunan laba.”

Kredit bermasalah menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor


15/28/DPNP tanggal 31 Juli 2013 Perihal Kualitas Aset Bank Umum adalah
kredit yang digolongkan ke dalam kolektibilitas Kurang Lancar, Diragukan,
dan Macet dengan kriteria adalah sebagai berikut :

a. Kredit Kurang Lancar, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok


dan/ bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari sampai
dengan 120 (seratus dua puluh) hari.
b. Kredit yang diragukan, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/ bunga yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari sampai
dengan 180 (seratus delapan puluh) hari.
c. Kredit Macet, dimana terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/ bunga
yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari.

Definisi-definisi di atas mengenai non performing loan (NPL) pada


dasarnya adalah merupakan suatu ukuran atau rasio yang menunjukkan
risiko kredit yang ditanggung oleh bank karena ketidakmampuan debitur
dalam mengembalikan kredit.

Batas rasio non performing loan (NPL) yang diperbolehkan Bank


Indonesia maksimal 5%, jika melebihi 5% akan mempengaruhi penilaian
tingkat kesehatan bank bersangkutan. Semakin tinggi rasio non performing
loan maka akan semakin buruk kualitas bank yang menyebabkan jumlah
kredit bermasalah semakin banyak (Almilia dan Herdaningtyas, 2005).
Penurunan non performing loan (NPL) menandakan telah dilaksanakan
perbaikan kualitas kredit yang diikuti dengan tingginya penyaluran kredit
perbankan. Perbaikan kualitas kredit perbankan tidak terlepas dari upaya
restrukturisasi, agunan yang diambil alih maupun hapus buku yang
dilakukan bank.

Untuk mengantisipasi peningkatan risiko kredit, bank dapat melakukan


pencadangan kerugian penghapusan kredit sehingga secara keseluruhan
risikonya. Perhitungan non performing loan (NPL) dapat dirumuskan
sebagai berikut: (Siamat, 2005:358) Besarnya jumlah kredit yang disalurkan
bank kepada debitur akan menentukan keuntungan atau laba bank dengan
asumsi bank tersebut mampu menyalurkan kredit dengan efektif, sehingga
jumlah kredit macetnya akan kecil. Jika bank tidak mampu menyalurkan
kredit sementara dana yang terhimpun banyak maka akan menyebabkan
bank tersebut rugi (Kasmir, 2011). Herry (2014:24) menyatakan kredit
merupakan aset terbesar dalam perbankan. Demikian pula, pendapatan bunga
kredit yang merupakan sumber terbesar dari pendapatan untuk bank. Jika
pengembalian kredit gagal, maka kemampuan bank untuk memberikan
pinjaman baru akan terganggu karena likuiditas bank yang berasal dari
pembayaran bunga kredit tidak dapat diterima oleh bank.

Selain itu, bank juga harus membentuk cadangan dari gagalnya


pengembalian kredit yang pada akhirnya akan mengurangi laba bank

2.1.4 Profitabilitas (ROA)

Return on asset (ROA) atau yang dalam bahasa Indonesia merupakan tingkat
pengembalian aset adalah salah satu rasio dari beberapa rasio profitabilitas
yang dapat digunakan pihak manajemen untuk mengukur profitabilitas dari
sebuah perusahaan. Menurut Agus Sartono (2010:122) rasio profitabilitas
adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya
dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Tandelilin (2010:372)
menyebutkan Return On Asset menggambarkan sejauh mana kemampuan
aset-aset yang dimiliki perusahaan bisa menghasilkan laba. Hanafi (2008:83)
juga menyatakan Return On Asset adalah rasio yang mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan total assets (kekayaan)
yang dimilki perusahaan setelah disesuaikan dengan biayabiaya yang
menendai assets tersebut.

Sedangkan pengertian lain dari Agnes Sawir (2005:18) menyatakan


bahwa Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen perusahaan dalam memperoleh
keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu
perusahaan, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai perusahaan
dan semakin baik pula posisi perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diartikan bahwa Return On
Asset (ROA) adalah rasio yang dapat menilai kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dengan ditinjau dari asset yang dimiliki perusahaan yang
dikelola secara efisien dalam suatu periode.

2.1.5 Return On Equity (ROE)

ROE dapat digunakan sebagai alat ukur kemampuan suatu perusahaan dalam
menghasilkan laba dengan berdasarkan pada perbandingan antara laba bersih
dengan ekuitas biasa, yang biasanya digunakan sebagai alat untuk mengukur
tingkat pengembalian investasi pemegang saham. Hasil ROE yang semakin
tinggi maka menunjukkan kedudukan pemegang saham pada suatu
perusahaan semakin tinggi. Karena perusahaan semakin efektif dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya yaitu dengan pengelolaan modal
perusahaan dari paara investor atau pemegang saham yang menanamkan
sahamnya pada perusahaan tersebut (Brigham dan Houston 2013;149).
ROE yang semakin meningkat, maka investor semakin tertarik untuk
menanamkan dananya ke dalam perusahaan, sehingga harga saham
cenderung meningkat. Sebagai dampaknya return saham juga meningkat,
dengan demikian ROE berhubungan positif dengan return saham (Affinanda
2015). Menurut Hery (2016:195) ROE dihitung dengan rumus berikut : 𝑅𝑂𝐸
= 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 100%

2.1.6 Loan to Deposit (LDR)

Harahap (2009:301) mendefinisikan rasio likuiditas adalah sebagai berikut:


“Rasio likuiditas merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan
memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Untuk dapat memenuhi kewajiban
jangka pendeknya, maka perusahaan harus mempunyai alat pembayaran
berupa aset lancar yang jumlahnya harus lebih besar dari pada kewajiban
yang harus segera dibayar.” Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 6/23/DPNP Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam mengukur rasio
likuiditas (Liquidity) terdapat beberapa rumusan yang digunakan diantaranya
adalah sebagai berikut :

1) Aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid


kurang dari 1 bulan; 2.
2) month maturity mismatch ratio;
3) Proyeksi cash flow 3 bulan mendatang;
4) Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities
management/ALMA); 5. Kemampuan Bank untuk memperoleh akses
kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan
lainnya; 6. Ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti; 7.
Stabilitas Dana Pihak Ketiga (DPK); 8. Rasio kredit terhadap Dana
Pihak Ketiga. 16 Faktor likuiditas (Liquidity) dalam penelitian ini
adalah rasio kredit terhadap dana pihak ketiga. Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 6/23/DPNP Tahun 2004 Perihal Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum mendefinisikan loan to deposit ratio
adalah sebagai berikut: “Loan to deposit ratio merupakan rasio kredit
yang diberikan terhadap dana pihak ketiga (giro, tabungan, sertifikat
deposito, dan deposito).
Riyadi (2006:195) mendefinisikan loan to deposit ratio adalah
sebagai berikut: “Loan to deposit ratio merupakan perbandingan
antara total kredit yang diberikan dengan total Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang dapat dihimpun oleh bank.” Definisi-definisi di atas
mengenai loan to deposit ratio pada dasarnya adalah merupakan
sebuah rasio keuangan yang merupakan hasil dari perbandingan
antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap Dana Pihak Ketiga
yang dihimpun oleh bank tersebut. Batas minimal untuk loan to
deposit ratio menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
6/23/DPNP Tahun 2004 adalah sebesar 50% dengan batas toleransi
berkisar antara 85%-100%. Perhitungan Loan to deposit ratio dapat
dirumuskan sebagai berikut: 17 LDR = Kredit Dana Pihak Ketiga
(SE BI Nomor 6/23/DPNP Tahun 2004) Tujuan penting dari
perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai kondisi
kesehatan bank dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya.
Dengan kata lain LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk
mengetahui tingkat kerawanan suatu bank. Semakin tinggi rasio
tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan
likuiditas bank yang bersangkutan sehingga profitabilitas meningkat.
Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk
membiayai kredit menjadi semakin besar (Lukman Dendawijaya,
2009).
2.1.7 Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

Menurut Riyadi (2006:159) Biaya Operasional Pendapatan Operasional


merupakan rasio yang menunjukkan besaran perbandingan antara biaya
operasional terhadap pendapatan operasional suatu perusahaan pada periode
tertentu. BOPO adalah rasio yang sering disebut rasio efisiensi yang
digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam
mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Biaya
operasional dihitung berdasarkan penjumlahan total beban bunga dan total
beban operasional lainnya.

Pendapatan operasional adalah penjumlahan dari total pendapatan


bunga dan total pendapatan operasional lainnya (Frianto, 2012:72). Semakin
rendah rasio ini berarti semakin efisiensi biaya operasional yang dikeluarkan
bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi
bermasalah semakin rendah. Sedangkan bank yang memiliki rasio BOPO
yang tinggi menunjukkan bahwa bank tidak dapat beroperasi secara efisien
karena tingginya rasio ini memperlihatkan besarnya jumlah biaya
operasional yang dikeluarkan bank untuk memperoleh pendapatan
operasional. Jumlah biaya operasional yang tinggi dapat berdampak terhadap
rendah nya laba yang dihasilkan karena biaya menjadi faktor utama
pengurang pendapatan (Meilawaty, 2016). BOPO merupakan rasio besaran
perbandingan biaya operasional terhadap pendapatan operasional pada
periode tertentu. Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa bank tidak
beroperasi dengan efisien disebabkan besarnya jumlah biaya operasional
yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan operasional yang
akan memperkecil laba (Edison dan suryana, 2017) Riyadi (2006:159)
meyatakan bahwa rasio BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝐵𝑂𝑃𝑂 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑋 100%
2.1.8 Financial Distress

Bringham dan Daves (2003) yang dikutip oleh Fachrudin (2008) menyatakan
bahwa kesulitan keuangan dimulai ketika perusahaan tidak dapat memenuhi
jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa
perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Menurut Bringham dan Gapenski (1997) dalam penelitian Fachrudin (2008),
terdapat beberapa definisi kesulitan keuangan sesuai tipe ataupun
kategorinya, yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana


pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi total biaya, termasuk cost
of capitalnya. Perusahaan yang mengalami keadaan ini, masih dapat
melanjutkan operasinya dan perusahaan masih dapat menjadi sehat
kembali secara ekonomi, sepanjang kreditur mau menyediakan modal
dan pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of return) atau
dengan menjual aset tua yang dimiliki.
2. Business failure atau kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang
dihentikan kegiatan operasinya, akibat kerugian kepada kreditur.
3. Technical insolvency. Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan
technical insolvency jika tidak dapat memenuhi kewajiban lancar ketika
jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis
menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika
diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya dan
survive.
Di sisi lain, technical 28 insolvency merupakan gejala awal kegagalan
ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana
keuangan (financial disaster).
4. Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan
Insolvent in bankruptcy jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset.
Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency, sebab kondisi ini
sebagai tanda economic failure, dan bahkan mengarah kepada likuidasi
bisnis. Perusahaan yang sedang dalam keadaan insolvent in bankruptcy
tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum.
5. Legal bankruptcy. Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika
telah diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kondisi bangkrut sebuah perusahaan


ada pada tipe ke-5 yaitu legal bankruptcy, dimana perusahaan yang
mengalami hal tersebut akan sangat sulit untuk bangkit kembali. Suatu
perusahaan sudah dapat dikatakan menderita kesulitan keuangan pada tahun
pertama aliran kas kurang dari kewajiban jangka panjang yang jatuh tempo
menurut Whitaker (1999) yang dikutip oleh Fachrudin (2008). Aliran kas
didefinisikan sebagai pendapatan bersih ditambah beban-beban non kas.
Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mengalami
penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset tetap, serta
peningkatan dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang
sehat dalam Kahya dan Theodossiou (1999) yang dikutip oleh Fachrudin
(2008).

Di samping itu kesulitan keuangan dapat juga dilihat dari melemahnya


kondisi keuangan, kreditur yang mulai mengambil tindakan, pemasok yang
mungkin tak mengirim bahan baku secara kredit, investasi modal yang 29
menguntungkan mungkin harus dilepas, dan pembayaran dividen yang
terganggu Keown et al. (1997) dalam Fachrudin (2008), semua teori tersebut
dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Fahrudin (2008). Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa suatu perusahaan yang mengalami financial
distress atau kesulitan keuangan yaitu perusahaan yang mengalami
penurunan dalam pertumbuhan dan operasional perusahaan, tidak lagi
menghasilkan laba dan tidak adanya peningkatan persediaan juga memiliki
proporsi hutang yang jauh lebih banyak dibandingkan aset yang dimilikinya,
dan jika hal ini terjadi terus menerus, maka perusahaan tersebut akan
mengalami kebangkrutan. Financial Distress merupakan tahap penurunan
kondisi keuangan yang terjadi sebelum kebangkrutan atau likuidasi menurut
Platt dan Platt (2002) dalam penelitian Fathonah (2015). Financial distress
terjadi sebelum perusahaan bangkrut atau likuidasi. Sedangkan menurut
Hanifah (2013) dalam Hidayat&Meiranto (2014),

Financial Distress adalah banyaknya perusahaan yang cenderung


mengalami kesulitan likuiditas, dimana ditunjukkan dengan semakin
turunnya kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada
kreditur. Sebelum perusahaan dinyatakan bangkrut, jika sudah terjadi kondisi
kesulitan keuangan yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak mampu
untuk menutupi kewajibannnya, maka perusahaan tersebut mengalami
kondisi financial distress. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kondisi
Financial Distress, menggunakan perhitungan rasio keuangan perusahaan
sebagai tolak ukurnya. Suatu perusahaan dapat dikategorikan sedang
mengalami financial distress dimana jika perusahaan 30 tersebut memiliki
kinerja yang menunjukkan laba operasinya negatif, laba bersih negatif, nilai
buku ekuitas negatif, dan perusahaan yang melakukan merger menurut
Brahmana (2007) dalam Hidayat&Meiranto (2014).

Sedangkan menurut Handajani (2013), Financial Distress merupakan


suatu kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan dana untuk menutup
kewajiban perusahaan atau kesulitan likuiditas yaitu jika hutang lebih besar
dibandingkan dengan aset. Financial distress terjadi sebelum kebangkrutan
yang bisa terjadi dalam jangka pendek maupun berkepanjangan hingga
menyebabkan kebangkrutan. Corporate financial distress ditunjukkan
sebagai proses tiga dimensi yang terdiri time frame, financial distress,dan
process stages.
Financial distress cycle dalam perusahaan mencakup periode awal
penurunan kinerja hingga ke titik terendah kemudian tahap pemulihan
apabila perusahaan bisa memperbaiki kinerjanya. Ketika perusahaan
mengalami kesulitan keuangan, maka perusahaan tersebut tidak berada di
posisi yang sama melainkan terus bertransisi ke tahapantahapan selanjutnya.
Apabila kinerja semakin buruk, maka kemungkinan besar perusahaan akan
mengalami kebangkrutan. Namun, jika kinerja perusahaan membaik maka
perusahaan memiliki kesempatan untuk mengatasi kesulitan keuangan, lalu
bangkit dari keterpurukan.

2.2 Kerangka Pemikiran


2.2.1 Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) Terhadap Financial
Distress
Menurut Rivai, Andria Permata Veithzal, Ferry N Idroes (2007:713) CAR
adalah sebagai salah satu indikator kemampuan bank dalam menutup
penurunan aktiva sebagai akibat kerugian yang diderita bank. Menurut
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono (2011:519) CAR adalah kecukupan
modal yang menunjukan kemampuan bank dalammempertahankan modal
yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi,
mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat
berpengaruh terhadap besarnya modal bank.
2.2.2 Pengaruh Non-Performing Loan (NPL) Terhadap Financial
Distress

Non-performing loan menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam


mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Semakin tinggi rasio
NPL maka semakin buruk kualitas kredit yang menyebabkan jumlah kredit
bermasalah semakin besar sehingga dapat menyebabkan kemungkinan suatu
bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Maka dalam hal ini semakin
tinggi rasio NPL maka semakin rendah profitabilitas suatu bank (Nazrantika
Sunarto, 2013). Bank dapat menjalankan operasinya dengan baik jika
mempunyai non performing loan (NPL) di bawah 5%. Artinya semakin
tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang
menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan
suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar yaitu kerugian yang
diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet. Dampak dari keberadaan
non performing loan (NPL) yang tidak wajar salah satunya adalah hilangnya
kesempatan memperoleh income (pendapatan) dari kredit yang diberikan,
sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi
profitabilitas bank (Lukman Dendawijaya, 2009). Non-performing loan
(NPL) berpengaruh positif terhadap profitabilitas (ROA).

2.2.3 Pengaruh Profitabilitas (ROA) Terhadap Financial Distress

Return on asset (ROA) atau yang dalam bahasa Indonesia merupakan


tingkat pengembalian aset adalah salah satu rasio dari beberapa rasio
profitabilitas yang dapat digunakan pihak manajemen untuk mengukur
profitabilitas dari sebuah perusahaan. Menurut Agus Sartono (2010:122)
rasio profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam
hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri.
Tandelilin (2010:372) menyebutkan Return On Asset menggambarkan sejauh
mana kemampuan aset-aset yang dimiliki perusahaan bisa menghasilkan
laba. Hanafi (2008:83) juga menyatakan Return On Asset adalah rasio yang
mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan
total assets (kekayaan) yang dimilki perusahaan setelah disesuaikan dengan
biayabiaya yang menendai assets tersebut. Sedangkan pengertian lain dari
Agnes Sawir (2005:18) menyatakan bahwa Return On Asset (ROA)
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen
perusahaan dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan.
Semakin besar ROA suatu perusahaan, semakin besar pula tingkat
keuntungan yang dicapai perusahaan dan semakin baik pula posisi
perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset. Dari beberapa pengertian di
atas maka dapat diartikan bahwa Return On Asset (ROA) adalah rasio yang
dapat menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan
ditinjau dari asset yang dimiliki perusahaan yang dikelola secara efisien
dalam suatu periode.

2.2.4 Pengaruh Return On Equity (ROE) Terhadap Financial Distress

ROE dapat digunakan sebagai alat ukur kemampuan suatu perusahaan


dalam menghasilkan laba dengan berdasarkan pada perbandingan antara laba
bersih dengan ekuitas biasa, yang biasanya digunakan sebagai alat untuk
mengukur tingkat pengembalian investasi pemegang saham. Hasil ROE yang
semakin tinggi maka menunjukkan kedudukan pemegang saham pada suatu
perusahaan semakin tinggi. Karena perusahaan semakin efektif dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya yaitu dengan pengelolaan modal
perusahaan dari paara investor atau pemegang saham yang menanamkan
sahamnya pada perusahaan tersebut (Brigham dan Houston 2013;149).

ROE yang semakin meningkat, maka investor semakin tertarik untuk


menanamkan dananya ke dalam perusahaan, sehingga harga saham
cenderung meningkat. Sebagai dampaknya return saham juga meningkat,
dengan demikian ROE berhubungan positif dengan return saham (Affinanda
2015). Menurut Hery (2016:195) ROE dihitung dengan rumus berikut :

𝑅𝑂𝐸 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 100%


2.2.5 Pengaruh Loan to Deposit (LDR) Terhadap Financial Distress

Kasmir (2011:272) mendefinisikan loan to deposit Ratio adalah sebagai


berikut : 22 “Rasio LDR adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang
diberikan terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank. Besarnya
jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan tingkat keuntungan yang
diperoleh bank.” Pasaribu, Hiras dan Sari (2011:117) menyatakan Faktor
ekspansi kredit yang ditunjukan dengan rasio loan to deposit ratio (LDR)
sangat penting oleh bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya dengan
tujuan untuk memperoleh laba yang didapat dari selisih penerimaan bunga
dengan beban bunga simpanan. Dengan peningkatan dan pengelolaan kredit
yang baik akan mendorong suatu bank untuk meningkatkan kemampuannya
dalam memperoleh laba. Semakin tinggi loan to deposit ratio (LDR) akan
semakin tinggi tingkat keuntungan perusahaan karena penempatan dana
berupa kredit yang diberikan semakin meningkat, sehingga pendapatan
bunga akan semakin meningkat pula. Demikian juga sebaliknya, semakin
rendah loan to deposit ratio (LDR) akan semakin rendah tingkat keuntungan
perusahaan karena penempatan dana berupa kredit yang disalurkan semakin
menurun, sehingga pendapatan bunga semakin menurun pula.

2.2.6 Pengaruh Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)


Terhadap Financial Distress

Menurut Riyadi (2006:159) Biaya Operasional Pendapatan Operasional


merupakan rasio yang menunjukkan besaran perbandingan antara biaya
operasional terhadap pendapatan operasional suatu perusahaan pada periode
tertentu. BOPO adalah rasio yang sering disebut rasio efisiensi yang
digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam
mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional.

Biaya operasional dihitung berdasarkan penjumlahan total beban


bunga dan total beban operasional lainnya. Pendapatan operasional adalah
penjumlahan dari total pendapatan bunga dan total pendapatan operasional
lainnya (Frianto, 2012:72). Semakin rendah rasio ini berarti semakin
efisiensi biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan
sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin
rendah. Sedangkan bank yang memiliki rasio BOPO yang tinggi
menunjukkan bahwa bank tidak dapat beroperasi secara efisien karena
tingginya rasio ini memperlihatkan besarnya jumlah biaya operasional yang
dikeluarkan bank untuk memperoleh pendapatan operasional

2.2.7 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan telaah pustakan, hipotesis dan tinjauan penelitian terdahulu


maka penulis Menyusun paradigma penelitian sebagai berikut :

CAR

NPL

ROA
Financial Distress
ROE

LDR

BOPO
2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan Kerangka pemikiran teoritis tersebut maka diajukan hipotesis


sebagai berikut:

H1: Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh Terhadap Financial Distress

H2: Non-Performing Loan (NPL) berpengaruh Terhadap Financial Distress

H3: Profitabilitas (ROA) Terhadap berpengaruh Financial Distress

H4: Return On Equity (ROE) berpengaruh Terhadap Financial Distress

H5: Loan to Deposit (LDR) berpengaruh Terhadap Financial Distress

H6: Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh Terhadap


Financial Distress

Anda mungkin juga menyukai